History book doesn’t tell ALL about reality in the past, but tell about which reality is ACCEPTED by the ruler, when the history is written down. (Buku sejarah tidak menceritakan SELURUH realitas di masa lalu, tetapi tentang realitas yang DISETUJUI oleh penguasa ketika sejarah itu ditulis). (Fahmi Amhar)
Berikut sepenggal kisah tersebut di ambil dari Mainstream Media Indonesia‘s photo.
Rahmah El Yunusiyyah, Mujahidah tanpa Emansipasi
Di antara para pahlawan Nasional, terdapat sederet nama-nama wanita dari berbagai daerah dan beragam cara berjuangnya. Kalau Cut Nyak Dien dan Keumalahayati berjuang dengan mengangkat senjata tanpa mendirikan sekolah, sementara Dewi Sartika berjuang dengan mendirikan sekolah tanpa mengangkat senjata. Tapi selain mereka, lihatlah Rahmah El Yunusiyah, yang berjuang dengan mendirikan sekolah sekaligus mengangkat senjata. Dan ia pertaruhkan seluruh jiwa raganya demi agama.
Jilbabnya yang panjang nan lebar melebihi dada selalu dikenakannya, memperlihatkan didikan dan penanaman agama yang sangat kuat pada dirinya.
“Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya”, kata Rahmah El Yunusiyah suatu hari bertekad.
(more…)
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Masalah transportasi seputar ritual mudik lebaran yang terjadi setiap tahun, semakin hari semakin kronis. Kalau sepuluh tahun yang lalu, perjalanan Jakarta-Cirebon selama arus mudik dapat ditempuh dalam 16 jam, kini sudah hampir 24 jam. Mulai tahun ini, pihak kereta api tidak lagi menyediakan tiket tanpa kursi. Sementara angkutan bus, kapal maupun pesawat juga tidak meningkat signifikan. Akibatnya, makin banyak orang mudik dengan mengendarai sepeda motor, meski moda ini sebenarnya sama sekali tidak layak untuk jarak di atas 2 jam. Namun penggunaan motor juga dipicu oleh kenyataan bahwa di kota tujuan, banyak angkutan umum yang sudah tidak berfungsi, seiring dengan makin mudahnya orang mendapatkan sepeda motor dengan cara kredit. Akibatnya dapat ditebak: angka kecelakaan sepeda motor selama mudik meroket!
Bagaimana dulu negara khilafah mengatur arus mudik? Adakah teknologi mudik saat itu?
Persoalan transportasi sepertinya lebih banyak persoalan teknis, dan di zaman dulu teknologinya masih amat berbeda. Jumlah penduduk saat itu juga masih relatif sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin belum pernah ada.
Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur mudik (transportasi), kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum Muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam wujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.
Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum Muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan Muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Musim haji adalah musim ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun mudik ke kampung halaman. Di negeri-negeri timur tengah, libur saat lebaran haji lebih lama dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada hari Tasyrik). Karena itu situasi mudik terjadi pada musim ini.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.
Perang Dunia I mengakhiri semuanya. Tak cuma khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.
Untuk mengatasi arus mudik, Daulah Khilafah sudah memberi contoh lebih dari seabad yang lalu. Apakah kita memang malas belajar?[]
Dr. Fahmi Amhar
Pupus sudah rencana TNI untuk membeli 100 tank berat Leopard dari Jerman. Bukan karena tank seberat 50 ton itu mungkin akan merobohkan beberapa jembatan yang akan dilewatinya di Indonesia, juga bukan karena Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya lebih butuh kapal perang, tetapi karena Parlemen Jerman menolak rencana penjualan tank ke Indonesia karena Indonesia dianggap belum baik dalam soal HAM.
Maka muncul pertanyaan: bagaimana umat Islam di masa keemasannya memiliki alat utama sistem senjata (alutsista) yang lebih canggih dari bangsa-bangsa lain? Ataukah keunggulannya di masa lalu itu semata-mata dari semangat jihad yang menyala-nyala, kepemimpinan yang efisien, sehingga kaum Muslim dapat bersatu dan kuat?
Masih ada pihak di dalam kaum Muslim yang berpendapat bahwa teknologi militer kaum Muslim di masa lalu tidaklah sepenting semangat, kepemimpinan dan persatuan. Mereka berargumentasi bahwa pada masa Rasulullah dan sahabat teknologi senjata yang dimiliki juga masih sangat sederhana, bahkan di bawah teknologi negara-negara adidaya seperti Romawi dan Persia, namun faktanya tentara Islam berhasil memenangkan peperangan.
Karena itu lantas ada sejumlah Muslim yang menolak teknologi militer, apalagi saat ini hampir seluruhnya diimpor dari negara-negara adidaya penjajah seperti Amerika, Inggris, Prancis atau Rusia. Sejumlah orang Islam mencukupkan diri dengan latihan pencak silat dan upaya spiritual. Yang dimaksud adalah upaya menghasilkan kesaktian, seperti kebal, dapat menghilang atau berpindah tempat secara mistik.
Namun kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum Muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer. Pada perang Ahzab, Rasulullah SAW menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang berasal dari Persia. Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.
Rasulullah juga sempat mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina. Mereka kemudian pulang di antaranya membawa pengetahuan membuat mesiu yang di Cina biasa dipakai untuk membuat kembang api saat perayaan Imlek, dan saat itu belum dikenal di luar Cina.
Kaum Muslim kemudian mengembangkan berbagai ilmu dasar yang terkait teknologi militer, yaitu fisika dan kimia. Sekarang pun bila Hamas ingin merakit sebuah roket sederhana untuk mengganggu Israel, mereka harus menguasai fisika dan kimia dasar. Fisika untuk mekanikanya, dan kimia untuk bahan bakar dan peledaknya. Kalau roket itu ingin dapat dikendalikan, maka mereka harus menguasai elektronika, terutama terkait sinyal radio dan navigasi.
Pada tahun 1228, laporan independen dari Prancis menyebutkan bahwa tentara Muslim sudah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan tentara Salib yang dipimpin Ludwig IV. Bahan peledak itu dikemas dalam pot-pot tembikar yang dilontarkan dengan ketapel raksasa.
Tahun 1260 pistol pertama telah digunakan oleh tentara Mesir dalam mengalahkan tentara Mongol di Ain Jalut. Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol itu berisi bubuk mesiu yang komposisinya idealnya terdiri dari 74 persen salpeter, 11 persen sulfur, dan 15 persen karbon. Mereka juga sudah menggunakan pakaian tahan api untuk melindungi diri dari bubuk mesiu itu.
Tahun 1270 insinyur kimia Hasan al-Rammah dari Suriah menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi perang [dengan pasukan berkuda] dan peralatan perang) hampir 70 resep kimia bahan peledak (seperti kalium nitrat) dan teknik pembuatan roket. Dia menuliskan bahwa banyak dari resep itu telah dikenal generasi kakeknya, yang menunjukkan akhir abad 12 M. Komposisi bahan peledak secanggih ini belum dikenal di Cina atau Eropa sampai abad-14 M.
Torpedo juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi torpedo yang meluncur di air dengan sistem roket yang diisi bahan peledak dengan tiga lubang pengapian.
Ibnu Khaldun menuliskan bahwa pada tahun 1274 penggunaan meriam telah dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam menaklukkan kota Sijilmasa. Namun penggunaan “senjata super” yaitu meriam raksasa pertama kali adalah saat penaklukan Konstantinopel pada 1453 oleh tentara Muhammad al Fatih. Dia memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.
Pada 1582 Fathullah Shirazy, seorang matematikawan dan ahli mekanik Persia-India yang bekerja untuk dinasti Mughal menemukan senapan mesin. Mesin ini dapat mengoperasikan meriam berikut membersihkan hingga 16 lubang mesiunya secara otomatis. Mesin ini dioperasikan dengan tenaga sapi.
Teknologi alutsista di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling “sederhana” seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.
Di berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus meningkat. Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi (metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.
Pada 1683 M, tentara Khilafah Utsmani yang persenjataannya masih di atas seluruh persenjataan Eropa bersama-sama, salah strategi, sehingga misi mereka menaklukkan Wina Austria tanpa tetesan darah, gagal total. Jihad kemudian dinyatakan “reses”. Akibatnya korps perekayasa militer ini mengalami stagnasi. Pada akhir abad 18 saat tentara Napoleon memasuki Mesir, teknologi meriam Prancis sudah di atas meriam Mesir – yang praktis sudah berhenti berkembang selama satu abad! Karena itu memang jihad tidak boleh berhenti. Jihad itulah yang akan terus mengobarkan perkembangan teknologi alutsista kaum Muslimin.[]