Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target. Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses. Karena manusia itu memang mahluk multi-target. Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan. Itu benar. Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ? Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya. Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit. Di luar sholat ya mikir yang lain. Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid 🙂
Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya. Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja. Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input. Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami. Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses. Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu. Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif. Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.
Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan. Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan. Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang. Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga. Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!
Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut. Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.
Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb. (more…)
Prof. Dr. Fahmi Amhar
“Pergi ke Iran mau ngapain? Mau jadi syi’ah?”, tanya seseorang. Pertanyaan tak serius ini tentu saja saya jawab dengan canda, “Lho saya kan sudah Ayatollah!”.
Ada juga canda yang lain, “Kalau belum menikah memang seharusnya ke Iran dulu, biar tidak menyesal …”. Konon sejak revolusi Islam, wanita Iran tidak boleh ikut seleksi wanita cantik sejagad seperti Miss Universe. Hal ini karena di Iran tidak ditemukan satupun wanita cantik. Adanya wanita amat cantik dan wanita cantik sekali …
Pertengahan tahun 2011, saya ke Iran diundang presentasi oleh International Conference on Sensors & Models of Photogrammetry & Remote Sensing di College of Engineering University of Teheran. Keputusan jadi berangkat diambil dua hari sebelumnya, setelah dipastikan kita bebas visa untuk seminggu. Meski jarang turis “nyasar” ke Iran karena berbagai travel warning dan citra Iran yang dibuat buruk media Barat, namun menurut saya ada dua hal yang perlu dipelajari dari negeri para Mullah ini. Pertama, tentang dunia sains di Iran yang tetap maju ditengah-tengah kesulitan akibat embargo yang dijatuhkan dunia. Kedua, realitas kehidupan sehari-hari di sebuah Republik Islam.
Tentang dunia sains di Iran:
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam. Ingat, Salman al Farisi RA adalah sudah insinyur ketika dia masuk Islam. Nama-nama intelektual besar Islam seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Umar Khayam, “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Iran bahkan memberi penghargaan tahunan “Al-Khawarizmi Award” bagi ilmuwan muslim dunia yang dianggap berprestasi dalam inovasi teknologi. Setiap tahun mereka juga mengundang seluruh negeri Islam dalam sebuah pameran internasional sains dan teknologi.
Dalam conference ini, saya melihat bahwa kualitasnya masih di atas rata-rata conference sejenis yang diadakan di Indonesia. Tidak cuma bahwa sebuah konferensi ilmiah internasional diawali dengan pembacaan al-Qur’an, tetapi presentasi para peneliti Iran, termasuk yang masih mahasiswa benar-benar mengambil thema yang tidak mudah, meski banyak batasan yang mereka alami. Sebagai contoh, ada ilmuwan Iran yang membuat sebuah alat yang dicangkokkan pada sebuah alat yang lebih besar buatan perusahaan Austria, Vexcel, untuk dipasarkan ke seluruh dunia. Tiba-tiba Vexcel dibeli Microsoft. Maka kerjasama dengan Vexcel otomatis batal, karena bila diteruskan, Microsoft akan kena UU Embargo. Dalam UU itu, semua perusahaan Amerika yang berhubungan dengan Iran akan dihukum. Kini Iran mencoba bekerja sama dengan China untuk alat yang serupa.
Namun kesulitan itu makin membuat Iran tertantang. Kata beberapa teknisi PTDI yang diperbantukan di industri pesawat Iran, mereka benar-benar “diperas ilmunya” selama di Iran. Ini sikap yang sangat berbeda dengan kita di Indonesia terhadap expatriat. Tak heran, nyaris tanpa pertolongan negara lain, tahun 2009 mereka sudah berhasil membuat roket yang dapat membawa satelit komunikasi ke orbit. Kalau Iran berhasil membuat bom atom, maka dengan roket tersebut Iran pasti akan dapat menjatuhkan bom ke mana pun di seluruh dunia. Oleh karena itulah, Amerika dan sekutunya makin kencang dalam membatasi gerak gerik Iran. Hal yang sejenis barangkali akan terjadi ketika Khilafah, yang mungkin jauh lebih “berbahaya” bagi Barat daripada Iran, diproklamasikan di sebuah negeri Islam.
Tentang realitas Republik Islam:
Di negeri ini internet disensor. Semua link berbau pornografi akan otomatis dialihkan ke situs yang menyediakan informasi ajaran Islam. Namun pasca keributan seputar pemilu 2009, situs seperti facebook, twitter, youtube dan banyak lainnya juga diblokir.
Di jalan-jalan tidak ada baliho iklan dengan gambar wanita. Di televisi juga tidak ada film Hollywood ataupun konser dengan biduanita yang tidak menutup aurat.
Di jalanan, berlaku aturan berpakaian Islam. Bahkan wanita peserta conference dari Russia pun begitu masuk imigrasi di bandara sudah harus berpakaian tertutup. Minimal bercelana panjang, blazer dan kerudung menutup rambut dan leher. Kadang sedikit rambut depan masih terlihat, namun ini tak masalah dalam fiqih syiah, karena dianggap bagian wajah yang biasa terlihat. Namun ada juga yang menambah dengan chador, kerudung besar (setengah lingkaran dengan radius setinggi badan) warna hitam yang diselimutkan dari kepala dan menjuntai ke tanah. Agar tak lepas, chador ini harus selalu dipegang. Kalau wanita itu mencangklong tas, tas itu akan tertutup chadornya. Konon, hanya di kota suci Qom yang nyaris seluruh wanitanya memakai chador.
Di bus tempat penumpang wanita di depan, laki-laki di belakang. Untuk kereta ada gerbong khusus wanita. Transportasi umum di Iran sangat murah. Tiket bus 1000 Riyals (sekitarr Rp. 800) dan Metro hanya 2000 Riyals. Bensin hampir sama dengan di Indonesia, 4500 Riyals, tetapi ada quota. Setiap kendaraan dijatah sehari 2 liter, angkutan umum/usaha 10 liter. Di SPBU ada card-reader. Kalau jatah habis maka berlaku harga 7000 Riyals. GDP perkapita US$ 10.800, lebih dari 3x Indonesia.
Di Teheran tak ada jaringan toko atau restoran cepat saji internasional. Jadi jangan mencari KFC atau McDonald. Pepsi atau CocaCola saja amat terbatas, apalagi khamr. Mungkin ada satu dua di pasar gelap, tapi yang jelas tidak ada di toko resmi. Demikian juga Hotel seperti Hilton. Sejak embargo ekonomi pasca revolusi Islam, Iran bisa hidup tanpa simbol-simbol modernitas seperti itu. Banyak pengusaha Barat hengkang karena mengkhawatirkan perang atau pertumbuhan negatif. Apalagi, sejak revolusi Islam, terbit Undang-undang perbankan bebas riba. Walhasil, kartu kredit seperti Visa atau Mastercard juga tidak bisa dipakai. Namun pasar-pasar Iran tetap ramai. Satu jalan panjang penuh dengan penjual spareparts kendaraan. Di tempat lain penuh dengan penjual baju atau barang-barang hobby. Banyak merek yang hanya ada di Iran. Usaha Kecil dan Menengah booming. Konon perdagangan dengan negara yang netral terhadap politik Iran amat deras, misalnya dengan Jepang, Perancis atau China. Cash dibayar dengan devisa dari expor, terutama migas. Iran mungkin negara tanpa utang luar negeri.
Jalan-jalan di Teheran juga relatif bersih, memberi tempat yang cukup untuk pejalan kaki, pokoknya lebih nyaman dari Jakarta, walaupun masih jauh dari Singapura. Tetapi air PAM dapat langsung diminum. Di dekat masjid Imam Khomeini bahkan ada zona pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman karena dinaungi pohon-pohon rindang.
Namun memang bagi turis pemburu hiburan, di Iran nyaris tak ada hiburan. Ini yang juga dikeluhkan generasi muda Iran yang lahir pasca revolusi tapi pernah keluar negeri. Mereka menginginkan kebebasan. Mereka belum pernah merasakan, bagaimana Iran sangat menderita di masa Syah Reza Pahlevi. Raja zalim itu ingin membuat Iran negara paling sekuler dan liberal, namun pada saat yang sama dia sangat koruptif dan menjalankan politik negara intel. Hingga awal 1979, jarang orang percaya bahwa Raja yang amat berkuasa itu dapat digulingkan oleh ulama sepuh yang telah diasingkan 15 tahun.
Tak ada setahun pasca jatuhnya Syah Iran, dilakukan referendum, dan 90% rakyat Iran setuju dengan sebuah konstitusi baru yang dibuat Ayatullah Khomeini. Dalam konstitusi itu, pemimpin tertinggi Iran (Imam) dipilih dari dan oleh Dewan Ulama (Wilayatul Faqih). Imam ini yang menjadi panglima tertinggi angkatan perang, mengangkat para hakim serta setengah anggota Dewan Penjaga Revolusi yang mirip Mahkamah Konstitusi. Sementara itu Presiden dipilih rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Parlemen membuat UU, namun dapat dicabut oleh Imam atas saran Dewan Penjaga Revolusi, bila dianggap bertentangan dengan Islam. Bila Presiden hanya berkuasa 4 tahun dan boleh dipilih sekali lagi, maka Imam mengabdi seumur hidup. Dalam ajaran syi’ah, masalah Imamat adalah bagian dari rukun iman. Dalam ajaran sunni, masalah kepemimpinan atau Khilafah adalah “min ma’luman bid dharurah”, tetapi bukan bagian rukun iman. Jadi kira-kira Imam adalah Khalifah, dan Presiden adalah Muawin Tafwidh, meski masih banyak bedanya.
Tetapi memang banyak kejutan dengan syi’ah ini. Begitu mendengar adzan, ada beberapa sisipan yang tidak lazim kita dengar, misalnya “Asyhadu an Ali Waliyullah! Asyhadu an Ali Hujatullah” dan “Hayya alal khoiru amal”. Di masjid jadi kikuk. Pernah orang KBRI sholat di masjid, karena mungkin “aneh” bagi orang sana, dia sampai difoto oleh intel masjid. Mungkin jaga-jaga, “ada penyusup sunni”.
Khutbah Jum’at juga lebih mirip orasi politik. Kadang ada yel-yel yang diteriakkan, “Hancurkan Amerika!”. Ini yang kadang ditakutkan oleh negeri-negeri Islam lainnya Maka undangan beasiswa ke Iran sering ditanggapi dingin oleh pemerintah kita. Namun demikian, dari Indonesia saja, kini ada 300 mahasiswa yang belajar agama di kota Qom. Apakah mereka akan dicuci otak dan jadi agen syiah di Indonesia? Atau mereka justru tertarik dengan wanita Iran yang menurut seorang mahasiswa yang terpental dari Qom (mungkin gagal dicuci otaknya): “memang cantik sekali, tapi kalau tidak matre , ya sangat syi’ah ” :-).
** ini re-published ** sepertinya pernah saya tulis di Notes, tapi koq tidak ketemu lagi ya ?
Dr. Fahmi Amhar
di publish Mediaumat.com (19/12/2012)
Apakah ilmu yang paling utama untuk dipelajari umat Islam? Dalam beberapa kali seminar tentang peradaban Islam, di mana disampaikan berbagai prestasi sains dan teknologi umat Islam di masa Khilafah, sering muncul pertanyaan, “apakah itu ilmu-ilmu yang paling utama, yang akan mendekatkan kita kepada Allah?”
Di sisi lain ada fenomena di antara calon mahasiswa (Muslim) yang galau ketika memilih program studi di perguruan tinggi. Ada di antara mereka yang bertanya, “Ustadz, keahlian apa yang paling utama jika nanti Khilafah tegak kembali, saya ingin mengambil program studi itu saja”. Sementara itu ada fenomena, sebagian mahasiswa Muslim di universitas favorit – justru mereka yang berprestasi – telah memilih berhenti kuliah dengan alasan mereka merasa telah “tersesat”, karena belajar ilmu-ilmu “sekuler” (seperti kedokteran atau teknik), sementara ilmu-ilmu yang terkait kebahagiaan dunia dan akhirat (yaitu ilmu-ilmu agama) belum cukup mereka teguk.
Di dunia pendidikan sendiri rupanya, soal ilmu apa yang paling utama diajarkan ke anak didik ini, masih terus diperdebatkan. Anak-anak sekolah dasar kita tampak kelebihan beban, bahkan dalam arti harfiah. Di beberapa sekolah dasar Islam, tas ransel yang dibawa siswa SD itu sangat berat. Untuk pelajaran bahasa saja, mereka harus belajar empat bahasa: Indonesia, Inggris, Arab dan bahasa daerah. Kementerian Pendidikan bermaksud memangkas sejumlah pelajaran, bahkan termasuk IPA yang akan dimasukkan ke pelajaran Matematika, dan IPS akan dimasukkan ke pelajaran Bahasa Indonesia.
Maka seperti apakah para ulama terdahulu itu mencari ilmu dan mengetahui ilmu yang paling utama itu, sehingga kemudian mereka mampu menguasai sains dan teknologi pada usia yang sangat muda dan sangat produktif menghasilkan kreasi-kreasi baru pada zamannya?
Kita harus melihat bahwa keadaan masyarakat zaman Khilafah masih tegak dengan sekarang sangatlah berbeda.
Pada masa itu, pendidikan masih memiliki visi dan misi yang sangat jelas. Mereka ingin mencetak generasi hamba Allah yang taat, menjadi umat terbaik untuk dihadirkan ke tengah manusia, dan cakap memberi rahmat ke seluruh alam. Oleh sebab itu, seluruh pelajaran dan bidang ilmu dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi diarahkan ke sana.
Dari segi prioritas juga sangat jelas: amal yang fardhu ‘ain bagi seseorang, maka mempelajari ilmunya juga fardhu ’ain. Amal yang fardhu kifayah, ilmunya juga fardhu kifayah. Amalan sunnah, ilmunya juga sunnah. Demikian seterusnya untuk yang mubah, makruh dan haram. Karena itu, belajar cara membuat khamr atau ilmu tenung, hukumnya jelas haram.
Adapun ilmu yang fardhu ‘ain itu cukup banyak. Ilmu tentang tatacara ibadah mahdhoh (thaharah, shalat, puasa) atau tentang akidah dasar, mengetahui halal-haram sehari-hari, membaca Alquran, bahasa Arab dasar, itu fardhu dipelajari sebelum seseorang baligh. Untuk wanita hamil, adalah fardhu ‘ain belajar soal tatacara merawat dan menyusui bayi. Orang yang akan diangkat dalam suatu jabatan atau memangku sebuah profesi, maka fardhu ‘ain baginya mempelajari segala sesuatu yang terkait jabatan atau profesi itu. Tidak bisa diterima orang yang diangkat sebagai sekretaris tapi belum mampu membaca atau menulis. Atau orang diangkat sebagai kepala daerah tapi buta soal geografi, hukum, seluk beluk birokrasi atau wawasan politik.
Di sisi lain, sebagian besar ilmu sesungguhnya masuk kategori fardhu kifayah. Ilmu akidah dalam kedalamannya, ilmu fiqih dan ushul fiqih dalam kedalamannya, ilmu tafsir dan hadits, ilmu mengurus jenazah, bahasa dan sastra Arab, dan juga sains dan teknologi dalam kedalamannya, mulai dari teknik membuat sumur hingga merancang pesawat, dari menjahit baju hingga menjahit luka sebagai dokter bedah, adalah ilmu-ilmu yang bila di suatu wilayah tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan umat, maka semua yang belum terlibat masih berdosa.
Oleh sebab itu menjadi jelas, bahwa ilmu yang paling utama untuk diajarkan di pendidikan dasar adalah ilmu-ilmu fardhu ‘ain untuk menyambut akil baligh. Termasuk yang ditanamkan sejak dini adalah kecintaannya pada ilmu, pada para ilmuwan, dan pada proses pembelajaran. Wahyu pertama adalah soal membaca, bagian paling penting dalam belajar.
Dan itu pula yang terjadi dengan para ilmuwan di masa lalu. Nyaris seluruhnya bahkan telah hafal Alquran sebelum 10 tahun. Sedang bahasa Arab telah menjadi bahasa sehari-hari sejak Negara Khilafah melayani daerah kelahirannya. Sedang minat mereka dalam mencari ilmu telah menyala-nyala. Sebagian mereka bahkan sudah menuntaskan ilmu fardhu ‘ain-nya jauh sebelum baligh (yang paling lambat usia 15 tahun), sehingga mereka sudah bisa fokus pada berbagai ilmu fardhu kifayah yang dibutuhkan umat.
Maka bisa dipahami bahwa tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina (980-1037), al-Idrisi (1100–1165), Ibn Battutah (1305-1368) dan Mimar Sinan (1489-1588), itu jumlahnya saat itu tidak sedikit.
Ibnu Sina di usia 10 sudah hafal Alquran dan kitab-kitab kuno. Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmatika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof dan matematikawan. Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya. Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah. Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu. Itupun tidak lama. Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran. Dia diminta membaca buku yang tersulit. Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat. Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16! Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana. Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit. Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.
Al-Idrisi pada usia muda dia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi. Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, dia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini berpengaruh di Barat sehingga diterjemahkan menjadi “Geographia Nubiensis”.
Sedang Ibn Battutah adalah ulama, qadhi, penjelajah dan geografer. Hingga wafatnya dia telah melawat sejauh 117.000 km, meliputi seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, sejak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga Cina. Total 44 negara modern telah dia jelajahi, jauh melampaui penjelajah paling top hingga saat itu yaitu Marco Polo. Dan dia memulainya pada usia 20 tahun!
Kemudian Mimar Sinan, arsitek Daulah Utsmaniyah ketika wafat pada usia hampir 100 tahun, ternyata telah membangun 94 masjid besar, 52 masjid kecil, 57 sekolah tinggi, 48 pemandian umum (hamam), 35 istana, 20 rest area (caravanserai), 17 dapur umum (imaret), 8 jembatan besar, 8 gudang logistik (granisaries), 7 sekolah Alquran, 6 saluran air (aquaduct), dan 3 rumah sakit.
Orang-orang ini telah berhasil mempelajari ilmu dari yang paling utama, di negeri yang menerapkan politik yang utama.