Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Miris mendengar bahwa di Suriah yang tengah bergolak, senjata kimia telah disebarkan ke tengah-tengah penduduk. Senjata itu telah membantai ribuan warga sipil – termasuk ribuan anak-anak, wanita dan lansia –dalam waktu singkat. Gas syaraf yang terhirup orang-orang yang sedang tidur di malam hari itu telah mematikan syaraf yang mengatur pernafasan, sehingga korban seperti tercekik, dan akhirnya menemui ajalnya.
Andaikata para ilmuwan Islam di masa lalu mengetahui bahwa teknologi yang dikembangkannya digunakan untuk tujuan laknat seperti itu, tentu mereka akan menyesal, dan memusnahkan ilmu itu sebelum jatuh ke tangan orang-orang durjana. Manusia tanpa iptek akan terjajah. Manusia tanpa Islam akan menjajah. Hanya manusia yang dipimpin oleh Islam dan menguasai iptek akan membebaskan dunia dari penjajahan.
Para ilmuwan Islam mengembangkan ilmu dan teknologi kimia untuk mengubah peradaban. Sebelumnya, ilmu kimia dipraktekkan campur aduk dengan mistik oleh para tukang sihir. Berabad-abad para tukang sihir dari segala penjuru juga mencari “batu bertuah” yang konon berkhasiat dari untuk membuat ramuan yang dapat memperpanjang umur sampai untuk mengubah belerang menjadi emas. Andaikata para alkimiawan (demikian julukan ahli kimia berbau sihir pada masa itu) berhasil, niscaya dinar emas tidak berharga lagi, karena mudah dibuat dari benda-benda lain.
Namun pada masyarakat Islam, profesi tukang sihir semacam itu lambat laun tersingkir. Nabi mengatakan, “barangsiapa mendatangi tukang sihir lalu membenarkan kata-katanya, maka tertolak shalatnya 40 hari”. Muncullah para kimiawan yang bekerja dengan cara-cara rasional dan eksperimental serta dapat dirunut segala langkahnya dalam menciptakan material yang baru. (more…)
Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri. Bagaimana Anda menilai dapur Anda saat ini? Type masakan apa yang dominan Anda siapkan? Masakan Jawa? Masakan Padang? Masakan Cina? Masakan Barat? Atau masakan Timur Tengah?
Kalau Anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa. Kalau Anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang. Kalau Anda suka mie, itu Cina. Kalau Anda suka roti dengan selai, itu Barat. Dan kalau Anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.
Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam? Bukankah itu semua mubah-mubah saja? Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.
Benar. Yang akan kita bahas kali ini memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur? Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:
Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.
Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan Muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya. (more…)
Meramal yang paling sulit adalah meramal masa depan. Karena itu, berbeda dengan paranormal, seorang ilmuwan tidak menyebut perkiraan kejadian mendatang yang dihitung secara ilmiah (cuaca atau posisi benda langit) sebagai “meramal”, tetapi “prediksi” atau “extrapolasi”. Mereka berangkat dari banyak data empiris di masa lampau, mempelajari keteraturan yang diletakkan Allah di atasnya, yang dengan itu mereka bisa memperkirakan apa yang pasti akan terjadi. Kepastian prediksi ini tergantung akurasi data pengamatan yang dimasukkan, cakupan data, serta posisi dan dimensi objeknya. Hujan yang turun secara lokal mungkin sulit diprediksi. Tetapi datangnya badai hurricane skala besar bisa dipastikan beberapa hari sebelum tiba, sehingga cukup waktu untuk melakukan evakuasi. Sedang gerhana matahari / bulan bahkan sudah bisa dipastikan terjadi berpuluh tahun sebelumnya. Dalam margin-errornya, semua prediksi ini dapat dikatakan mencapai derajat pasti (qath’i).
Suatu pengetahuan disebut ilmiah, ketika memenuhi tiga syarat: (1) pengetahuan itu berasal dari pengamatan atas kejadian empiris yang bisa diulangi siapapun; (2) kejadian itu bisa dijelaskan semua berdasarkan teori ilmiah yang telah ada sebelumnya; (3) teori itu bisa untuk melakukan prediksi atas kejadan serupa di masa depan. Sesuatu yang tidak memenuhi tiga syarat itu, tidak termasuk domain dunia ilmiah, walaupun bisa tetap bermanfaat. (more…)