Makalah Seminar Inovasi Nasional, Hotel Crown Plaza Jakarta, 19-20 Juli 2006
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
email: famhar@yahoo.com
Abstrak
Inovasi di Bakosurtanal dijumpai dalam upaya peningkatan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas survei dan pemetaan. Meski kegiatan riset untuk itu tidak dianggarkan tersendiri, bahkan juga mengalami kesulitan dalam penilaian angka kreditnya, namun manfaat dari inovasi dapat dirasakan secara langsung dalam bentuk efisiensi dan efektivitas program-program survei dan pemetaan nasional.
Inovasi seharusnya menjiwai semua Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di bawah koordinasi Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek). Hasil-hasil inovasi ini kemudian disebarkan ke para pengguna, terutama kalangan industri, sehingga langsung memberi nilai tambah untuk masyarakat. Namun sejauh ini belum ada kajian yang cukup rinci tentang pengalaman berinovasi pada LPND-LPND di bawah Ristek. Bagaimanapun juga karakteristik setiap LPND adalah berbeda.
1. Latar Belakang
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional secara resmi adalah salah satu LPND di bawah Ristek. Namun meski demikian, Bakosurtanal lebih tepat disebut lembaga “semi”. Berbeda dengan LPND Ristek lainnya, Bakosurtanal memiliki fungsi utama menyediakan peta-peta dasar dan tematik di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat digunakan oleh berbagai sektor dalam pembangunan. Aktivitas ini lebih mirip “industri”, meski produk yang dibuat selalu unik, karena daerah yang dikerjakan tidak ada yang sama serta jenisnyapun bermacam-macam. Yang mirip-mirip hanyalah sumber data dan metode membuatnya. Dengan demikian, Bakosurtanal lebih mirip dengan industri penerbitan buku, yang mengeluarkan ratusan judul buku per tahun dalam berbagai jenis atau format. Output aktivitas Bakosurtanal agak sulit bila dihitung dari jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan atau penemuan yang dipatenkan.
Dengan demikian timbul pertanyaan: lantas di mana risetnya? Lebih jauh lagi: mana inovasinya?
Posisi riset atau litbang adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokoknya, atau secara singkat bagaimana mengoptimalkan seluruh aktivitas survei dan pemetaan di Indonesia. Kajian berikut ini boleh jadi menggambarkan juga beberapa situasi pada lembaga lain, yang meski ada riset, namun tugas utamanya justru bukan riset, namun juga bukan sekedar birokrasi.
Di Bakosurtanal ada sekitar 40 pejabat fungsional peneliti dari total 600 pegawai yang ada. Sebagian dari mereka saat ini tidak aktif karena memangku jabatan struktural. Selain itu, terdapat pula sejumlah pakar yang meski melakukan penelitian secara mandiri, namun belum / tidak terdaftar sebagai pejabat fungsional peneliti. Sebagian besar peneliti ini tidak ditaruh di Balai Penelitian Geomatika (Balitka) – sebagai satu-satunya unit kerja di Bakosurtanal dengan tugas pokok penelitian. Di luar Balitka, para peneliti tersebar di hampir setiap unit kerja teknis.
Lantas apakah riset yang hampir “sambilan” ini dapat menghasilkan inovasi? Sebagian besar mungkin tidak. Riset seharusnya memang merupakan suatu kerja “cerdas” – yang nantinya akan menghasilkan suatu temuan atau cara kerja yang akan melipatgandakan kemampuan kerja manusia. Namun faktanya, bagi sebagian orang, meski bekerja dengan alat-alat canggih, mereka hanya mengikuti rutinitas dalam prosedur operasional baku (SOP), dan lagi pula alat-alat canggih itu memang sudah standar kerja saat ini. Mereka yang seperti ini untuk meningkatkan hasil kerjanya harus lebih lama bekerja atau mengeluarkan energi lebih banyak. Ini baru bekerja “keras”. Bekerja “cerdas” adalah ibarat menggeser titik tumpu pengungkit, sehingga dengan waktu dan tenaga yang sama, dapat dihasilkan produk yang jauh lebih banyak dari semula. Dan kerja cerdas inilah inovasi. Maka fokus pada tulisan ini adalah: sejauh mana inovasi dalam lembaga semi seperti Bakosurtanal ini bisa berjalan.
2. Inovasi sebagai Fokus Litbang
Sebagian peneliti menjadikan aktivitas litbang mereka aktivitas rutin yang tidak inovatif. Pada tulisan ini hanya akan dibahas litbang yang berfokus inovasi, yakni untuk peningkatan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas.
2.1 Inovasi peningkatan kualitas
Survei dan pemetaan sudah dikerjakan orang ribuan tahun. Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, kualitas aktivitas inipun terus meningkat. Peningkatan kualitas survei akan tampak dari akurasi data yang dikumpulkan. Sedang kualitas peta terlihat dalam kartografi yang makin komunikatif.
Untuk mencapai hal di atas, diperlukan spesifikasi yang makin baik sesuai ketersediaan teknologi. Bakosurtanal telah membuat spesifikasi pemetaan yang modular dan komprehensif, meliputi sembilan langkah pemetaan, sejak dari pengumpulan data baku hingga revisi peta, serta terbuka atas segala variasi teknologi yang mungkin ada. Spesifikasi ini dihasilkan dari riset atas spek-spek yang telah ada sebelumnya, namun selama ini hanya terkait proyek tertentu atau tergantung pada teknologi tertentu [1] .
Dari sisi produknya sendiri, mau tidak mau peta-peta yang ada harus diperingkatkan sesuai kualitas sumber datanya. Dengan itu maka bisa dinilai apakah suatu proyek pemetaan cocok dengan kebutuhan serta sumberdaya (dana, waktu, manusia) yang tersedia. Untuk itulah dilakukan inovasi untuk menghasilkan metode pemeringkatan data spasial [2] .
Kemudian untuk teknologi yang diperlukan, terutama software, dilakukan beberapa pengembangan yang langsung terpakai, semisal pembuatan software supervisi data, sehingga supervisor bisa memeriksa data jauh lebih cepat daripada cara-cara sebelumnya, terlebih bila data yang harus diperiksa dalam jumlah yang sangat besar (seperti dalam pengalaman proyek pemetaan digital Jawa-Bali-Nusa Tenggara [3] .
Riset atas software juga dilakukan dalam rangka mencari software-software mapping, GIS dan Remote Sensing yang bermutu namun murah. Untuk ke depan, trend akan semakin condong kepada software open source, yang selain bebas lisensi juga memungkinkan pengembangan lebih lanjut karena tersedianya sourcecode yang lengkap [4] .
Di atas semua, ada sejumlah pekerjaan yang sama sekali baru, seperti pembuatan peta-peta rupabumi dari foto-foto udara yang sudah berusia 10 tahun lebih dan belum dilengkapi dengan titik kontrol tanah (GCP) di pedalaman Kalimantan. Pekerjaan yang melibatkan belasan ribu foto udara, ratusan GCP yang diukur dengan GPS, kemudian Triangulasi Udara (AT) dengan puluhan ribu titik untuk menghasilkan 100 lebih peta rupabumi 1:50.000 ini memerlukan banyak sekali inovasi baru sehingga akhirnya bisa diselesaikan [5] .
2.2. Inovasi peningkatan kuantitas
Yang dimaksud dengan peningkatan kuantitas adalah bagaimana dengan jumlah dana dan waktu yang terbatas bisa diolah atau dihasilkan lebih banyak peta atau data spasial. Dalam hal ini, cara yang paling mudah ditempuh adalah dengan reka-ulang algoritma pengerjaannya, kemudian membuatnya berjalan otomatis.
Sebagai contoh yang paling sederhana adalah membuat otomatis konversi nomor lembar peta sistem Direktorat Topografi TNI-Angkatan Darat ke sistem Bakosurtanal dan sebaliknya [6] .
Kemudian juga perhitungan deklinasi magnetik yang diperlukan di hampir setiap lembar peta [7] .
Otomatisasi dapat dilakukan di setiap tahapan pemetaan sesuai dengan spesifikasi yang telah dibuat, meski tingkat otomaticabilitasnya bisa berbeda-beda [8] .
Yang masih sedang diperjuangkan adalah juga inovasi alat-alat (hardware dan sistem) yang akan sangat mempercepat pekerjaan survei dan pemetaan. Banyak topik penelitian yang sangat ditunggu praktisi, tidak cuma di Bakosurtanal, yang saat ini belum ditawarkan baik oleh industri (termasuk yang dari Luar Negeri) maupun terpikirkan oleh perguruan tinggi. Karena itu diperlukan kerjasama yang erat dengan riset industri maupun perguruan tinggi, termasuk dari bagian yang tak terkait langsung survei pemetaan, misalnya dari departemen mesin, elektro atau informatik [9] .
2.3 inovasi peningkatkan aplikabilitas
Data spasial yang sangat banyak dan beragam di Bakosurtanal baru berguna bila sudah dapat diakses dan diaplikasikan oleh penggunanya.
Untuk itu diperlukan riset untuk menemukan cara-cara sosialisasi atau marketing yang tepat. Riset ini diperlukan guna memantau produk yang benar-benar diperlukan pasar, strategi diferentiatingnya, beserta skema harga dan cost-revenuenya. Dalam jangka panjang, riset ini akan memberikan “peta perjalanan” bagi Bakosurtanal untuk meraih positioningnya [10] .
Dalam segi diferensiasi produk, ada banyak produk unggulan yang dapat dikembangkan dari data-data dasar yang telah dimiliki, misalnya pembuatan peta jalan rawan kecelakaan, peta daerah rawan kemiskinan, simulasi banjir, posisi optimal PLTA Mikrohidro dan digital 3D-city model. Sebagian dari hal-hal di atas telah diimplementasi secara praktis [11] , sebagian yang lain telah diidentifikasi algoritmanya untuk segera dapat diwujudkan [12] .
Di sisi lain ada pula aplikasi yang jauh lebih sederhana, hanya selama ini belum pernah disentuh, semisal peta dalam format A4 untuk buku agenda kerja pemerintah daerah serta peta sebaran bahasa dan dialek untuk studi sosial dan lingkungan [13] .
3. Masalah dalam Inovasi
Ada beberapa masalah yang ditemukan dalam menghidupkan inovasi. Masalah ini dapat dikelompokkan menjadi masalah individual peneliti, masalah kultural LPND dan masalah sistem birokrasi.
3.1. Masalah Individual
Masalah individual lebih terletak pada visi dan orientasi dari peneliti. Masih ada sebagian peneliti yang hanya berorientasi Angka Kredit (kum) dan bukan inovasi yang langsung dapat bermanfaat dalam proses kerja industrial.
Namun ini tak sepenuhnya kesalahan individu. Bagaimanapun sistem penilaian angka kredit yang ada selama ini belum sepenuhnya mengakomodir aktivitas inovasi. Meski dalam juknis penilaian angka kredit ada PEMACUAN TEKNOLOGI, namun tetap saja baik individu peneliti maupun tim penilainya belum memiliki persepsi yang sama tentang apa yang dimaksud dan bagaimana menilainya.
3.2. Masalah Kultural
Dalam sistem Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ada saat ini, sebenarnya terbuka peluang untuk menghargai inovasi secara lebih fair dan transparan.
Ketika satu unit hasil kerja dinilai sebesar X Rupiah, maka seharusnya sama saja, apakah itu dikerjakan selama 30 hari kerja atau satu hari kerja – karena menggunakan inovasi.
Namun kultur atau budaya yang ada terkadang justru membatasi sehingga inovasi tak tumbuh, lantaran honorarium dihitung dari jam kerja efektif, yang tercermin dari logbook peneliti.
Hal itu membuat kadang-kadang ada peneliti yang sengaja menyembunyikan inovasi yang ditemukannya, agar tidak ditiru orang lain – yang akan berpengaruh pada keunggulan kompetitifnya.
Di sisi lain, masih ada budaya “inlander” yang lebih mengagungkan “best-practice” ataupun teknologi dari luar negeri – atau setidaknya konsultan asing. Padahal bisa jadi yang dari luar negeri itu tidak cocok untuk diterapkan dengan kondisi real yang kita hadapi saat ini, atau yang ditemukan para peneliti kita sebenarnya justru lebih baik, dan bahkan bisa diekspor. Pengalaman, pernah suatu rekomendasi inovasi hasil peneliti kita, baru diterapkan setelah disampaikan melalui konsultan asing.
3.3. Masalah Struktural (Sistem)
Pada umumnya kita juga belum memiliki suatu Sistem Informasi Penelitian dan Karya Ilmiah – apalagi Sistem Informasi Inovasi. Inovasi yang ditemukan di perguruan tinggi (S1/S2/S3/riset) maupun industri sering tidak diketahui.
Idealnya, meski tidak sampai ke taraf paten, sinopsis inovasi ini bisa diakses oleh semua pihak sehingga baik di Bakosurtanal maupun di dunia industri bisa melakukan survei dan pemetaan secara lebih optimal. Dalam hal ini sudah pernah terjadi suatu kontraktor Bakosurtanal melakukan inovasi, yakni suatu software untuk mempercepat koreksi data. Keberadaan software ini dilaporkan ke Bakosurtanal, dan Bakosurtanal kemudian mempopulerkan software ini ke kontraktor yang lain. Kontraktor inovator software tersebut kemudian dapat menjual software itu ke kontraktor lain. Hasilnya, keseluruhan proyek berjalan lebih cepat.
Namun secara legal formal, inovasi dari perorangan atau perguruan tinggi di luar Bakosurtanal meski sangat menarik (seperti pesawat Trike untuk pemotretan udara, atau software Softcopy Photogrammetry dari Dr. Agus Suparman / ITB), masih agak sulit diimplementasikan. Penyebabnya sering aturan keproyekan yang membuat mereka tidak dapat bersaing dalam tender – misalnya tentang legalitas perusahaan, besaran modal, pengalaman dsb.
Di sisi lain kemampuan inovasi sebagian peneliti Bakosurtanal terkadang juga sulit untuk secara legal formal didisseminasikan keluar (spin off) ke industri survei pemetaan nasional. Apalagi bila peneliti itu terlibat sebagai supervisor bagi proyek yang sedang dikerjakan industri yang mendapatkan kontrak kerja dari Bakosurtanal. Kalau dia membagi ilmunya, kesannya jadi ada kolusi supervisor-kontraktor. Kalau dia bukan supervisor, setidaknya nanti dia akan berhadapan dengan supervisor yang sama-sama berasal dari Bakosurtanal. Dan ini secara etis jadi menimbulkan image yang kurang enak. Solusinya kemudian memakai medium pihak ketiga, yang tetap saja secara hukum bisa bermasalah. Di sinilah diperlukan kearifan dari para petinggi institusi serta dari inspektorat dan auditor external.
Untuk jangka panjang memang solusi paten bisa jadi lebih baik, namun untuk hal ini diperlukan kajian cost-benefit dari paten tersebut, mengingat karena pasar survei pemetaan di Indonesia masih sangat kecil, sedang mempersiapkan dan mendaftarkan paten juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
4. Kesimpulan
Berbagai inovasi sudah berhasil dilakukan di Bakosurtanal dalam rangka meningkatkan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas data spasial. Namun masih dihadapi sejumlah masalah, baik yang bersifat invidual, kultural maupun struktural, baik dalam memasukkan inovasi lokal ke dalam, maupun dalam men-spin-off hasil inovasi di dalam ke industri nasional.
Referensi (Endnotes)
[1] Fahmi Amhar: Modular All Step Mapping Specification (MASMapS). ISPRS TC-IV Poster, Istanbul, 2004.
[2] Fahmi Amhar & Agus Prijanto : Menggagas Metode & Lembaga Pemeringkatan Data Spasial. Accepted Paper for Presentation PIT MAPIN Surabaya, 14 September 2005
[3] Fahmi Amhar: Transfer Teknologi, Supervisi dan Aplikasi Pemetaan Digital. Kapita Selekta Pemetaan Digital – Prosiding Forum Geoinformasi dan Pemetaan – 2001. Bakosurtanal: 11-26.
[4] Fahmi Amhar: Gambaran Beberapa Software Murah dan Open Source untuk Remote Sensing & GIS. Workshop “Optimalisasi Pemanfaatan Open Source di Bidang Penginderaan Jauh”. 11 Agustus 2005
[5] Fahmi Amhar: Tantangan Inovasi untuk Pemetaan Kalimantan, Prosiding Forkom Geospasial Nasional 2003 (isbn 979-3369-08-6): 185-199
[6] Fahmi Amhar: Pedoman Konversi Nomor Lembar Peta Dittop-AD dan Bakosurtanal. PDRTR, 2002 (buku dan software)
[7] Fahmi Amhar: Mendapatkan Angka Deklinasi Magnetik untuk Peta Rupabumi. Prosiding Rakortek SIG, Jakarta 13 Mei 2004 + software.
[8] Fahmi Amhar: Otomatisasi dalam Pengelolaan Data Spasial — antara Cita-cita dan Realita. CD Prosiding, Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia, Bandung 10-11 Desember 2003
[9] Fahmi Amhar: Daftar Inventaris Masalah Pemetaan – Topik Penelitian yang dibutuhkan Praktisi. Accepted Paper for Presentation FIT ISI, Malang 29-30 September 2005.
[10] Fahmi Amhar: Strategi Marketing Informasi Spasial. Accepted Paper for Presentation Forum Atlas, Jakarta 27 September 2005
[11] Agus Hikmat, Fahmi Amhar: Algoritma Rekonstruksi Dinding dan Atap Bangunan untuk Pembuatan Model Bangunan Digital 3D, Jurnal Surveying & Geodesi ITB Vol. X no 2, Mei 2000: 11-18.
[12] Fahmi Amhar: Quasi GIS Analysis using Digital Map Data. Presented Paper. Proceeding of 5th Annual GIS Asia Pacific Conference. Singapore. September 1999.
[13] Fahmi Amhar: GIS untuk Pemetaan Bahasa. Workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”, Pusat Bahasa Depdiknas, 24 Maret 2006
Abstrak
Pengalaman mencari-cari waktu sholat yang tepat selama perjalanan udara yang panjang atau bertanya-tanya mengapa kalau terbang dari Indonesia ke Eropa malamnya terasa lebih lama, sedang dari Eropa ke Indonesia siangnya terasa lebih lama, akan dicoba dijawab dalam tulisan singkat ini.
Permasalahan
Dalam perjalanan udara jarak jauh, seorang muslim sering bertanya-tanya kapan dia harus menunaikan sholat atau berbuka puasa. Waktu-waktu sholat ditentukan oleh saat astronomis, misalnya terbit dan terbenamnya matahari. Dalam kondisi diam di sebuah tempat, saat-saat astronomis ini cukup mudah dikenal. Katakanlah, di sebuah tempat adalah matahari terbit pukul 6 pagi, dan terbenam pukul 18 sore. Namun dalam perjalanan udara, sering terjadi berangkat pukul 24 malam, namun setelah 12 jam perjalanan ke arah Barat, sampai di tujuan pukul 6 pagi. Akibatnya terjadi kebingungan, kapan waktu Shubuh di perjalanan tersebut tiba – menurut jam yang bisa dibaca oleh sang penumpang. Selain masalah saat momen astronomisnya sendiri (seperti untuk jadwal sholat), hitungan saat astronomis juga dibutuhkan untuk menentukan kurun astronomis, misanya mengetahuai berapa lama malam atau siang yang akan dialami selama perjalanan.
Di beberapa pesawat, di monitor televisi kadang-kadang ditampilkan tiga jenis waktu, yaitu waktu di tempat berangkat (destination time), waktu di tempat tujuan, dan waktu lokal di bawah tempat pesawat aktual sedang berada. Hanya saja, waktu lokal ini agak sulit dihitung dari awal, dan pula terpengaruh oleh zonasi waktu.
Karena itu diperlukan rumus-rumus yang lebih mudah dipaai.
Metodologi
Untuk mencari rumus-rumus yang diperlukan, kita berangkat dari beberapa penyederhanaan terlebih dulu, sebelum nanti ditarik ke bentuk yang lebih universal.
Pertama-tama kita gunakan bumi yang berputar sempurna, dan kita perhatikan suatu gerakan hanya seakan-akan di sepanjang katulistiwa. Gerakan yang berbeda akan dicari proyeksinya di katulistiwa dan di lintang paralel terdekatnya.
Bumi berputar pada porosnya 24 jam sehari. Karena keliling bumi adalah 40000 km, maka laju sebuah titik di permukaan bumi di katulistiwa adalah 40000/24 = 1666 kph. Angka ini selanjutkan akan disebut dengan ve.
Sebuah pesawat dalam posisi diam di bandara, juga akan memiliki kecepatan sama dengan bumi di bawahnya, yaitu ve.
Namun ketika pesawat terbang, dia memiliki suatu kecepatan relatif terhadap bumi, yaitu vr.
Walhasil pesawat itu memiliki kecepatan absolut terhadap suatu titik astronomis yaitu va. di mana berlaku: va.= ve + vr
Karena dalam penyederhanaan ini ve konstan, maka cukup dianggap 1, sedang vr maupun va ditulis dalam perbandingannya dengan ve. Dan faktor untuk menghitung lama suatu kurun waktu f adalah = 1 / va.
Maka kemudian bisa kita buat tabel berikut ini:
vr | va | f | Tafsir | |
1. | -2 | -1 | -1 | Saat astronomis pesawat mundur 1 jam tiap jamnya; pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah 2 jam terbang, sampai tujuan pukul 4 pagi. |
2. | -1 | 0 | ~ | Saat astronomis pesawat tetap; kalau berangkat pukul 6 pagi, sampai di tujuan masih pukul 6 pagi, berapapun lama terbang. |
3. | -0.5 | 0.5 | 2 | Saat astronomis pesawat setengah dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan baru pukul 7 (bukan 8). |
4. | 0 | 1 | 1 | Pesawat diam di tempat, saat astronomis pesawat sama dengan semula. |
5. | 0.5 | 1.5 | 0.67 | Saat astronomis pesawat 1.5 kali dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan sudah pkl 6+1.5*2 = 9. |
6. | 1 | 2 | 0.5 | mirip dengan atas. |
7. | 2 | 3 | 0.33 | mirip dengan atas. |
v vr negatif adalah saat pesawat ke arah Barat
v |vr | > 1 berarti pesawat bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan rotasi bumi.
Jam yang ditunjukkan adalah jam yang dipakai oleh penumpang pesawat, artinya jam yang belum diubah sejak dari tempat keberangkatan.
Aplikasi (untuk pesawat yang terbang nonstop)
(1) Menentukan saat sholat di pesawat
Bila seseorang berangkat ke Barat (misalnya dari Jakarta ke London) naik pesawat berkecepatan
vr = 833 kph atau -0.5 ve maka akan didapatkan va = 0.5 (atau f = 2).
Bila ia berangkat pukul 00:00, sedang di tempat keberangkatan Shubuh adalah pukul 04:30, maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:
pkl = 00:00 + (04:30 – 00:00) * 2 = 09:00.
Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan yang sama, berangkat pukul 00:00 dari London, maka akan didapatkan va = 1.5 (atau f = 0.667) maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:
pkl = 00.00 + (04:30 – 00:00) * 0.667 = 03.00.
(2) Menghitung lama malam/siang
Bila seseorang ada di katulistiwa, rata-rata lama siang atau malam sekitar 12 jam. Dalam perjalanan ke Barat (Jakarta – London) yang akan ditempuh dalam 15 jam dengan pesawat berkecepatan vr = 833 kph atau -0.5 ve maka didapatkan va = 0.5 (f = 2) atau siang/malam di pesawat menjadi 12 * 2 = 24 jam.
Artinya, bila seseorang berangkat pukul 20, yang berarti malam baru berlalu 2 jam, maka minimal dia masih akan mengalami malam selama 20 jam. Bila perjalanannya cuma 15 jam, maka yang akan dilihatnya adalah malam terus!
Dan memang, dia akan tiba di London pukul 11 WIB (waktu Jakarta) tapi masih pukul 04 GMT (waktu London). Namun kalau dia berangkat pukul 8 pagi, yang dilihatnya juga akan siang terus, dan sampai di London masih pukul 16 sore waktu London.
Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan sama, va = 1.5 (f = 0.667) maka siang/malam di pesawat menjadi 8 jam saja. Bila berangkat pukul 20, maka meski malam baru berlalu 2 jam, sisanya tinggal 6 jam. Sisa perjalananannya yang masih 9 jam akan dirasakannya siang hari. Inilah yang sering dirasakan penumpang Indonesia yang terbang dari Eropa. Namun tentunya akan berbeda bila berangkat dari Londonnya adalah siang hari.
(3) Contoh-contoh Extrem
Bila ada pesawat yang dapat ditumpangi terus berhari-hari tanpa harus mendarat, dan pesawat itu memiliki kecepatan sama dengan ve, maka bila diarahkan ke Barat, pesawat itu praktis tidak akan pernah melihat peristiwa astronomis berubah. Kalau matahari terbit ya terbit terus. Karena itu, bila mengelilingi dunia, setiap melewati garis tanggal internasional, dia harus lompat kalender, meskipun tidak pernah menyaksikan selain matahari terbit.
Contoh lainnya adalah pesawat supersonik yang terbang ke Barat dengan kecepatan melebihi ve. Maka bisa saja nanti dia berangkat dari Paris pukul 7 pagi, namun sampai NewYork pukul 6.
Pengembangan Lanjut
Pada realitasnya, lintasan pesawat selalu memilih jalur terpendek atau yang disebut geodesic. Untuk itu semua hitungan sederhana di muka bisa dikembangkan lagi.
Yang tidak sederhana adalah hitungan momen peristiwa astronomisnya sendiri, yang berbeda untuk lintang yang berbeda.
Untuk itu muncul sebuah ide untuk memadukan antara chip GPS untuk mendapatkan posisi koordinat dan waktu universal (UT) aktual serta memasukkannya ke program perhitungan jadwal sholat semacam Mawaaqit, Jadwal dsb. Idealnya alat ini bisa ditanam di dalam alat GPS handheld (asal masuk softwarenya), atau laptop (dengan GPS-card), ponsel, PDA atau mungkin lebih baik dalam sebuah jam tangan agar tetap boleh dipakai di pesawat. Kendalanya mungkin soal penerimaan sinyal GPS dalam ruang tertutup di dalam pesawat, namun hal ini mungkin relatif mudah diatasi para ahli elektronik.
Referensi:
Bretterbauer (1991): Grundzuege der Geodaetischen Astronomie. Vorlesungmanuskript an der TU Wien.
Khafid, et al (1999): Pemetaan Garis Tanggal Kalender Islam. Prosiding FIT ISI 1999: 31-42.
Amhar (2000): Mengenal Kontribusi Astronomi dalam Survei dan Pemetaan Kontemporer, Presented paper Kolloqium di Observatorium Bosscha, 9 Sep 2000, Prosiding Seminar Geomatika 23-24 Nov 2000: 62-65
presented paper, Seminar dalam rangka Science Fair, Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah Kota Wisata Cibubur, 30 Mei 2006.
Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:
1. Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan terlalu menonjolnya fiqih.
2. Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.
3. Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada ilmuwan sosial.
Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk, bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.
Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag), sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu perlu ditelaah lebih jauh.
Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan [1] . Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama [2] .
Hunke 4. dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri Islam.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb [4] .
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu [5] , yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya [6] .
Epistemologi menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun kepentingan tertentu [7] .
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin [8] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu
Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.
Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:
“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)
Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal untuk membuat energy multiplier.
Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.
Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Qs. 67-al Mulk:5)
ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini tafsir kita yang perlu direvisi.
Religiousitas di kalangan Ilmuwan
Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).
Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang memberitahunya?
Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi religious?
Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau marah.
Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar atau sakit.
Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga teladan.
Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul, pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul. Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.
Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan
Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas, tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.
Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.
Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.
Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).
Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.
Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA). Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan, sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).
Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.
Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.
Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun masjid.
Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.
Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya lemak babi.
Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.
Islam membumi. Sekolah jadi menyenangkan.
[1] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami. Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.
[2] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
[3] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.
[4] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
[5] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.
[6] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.
[7] Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960
[8] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.