Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Harian Kedaulatan Rakyat, 7 September 2006
DALAM dunia psikologi, kecerdasan spasial (spatial quotient) termasuk salah satu jenis kecerdasan yang sering turut diukur dalam test IQ bersama-sama dengan kecerdasan verbal dan logikal. Biasanya, dalam mengukur kecerdasan ini kita diminta memilih pasangan yang tepat dari suatu gambar 2 dimensi ataupun 3 dimensi
Namun dalam praktik, kecerdasan spasial semestinya jauh lebih dari itu. Kecerdasan spasial adalah bagaimana seseorang dapat menempatkan aspek keruangan secara tepat dalam berbagai pengambilan keputusannya, baik dalam bekerja mapun berekreasi.
Seorang pebisnis yang memiliki kecerdasan spasial cukup, akan relatif peka terhadap tempat-tempat strategis yang diharapkan potensial mendatangkan keuntungan, misalnya untuk didirikan warung Padang, mini market ataupun tempat kos-kosan. Dalam level yang lebih canggih, hal ini bisa didapatkan oleh operator telepon seluler (misal untuk optimasi lokasi menara seluler yang sangat mahal itu), perusahaan armada transportasi (untuk optimasi route yang dilalui), atau juga oleh investor yang tahu memilih daerah yang tepat untuk menanam modal di sektor real. Pebisnis ini dapat dikatakan telah melakukan spasial investing – investasi yang dipandu oleh kecerdasan spasial.
Seorang wisatawan yang memiliki kecerdasan spasial akan relatif peka dalam memilih tempat yang berharga untuk dikunjungi, termasuk rute perjalanannya yang paling efisien, juga bagaimana memilih hotel yang nyaman, murah dan strategis, bahkan hingga bagaimana mengatur bagasinya hingga ringkas dan tidak kena denda kelebihan muatan. Dalam hal ini, kecerdasan spasial dapat pula disebut kecerdasan berwisata (traveling quotient).
Dalam bidang olahraga, ternyata sebagian besar jenis olahraga pertandingan adalah terkait aspek spasial. Bagaimana strategi memenangkan piala dunia sepakbola, hampir 50% ditentukan oleh posisi pemain kawan, posisi pemain lawan, posisi bola dan posisi gawang musuh. Jadi ternyata ada bagian dari kecerdasan kinestetik (yang terkait gerak) dengan kecerdasan spasial. Dalam bidang penyelamatan, seperti pada saat ada musibah bencana, ataupun ada perang, kecerdasan spasial dapat memainkan peran antara hidup dan mati. Orang perlu tahu rute evakuasi yang aman, atau perilaku sebenarnya banjir, awan panas atau tsunami. Adapun kemampuan menyelamatkan diri pada saat kritis, adalah bagian dari kecerdasan bertahan hidup survival quotient).
Dalam pemerintahan, seorang kepala daerah yang cerdas spasial akan mengetahui dengan tepat posisi dan kondisi kantong-kantong kemiskinan sehingga dapat menaruh kawasan prioritas pembangunannya dengan optimal. Dia juga cepat memahami titk-titik munculnya masalah (misal wabah flu burung) sehingga dapat sigap mengantisipasinya.
Bahkan dalam pemberantasannya korupsi, cerdas spasial diperlukan baik untuk mencegah (preventif) maupun memberantas korupsi yang telah terjadi. Secara preventif misalnya, pemasangan alat GPS di tiap kendaraan suatu armada taksi, akan membuat sopir taksi tidak bisa seenaknya, karena pusat taksi jadi tahu persis posisi tiap taksi. Namun pada saat yang sama sopir taksi juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taksi terdekat yang sedang kosong. Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah harus dilampiri peta yang menunjukkan kondisi lingkungan dan distribusi kemakmuran sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya. Sedang dalam memberantas korupsi, kecerdasan spasial perlu untuk mengembangkan teknik-teknik intelijen atau penyelidikan.
Kecerdasan spasial bisa ditumbuhkembangkan secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Secara kognitif misalnya dengan mengenalkan seorang anak dengan material spasial, misal dengan sketsa, denah, foto, peta, maket, film bertema petualangan dan sebagainya.
Secara afektif atau untuk membangun sikap, apresiasi seorang anak terhadap dunia spasial bisa terbangun dengan membiasakan diri membaca peta, baik saat bermain di dalam rumah (misalnya dalam permainan monopoli atau quartet spasial) maupun saat bergerak di alam bebas (misalnya dengan peta wisata). Film “Dora” juga dapat dipandang turut berkontribusi di sini. Namun memang perlu disesali bahwa peta untuk awam yang tersedia bebas masih sangat sedikit. Padahal ini — kalau mau — bisa dibiayai melalui iklan.
Dan secara psikomotorik, life skill spasial akan tumbuh ketika seseorang jadi terbiasa dalam mendokumentasi aspek-aspek spasial meski hanya untuk catatan pribadi. Misalnya ketika membuat album foto yang bercerita tentang liburannya, dia juga membuat deskripsi yang cukup rinci, atau bahkan dilengkapi dengan sketsa atau denah tempat liburan tersebut.
Meski demikian, sudah ada start yang bagus, walaupun sederhana: sekarang ini makin banyak undangan pernikahan yang sudah dilengkapi denah lokasi tempat pesta. q – s
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Agustus 2006
Dr Ing Fahmi Amhar, Anggota Dewan Juri Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI..
PADA 2006 ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kembali mengadakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke 37. Lomba ini seperti biasanya akan diikuti secara langsung oleh ratusan remaja usia SMP dan SMU dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka wajib mengirim karya ilmiah yang merupakan hasil penelitiannya sendiri. Jadi ini adalah adu kreativitas ilmiah, bukan sekadar adu kecerdasan seperti halnya olimpiade-olimpiade sains yang akhir-akhir ini cukup marak, apalagi adu kebolehan tarik suara dan tampil memukau di muka publik (AFI, KDI, Indonesian Idol).
Dari ratusan atau bahkan ribuan karya ilmiah yang masuk itu kemudian dipilah-pilah menjadi tiga bidang: bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan bidang Teknologi. Dewan juri kemudian akan memilih lima terbaik di setiap bidang untuk dipanggil sebagai finalis ke Jakarta. Mereka akan diminta membuktikan bahwa karya ilmiah itu benar-benar hasil penelitian mereka sendiri bukan salinan karya orang lain, bukan pula dibuat sepenuhnya atas petunjuk pembimbingnya.
Ada suatu masa ketika kontes ini begitu bergengsi. Ketika penulis sendiri tiga kali menjadi finalis, LKIR-LIPI tahun 1984-1986, para “LKIR-wan” ini disejajarkan dengan para teladan. Selain audiensi dengan berbagai pejabat teras negeri ini, mereka juga diundang dalam peringatan 17 Agustus di istana. Hadiah juga berdatangan dari sponsor maupun Pemerintah Daerah tempat finalis berdomisili. Mereka juga hampir selalu mendapat surat sakti (rekomendasi) untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes. Perhatian publik juga cukup besar karena saat itu LKIR selalu bekerja sama dengan satu-satunya televisi yang ada: TVRI.
Namun ini zaman sudah berganti. Kini sudah banyak televisi dengan ragam acara partisipatif yang menarik. Pilihan remaja yang tertarik dalam bidang ilmiahpun tidak cuma LKIR. Selain LKIR juga ada LPIR — Lomba Penelitian Ilmiah Remaja dari Depdiknas. Berbagai olimpiade sains bahkan mendapat gengsi yang lebih tinggi, terlebih sejak beberapa tahun terakhir ini kontingen Indonesia selalu meraih medali emas di kancah internasional. Dan orang tahu, finalis olimpiade internasional selalu ditawari beasiswa untuk sekolah di Luar Negeri. Jelas lebih mentereng. Meski tentu saja tidak gampang meraihnya.
Baiklah, kita tidak perlu mempertentangkan lomba-lomba ini. Suatu hal yang perlu disoroti adalah bahwa minat ilmu pada remaja harus selalu ditumbuhkan. Tanpa mengurangi arti minat remaja dalam bidang lainnya minat ilmu banyak diyakini sebagai minat yang akan menyelamatkan Indonesia dari penjajahan untuk kedua kalinya. Penjajahan teknologi, yang juga akan berdampak pada penjajahan ekonomi dan politik.
Menjadi remaja pecinta ilmu memerlukan lebih banyak keberanian di era konsumtif, materialistis dan kapitalistik seperti sekarang ini. Arus utama remaja adalah arus pemimpi kehidupan mudah — atau bahkan glamor — yang diraih secara instan, sebagaimana dijajakan sepanjang waktu oleh hampir semua kanal televisi. Oleh karena itu para remaja pecinta ilmu senantiasa harus berani “tampil beda”. Mereka harus proaktif menemukan masalah yang perlu diteliti secara kritis dan tekun. Tidak semua orang peka terhadap berbagai masalah itu. Kalaupun ada yang berpikir ke sana atau memiliki ide yang sama, tidak banyak yang lalu menindaklanjuti sampai dari ide itu menjadi suatu karya yang bermanfaat.
Sebagai contoh, di antara karya-karya yang sampai ke meja dewan juri kali ini: ada yang sudah melakukan eksperimen membuat batu bata dari lumpur panas Lapindo Brantas. Analisis laboratorium atas kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) pun dilakukannya, dengan meminta bantuan sebuah perguruan tinggi. Ada juga yang membuat saklar lampu rumah yang dapat diaktifkan dengan sinyal GSM. Manfaatnya, orang yang meninggalkan rumah berhari-hari, dapat menghidup-matikan lampu rumahnya dari ponselnya saja, sehingga tidak terkesan rumahnya kosong yang akan mengundang maling.
Di tahun-tahun sebelumnya, ada siswi SMP yang membuat aquarium yang memiliki mekanisme tertentu sehingga bisa dibersihkan tanpa menguras airnya. Dia begitu cerdas menjawab pertanyaan dewan juri, bahkan ketika pertanyaan itu kami ajukan dalam bahasa Inggris.
Yang saya lihat, berbeda dengan remaja-remaja “biasa” seusianya yang meski gemar berdiskusi namun kebebasan berpikirnya cenderung “liar”, para remaja pecinta ilmu dibatasi oleh rambu-rambu metode dan etika ilmiah. Pendapat mereka tak cukup sekadar “kreatif” namun juga harus argumentatif, yakni memiliki akar empiris yang kuat dan logis dalam penarikan kesimpulan.
Andaikata sikap-sikap cinta ilmu seperti ini bisa ditumbuhkan pada — minimal — 20% mahasiswa dan 10% para politisi kita, barangkali Indonesia tidak seterpuruk seperti sekarang ini. Mengisi kemerdekaan mungkin akan jauh lebih mudah. Kita akan punya cukup SDM yang andal untuk menjaga agar kemerdekaan yang sudah diraih dengan darah dan air mata oleh para pendahulu kita itu tidak tergadai lagi. Kita akan terlindungi dari mitos dan takhayul yang menghalangi kita dari kerja nyata, terlindungi dari utang yang bertumpuk-tumpuk, dan juga terlindungi dari korupsi yang membudaya dan menggurita. q – g
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Mantan anggota Dewan Juri Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI.
Indonesia juara Olympiade Fisika Internasional, bahkan tahun 2006 meraih “Absolute Winners”. Mengharukan. Membanggakan. Saya teringat awal-awal ketika Saudara Yohannes Surya, yang saat itu masih mahasiswa S3 di College Williamsburg and Marry menggalang dukungan via milis-milis Indonesia. Di kampusnya itu akan diselenggarakan Olympiade Fisika Internasional. Akhirnya beberapa pelajar SMU dari Indonesia dibiayai ke Amerika untuk ditentor oleh Yohannes sendiri beberapa bulan. Maklum, soal-soal yang akan keluar adalah soal-soal fisika level S2. Karena partisipasi pertama itu tidak mengecewakan, maka sponsor untuk partisipasi berikutnya semakin banyak. Sepulang dari LN dan menjadi dosen di UPH, fokus Yohannes pada TOFI (Team Olympiade Fisika Indonesia) jauh melebihi penelitian-penelitian dia sendiri. Visinya, tahun 2020 akan ada pemenang Nobel bangsa Indonesia. Adanya pemenang Nobel dari suatu bangsa, mau tidak mau akan menaikkan posisi tawar bangsa itu, baik dalam kancah ristek maupun dalam kancah politik.
Saya kiri visi itu realistis. Beberapa anak asuh Yohannes (alumni TOFI) bahkan kini sudah ada yang menjadi Associate Professor di Perguruan Tinggi top di Amerika. Sanggat membanggakan, bahwa IQ bangsa ini ternyata sangat unggul. Namun saya merasa perlu untuk melakukan sedikit kontemplasi. Setidaknya ada tiga hal yang perlu direnungkan.
Pertama, sejak adanya OFI, bermunculan OF tingkat nasional, provinsi bahkan kabupaten/kota. Juga olympiade jenis lainnya (matematika, kimia, biologi, komputer, astronomi). Semua ajang ini saya yakin baik sekali untuk penyaluran aktivitas remaja. Namun sejujurnya, ini baru ajang kecerdasan intelektual (IQ). Soal-soal Olympiade adalah soal-soal yang memerlukan analisis, bukan soal-soal yang memerlukan kreatifitias ataupun kepekaan sosial. Ini berbeda dengan kompetisi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan baik LIPI maupun Depdiknas. Namun sejak “musim” Olympiade, tingkat popularitas kegiatan LIPI maupun Depdiknas ini dapat dikatakan turun cukup signifikan.
Kedua, alumni Olympiade, apalagi yang meraih medali di level internasional, selalu akan diperebutkan oleh universitas-universitas top dunia. Apakah mereka benar-benar akan jadi “orang”? Bila ya, siapa yang akan menarik manfaat dari mereka? Sejujurnya, penelitian-penelitian dalam bidang SDM justru menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosi, bukan kecerdasan intelektual. Pada kecerdasan emosilah terletak idealisme, motivasi, empati, kerjasama, kreatifitas, dan sejenisnya. Sementara itu, kompetisi dalam olympiade-olympiade ini lebih menonjolkan IQ. Saya teringat, tahun 1985 dulu, ada 50 anak berbakat yang dipilih dari SMU-SMU top di Jakarta, diberi pengayaan ilmu secara khusus, kemudian diberi beasiswa ke Negeri Belanda tanpa kewajiban ikatan dinas setelahnya. Apa hasilnya? Dari 50 orang itu, hanya 1 orang yang sampai PhD! Kemudian pada periode yang sama, Kementrian Ristek yang saat itu masih powerful di bawah BJ Habibie, mengirim ratusan orang ke berbagai negara maju. Saya termasuk yang beruntung berada di dalamnya. Namun sejujurnya, mayoritas alumni program Habibie kini lebih banyak yang “lari” dari kewajiban ikatan dinasnya dan lebih memilih mengabdi untuk korporasi asing. Terakhir bahkan dikabarkan data karyasiswa ini di BPPT (yang waktu itu merupakan sekretariat program) telah hilang. Sesuatu yang menurut saya tidak lucu. Dari sekian ratus orang itu, sedikit yang sampai PhD. Dari yang sedikit ini, mayoritas menetap di negara maju, berkarya untuk negara maju, menghasilkan PDB untuk negara maju.
Mengapa mereka enggan pulang? Mungkin gegar budaya. Atau memang iklim riset di negeri ini jauh dari kondusif. Yang kondusif cuma korupsi! Seorang peneliti yang bekerja di lembaga riset pemerintah, jarang yang bisa fokus pada penelitiannya. Mereka harus berpartisipasi dalam segudang agenda lain dari lembaga itu, kalau mereka ingin survive. Memang ada apologi, bahwa yang di luar negeri bisa dikatakan sedang menabung jaringan riset dan bisnis, dan menunggu saat yang tepat untuk kembali. Mereka juga dapat memberi jalan bagi “adik-adiknya” untuk juga sekolah, riset atau bisnis ke sana. Lalu pada siapa terletak tugas menjadikan “saat yang tepat” dan membangun “iklim yang kondusif” ini?
Ketiga, memberi penghargaan yang demikian tinggi pada para juara OFI, hingga mengundangnya beradiensi dengan Presiden, itu pantas dan wajar. Itu akan memotivasi para remaja yang lain. Namun akan lebih pantas lagi untuk memberi penghargaan yang tinggi kepada para peneliti yang sudah banting tulang bekerja untuk negeri ini, menyiapkan iklim riset yang kondusif meski dengan segala keterbatasan, sambil tetap menghasilkan karya-karya besar dalam kesepian. Contoh, para peneliti tsunami, bertahun-tahun hanya “diejek” sampai “frustrasi”. Baru akhir-akhir ini saja mereka menjadi bak “selebriti”. Indonesia sudah lama jadi “nett-importer technology & nett-exporter brain”. Orang-orang kita yang cerdas lebih suka bekerja untuk korporasi atau negara asing, karena kita tidak sediakan lahan yang subur untuk mereka. Kita semakin lama semakin memandulkan teknologi kita sendiri.
Sementara orang-orang cerdas yang tetap nekad bekerja untuk negeri ini, karena idealisme tinggi untuk mandiri dalam teknologi, tidak didukung agar terus kerja keras, kerja cerdas serta kerja ihlas; namun justru diajari untuk kerja meras, kerja culas dan kerja (me)nindas.
Namun di depan Tuhan Yang Maha Esa, barangkali merekalah para juara sejati.