proceeding Geomatics Research Forum
Elyta Widyaningrum, Fahmi Amhar, Dodi Sukmayadi, Harry Ferdiansyah
Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi & Tata Ruang
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
contact: elyta_widya@yahoo.com
Abstrak:
Dalam rangka ‘1st Geospatial Technology Exhibition’ di Jakarta Convention Center pada 23-27 Agustus 2006, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang membuat pijakan kaki atau footstep bagi para pengunjung sepanjang kurang lebih 30 meter. Layaknya “karpet merah” pada pagelaran-pagelaran bergengsi, footstep bertema geospasial ini dibuat untuk memberi perkenalan singkat proses perjalanan data geospasial dari citra menjadi peta, sekaligus memberi gambaran tak terputus tentang data spasial dari bagian barat pulau Jawa hingga sebelah timur Madura. Tulisan singkat ini akan menceritakan proses pembuatan footstep tersebut.
Pendahuluan:
Tuntutan yang diberikan atas tim footstep cukup berat: menyiapkan suatu set variasi data spasial yang sekaligus meliputi suatu daerah memanjang sehingga cukup untuk dicetak dalam suatu lembaran dengan ukuran kurang lebih 1 meter x 30 meter.
Data spasial yang tersedia di Pusat PDRTR dan dipakai dalam berbagai proses pembuatan peta cukup banyak, dari foto udara yang dapat discan, data IFSAR (ORI & DSM), Landsat, SPOT, Aster, Ikonos, Quickbird, Radarsat, DEM dari SRTM, hingga peta-peta rupabumi digital, peta RBI cetak berbagai skala dan sebagainya.
Namun untuk mendapatkan berbagai data itu dalam satu kesinambungan (seamless) area yang membentang tanpa terputus, agak sulit. Keadaan Indonesia yang berpulau-pulau serta letak pulau-pulau yang tak tepat membentang dari barat ke timur atau dari utara ke selatan, membuat pilihan yang ada tidak terlalu banyak.
Andai seluruh data yang ada sudah tersimpan dalam sistem basis data spasial yang seamless, mestinya tidak terlalu sulit untuk menarik data yang terletak miring misalnya dari Aceh hingga Lampung, atau dari Anyer hingga Banyuwangi serta langsung ditransformasikan sehingga menjadi bentuk memanjang yang diinginkan.
Namun ketika sebagian besar data masih tersimpan secara sheetwise, mau tidak mau hanya data yang terletak dalam satu garis yang dapat diproses lebih lanjut. Dari itu didapatkan bahwa data yang paling memenuhi syarat adalah data 1:25.000 dari Pelabuhan Ratu di Jawa Barat memanjang lurus ke timur hingga pantai timur pulau Madura.
Pada kawasan terpilih ini, berbagai variasi medan akan terwakili, dari pantai, gunung, hutan, desa maupun kota, baik di tengah seperti Bandung maupun di tepi seperti Semarang dan Surabaya.
Jenis data spasial yang tersedia di kawasan ini sebenarnya sangat beragam. Hampir seluruh peta di kawasan ini dibuat dari foto udara 1:30.000 atau 1:50.000. Sebagian juga sudah diupdate dengan citra IFSAR, SPOT, Aster atau Quickbird. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya hanya dipilih empat jenis data, yaitu: citra komposit Landsat 7 ETM+ band 543 resolusi 15m, DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) resolusi 90 m, data vector peta rupabumi digital 1:25.000 dan data scan peta RBI cetak skala yang sama.
Ukuran footstep didasarkan pada muka peta RBI 1:25.000 yaitu sekitar 56 x 56 centimeter tiap lembarnya. Karena kawasan terpilih terdiri dari 2 x 63 nlp, maka panjang footstep menjadi sekitar 35 m dan lebar sekitar 1 m.
Agar cerita proses kreatif “perjalanan dari citra menjadi peta” mudah dipahami, diputuskan untuk merangkai data tersebut dari barat ke timur dalam urutan sebagai berikut:
Sebelum citra Landsat dipotong, dilakukan perhitungan posisi potongan dengan mengacu pada index Nomor Lembar Peta RBI 1:25.000. Batas pemotongan disimpan dalam vector file (misal shp atau dxf).
Pemotongan dilakukan dari citra yang telah dimozaik berdasarkan batas yang telah dibuat. Untuk proses ini digunakan software GlobalMapper™ yang mampu mengolah data vector dan raster secara bersamaan.
Setelah dipotong, data disimpan dalam file yang bergeoreferensi (misal GeoTiff). Ukuran citra yang akan ditampilkan kurang lebih 7 meter (13 NLP).
Proses pemotongan pada bagian ini harus memperhatikan posisi akhir citra Landsat. Data DEM SRTM ditampilkan dalam dua warna yaitu: multicolor (rainbow) dan hillshading. Warna rainbow dapat memberi efek 3D bila dilihat dengan kaca mata khusus. Sedang warna hillshading dipakai selanjutnya sebagai latar belakang vektor peta RBI digital. Proses ini juga menggunakan software GlobalMapper™.
Pada mulanya, data vektor peta RBI ada dalam koordinat UTM dan untuk kawasan terpilih ini ada 2 zone (48 dan 49). Untuk dapat digabung dengan data Landsat dan SRTM, maka seluruh data harus ditransformasi ke koordinat geografis. Proses ini juga dengan mudah dapat dilakukan dalam software GlobalMapper™.
Data vektor peta RBI dibagi dalam tujuh bagian tema utamanya. Masing-masing bagian berisikan 2 x 5 NLP (atau 1 x 2,5 m) sehingga total panjang data adalah 2 x 35 NLP (1 x 17,5m). Adapun tampilan dari masing-masing bagian adalah:
Bagian pertama menampilkan kontur saja.
Bagian kedua menampilkan kontur dan hidrografi (danau, sungai, pantai).
Bagian ketiga: kontur, hidrografi dan jaringan perhubungan (jalan, rel kereta api, transmisi tegangan tinggi).
Bagian keempat: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan dan batas penutup lahan (vegetasi, permukiman).
Bagian kelima: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan serta objek-objek gedung dan bangunan.
Bagian keenam: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan dan nama geografis (toponimi).
Bagian ketujuh: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan, nama geografis dan batas administrasi.
Penentuan nomor-nomor lembar peta yang terlibat dilakukan dalam software ArcView™ dengan mengoverlay indeks peta RBI 1:25.000 di atas peta garis pantai pulau Jawa. Data pada kawasan terpilih diaktifkan kemudian dilihat pada tabel. Tabel ini kemudian diekspor ke MS-Excel™ untuk dibuat batch-script untuk mengcopy file-file yang dibutuhkan.
Data scan peta RBI cetak yang digunakan hanya 2 x 2 NLP (atau sekitar 1 x 1 meter). Data scan peta terkadang memiliki warna yang kurang homogen antara satu dengan lainnya, tergantung pada kualitas scanning dan kondisi kertas. Data scan ini harus diregistrasi agar memiliki referensi yang sama dengan data lainnya, lalu disimpan pada format yang sesuai (GeoTiff file).
Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat 10 bagian data dengan jenis yang berbeda.
Seluruh data raster tersimpan dalam format GeoTiff, sedang data vektor pada umumnya tersimpan dalam format DXF. Setelah penggabungkan secara geometris, langkah terpenting selanjutnya adalah “melebur” data vektor itu ke dalam raster. Pada software GlobalMapper™ hal ini dilakukan dengan menu GeoTiffExport. Yang perlu diperhatikan adalah “sample spacing”-nya. Resolusi yang sesuai dengan skala peta 1:25.000 mestinya adalah 2,5 meter. Namun karena footstep ini akan dibaca orang sambil berdiri (4-5x jarak baca), maka demi menghemat ukuran file, diputuskan untuk memakai ukuran resampling 10 meter. Pada ukuran ini yang akan mengalami penuruan kualitas terutama adalah teks, baik pada data vektor peta RBI maupun pada data scan peta RBI cetak. Idealnya memang untuk teks ada perlakukan khusus.
Agar data yang sangat besar ini dapat diolah lebih lanjut dengan software pracetak, yakni AdobePhotoshop™ dengan daya tampung file yang terbatas (maksimal cetak 10 meter), maka terpaksa data gabungan inipun masih dipotong-potong lagi menjadi beberapa bagian siap cetak. Dalam berbagai kasus, sepertinya AdobePhotoshop™ juga mengalami masalah bila vektor yang dirasterisasi terlalu kompleks.
Dengan dipotong-potong, timbul masalah pada saat printing, sebab tiap selesai mencetak satu bagian, printer otomatis akan membuat jarak sebelum memulai mencetak bagian yang baru. Tanpa software yang memadai untuk cetak, diperlukan pengaturan manual yang presisi, agar atas data yang berkesinambungan ini, tidak muncul gap-gap semacam itu.
Gambar 2: Foto footstep dalam penggunaan di pameran IGTE di arena JCC
Adobe System (2002): Photoshop 7 Manual
Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi Indonesia.
Global Mapper (2005): On-line Manual
Acknowledgement
Ucapan terimakasih kepada PT Datascripp yang memfasilitasi cetak footstep sehingga dapat menjadi milestone kemampuan kedua pihak – Bakosurtanal untuk data spasial, dan Datascripp untuk percetakan.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
dimuat di Suara Islam, minggu III-IV November 2006
Salah satu yang akan dikeluhkan oleh warga Bogor menjelang kunjungan Presiden Amerika George Walker Bush tanggal 20 November 2006 nanti adalah pematian ponsel selama 10 jam. Aktivitas ini tidak dilakukan oleh provider ponsel melainkan merupakan SOP para pengawal Bush demi mengamankan sang penjagal umat Islam di Afghanistan dan Irak itu. Untuk kunjungan 6 jam itu pemerintah menganggarkan minimal Rp. 6 Milyar, 18000 personil keamanan, menutup hampir seluruh jalan protokol di Bogor (yang memang hampir semuanya bersentuhan dengan Kebun Raya Bogor, tempat mendarat Bush) dan meliburkan sekolah-sekolah. Biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat Bogor akan jauh berlipat-lipat.
Ketika lalu lintas macet karena berbagai penutupan jalan, maka komunikasi seluler adalah salah satu jalan keluar bagi orang-orang yang memiliki urusan. Namun apa daya, saat kunjungan itu, telekomunikasi seluler (dan juga handy-talky) juga dimatikan.
Pematian ponsel adalah salah satu bentuk radio jamming. Ponsel menggunakan suatu informasi terkode yang ditumpangkan (dimodulasikan) di atas gelombang radio pembawa (carrier). Gelombang radio memiliki sifat dapat berinterferensi dengan gelombang radio lain yang fasenya berbeda. Interferensi membuat kedua gelombang itu saling memusnahkan (bila beda fasenya persis setengah gelombang) atau minimal jadi sangat terganggu. Walhasil kedua gelombang jadi “kacau” atau “mati”.
Untuk gelombang ponsel, ketika frekuensi pembawanya kacau, maka dapat dipastikan kode yang termodulasi di atasnya (baik TDMA seperti pada GSM maupun CDMA) tidak bisa lagi diterjemahkan. Dan hasilnya, ponsel itu akan “mati. Secara teknis dapat dibuat suatu pemancar multi-frekuensi untuk menginterferensi seluruh gelombang radio yang ada. Khusus untuk mengganggu provider seluler, alat ini disebut cell phone jammer.
Alat sejenis juga dipakai untuk mematikan seluruh pemancar radio atau televisi (broadcasting), handytalky, remote control yang menggunakan radio (bukan yang dengan inframerah) dan juga peralatan radar. Konon pesawat siluman Stealth selain memiliki body yang tidak tertangkap oleh radar, juga mampu mematikan radar musuh. Istilah mematikan sebenarnya tidak pas, karena alatnya sendiri sebenarnya tidak mati. Hanya alat itu tidak efektif lagi karena pancaran gelombangnya praktis dimatikan dengan interferensi.
Cell phone jammer biasanya dipakai di area-area di mana komunikasi seluler dapat mengganggu atau bahkan berbahaya, misalnya di tempat ibadah, perpustakaan, gedung teater atau ruang operasi di rumah sakit. Juga untuk membatasi spionase di gedung-gedung tertentu. Alat ini jauh lebih murah daripada “sangkar Faraday” yang dulu dipakai untuk menolak seluruh gelombang radio masuk ke dalam ruangan tertentu. Sangkar Faraday biasanya dipasang di dalam gedung, dan tak mudah dipindah-pindahkan. Namun untuk keperluan khusus, misalnya menangkal peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh dengan radio (bom, robot mata-mata) sangkar Faraday jelas masih lebih aman.
Di masa lalu, ketika telephon seluler masih analog, cukup suatu jammer sederhana buat mematikannya. Namun dengan era digital, apalagi era 3G, perlu peralatan jammer yang juga lebih canggih.
Operasional
Jammer akan mengisolir ponsel dengan mengirim keluar gelombang radio dengan frekuensi yang sama dengan yang dipakai ponsel. Ini menyebabkan interferensi atau gangguan yang cukup sehingga komunikasi dari ponsel ke menara BTS praktis tidak bisa digunakan. Pengguna akan merasakan seperti diluar jangkauan layanan.
Mayoritas ponsel menggunakan band (kanal) yang berbeda untuk mengirim dan menerima informasi dari menara. Maka jammer akan bekerja dengan mengganggu frekuensi dari ponsel ke menara atau sebaliknya.
Model Jammer kecil ukuran tangan akan memblok seluruh kanal dari 800 MHz hingga 1900 MHz di dalam radius 10 meter. Jammer besar yang mahal seperti TRJ-89 dapat mencapai radius 8 kilometer. Jammer yang kuat ini juga bisa berbahaya karena dapat mengganggu alat-alat kedokteran, misalnya alat pacu jantung. Namun pada umumnya, alat-alat ini bekerja dengan power di bawah 1 Watt untuk mencegah beberapa masalah.
Di peperangan, penggunaan jammer baik untuk mematikan telekomunikasi, broadcast (radio/TV) maupun radar adalah termasuk bagian dari perang elektronik. Orang memimpikan dapat melindungi negerinya dari serangan pesawat atau rudal musuh cukup dengan mengganggu gelombang radionya. Rudal nuklir sekalipun, hanya dapat mencapai sasaran bila sistem navigasinya tetap berfungsi. Bila sistem navigasi ini hanya mengandalkan GPS, radar dan kontrol radio, maka dia akan dapat mudah dipatahkan dengan jammer. Ada dugaan bahwa peristiwa pesawat yang menabrak menara WTC tanggal 9 September 2001 adalah pesawat yang telah dijam seluruh sistem radionya, sementara radar Angkatan Udara juga telah dijam sehingga tidak melihat apa-apa di layar. Pesawat itu hanya tinggal bisa dilihat langsung secara visual.
Karena itu para ilmuwan sistem kontrol kemudian mengembangkan navigasi mandiri yang tidak tergantung gelombang radio. Navigasi ini memakai prinsip inersia dalam fisika, sehingga disebut inertial navigation system.
Demikian juga, para pengawal Bush tentunya juga harus memakai sistem telekomunikasi yang lain ketika seluruh gelombang radionya sendiri di-jam. Salah satu model yang akan selamat dari radio-jammer adalah menggunakan komunikasi inframerah atau ultrasonik. Meski sama-sama gelombang elektromagnetik, namun sinar inframerah memiliki sifat cahaya, yang berbeda dengan gelombang radio. Komunikasi inframerah dapat mencapai tempat yang jauh selama tidak ada penghalang yang berarti. Sedang ultrasonik adalah gelombang suara pada frekuensi yang tak terdengar telinga manusia, dan tak berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik.
Ketika seluruh gelombang radio yang operasional dijam oleh peralatan para pengawal Bush, maka para polisi biasa dan satpam Kebun Raya yang tidak dilengkapi alat komunikasi khusus juga tidak akan bisa berkomunikasi jarak jauh. Kalau pramuka jaman dulu mungkin masih bisa pakai semaphore atau kode asap, atau Ki Gendeng Pamungkas mungkin bisa pakai telepathy. Tapi sama siapa?
Begitulah teknologi yang ada saat ini. Manfaatnya tergantung pada siapa yang menggunakan. Dan untuk tujuan apa orang menggunakan, tergantung dari ideologi yang diyakininya.
Oleh : Dr Ing Fahmi Amhar
Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Jumat, 17 November 2006
PARANGTRITIS bakal kian menarik. Even yang dilakukan, jangka panjangnya bakal menjadi sebuah ‘kekayaan’ baru DIY. Tentu tidak terkait dengan peristiwa (demo) akhir-akhir ini. Namun Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerjasama dengan Badan Pariwisata DIY menggelar Festival Ekowisata Pesisir Parangtritis 2006. Festival yang digelar 18-19 November ini sekaligus menandai peresmian Laboratorium Geospasial Parangtritis.
Lab ini akan menjadi suatu lab yang unik. Seunik fenomena gumuk pasir di sana. Gumuk pasir ini adalah buah perkawinan ekosistem Gunung Merapi, Sungai Opak dan Laut Selatan. Indonesia – dan terutama DIY – mendapat karunia yang luar biasa berupa fenomena yang sulit dicari padanannya di dunia.
Indonesia adalah negara dengan pesisir tropis terpanjang di dunia. Di pulau Jawa bagian selatan saja, kabupaten-kabupaten pesisir membentang dari Pandeglang hingga Banyuwangi. Namun pustaka tentang kepesisiran masih cukup langka. Maka di lab itu pertama-tama akan dibangun perpustakaan pesisir yang terlengkap di dunia – Insya Allah, beserta peta-petanya dari masa ke masa, serta teknologi geospasial pendukungnya, yaitu Global Positioning System (GPS), Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografi. Berbagai peralatan peraga iptek geospasial ini akan disediakan oleh Bakosurtanal, BPPT dan LAPAN dan mungkin juga Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Lab – dan juga festival ini – memang dimaksudkan untuk mendekatkan sains informasi spasial pesisir ke masyarakat.
Lab ini idealnya memang diintegrasikan dalam suatu taman wisata bertema pesisir (Coastal-Themapark). Agar pengunjung mudah memahami fenomena gumuk pasir yang bisa berpindah-pindah ini, ada baiknya dibangun simulator peraga. Mungkin mirip simulator gunung berapi di suatu tempat wisata di Malang Jawa Timur. Atau setidaknya setiap pengunjung akan disuguhi peragaan multimedia terbentuknya gumuk pasir.
Yang sudah pasti, di depan lab yang dibangun Bakosurtanal akan dipasang pilar dengan angka koordinat GPS dan dilengkapi dengan penunjuk arah meridian, jam matahari, dan informasi batas-batas laut dari pilar tadi sebagai garis pangkal (garis pasang tertinggi Highest Astronomical Tide, garis rata-rata Mean Sea Level, garis surut terrendah Lowest Astronomical Tide, batas teritorial, batas ZEE, Landas Kontinen).
Kepedulian akan pesisir juga mencakup informasi kelautan, dari potensi hayati, mineral sampai potensi energi (Pasang Surut, gelombang dan perbedaan suhu air laut ocean thermal energy conversion). Menurut Prof Rokhmin Dahuri, potensi ekonomi kelautan Indonesia kalau diolah dengan benar dapat mencapai Rp 256 Triliun pertahun, serta menyerap 10 juta tenaga kerja.
Selanjutnya lab alam Parangtritis ini mestinya menjadi tempat bertemu para peneliti kearifan lokal. Saya yakin banyak sekali kearifan lokal dari Ujung Kulon sampai Blambangan yang perlu dipertemukan, didokumentasikan dan direkomendasikan untuk diterapkan. Kearifan ini bisa berupa budi daya ikan di laut hingga, pengolahan ikan pasca panen tanpa formalin, dan budaya menghadapi bencana laut mulai dari abrasi hingga tsunami dan sebagainya.
Badan Pariwisata DIY konon bahkan telah membuat suatu landasan kecil untuk didarati oleh pesawat layang bermesin (trike). Kalau begitu festival tersebut dapat sekalian dijadikan festival trike, atau kalau belum sanggup ya cukup festival layang-layang saja, sebagaimana saat ini sudah dilakukan secara teratur di Bali.
Para pecinta olahraga juga dapat memanfaatkan lab alam itu untuk ‘sensing’ yang lain. Saya teringat pada perguruan beladiri tangan kosong Merpati Putih yang melatih kepekaan batin sehingga orang bisa bernavigas dengan mata tertutup. Saya rasa ‘another sensing’ ini akan banyak menarik perhatian para ahli remote sensing dari seluruh dunia.
Dan bicara ‘kesaktian’ semacam ini, lab alam ini dapat juga dipakai untuk penelitian hantu (!). Konon teman-teman peneliti yang telah berada di lab itu sering melihat penampakan. Ya paling tidak – kata mereka – nanti bisa muncul di acara ‘Dunia Lain’ atau ‘Uji Nyali’.
Festival ini dimaksudkan untuk memperkenalkan lab alam tersebut, sekaligus menarik perhatian masyarakat pada dunia ilmu kepesisiran dan geospasial. Untuk itu, idealnya festival pesisir ini diadakan tidak cukup sekali ini, namun dapat dijadikan agenda tahunan. Dalam festival tahunan ini, dapat diadakan acara populer seperti Lomba Membuat Peta bagi Non Spesialis (Peta berbasis masyarakat), acara camp training kecerdasan spasial anak-anak (‘Geospatial Kids’) hingga acara yang serius semacam Forum Ilmiah atau Seminar.
Yang jelas, keberadaan gumuk pasir harus kita syukuri. Kalau kita syukuri secara proaktif, kreatif dan produktif, Insya Allah nikmat itu ditambah ke berbagai dimensi nikmat yang lain.
(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-