Dr. Fahmi Amhar
(Tulisan ini dimuat di harian KR -Yogyakarta- 12 Februari 2007)
BANJIR membuat sengsara. Air kotor masuk rumah, membuat sofa, kasur, buku-buku tidak bisa dipakai lagi. Pada saat banjir, listrik mati, PAM mati, telepon mati, jalanan macet. Pasca banjir, sampah di mana-mana. Pabrik dan kantor yang tidak kena banjir pun banyak yang tidak berjalan. Pegawainya tidak bisa menembus banjir. Daerah bebas banjir ikut kena imbasnya. Harga kebutuhan pokok naik. Pasokan BBM terlambat. Adakah teknologi untuk mengendalikan banjir? Ada! Kenapa tidak dipakai? Dipakai! Kenapa tidak berhasil? Perlu sistem! Sistem apa? Ada sistem keras (fisik) dan sistem lunak.
Banjir bukan sekedar fenomena alam. Fenomena alamnya adalah hujan. Tetapi hujan belaka tidak otomatis menyebabkan banjir. Untuk menjadi banjir, debit air yang berasal dari hujan dan limpahan daerah hulu, harus lebih besar dari ‘kredit air’, yaitu air yang meresap, menguap atau dibuang. Oleh sebab itu, agar tidak banjir, teknologi yang dapat dikembangkan adalah bagaimana mengendalikan peresapan dan pembuangan air. Pengendalian hujan dan penguapan belum perlu kita bahas, karena perlu energi yang besar atau waktu lama.
Agar peresapan optimal, tanah memerlukan permukaan yang poris. Hutan tropis adalah contoh permukaan yang amat poris. Akarnya yang dalam mampu mengantar air hingga lapisan yang terdalam. Sementara dedaunannya dapat melindungi serangan hujan langsung ke tanah. Kalau tidak terlindungi, lapisan humus yang mampu meresap air akan terkuliti, terbawa erosi, meninggalkan tanah gundul yang keras dan tidak dapat meresap air lagi. Karena itu, teknologi peresapan yang terbaik adalah penghutanan sebanyak mungkin lahan-lahan kosong, terutama di daerah hulu. Hingga saat ini belum ada teknologi mekanis, termasuk sumur resapan, yang lebih baik dari keberadaan pohon. Yang banyak diharapkan adalah bioteknologi untuk menghasilkan jenis pohon yang dalam waktu singkat dapat besar, berakar dalam dan efisiensinya tinggi.
Yang kedua adalah pembuangan. Air yang mengalir di permukaan harus dibuang ke laut. Kalau debitnya amat besar, saluran alam (sungai) yang ada bisa kewalahan. Untuk itu, ada beberapa teknologi untuk mengatasinya:
(1) Membuat situ (danau penampungan). Ini teknologi yang paling sederhana, namun boros ruang. Di zaman Belanda, ada ratusan situ di Jakarta dan Bogor. Ada situ yang aslinya rawa-rawa, ada pula yang memang dibuat. Sekarang situ-situ itu banyak yang diurug jadi perumahan. Alasannya untuk mengatasi ledakan penduduk, sekaligus mengusir sarang nyamuk malaria atau demam berdarah. Sayang fungsi anti banjirnya tidak diganti. Idealnya, kalau diurug, maka harus ada teknologi penggantinya, misalnya yang berikut ini.
(2) Kanalisasi, termasuk normalisasi sungai dan sodetan. Normalisasi adalah pelurusan aliran sungai, supaya air lebih cepat ke laut, sehingga genangan lebih cepat teratasi dan tidak membentuk banjir. Sodetan adalah menghubungkan dua sungai atau lebih dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke sungai yang lain.
(3) Pompanisasi, ini termasuk upaya pembuangan modern, perlu energi ekstra. Negeri Belanda saat ini termasuk negara yang unggul dalam hal ‘mengeringkan laut’ dengan pompanisasi dan tanggul. Sebagian besar Amsterdam sekarang ini lebih rendah tujuh meter dari permukaan laut, tetapi berkat sistem pompa yang cukup, sudah 40 tahun lebih tidak ada banjir. Pompa-pompa modern dilengkapi pula dengan sensor hujan atau air pasang, sehingga bekerja otomatis ketika dibutuhkan.
(4) Tanggul, ini untuk membendung agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya, yang barangkali elevasinya lebih rendah dari air ketika tinggi. Hal yang sama dilakukan untuk air pasang laut. Karena air tinggi tidak tiap hari, maka setiap tanggul pasti harus ada pintu air.
Lima teknologi ini adalah inti sistem keras (hardware), yakni peningkatan daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, situ, kanalisasi, pompanisasi maupun tanggul sudah dicoba semua. Sudah ada beberapa villa di Puncak yang dirobohkan lagi, demi tanah resapan. Gubernur DKI sudah berencana di tahun anggaran ini mau membeli tanah-tanah untuk membuat situ. Banjir Kanal Timur sudah mulai dibangun, meski pembebasan tanahnya terkendala. Pompanisasi sudah dipakai di banyak kompleks perumahan menengah ke atas, agar banjir tidak sampai masuk kompleks mereka. Dan tanggul sungai beserta pintu airnya, nyaris tak terhitung, meski yang terkenal pintu air Manggarai.
Pasca banjir, banyak pihak berkomentar yang cenderung menyalahkan salah satu aspek saja, kemudian lalu membuat usulan menurut satu aspek juga.
Bahkan, meski lima teknologi tadi sudah dioptimasi dengan simulator dan dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja banjir bisa menjadi bencana, bila sistem lunaknya tumpul. Apa itu sistem lunak? Sebenarnya cukup banyak. Di tulisan ini akan diberikan lima contoh sistem lunak.
(1) Sistem pengelolaan sampah. Banyak sungai dan selokan penuh sampah sehingga banjir. Namun bila ditelusuri, sampah yang dibuang sembarangan itu terjadi karena tempat sampah langka dan kapan diangkutnya tidak diketahui. Jadi pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengangkuti sampah dengan disiplin tinggi. Sistem penggajiannya perlu diperbaiki agar mereka dapat bertahan pada ‘bisnis kotor’ itu.
(2) Sistem tata ruang. Perencanaan tata ruang saat ini sering disetir para pemilik modal. Hampir tak ada satupun daerah di Indonesia yang tata ruangnya berbasis bencana. Artinya, mereka mengembangkan kota sudah dengan simulasi akan seperti apa kota itu bila diberi bencana tertentu (banjir, gempa, tsunami dll). Tata ruang yang berbasis bencana akan menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila banjir atau kebakaran atau bencana lainnya terjadi. Jadi tidak perlu nantinya ada pengungsi banjir di tepi jalan tol.
(3) Sistem distribusi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berbasis riba sangat mendorong urbanisasi, karena ada cukup besar uang yang tidak benar-benar ditanamkan di sektor real. Andaikata sistem syariah yang dipakai, modal akan mengalir ke sektor real, dan ini mau tidak mau akan mengalir ke daerah-daerah, dan urbanisasi bisa ditekan.
(4) Sistem edukasi bencana. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sadar bencana. Sebagian bahkan menganggap banjir hal biasa kalau tinggal di Jakarta. Di kantor-kantor saja, jarang ditemukan alat pemadam api, padahal kebakaran adalah bencana lokal yang paling sering terjadi. Kalau kita belajar dari Jepang, alat pemadam api kecil (sebesar semprotan Baygon) ada di hampir tiap rumah tangga dan kamar hotel. Rute evakuasi dipasang di tempat-tempat umum. Pendidikan sadar bencana ini harus didukung oleh para elite politis, selebritis dan media massa. Pemerintah bahkan perlu membangun museum untuk memberi penghayatan bencana kepada orang-orang yang belum pernah mengalaminya, agar tahu apa yang harus diperbuat, baik untuk mencegahnya maupun mengatasinya ketika bencana terjadi.
(5) Terakhir adalah sistem manajemen pemerintahan yang tanggap bencana. Semua orang yang akan menjadi pejabat publik perlu dibekali dengan manual bila ada bencana beserta trainingnya. Aparat TNI perlu memiliki latihan-latihan khusus mengatasi darurat bencana – tidak sekedar darurat militer atau perang. TNI adalah organisasi yang paling mudah digerakkan, serta punya perlengkapannya untuk mengatasi bencana. Namun bila saat ini tidak pernah disiapkan ke sana, dan para pejabat publik tidak terpikir ke sana, ya semua tidak disiapkan.
Bagi seorang mukmin, kesiapan terhadap bencana tidak cuma atas bencana dunia, namun juga atas ”bencana akherat”. Dia menyiapkan amal, menghadapi mati yang bisa datang sekonyong-konyong. (Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-z
oleh: Dr Fahmi Amhar
Rubrik Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 3 Januari 2007.
http://222.124.164.132/article.php?sid=108401
BAGI sebagian orang, tahun 2006 telah berakhir dengan suatu misteri, dan tahun 2007 telah berawal dengan misteri yang lain. Pada Kamis 28 Desember kapal motor Senopati Nusantara yang berlayar dari Kalimantan Tengah ke Semarang telah tenggelam di perairan Jepara. Belum ada separo korban ditemukan dan dievakuasi, pekerjaan Tim SAR ditambah dengan hilangnya pesawat Adam Air yang terbang menuju Manado, semula konon karena menabrak gunung, namun kemudian informasi ini dicabut. Misteri yang beruntun, baik bagi Tim-SAR, Komite Nasional Keselamatan Transportasi maupun bagi keluarga atau relasi para korban.
Kedua hal itu membuat kita bertanya-tanya, belum mampukah kita lebih cepat menemukan kapal atau pesawat (wahana) yang hilang? Tentu saja wahana darat seperti mobil atau motorpun juga bisa hilang dicuri orang. Lebih jauh lagi tentunya, bagaimana mencegah itu semua terjadi, atau setidaknya tidak berdampak begitu buruk.
Kita tidak perlu buru-buru bertanya kepada dukun atau paranormal, karena secara teknologi sebenarnya ada alat yang dapat digunakan. Teknologi itu adalah Sistem Penentuan Posisi Global (Global Positioning System / GPS). Sistem ini menerima sinyal-sinyal yang diterima dari 24 satelit-satelit GPS yang dipasang Amerika Serikat di orbit sekitar 22.000 kilometer. Dengan menerima sinyal dari minimal 4 satelit GPS, maka posisi XYZ setiap titik di muka bumi dapat ditentukan. Perlu dicatat, Rusia dan Uni Eropa juga membangun sistem sejenis untuk menjaga kemandirian mereka dari Amerika Serikat.
Koordinat posisi yang telah didapatkan kemudian dapat dikirim dengan radio ke pusat-pusat pemantau seperti pelabuhan, bandara atau juga kantor polisi (untuk kasus di darat), yang akan melihat titik-titik dengan identitas yang jelas di atas peta digital di layar komputer. Setiap identitas terhubung ke sebuah database yang memuat informasi lebih rinci atas wahana itu, semisal surat izin, kapasitasnya dan sebagainya. Setiap wahana itu bergerak, maka titik di layar komputer juga ikut pindah.
Bila wahana itu mengalami masalah serius dan kontak radio terputus, maka beberapa titik terakhir akan tersimpan dan terpampang dengan warna khusus di layar. Dengan demikian kita dapat melakukan simulasi ekstrapolasi ke mana posisi wahana tersebut berlanjut.
Posisi wahana dipengaruhi kelembaman terakhir (arah dan kecepatan) serta faktor eksternal (arah dan kecepatan angin, arus atau gelombang laut). Makin lama waktu terbuang, makin besar area kemungkinan yang harus diekstrapolasi, karena kita tak selalu tahu data faktor eksternal. Berita terakhir ada korban kapal yang sudah mencapai perairan Madura (beberapa ratus kilometer dari posisi terakhir kapal). Pencarian akan lebih cepat kalau areanya telah terbatasi. Mungkin masih ada korban yang bisa terselamatkan.
Maka tim pencari segera diberangkatkan. Tentu tak mudah mencari objek kecil di areal yang luas secara langsung (visual). Mungkinkah memakai citra penginderaan jauh?
Kita tahu bahwa di langit bersliweran satelit-satelit observasi bumi yang memindai negeri kita. Memang ada satelit yang memberi gambar beresolusi pixel 1 meter bahkan 60 cm, seperti Ikonos atau Quickbird, sehingga mampu mendeteksi wahana naas itu, asalkan cuaca bersahabat. Citra satelit itu bersensor pasif, sehingga bisa tertutup awan. Bagaimana dengan radar? Radar memang tembus awan, dan mudah mendeteksi logam. Namun saat ini resolusi satelit radar seperti Radarsat atau ERS masih kasar. Kalau satelit TerraSar-X yang resolusi pixelnya bakal 1 meter jadi diluncurkan Jerman-Perancis tahun ini, mungkin situasinya akan berubah.
Namun tetap saja nanti ada tugas yang tidak ringan: menemukan objek di citra yang diduga pesawat yang jatuh atau kapal yang celaka itu. Di sinilah peran teknologi pengenal pola (pattern recognition) diharapkan. Satu catatan lagi: kalau posisi kapal sudah jauh di dalam air, maka citra satelit apapun sulit menjangkaunya.
Untuk wahana darat, teknologi ini bisa lebih sederhana. Di Indonesia bahkan Polda Metro dan beberapa perusahaan taksi serta expedisi sudah memakainya untuk memantau armadanya. Ada juga perusahaan yang menjual piranti kecil GPS untuk dipasang secara rahasia di mobil sebagai alarm. Kalau mobil yang kita parkir digeser orang lebih dari nilai toleransi yang diberikan, maka alat itu otomatis akan mengirim SMS ke nomor yang ditentukan (bisa ponsel pemiliknya atau polisi). Koordinatnya kemudian juga dapat terus diikuti.
Penggunaan GPS ini selain dapat mengurangi dampak kecelakaan kapal dan pesawat juga dapat menjaga aset-aset rakyat, misalnya untuk memantau illegal logging atau fishing (pencurian ikan). Misalnya semua kapal nelayan dengan ukuran di atas tonase tertentu wajib memasang alat GPS. Maka polisi air atau Dinas Perikanan dapat memantau posisi setiap kapal nelayan besar, apakah mereka mengambil ikan di wilayah yang diizinkan atau tidak. Dan di lapangan, kalau secara visual ada kapal yang tak tampak di komputer (karena tidak memasang alat GPS ini), maka berarti kapal itu tidak berizin, izinnya kedaluarsa atau dia mengambil ikan di luar wilayahnya. Tentu saja diasumsikan alat itu kalau dipasang harus berfungsi dengan baik. Hal serupa bisa diterapkan untuk kendaraan darat yang beroperasi di hutan. Kalau tidak muncul di komputer, berarti ilegal. Mau diapain kapal atau kendaraan seperti ini? Cabut izinnya atau disita untuk negara. Tentu saja kalau petugas kita berani – berani mati dan berani menolak suap. Karena para bandit juga sering punya senjata dan juga duit.
(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Di Indonesia lebaran haji tahun ini semula sudah disyukuri, karena jatuh pada hari yang sama – berbeda dengan Iedul Fitri lalu. Kini NU dan Muhammadiyah sepakat, para perukyat yang melapor ke Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama juga sepakat, sehingga Pemerintah tanpa ragu memutuskan berlebaran haji Ahad 31 Desember 2006.
Namun ternyata Saudi menetapkan hari wukuf Jum’at 29 Desember 2006. Dulu berabad-abad, kalau hal ini terjadi tak ada yang tahu. Juga tak ada bukti dulu datang kurir ke wilayah-wilayah yang jauh dan mengabarkan keputusan amir Makkah dan meminta agar wilayah-wilayah itu mensinkronkan hari rayanya dengan Makkah. Namun kini, dengan telekomunikasi global, jadi ada sebagian umat Islam yang memutuskan untuk Iedul Adha sehari setelah wukuf, yakni hari Sabtu 30 Desember 2006.
Memang, penyebutan nama hari, itu tergantung dari pada posisi kita terhadap garis tanggal internasional (International Date Line, IDL) yang terbentang di Pasifik. Dengan IDL ini, kita selalu masuk hari lebih dulu dari Makkah. Andaikata IDL membentang melewati India, maka kita akan paling belakang memasuki hari. Jadi kalau hari ini Jumat dan wukuf, kita karena “masih Kamis”, baru puasa Arafah “besok”.
Ada yang berargumentasi, karena bumi itu bulat, dan Indonesia jauh dari Saudi, ya masuk akal. Maksudnya supaya yang di Indonesia nyaman Ied hari Ahad, dan yang haji juga nyaman wukuf hari Jum’at. Tidak ada yang salah. Cuma argumentasi ini tak mempan, karena di negara yang dekat dengan Saudi, Iran dan Turki juga berhari raya Ahad. Jadi gimana nih?
Apakah rukyat di Saudi salah? Memang, di Saudi sempat heboh juga, namun terbatas di kalangan astronomnya. Pasalnya, hasil hisab Ummul Qura University di Makkah juga menyimpulkan wukuf hari Sabtu. Tetapi bukankah untuk penentuan hari ibadah ini harus pakai rukyat sebagaimana madzhab yang diyakini mayoritas ummat Islam?
Benar, namun bagaimana bila rukyat itu sendiri menyimpan musykilah. Kita dengar di Gowa Sulsel ada jamaah yang telah sholat Ied hari Jum’at, konon karena hilal telah terrukyat pada Selasa 19 Desember. Sedang Pakistan sholat Ied hari Senin, karena rukyat lokal di Pakistan Kamis 21 desember terhalang awan sehingga istikmal. Tetapi jadi di dunia Islam total ada empat hari yang berbeda Iednya.
Hisab ada juga ikhtilaf, bukan di teknik hitung astronomi modernnya, namun pada masalah kriteria. Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama pakai hisab saja, Iedul Fitri kemarin beda, karena Muhammadiyah pakai 0 derajat, Persis 2 derajat. Ada yang lebih ekstrem lagi: pokoknya bila ijtima’ terjadi sebelum maghrib (ijtima’ qabla ghurub) ya masuk tanggal. Rabu 20 Desember lalu, di Saudi ijtima’ terjadi kurang sejam sebelum maghrib, dan saat matahari terbenam, bulan sudah terbenam. Jadi tinggi bulan masih negatif. Tetapi kalau pakai ijtima’ qabla ghurub ya Kamis sudah masuk tanggal satu.
Kalau rukyat yang jadi masalah adalah bagaimana memfilter rukyat yang salah. Kesalahan bisa terjadi karena ilusi mata, atau karena persepsi “harus sudah terlihat”. Orang yang berpersepsi bahwa hilal pasti terlihat bila sore itu ijtima’ terjadi sebelum maghrib akan merasa melihat hilal, walaupun yang ada sebenarnya hanya goresan awan. Sayang tak ada bukti otentik seperti foto atau sejenisnya yang bisa diverifikasi.
Secara hukum (syar’i), selama saksi-saksi mau bersumpah, semua sah. Bila ada yang keberatan, berlaku kaidah “Amrul Imam yarfa’ul khilaf” (keputusan pemimpin menghentikan perselisihan). Dalam masalah haji, imamnya adalah penguasa Makkah, atau di zaman sekarang Mahkamah Agung Saudi. Jadi walaupun salah, ya harus ikut. Ikut secara amal, bukan secara keyakinan. Masak mau wukuf sendirian hari Sabtu atau hari Kamis (mengikut rukyatnya orang Gowa itu). Kalau salah, jelas jamaah haji tidak salah, yang salah dan harus mempertanggungjawabkan di akherat nanti ya yang ru’yat dan yang menetapkannya.
Namun jelas para jamaah haji ikut merasakan dampaknya. Saya pernah tahun 1990 dulu, gara-gara Saudi mempercepat wukuf 1 hari, maka closing date di Jeddah juga sehari lebih awal. Akibatnya saya yang mau ke sana dari Vienna, ditolak masuk pesawat oleh pramugarinya, meski waktu saya minta visa haji di kedutaan Saudi, semua baik-baik saja. Jangan-jangan kisruhnya catering jamaah haji Indonesia tahun ini juga disebabkan itu. Para pegawainya (yang mukimin) banyak yang ikutan berhaji, karena wukuf hari Jum’at menjadi haji akbar, konon pahalanya 70 kali haji biasa! Meski ada iming-iming upah dua kali lipat kalau haji akbar, tetap saja pesona dapat pahala 70 kali mengalahkan segalanya..
Terus yang di sini gimana? Yang jelas tidak salah: puasa hari Jum’atnya, menyembelih qurban hari Ahadnya. Sholatnya? Kalau bingung ya tak usah sholat, kan hukumnya sunat. Memang ada fuqoha yang membolehkan sholat Ied di hari kedua, walaupun ini ikhtilaf. Ada yang membolehkannya sepanjang motifnya karena info rukyat yang telat. Tetapi sekarang bukan itu, melainkan karena ada dua kesimpulan itsbat.
Kalau pengurus DKM atau para khatib jelas lebih pusing. Mau ikut yang sesuai keyakinan atau empati pada aspirasi warga? Fiqh prioritas mau tak mau harus dipakai. Yang terasa aneh kalau ada khatib mau khutbah dua kali … Kalau dua-duanya dapat honor, kayaknya rakus gitu ya …
Keadaaan ini tentu akan terhenti kalau ada otoritas Islam global (khalifah) yang memutus dengan bijak dan tepat baik aspek syar’i maupun teknisnya. Karena kini belum ada, bisa jadi tahun-tahun mendatang kebingungan kita akan terulang lagi.