Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang
Pendahuluan
Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan. Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:
Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.
Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi. Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.
Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi. Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.
Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan. Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:
Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini. Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.
Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia). Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional. Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan. Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.
Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan. Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.
Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka.
Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya. Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia. Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat.
Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini. Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia. Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional. Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.
Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia. Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni). Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.
Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada. Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara. Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi. Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut. Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas.
Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri. Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.
Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis. Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi. Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.
Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.
Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.
Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.
Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.
Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri.
Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.
Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.
Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.
Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.
Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya. Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.
Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.
Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.
… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)
Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)
Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju. Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara. Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer. Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.
Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20.
Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana. Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat. Selain itu hanya kipas angin. Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India! Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa. Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India!
Demikian juga Cina. Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.
Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya. Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.
Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar. Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek. Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung. Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama. Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.
Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.
Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya. Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.
Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum. Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya. Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan. Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.
Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.
Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN. Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?
Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain. Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.
Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat. Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam. Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah. Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.
Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis. Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.
Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah. Wallahu a’lam.
Bacaan Lanjut:
Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla). Bangil: Al-Izzah. 2001.
Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology). Mizan, 1993.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Pada tahun 1970-an setiap murid SD selalu mendengar dari guru IPA-nya bahwa Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan April hingga Oktober, dan musim penghujan dari Oktober hingga April. Musim ini diselingi perubahan arah angin dan cuaca yang khas yang disebut pancaroba. Namun kini, musim kita tampaknya semakin ”kacau”. Di Jawa, hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni ini – sehingga kita sebut ”kemarau basah”. Sementara itu, di bulan Desember tahun lalu masih banyak sawah yang kekeringan karena hujan belum juga turun.
Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama diprediksi para ahli, bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sampai membentuk ”badan dunia untuk kerangka kesepakatan atas perubahan iklim” atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam pertemuan puncak di Rio de Janeiro tahun 1992.
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan standar hidup telah memacu peningkatan penggunaan energi, yang dampaknya meningkatkan kadar gas karbon dioksida (CO2) di atmosfir. Gas ini menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse-effect) yaitu memerangkap panas dari sinar matahari, sehingga secara keseluruhan suhu atmosfir bumi meningkat. Beberapa teori memprediksi kondisi ini akan mencairkan salju abadi di kutub-kutub atau gunung-gunung tinggi, sehingga paras laut naik, pulau-pulau kecil tenggelam dan pada saat yang sama gurun pasir meluas, masa tanam mundur dan kebakaran hutan lebih sering terjadi. Kebakaran hutan akan menimbulkan efek berantai yaitu semakin menambah kadar gas rumah kaca tadi.
Banyak ahli mengembangkan model-model untuk mempelajari dan menghitung efek perubahan iklim ini. Mereka kesulitan dalam mengkalibrasi model-model itu guna menentukan model mana yang paling tepat. Hal ini karena data untuk menghitung jumlah CO2 (Greenhouse-gas Inventory) yang ada di tiap tempat dari waktu ke waktu dianggap kurang memadai atau penuh dengan asumsi. Sejumlah ahli bahkan masih percaya bahwa naiknya CO2 akan secara alami disetimbangkan oleh lautan. Naiknya CO2 membuat air laut lebih reaktif dan mengikat CO2 tersebut. Mereka menduga bahwa di masa lampau, di saat aktivitas vulkanik gunung-gunung berapi masih sangat tinggi, tentu CO2 di atmosfir juga jauh lebih tinggi dari sekarang. Persoalannya, berapa lama kesetimbangan alam itu akan tercipta kembali, dan apakah manusia bisa bertahan melewati masa adaptasi tersebut?
Pada 1997 di Kyoto Jepang ditandatangani protokol untuk mengurangi kadar CO2 (disebut Kyoto Protocol). Namun sayangnya dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol itu, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang pemerintah Bush lebih percaya penasehatnya yang menolak keabsahan model-model iklim itu.
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Mereka yang percaya perubahan iklim global bahkan telah mengembangkan model-model dampak sosial-ekonomi perubahan ini. Misalnya naiknya suhu rata-rata 2º Celcius saja akan membuat sekian puluh juta penduduk pantai di daerah tropis semakin miskin karena kehilangan habitat dan matapencahariannya akibat makin seringnya gelombang pasang terjadi – seperti pernah mengejutkan kita beberapa waktu yang lalu.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara.
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga bio-energi (biomass, biogas, biofuel hingga enegi otot hewan) dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi perubahan iklim.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Jum’at 18 Mei 2007 dan sebagian hingga Senin 21 Mei 2007, berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang. Ombak setinggi 2-3 meter telah menyapu kawasan pantai, bahkan masuk ke daratan hingga 50-200 meter. Berbeda dengan tsunami yang selalu didahului dengan gempa di dasar laut, gelombang pasang ini praktis tidak terdeteksi dari awal. Akibatnya penduduk pantai hanya dapat pasrah menyaksikan rumah-rumah mereka tergerus gelombang, tambak mereka rusak, dan perahu-perahu mereka terseret ke tengah laut.
Banyak teori dilontarkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut. Teori-teori ini dibangun dari analisis data yang ada, yang meliputi data pasang surut paras laut, kecepatan angin hingga temperatur permukaan laut. Tidak semua analisis itu dianggap memuaskan oleh para ilmuwan. Di antara teori tersebut yang paling kuat adalah bahwa gelombang pasang ini merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak yakni: (1) Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali. Pada 17 Mei terjadi bulan baru sehingga bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum), sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai pasang maksimal. (2) Gelombang Kelvin – yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang mengimbangi gaya Coriolis (gaya akibat rotasi bumi). Gaya ini mengarah dari masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang Kelvin dari arah yang berlawanan di equator. (3) Gelombang Swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih besar daripada riak (ripples). Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemananasan. Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan yang berbeda.
Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula. Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai, puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai menimbulkan bencana yang mengerikan.
Perlindungan Pantai
Lepas dari penyebab gelombang pasang dan mekanismenya yang barangkali masih menarik bagi para peneliti hingga beberapa saat ke depan, yang harus kita siapkan adalah sistem antisipasinya. Perlindungan kawasan pantai memang sudah saatnya menjadi perhatian serius negeri ini, mengingat panjang garis pantainya lebih dari 81.000 kilometer. Gelombang pasang, tsunami, dan abrasi mengancam di banyak lokasi. Lebih dari itu perubahan ekosistem pantai karena pendangkalan (sedimentasi) maupun pencemaran masih terus terjadi.
Sistem pertahanan alam yang paling efektif sebenarnya adalah hutan bakau (mangrove). Keberadaan mangrove di lepas pantai dapat meredam gelombang pasang bahkan tsunami hingga kekuatannya tinggal sepertiganya. Keberadaan mangrove juga mampu menjaga lingkungan pantai dari abrasi. Mangrove juga menjadi habitat dari banyak organisme pantai, sehingga kerusakan mangrove bisa berarti kepunahan keragaman hayati.
Namun derap kapitalisme telah membuat kerusakan mangrove kita sangat cepat. Selain terjadi konversi besar-besaran area mangrove menjadi tambak atau pemukiman, kerusakan mangrove juga terjadi karena penjarahan untuk dijadikan kayu bakar akibat mahalnya bahan bakar minyak. Di beberapa lokasi, pantai bahkan diurug (direklamasi) dengan mengorbankan lahan yang sebelumnya tumbuh mangrove.
Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan data luas mangrove yang tersisa secara nasional, apalagi mendapatkan data perkembangannya dari tahun ke tahun. Kerusakan memang kasat mata bila kita mendatangi lokasi-lokasi yang dulu diketahui memiliki mangrove, namun untuk menghitungnya secara nasional diperlukan data dari citra satelit. Karena ”sabuk” mangrove di pantai sebenarnya tidak terlalu lebar, maka perlu citra satelit resolusi tinggi untuk dapat merekamnya.
Untuk dapat melakukan pencegahan atau mitigasi dari bencana yang mengancam kawasan pantai, pemerintah dapat melakukan pemetaan daerah rawan (zonasi). Secara umum, kawasan-kawasan budidaya (permukiman, tambak, infrastruktur) di pantai yang landai, menghadap laut lepas tanpa pelindung seperti pulau atau karang, serta tidak memiliki mangrove, adalah zona-zona rawan. Kawasan itu perlu mendapatkan persiapan khusus untuk menghadapi bencana dari arah laut.
Selain mitigasi, sistem peringatan dini (early warning system) sebaiknya juga dibangun. Pasca tsunami Aceh 2004, memang ada usaha dari pemerintah untuk membangun TEWS (tsunami early warning system). Hanya saja sistem yang terdiri dari GPS, seismometer, sensor tekanan air di dasar laut, stasiun pasang surut dan super komputer ini memang belum tuntas terkoneksi satu dengan yang lain, apalagi siap dioperasikan di lapangan. Namun andaikata sudah lengkappun, sistem ini hanya efektif untuk tsunami, belum untuk gelombang pasang.
Untuk gelombang pasang sepertinya perlu ada tambahan dan modifikasi di beberapa elemen TEWS. Sistem ini misalnya harus memasukkan data pantauan temperatur laut hingga ribuan mil di seputar Indonesia, sehingga munculnya gelombang Swell dapat terdeteksi. Pelampung (buoys) yang terhubung ke sensor tekanan dasar laut juga mestinya tidak hanya berfungsi sebagai pengirim data ke pusat pengolah data TEWS namun juga sensor gelombang itu sendiri. Bahkan jumlah buoys ini harus ditambah cukup signifikan untuk ”memagari” pantai kita – tidak hanya menghadap ke arah patahan lempeng kontinen yang potensial terjadi gempa dan tsunami, tetapi juga ke segala arah potensial datangnya gelombang Kelvin dan gelombang Swell.
Yang disesalkan, andaikata sistem ini telah terbangun, kita bisa jadi belum bisa merawatnya. Tanpa edukasi ke masyarakat yang intensif, sistem ini barangkali dalam waktu singkat akan tidak operasional lagi. Saat ini saja, banyak buoys milik Dirjen Perhubungan Laut yang hilang dicuri orang, padahal buoys itu hanya berfungsi sebagai rambu-rambu pelayaran dan tidak memiliki komponen elektronik yang mahal seperti untuk TEWS.
Dengan demikian, perlindungan pantai memang memerlukan tindakan yang komprehensif. Teknologi bisa saja berguna untuk meredam dampak bencana. Namun dalam jangka panjang perlu langkah-langkah rekondisi masyarakat agar mereka peduli bencana, termasuk hanya mengkonversi kawasan pantai dengan menyiapkan mitigasinya, tidak merusak atau menghilangkan alat-alat yang dipasang untuk sistem peringatan dini, juga tidak membuat politik ekonomi yang berakibat mangrove semakin cepat musnah.
Sementara itu hanya dengan penerapan syariat Islam yang mengatur masalah pantai sebagai kepemilikan umum (yang siapapun seharusnya memiliki akses dan menarik manfaatnya), sehingga tidak secara sembrono dikonversi menuruti keinginan para kapitalis, maka pantai kita akan lebih lestari, untuk dapat kita wariskan ke anak cucu kita.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.