Setiap awal atau akhir Ramadhan selalu terjadi perdebatan tentang teknik penentuannya. Di Indonesia yang hangat adalah perdebatan kalangan ”ahli hisab” yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis, dan”ahli ru’yat” yang diwakili NU. Ahli hisab meyakini bahwa masuknya bulan dalam kalender hijri tidak perlu lagi diamati, cukup dihitung saja, karena perhitungan astronomi dinilai sudah sangat akurat. Sebaliknya ahli ru’yat menilai bahwa meski hisab sudah amat akurat, namun kesaksian empiris adalah disyariatkan. Jadi kalangan NU juga tidak sependapat bila mereka dituduh tidak menguasai hisab. Mereka menggunakan hisab untuk menseleksi laporan ru’yat yang bisa diterima dari yang tidak – mirip yang dilakukan para ulama hadits untuk menilai kesahihan sebuah hadits. Jadi, kalangan NU yakin pahala mereka dua kali, karena memakai hisab dan ru’yat sekaligus. Meski demikian ada juga ahli ru’yat yang sama sekali mengesampingkan hisab, dengan alasan, bisa saja Allah memperjalankan bulan dan matahari di luar yang telah dihitung oleh manusia, sebagaimana kelak menjelang hari kiamat, Allah akan membuat matahari terbit dari Barat. Pendapat terakhir ini, meski menggunakan dalil yang benar, namun diaplikasikan secara kontraproduktif, karena ada pernyataan Allah di QS Yunus ayat 5:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)….
Tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak teratur menjadi alat penghitung waktu.
Di sisi lain, kalangan ahli hisab sendiri tidak sepakat tentang kriteria hisab yang digunakannya, meski mereka sama-sama menggunakan metode hisab dari astronomi modern. Contoh: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu bulan 0 derajat atau lebih di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Sedang Persis menggunakan kriteria 2 derajat. Untuk 1 Syawal 1428H mendatang, persoalan kriteria ini menjadi kritis. Pada hari Kamis 11 Oktober 2007, posisi hilal di Jakarta adalah 0.15 derajat (jadi sudah masuk kriteria Muhammadiyah, tapi belum masuk kriteria Persis). Walhasil, Muhammadiyah akan berhari-raya pada Jum’at 12 Oktober 2007. Sedang Persis dan para ahli ru’yat akan berhari-raya pada Sabtu 13 Oktober 2007, mengingat hilal setinggi itu masih mustahil dapat diru’yat. Bulan terbenam hanya 2 menit setelah matahari terbenam, sementara kecerahan matahari yang hampir sejuta kali kecerahan hilal tentu menghalangi terlihatnya hilal.
Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Selasa 11 September 2007
Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Kamis 11 Oktober 2007.
Perhatikan bahwa bentuk garis kalender berbeda dengan sebulan sebelumnya.
Ini terjadi karena perubahan posisi lintang ekliptik bulan dan matahari.
Bagaimana dengan di Timur Tengah? Menurut hisab hilal di sebagian besar negara Timur Tengah justru masih negatif. Ini karena posisi bulan saat ini agak ke selatan. Dengan demikian, menunggu ru’yat global dari kawasan itu sebenarnya sulit. Hanya Amerika Selatan yang berpeluang meru’yat Kamis sore, itupun kalau cuaca mendukung.
Masalahnya, masih ada kriteria hisab lain. Di masyarakat, termasuk di Timur Tengah, beredar pula kalender dengan kriteria ”ijtima’ qabla fajr” (konjungsi sebelum fajar) atau ”ijtima’ qabla ghurub” (konjungsi sebelum maghrib). Pada Kamis 11-Oktober-2007, ijtima’ (atau miladul hilal) terjadi pada pukul 05:01 waktu GMT, atau pukul 08:01 waktu Makkah. Ini artinya terjadi sebelum Maghrib di tempat tersebut, sehingga otomatis hari Jum’at sesudahnya masuk tanggal 1 (Syawal). Kriteria ini populer berabad-abad, karena mudah dan praktis. Perhitungan tinggi hilal di atas ufuk jauh lebih rumit dari itu. Memang jelas bahwa kriteria ijtima’ qabla ghurub dapat bertabrakan dengan ru’yat empiris. Namun justru di sinilah sering muncul laporan ru’yat yang seakan-akan sengaja dibuat untuk melegitimasi kriteria itu. Secara ilmiah ini tentu tertolak, meski secara hukum dapat disahkan, selama ada yang berani bersaksi.
Lebih aneh lagi adalah kriteria ijtima’ qabla fajr. Untuk kasus awal Ramadhan, ijtima’ terjadi pada Selasa 11 September 2007 pukul 12:44 GMT, atau pukul 19:44 WIB. Jakarta tentu saja sudah Isya’, sehingga pada saat Maghrib mustahil ada laporan ru’yat. Namun menurut kriteria ijtima’ qabla fajr, hari Rabu masuk tanggal 1, karena ijtima’ tadi terjadi sebelum fajar hari Rabu, yaitu pukul 04:40 WIB. Celakanya, orang-orang yang ingin melegitimasi kriteria hisab ini, dapat mendasarkan keputusannya pada laporan seolah-olah hilal dapat diru’yat pada Selasa sore itu, padahal Selasa sore itu ijtima’ belum terjadi.
Idealnya memang para ahli berkumpul, merundingkan kriteria hisab yang didasarkan pada penelitian ru’yat empiris yang dapat diterima secara ilmiah (ada bukti foto / video), kemudian otoritas Islam yang dapat diterima sedunia (Khalifah) mengumumkan spesifikasi ru’yat yang benar, dan itu dilakukan dalam kampanye secara global.
Namun lepas dari itu, sesungguhnya astronomi Islam tidak sekedar aktual untuk urusan awal-akhir Ramadhan, atau jadwal sholat dan arah qiblat semata. Kalau sekedar ini, umat Islam di masa Nabi juga sudah bisa melakukannya dengan baik, karena mereka orang-orang padang pasir yang akrab dengan langit, di saat dunia belum kenal listrik, kompas dan jadwal sholat. Kaum muslim di masa lalu berburu ilmu astronomi ke Mesir, Romawi, Persia, India bahkan Cina, untuk sesuatu yang lebih besar. Mereka belajar astronomi untuk menentukan posisi kapal laut dengan akurat, karena musuh-musuh mereka, terutama Romawi, sangat kuat armada angkatan lautnya. Padahal Allah berfirman dalam QS Al-Anfaal:60
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. …
Karena paradigma astronomi Islam adalah untuk jihad, maka astronomi dikembangkan dengan sangat produktif. Orang tidak menggunakan astronomi untuk berdebat soal ru’yat atau hisab yang tak menghasilkan apa-apa. Saat itu ada khalifah yang berwenang memutus perkara kapan awal dan akhir Ramadhan yang dipakai negara.
Pada masa kejayaan Islam, astronomi menjadi salah satu sains dan teknologi primadona. Ahli-ahli mekanik dan optik bekerja bersama menghasilkan instrumen astronomi (seperti sextant) yang makin teliti. Para hartawan belum merasa kaya jika belum shadaqah jariyah berupa observatorium beserta astronomnya. Para Sultan mengabadikan dirinya dalam bentuk proyek penyusunan almanak astronomi yang akan dipakai untuk bernavigasi di laut berabad-abad. Almanak ini pula yang belakangan dipakai Columbus menemukan benua Amerika, dan kapal Spanyol mencapai Filipina.
Sementara itu, ilmu ramalan bintang (astrologi) pelan-pelan tersisih, seiring dengan makin rasionalnya umat Islam, dan makin teguhnya keimanan mereka.
Dalam konteks sekarang ayat QS al-Anfaal:60 itu mestinya mengilhami kaum muslim untuk berusaha keras menguasai astronomi beserta teknologi antariksa saat ini, termasuk mengembangkan pesawat dan satelit-satelit ruang angkasa. Dengan satelit-satelit di antariksa dapat dilakukan banyak hal seperti observasi bumi guna memetakan sumber daya alam, telekomunikasi dan siaran televisi antar benua, penentuan posisi global secara teliti, pengamatan objek langit terjauh yang bebas awan, percobaan ilmiah pada kondisi bebas gravitasi, hingga pengembangan senjata canggih berbasis antariksa (”starwars”). Namun sejarah menunjukkan bahwa perkembangan astronomi dan teknologi antariksa selalu memerlukan peran negara yang kuat. Umat Islam di masa lalu memiliki negara Khilafah.Bangsa Barat sekarang memiliki negara Amerika Serikat.
Jadi andaikata umat Islam menghendaki lagi unggul dalam astronomi dan teknologi antariksa, sudah selayaknya negara Khilafah yang dulu memperkuat mereka itu ditegakkan kembali. Dan sudah selayaknya pula, kalau nanti negara itu membangun stasiun antariksa, stasiun ini tidak hanya dimanfaatkan untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan, namun yang jauh lebih besar dari itu.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah. Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700. Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium.
Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik. Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah. Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis. Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir.
Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global. Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata. Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986. Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.
Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas. Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor. Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.
Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan. Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui. Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.
Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung. Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-fram). Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik. Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan. Efisiensinya juga masih rendah. Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.
Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, gelombang laut, perbedaan panas laut dan bahan nabati.
Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM – Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007).
Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik. Beberapa negara maju punya ”kebun-angin” (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PTLB). Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan. Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa.
Demikian juga dengan gelombang laut yang terjadi antara lain oleh angin. Dengan alat yang tepat, gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi. Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai. Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan.
Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu.
Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy). Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi. Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini.
Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir. Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati. Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun. Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas). Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel. Dan biodiesel yang dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar.
Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel. Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun. Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar). Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel.
Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar. Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)!
Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura. Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses. Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis. Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya.
Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga. Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut. Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007). Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat.
Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan. Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mengembangkan.
Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan. Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan. Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Pada 25-26 Juni 2007 ini, di Jakarta berlangsung Rapat Koordinasi Nasional Infrastruktur Data Spasial Nasional (Rakornas-IDSN). Makhluk apa sesungguhnya IDSN ini?
Data Spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan, dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional. Infrastruktur berarti semua yang diperlukan guna mengelola data spasial, baik itu si data sendiri (fundamental data set), format bakunya, perangkat teknologi jaringannya, aturan main dengan data, lembaganya hingga orang-orangnya.
Istilah IDSN mulai dipopulerkan di Amerika Serikat sejak sekitar satu dekade Ide dasarnya adalah sebagian besar urusan masyarakat itu terkait dengan suatu data keruangan, yang lokasi atau posisinya itu signifikan dalam pengambilan kesimpulan.
Contoh: ketika kita memilih tempat tinggal, pekerjaan, sekolah anak hingga pilihan berlibur, semua ini pasti terkait dengan data spasial. Kita ingin tinggal di lokasi yang air atau udaranya masih baik, tidak terlalu bising, namun infrastrukturnya siap dan aksesnya mudah. Kita juga ingin bekerja di tempat yang strategis namun tidak terlalu jauh dari rumah. Demikian juga untuk yang lain. Untuk itulah kita perlu data atau informasi seperti peta, buku alamat, rute angkutan umum, kode pos dan sebagainya.
Mencari Sinergi
Berbagai lembaga membuat, mengumpulkan, mengelola, menetapkan dan menyebarkan data spasial, misalnya:
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan jaringan kontrol geodesi, geoid nasional, cakupan foto udara, hipsografi (matriks elevasi atau peta kontur), batimetri dasar laut, garis pantai, utilitas, penutup lahan, sistem lahan, dan liputan dasar laut (sea bed cover) dan sebagainya.
Badan Pertanahan Nasional dengan kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, aspek legalitas atas tanah, penggunaan tanah, zona nilai tanah / nilai aset kawasan, karakteristik tanah dan sebagainya.
Departemen Keuangan dengan data pertanahan yang terkait dengan perpajakan, tanah yang dijaminkan untuk keperluan perbankan dan sebagainya.
Departemen Dalam Negeri dengan data batas wilayah NKRI, wilayah administrasi kepemerintahan, nama-nama tempat (toponimi) dan sebagainya.
Departemen Perhubungan dengan data rute dan izin trayek transportasi umu, volume lalu lintas dan sebagainya.
Departemen Komunikasi dan Informatika dengan data wilayah kode pos, kode area telepon, posisi antene BTS telekomunikasi seluler dan sebagainya.
Departemen Pekerjaan Umum dengan data jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan bangunan (termasuk data kawasan rawan banjir), jaringan air bersih, instalasi limbah, rencana tata ruang dan sebagainya.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan data lingkungan budaya, posisi-posisi tempat atau fasilitas wisata, volume wisatawan dan sebagainya.
Badan Pusat Statistik dengan data wilayah pengumpulan data statistik, hasil kegiatan statistik dan sebagainya.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan data kuasa pertambangan, geologi, sumberdaya mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, sumur pemboran dan hidrogeologi, vulkanologi, peta rawan bencana geologi dan sebagainya.
Departemen Kehutanan dengan data kawasan hutan (termasuk lokasi-lokasi HTI dan HPH), sumberdaya hutan, keanekaragaman hayati, taman nasional dan sebagainya.
Departemen Pertanian dengan data klasifikasi tanah, lokasi lahan pangan, perkebunan dan sebagainya.
Departemen Kelautan dan Perikanan dengan data oseanografi, potensi sumberdaya laut, kondisi wilayah pesisir dan sebagainya.
Departemen Perdagangan dengan data lokasi pasar atau toko yang telah terdaftar, gudang Bulog, dan sebagainya.
Departemen Kesehatan dengan data lokasi fasilitas medis, gudang obat, daerah epidemi dan sebagainya.
Departemen Sosial dengan data lokasi masyarakat adat, kawasan pengungsian, daerah rawan sosial dan sebagainya.
Badan Meteorologi dan Geofisika dengan data iklim dan geofisika, informasi cuaca, gempa dan sebagainya.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan data cakupan citra satelit, posisi daerah yang terliput gerhana dan sebagainya.
Sebenarnya bila semua pelaku di atas mengerjakan dengan baik tugas pokoknya serta saling berkoordinasi, semua akan baik-baik saja. Realitasnya, kemampuan SDM-nya amat beragam, jumlah uang yang terlibat juga tidak sama, ditambah masyarakat sering menginginkan jalan pintas – karena jalan resminya kurang jelas atau terlalu panjang. Akibatnya, baik secara pribadi maupun kelembagaan, terjadi tumpang tindih pekerjaan.
Kalaupun pekerjaannya an sich tak tumpang tindih, namun dalam pengumpulan data masih mungkin tumpang tindih. Misalnya, suatu lembaga pemerintah telah mengadakan citra satelit yang mahal, namun lembaga lainnya membeli lagi citra yang sama, karena ketidaktahuan atau aturan main yang tidak kondusif. Celakanya, kedua pembelian tadi sama-sama harus ditanggung oleh rakyat melalui APBN.
Idealnya
Kita memang harus memiliki data spasial yang dibangun dan diselenggarakan dengan baik, dikelola secara terstruktur, transparan dan terintegrasi dalam suatu jaringan nasional. Ini akan sangat penting dalam upaya memberikan kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial antar lembaga pemerintah dan antar lembaga pemerintah dengan masyarakat. Kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial akan memberikan manfaat untuk meningkatkan efisiensi baik anggaran pemerintah, maupun masyarakat sekaligus mendorong pengembangan ekonomi.
Di level masyarakat kita membayangkan suatu aplikasi seperti berikut:
Pak Haji Ahmad bermaksud membangun sebuah pesantren terpadu, yang menggabungkan pendidikan, dakwah dan agrobisnis. Untuk itu, dia cukup menyalakan komputer, mengaktifkan koneksi internet dan membuka portal IDSN. Dia akan disambut oleh peta dasar Indonesia yang dapat diperbesar dan diklik. Aplikasi semacam ini sudah ada di internet misalnya Google Earth (http://earth.google.com).
Contoh tampilan Google-Earth – tinggal ditambah dengan aplikasi multi sektoral dalam IDSN
Salah satu aplikasi di portal impian ini adalah mencari lahan bebas masalah. Tiga masalah saja yang akan dicek: bebas bencana – bebas sengketa – dan sesuai tata ruang.
Setelah pak Haji Ahmad memilih perkiraan lokasi, dia menjalankan aplikasi untuk mencek bebas bencana – misalnya untuk bencana longsor. Sebuah modul akan mencari data hipsografi ke server Bakosurtanal – yang secara simultan (on-fly) akan diolah menjadi data lereng. Lalu modul yang sama akan mencek kondisi geologisnya ke server Badan Geologi, mencari informasi curah hujan tahunan ke server BMG, dan melihat kondisi vegetasi dari citra satelit aktual di server LAPAN. Setelah itu modul tersebut akan segera menghitung apakah daerah itu rawan longsor berdasarkan kaidah-kaidah yang diprogramkan di dalamnya. Hal serupa juga dapat dilakukan untuk bencana yang lain, dengan data pada server yang berbeda.
Kemudian setelah itu, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul untuk mencek legalitas, yang dalam hal ini akan mencari tahu ke server BPN. Dapat ditambahkan juga pengecekan ke server Depdagri untuk mencari tahu tanah itu persisnya ikut wilayah administrasi mana. Juga ke server Depkeu untuk mencari tahu status perpajakannya.
Terakhir, agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul tata ruang. Modul ini akan ”lari” ke server Departemen PU dan Bappeda.
Setelah semua informasi itu terkumpul, barulah pak Ahmad mendapat ”saran” dari komputer, untuk memutuskan apakah rencana tersebut bisa diteruskan atau dikaji ulang.
Semua ”mimpi sorga” di atas hanya akan terwujud dan efektif bila (1) semua lembaga terkait memang berniat untuk membuka data yang dimilikinya; (2) semua data yang ditawarkan itu dalam kualitas (akurasi, kemutakhiran) yang memadai serta disajikan dalam format yang dapat dibuka bersama-sama; (3) semua lembaga menyetor metadata yang berisi informasi singkat atas data spasial yang dikelolanya sehingga pencariannya mudah; (4) ada software bebas (free & open source) yang didedikasikan untuk pertukaran data dan berbagai aplikasi bersama; (5) terdapat server dan jaringan internet yang aman, lancar dan handal – tidak sering terganggu.
Beberapa informasi mungkin sama sekali bebas, sementara informasi lain dikenakan biaya – maka untuk itu perlu ada mekanisme pembayaran elektronik (e-cash) yang aman.
Suatu mekanisme pelayanan publik yang mudah, murah, aman dan berkualitas adalah kewajiban negara yang diamanahkan oleh syariah. Sejauh mana kesiapan setiap pihak yang terlibat dalam mewujudkan pelayanan publik semacam ini menjadi ”indikator kesiapan syariah” yang sesungguhnya dari setiap pelaku pelayanan publik.