Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Kalau ditanyakan ke siswa Sekolah Dasar, apa dari kemampuan aritmetika dasar yang tersulit: penambahan, pengurangan, perkalian atau pembagian, jawabannya jelas: pembagian. Dan ini ternyata berlanjut sampai siswa tadi menjadi para pejabat publik. Mereka tak mengalami kesulitan untuk menambahkan (menaikkan) harga BBM, mengurangi subsidi, atau mengalikan tunjangan anggota Dewan dengan jumlah kursi yang dimiliki. Namun mereka seperti kesemutan ketika harus membagi keuntungan dari asset-asset publik kepada para pemiliknya, yaitu rakyat.
Selama ini, pembagian tersebut banyak diserahkan pada mekanisme pasar, sebagaimana prinsip kapitalisme. BBM dengan harga yang relatif murah (dibandingkan harga di pasar dunia) dijual di SPBU, dan siapapun dapat membelinya, berapapun banyaknya. Walhasil, pemilik mobil Cherokee (yang seliter premium hanya untuk tiga kilometer) dapat menikmati subsidi BBM jauh lebih banyak dari pemilik motor (seliter premium untuk tigapuluh kilometer). Mereka yang tak punya kendaraan bermotor, tinggal di gunung, dan jarang pula bepergian, tidak mencicipi sedikitpun subsidi BBM itu.
Memang ada pembagian yang bersifat langsung, tidak dengan mekanisme ekonomi. Contohnya dulu dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sering kita saksikan: operasi pasar minyak goreng atau pembagian zakat / daging Qurban. Pembagian ini biasanya diawali dengan pendaftaran rumah tangga miskin atau mustahiq melalui RT. Mereka ini lalu diberi kupon untuk mengambil BLT, membeli minyak goreng sesuai kupon atau jatah zakat. Meski sebenarnya sudah pasti kebagian, acara pembagian ini hampir selalu dihiasi dengan antri panjang, kacau atau orang-orang yang pingsan karena kecapaian. Mereka yang tidak sabar menunggu giliran ada yang lalu menjual kuponnya ke orang lain dengan harga miring.
Salah satu teknologi yang diusulkan dalam pembagian BBM adalah smartcard. Idenya, dengan smartcard dapat diidentifikasi secara cepat orang yang akan menerima pembagian (dalam hal ini jatah BBM) termasuk jatah yang telah digunakan. Hanya pemilik smartcard (yaitu yang secara teori dianggap pantas menerima subsidi BBM) yang dapat membeli BBM dengan harga bersubsidi pada volume tertentu. Lebih dari limit volume itu, BBM harus dibeli dengan harga komersial.
Model hitungannya begini: Pada APBN-P 2007, subsidi BBM adalah Rp 61,84 Trilyun dari total subsidi 102,92 Trilyun. Subsidi lainnya meliputi subsidi listrik, pangan, pupuk dll. Menurut data BPS-2004, jumlah rumah tangga ada 52.904.295 rumah tangga. Sedang menurut Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006 (Pengkajian Energi UI), komposisi konsumsi BBM 2007 adalah: Industri 98,93 MB, Komersial 7,59 MB, Rumah Tangga 67,68 MB, Transportasi 225,40 MB dan Listrik 51,08 MB. MB adalah Juta Barrel per tahun. Dari komposisi tersebut yang langsung ke rakyat adalah sektor Rumah Tangga (minyak tanah) dan transportasi (SPBU). Pada sektor ini pula saat ini subsidi BBM ada. Dengan demikian, bila 61,84 Trilyun subsidi BBM dibagi rata ke jumlah rumah tangga, didapatkan angka Rp. 1.168.846 / rumah tangga. Nilai subsidi inilah yang akan disimpan dalam setiap smartcard yang dibagikan ke seluruh rumah tangga. Bila minyak tanah atau bensin dihargai pasar dunia yaitu Rp. 7500, maka nilai subsidi di tiap smartcard ini mencukupi untuk membeli 90 liter minyak tanah dan 144 liter bensin seharga Rp. 2500/liter. Jumlah 90 liter minyak tanah cukup untuk memasak setahun bagi rumah tangga kecil, dan 144 liter bensin cukup untuk naik motor ke tempat kerja sejauh 12 Km pp setiap hari selama setahun.
Tentu saja hitungan tadi mengabaikan kenyataan bahwa tarif angkutan umum atau angkutan sembako akan naik, kecuali kalau untuk angkutan tersebut ada suatu “smartcard khusus”. Yang jelas, SPBU yang dapat melayani pembelian dengan smartcard harus lebih dulu dilengkapi dengan komputer pembaca smartcard. Ini tentu saja memerlukan biaya baru, yang bila dibebankan kepada pemilik SPBU tentu jadi alasan penolakan mereka. Memikirkan kerumitan ini, tak heran bila asosiasi pemilik SPBU lebih suka harga BBM dinaikkan saja. Mereka tidak mau pusing, karena tujuan bisnis mereka yang penting dapat untung.
Tentu saja, teknologi smartcard tidak dapat mencegah jika smartcard dipinjamkan, disewakan atau bahkan dijual dari pemiliknya yang asli ke orang lain. Kalau orang memang tidak butuh BBM karena energinya dapat dipenuhi sendiri, ya tak ada salahnya dia “menukarkan” subsidi dalam smartcard itu secara cash. Kita ingat pada era Bantuan Langsung Tunai (BLT), ada sejumlah orang yang ingin dapat duit segera sehingga menggadaikan kupon BLT-nya. Smartcard BBM memang tidak akan diikat dengan identitas biometrik (seperti sidik jari) supaya tidak membuat orang terlalu repot dengan harus selalu hadir sendiri setiap membeli BBM, padahal seharusnya bisa diwakilkan ke anggota keluarganya yang lain. Namun ini dapat menyebabkan sasaran meleset.
Kalau diikat dengan biometrik, ya tidak perlu smartcard lagi. Langsung saja sidik jari itu yang dipakai kemana-mana guna mendapatkan pelayanan apapun. Namun dengan 220 juta penduduk, saat ini bukan tugas ringan bagi suatu jaringan superkomputer untuk setiap saat mengidentifikasi jutaan sidik jari yang harus dilayani. Jadilah saat ini teknologi smartcard yang dilirik.
Namun secara umum, teknologi smartcard sebenarnya luar biasa, terutama bila diintegrasikan dengan sistem informasi penduduk. Setiap orang dibuatkan smartcard sejak lahir, dengan nomor unik (single identity number) yang akan terus dipakai sampai mati. Smartcard anak yang belum dewasa akan dipegang orang tuanya. Pada saat pembuatan, data smartcard dikunci dengan biometriknya, sehingga bila hilang atau rusak, bisa dibuatkan lagi.
Smartcard ini mirip kartu ATM, memiliki chip yang dapat menampung berbagai informasi pribadi pemiliknya. Informasi yang dapat dimasukkan hanya dibatasi imajinasi sang penyelenggara sistem. Karena dapat terhubung ke berbagai sistem komputer dengan satu identitias tunggal, maka dari satu layar terminal saja kita dapat mengetahui riwayat kesehatannya, pendidikannya, pekerjaannya, pernikahannya, tempat tinggalnya, catatan kepolisiannya, keluarganya, rekeningnya di Bank, status langganan PLN, PAM dan teleponnya, dan seterusnya. Jadi smartcard ini adalah akte kelahiran sekaligus KTP, SIM, ID-kantor, kartu askes, kartu kredit dan sebagainya.
Catatan-catatan ini, bila berada di tangan lembaga yang tepat dan orang yang berwenang, tentu akan sangat memudahkannya dalam melayani yang bersangkutan. Bila seseorang melamar kerja atau meminta bantuan sosial, pihak pemberi keputusan dapat dengan cepat melihat apakah yang bersangkutan “tidak bermasalah” dan “layak diberi bantuan”.
Namun bila catatan ini jatuh di lembaga yang salah atau orang yang tidak berwenang, keberadaan smartcard bisa menjadi bumerang yang menjadikan hidupnya sempit.
Ada suatu illustrasi sebagai berikut: Suatu hari seseorang menelepon suatu warung Pizza untuk pesan. Si pelayan pertama-tama menanyakan nomor smartcard nya. Maka begitu dijawab, si pelayan langsung tahu, siapa orang tersebut dan di mana alamatnya. Ketika orang tadi pesan jenis pizza tertentu, si pelayan langsung menjawab bahwa itu bukan ide baik, karena jenis pizza tersebut memiliki kandungan kolestrol yang cukup tinggi, sedang di komputer ketahuan catatan medis orang tersebut. Saat orang tadi tanya, terus apa yang direkomendasikan, si pelayan menjawab “pizza Hokkian:. Dari mana dia tahu? Dari komputer ketahuan bahwa si pemesan baru saja meminjam buku tentang “Diet Hokkian” dari perpustakaan. Ketika akhirnya pesan, si pelayan minta agar cash, tidak bisa kredit, karena di komputer ketahuan juga bahwa limit kreditnya telah terlampaui. Si pemesan mengalah, dia akan bayar cash kalau pesanan sampai. Si pelayan mengatakan, kalau ditunggu, baru 45 menit pizza akan diantar, tetapi kalau datang langsung paling cuma 5 menit. Si pemesan heran, darimana tahu cuma 5 menit? Si pelayan tahu, si pemesan punya motor berikut nomor polisinya. Mendengar itu si pemesan memaki-maki si pelayan yang “sok tahu”, karena mungkin motornya lagi dipakai orang lain. Si pelayan dengan sabar menjawab agar si pemesan lebih hati-hati bicara, karena dari komputer juga ketahuan bahwa si pemesan pernah berurusan dengan polisi dengan pasal penghinaan …
Kita tahu bahwa smartcard-BBM tidak akan secanggih cerita itu. Idenya hanya untuk membagi hak atas BBM pada rakyat, sehingga semua rakyat tercukupi kebutuhan asasinya akan energi, tanpa menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar. Namun di lapangan tentu ini tidak mudah.
Barangkali lebih mudah membagikan kekayaan publik itu dalam totalitas layanan: listrik dan gas ke rumah-rumah, sarana pendidikan, kesehatan dan ibadah yang gratis dan sarana transportasi umum yang murah. Untuk memasak di rumah ada gas, walaupun terbatas. Untuk bepergian ada angkutan umum murah. Untuk sekolah anak dan berobat juga sudah gratis. Kalau sudah begitu, BBM mau naik ikut harga dunia, mungkin rakyat kecil sudah tidak begitu mikirin …
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Beberapa bulan terakhir ini Menteri Kesehatan dan departemennya masuk berita. Pertama terkait ungkapan Menkes dalam bukunya bahwa telah terjadi konspirasi antara WHO dan beberapa perusahaan farmasi yang melanggar hak-hak bangsa Indonesia. Sebabnya, virus avian flu (flu burung) yang diserahkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO), ternyata dipakai oleh sejumlah perusahaan farmasi di negara maju untuk riset dan pengembangan vaksin flu burung tanpa seijin pemerintah Indonesia, dan kemudian justru akses bangsa Indonesia atas vaksin tersebut begitu sulit atau mahal. Padahal korban tewas flu burung sudah puluhan orang.
Yang kedua adalah adalah kasus publikasi sebuah penelitian di IPB tentang terkontaminasinya sejumlah susu bayi kemasan dengan suatu jenis bakteri yang bisa berbahaya. Menkes merah telinganya atas penelitian yang menurutnya dibuat tanpa kejelasan apa masalahnya, karena menurutnya selama ini tidak ada kasus keracunan susu bayi. Menurut beberapa sumber di IPB, sebenarnya penelitian tersebut sudah dilakukan tahun 2006 lalu, dan hasilnya juga sudah ditindaklanjuti Depkes. Entah apa motivasi di balik publikasi baru-baru ini.
Kita tidak ingin mengupas tuntas persoalan yang dihadapi Menteri Kesehatan. Namun kita ingin menyoroti bahwa semua persoalan di atas berpangkal dari jeleknya manajemen riset kita. Negeri ini sudah memiliki Undang-undang no 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian & Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sipteknas). Namun faktanya di lapangan masih banyak persoalan manajemen dan teknis yang harus dipecahkan.
Pertama, tentang riset apa yang mau dilakukan, antar para pelaku riset seperti tak ada koordinasi. Sebenarnya tidak masalah ada overlap antar peneliti, karena hal itu dapat menjadi ajang validasi hasil riset antar mereka. Namun validasi ini jarang dilakukan, karena justru overlap ini terjadi lebih karena mereka tidak saling tahu. Dalam hal ini perhimpunan-perhimpunan ilmiah juga belum mampu menjadi katalisator. Perhimpunan-perhimpunan ilmiah di negeri ini kebanyakan hanya ajang silaturahmi dan “konkow-konkow” elit pengurusnya. Pengurusnya ini juga kebanyakan justru birokrat atau pengusaha, bukan peneliti tulen, dan perhimpunan ilmiah itu sekedar dipakai alibi untuk jalan-jalan atau tidur di hotel atas biaya kantor. Maka dari awal sudah dapat ditebak bahwa riset kita banyak yang tidak nyambung, baik dengan lembaga sejenis maupun dengan calon penggunanya. Dampaknya, banyak hibah-hibah riset yang ditawarkan lembaga-lembaga multinasional (misalnya Asia Pacific Network atau Uni Eropa) yang sulit dimanfaakan oleh peneliti Indonesia, sebab mensyaratkan bahwa topiknya harus regional (minimal melibatkan 3 negara) dan dikerjakan oleh beberapa lembaga dari setiap negara yang saling mengisi. Ini sekaligus indikator bahwa lembaga-lembaga riset kita miskin jejaring.
Kedua, riset-riset yang telah dikerjakan, sangat sulit diketahui orang lain akan keberadaannya. Bahkan riset-riset di perguruan tinggi, yang sudah mencetak doktor atau magister, sulit kita dapatkan secara bebas sekalipun hanya daftar judulnya saja. Sejumlah orang beralasan itu agar ide dalam karya tersebut tidak dijiplak. Namun alasan itu tentu tidak masuk akal. Di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, tesis-tesis master atau PhD banyak yang ditaruh di web sehingga dapat diunduh oleh siapa saja melalui internet, sebagian bahkan tidak sekedar judul dan abstraknya, namun bahkan full text. Mereka tidak khawatir riset mereka dijiplak orang, karena sadar, bahwa penjiplak itu sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri. Penjiplak tak akan pernah lebih maju daripada yang dijiplak. Tatkala para penjiplak berbangga diri dengan karya yang sebenarnya bukan hasil pikirannya, “korbannya” justru telah melesat jauh meninggalkannya.
Ketiga, masuknya sejumlah peneliti asing atau penelitian di Indonesia yang didanai asing tentu saja harus dicermati. Banyak peneliti di Indonesia tidak lebih dari buruh-buruh intelektual yang mau dibayar murah. Rendahnya apresiasi terhadap penelitian yang tercermin pada rendahnya APBN riset (kurang dari 0,2%) menyebabkan para peneliti terpaksa sering “mengasong”. Datangnya peneliti asing atau penelitian pesanan asing bagi mereka adalah berkah. Yang dicari sering hanya uang. Sering bahkan mereka tak tertarik menulis paper ilmiah berdasarkan data yang mereka kumpulkan sendiri. Akibatnya ribuan paper ilmiah tentang fenomena di Indonesia justru ditulis oleh orang asing.
Keempat, dunia bisnis di Indonesia masih jarang tertarik untuk terjun ke bidang baru yang sarat riset. Kalau ada insinyur Indonesia menemukan alat untuk meningkatkan efisiensi mesin mobil, mustahil dia dapat menjual alat itu agar dipakai oleh Honda di Indonesia. Agen Honda di Indonesia hanya tertarik dengan penjualan produk Jepang. Mungkin lain bila insinyur tadi ketemu chief scientist Honda di Jepang sana. Dari sini tampak, bahwa semestinya yang proaktif memasarkan hasil riset tadi adalah pemerintah.
Di beberapa negara maju, pemerintah mensponsori hasil riset untuk dikomersialisasikan dalam bentuk proyek yang berjudul Public-Private-Partnership (PPP). Contohnya, Badan Ruang Angkasa Jerman (DLR) mengembangkan satelit pemetaan berteknologi radar yang resolusinya 1 meter. Satelit bernama TerraSAR-X in dikembangkan dengan APBN Jerman (sektor publik) dan modal swasta. Operasionalisasi satelit ini, termasuk downlink data dan distribusi, juga dilakukan oleh suatu perusahaan swasta. Inilah partisipasi sektor privat. Selama masa PPP ini, data TerraSAR-X dipakai baik secara komersial (berbayar) maupun saintifik (gratis) untuk komunitas para peneliti, bahkan ke peneliti di luar negeri. Padahal 1 scene citra TerraSAR-X itu berharga 4500 Euro (sekitar Rp. 60 juta). Setelah lima tahun (yakni tahun 2012) akan dievaluasi apakah negara Jerman masih perlu membiayai proyek ini, atau keseluruhan sistem TerraSAR-X harus dibiayai swasta. Saat ini ada beberapa satelit pemantau bumi yang sepenuhnya dibiayai secara komersial, antara lain Ikonos atau Quickbird.
Model PPP sangat menarik bagi banyak investor. Tetapi tentu saja tidak segala jenis pelayanan publik (jika setuju bahwa riset seharusnya merupakan layanan publik pemerintah kepada rakyatnya) dapat dijalankan model PPP. Salah satu model PPP yang sekarang sedang dimatangkan oleh Kantor Menristek adalah membangun sistem informasi bencana. Inisiatif ini adalah untuk memberi informasi secepatnya ke semua pengguna telepon seluler di suatu lokasi bila ada bencana (misal tsunami) secara gratis. Karena pemerintah (Bakornas Penanggulangan Bencana) tidak punya cukup dana untuk menyebarkan informasi ini, maka swasta masuk. Kompensasi untuk swasta adalah mereka diberi kesempatan menyelipkan iklan. Namun secara teknis, model ini barangkali baru dapat optimal bila pengguna ponsel berteknologi 3G sudah cukup banyak. Namun bila diasumsikan yang akan memakai layanan ini adalah para turis asing yang sebagian besar sudah membawa ponsel 3G dan ingin merasa aman berwisata di pantai Kuta (Bali), mungkin kita dapat memahami.
Namun banyak pertanyaan yang muncul di sini. Bila proyek itu rugi, sejauh mana swasta ikut menanggung? Bila untung, apakah negara sebagai wakil publik ikut mendapatkan bagi hasilnya? Bila sistem gagal, sejauh mana tanggungjawab pemerintah? Lalu swasta siapa yang akan dipilih? Boleh ada berapa swasta agar tidak ada monopoli? Apakah sistemnya transparan dan bagaimana menguji akuntabilitasnya? Banyak hal-hal ini yang harus diklarifikasi dari awal. Agar PPP, terutama yang terkait dengan penelitian, tidak justru menjadi seperti sengketa operator busway dengan Badan Layanan Umum Transjakarta.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Indonesia mengalami krisis listrik. Alasannya cuaca buruk berkepanjangan, sehingga pasokan batubara dengan kapal di beberapa pembangkit besar di Jawa tidak lancar. Stock habis. Beberapa pembangkit pun padam. Terjadilah defisit listrik. Tentu saja ada kritik yang mengatakan bahwa PLTU Paiton di Jawa Timur yang milik swasta tidak mengalami keadaan itu. Mereka punya perencanaan dan manajemen yang lebih baik. Jadi, apakah alasan cuaca tadi sekedar cara untuk mendorong agar PLN diprivatisasi saja?
Pembangkitan Listrik
Listrik berdaya kecil dapat dibuat secara sederhana dengan buah-buahan yang ditusuk dua elektroda dari logam yang berbeda. Namun listrik berdaya besar pada umumnya dibangkitkan dengan sebuah generator listrik. Generator ini berada pada suatu Pusat Listrik dan digerakkan dengan sumber tenaga primer, yang di Indonesia terutama berupa minyak bumi (PLTGU, PLTD), batubara (PLTU), gas (PLTG), dan air/hidro (PLTA). Untuk membangkitkan listrik sebesar 22.000 MW, Indonesia masih sedikit memakai energi panas bumi, angin, ombak, pasang surut laut atau energi surya. Sementara itu energi nuklir baru ada dalam skala reaktor penelitian di Badan Tenaga Nuklir Nasional. Grafik berikut menggambarkan komposisi energi primer PLN.
Dari komposisi di atas, penggunaan BBM beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat meski harga minyak mentah sudah menembus US$ 100/barrel dan PLN mesti membeli dari Pertamina dengan harga pasar (non subsidi). Banyak PLTGU yang sebenarnya dapat dijalankan dengan gas atau BBM, tetapi justru selama ini menggunakan BBM. Gas sebenarnya lebih murah, namun sayangnya gas Indonesia banyak dijual dengan kontrak jangka panjang ke Cina dengan harga US$ 2,8 / mmbtu. Di pasar spot saat ini gas dihargai US$ 7-8 / mmbtu.
Kapasitas PLN 22.000 MW bila dibagi jumlah penduduk Indonesia didapatkan sekitar 100 W/orang. Andai saja listrik ini hanya untuk penerangan orang per orang saja barangkali cukup. Kenyataannya listrik juga dipakai untuk industri, perkantoran, pengaturan dan penerangan jalan umum dan sebagainya. Sebagian rumah tangga juga menggunakan listrik untuk aktivitas non penerangan, seperti menyedot air, menyetrika, memasak, menghidupkan televisi hingga mendinginkan udara. Akibatnya, baru 54% rumah tangga Indonesia yang sudah menikmati listrik (PLN Statistics 2005 dalam Indonesia Energy Outlook, hlm 64).
Dari komposisi di atas dapat dipahami bahwa pembangkitan listrik amat tergantung pada pasokan bahan bakar. Realitanya, tambang bahan bakar terletak jauh di pelosok, bahkan di pulau lain, sementara pembangkit listrik harus berada lebih dekat ke konsumen untuk mengurangi susut energi pada transmisi. PLTU atau PLTG biasanya ditaruh di tepi laut untuk mempermudah mendapatkan air pendingin serta transpor bahan bakar melalui laut. Karena itu pembangkit listrik seperti ini amat terkait dengan teknologi optimasi rantai suplly bahan bakar, sejak penambangan, pemindahan, penampungan hingga pengolahan limbahnya.
Tak heran bahwa pembangkitan listrik dalam skala besar selalu merupakan sesuatu yang padat teknologi dan karenanya padat modal. Para insinyur kita mungkin mampu membuat satu generator lengkap yang teknologinya sudah menjadi public domain (karena patent dari Siemens beberapa puluh tahun yang lalu pasti sudah kedaluarsa). Namun untuk membangun satu sistem Pusat Listrik sekelas Suralaya, tentu bukan perkara sederhana. Diperlukan banyak sekali teknologi. Karena saat ini tidak ada kontraktor lokal yang siap dan berpengalaman membangun Pusat Listrik besar sebesar ini, maka sebagian besar teknologinya masih diimpor. Karena diimpor dari negara maju, harganyapun terserah mereka. Diperlukan modal sekitar 10 Trilyun Rupiah untuk membangun PLTU sekelas Suralaya. Kalau ini dilepas ke mekanisme pasar, maka yang mampu dan berani membangunnya hanya konglomerat sangat besar kelas dunia (baca: asing). Dan mereka tentu akan minta syarat-syarat yang menguntungkan, misalnya jaminan dibeli oleh pemerintah di atas tarif dasar listrik (seperti kasus Paiton). Jika tidak, maka harga pembuatan pembangkit itu akan lebih tinggi lagi. Kita didikte, karena tidak menguasai teknologi dengan sebenar-benarnya.
Interkoneksi
Volume energi yang dibangkitkan harus dibuat sedemikian rupa agar PLN mampu memenuhi kapasitas terpasang dari konsumen. Jika kapasitas terpasang 16.000 MW, maka PLN harus siap jika seluruh konsumen menyalakan listriknya sehingga tercapai beban puncak 16.000 MW tersebut. Kemudian untuk antisipasi manakala ada pembangkit yang mati, terganggu atau ada sabotase (pencurian listrik), maka PLN harus memproduksi listrik lebih banyak, yakni hingga 22000 MW. Andaikata realitas beban jauh di bawah kemampuan maksimum PLN, maka energi listrik yang terbangkitkan akan hilang karena dalam jumlah besar energi listrik tidak bisa disimpan lagi.
Demi efisiensi, sistem listrik di Jawa-Bali dibuat interkoneksi sehingga daya yang dibangkitkan dapat digunakan bersama-sama, dan padamnya satu pembangkit karena gangguan atau perawatan tidak membuat satu kawasan padam. Sistem ini memerlukan teknologi yang handal dan ”cerdas” untuk memperkirakan dan membagi beban dari jarak jauh. Karena itu dalam sistem interkoneksi ada sejumlah pembangkit yang berfungsi sebagai pembangkit ”taktis”, yang dinyalakan begitu terdeteksi adanya kenaikan beban. Pembangkit taktis ini harus relatif mudah dihidup-matikan, misalnya pada PLTA atau PLTD.
Pada sistem yang belum terinterkoneksi seperti di luar Jawa, biaya pembangkitan listrik menjadi sangat mahal. Karena TDL berlaku nasional, maka selama ini terjadi subsidi silang dari pelanggan di Jawa ke luar Jawa.
Un-bundling
Melihat teknologi PLN seperti di atas, akan terlihat bahwa untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat yang saat ini masih rendah, idealnya seluruh aktivitas pembangkitan listrik memang terpadu, baik dari rantai produksi sejak dari sumber energi primer, maupun dari interkonektivitas antar wilayah. Jadi idealnya, PLN, Pertamina dan PGN pun disatukan saja, sehingga tidak perlu PLN membeli BBM Pertamina dengan harga pasar. Demikian juga dengan kapal tanker atau pengangkut batubara, pabrik-pabrik pembuat mesin-mesin listrik dan peralatan pertambangan, serta Perhutani yang menguasai hutan-hutan pada daerah tangkapan air PLTA-PLTA pun harusnya juga satu keluarga (”holding”) dengan PLN.
Karena itu, secara teknis rencana un-bundling atau melepas bagian-bagian dari PLN secara vertikal (menjadi perusahaan pembangkitan, perusahaan transmisi, perusahaan distribusi dan perusahaan pelayanan) maupun secara horizontal (per wilayah) justru akan tidak efisien. Kalaupun saat ini ada operasional salah satu bagian dari PLN yang tidak efisien atau mis-manajemen, maka cukup bagian itu saja yang disehatkan, dan tidak harus merombak struktur PLN yang justru merupakan penyatuan beberapa perusahaan listrik pada era pasca kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, masalah PLN seharusnya tidak disimplifikasi dengan un-bundling (dan lebih jauh lebih privatisasi) atau krisis sumber energi primer akibat cuaca, tetapi adalah masalah politik teknologi untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi di balik seluruh instalasi listrik PLN, politik investasi agar negara memiliki ketahanan energi, hingga politik ekonomi energi agar semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar energi secara murah, dan tidak terhalangi memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.