Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Tipu-tipu Blue Energy

Tuesday, June 3rd, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Tanggal 24 Mei 2008 dini hari harga BBM jadi dinaikkan.  Pemerintah berargumentasi ini untuk menyelamatkan APBN (karena asumsi harga minyak mentah sudah bergeser dari 95 menjadi 110 US$/barrel), mengurangi kemiskinan (karena subsidi dialihkan dari subsidi barang ke subsidi orang), dan ini alternatif terakhir setelah harga minyak di tingkat global makin menggila.  Banyak pakar mengkritik argumentasi ini.  Dalam asumsi APBN-P kedua 2008 disebutkan bahwa meski harga BBM telah dinaikkan, subsidi BBM masih naik dari 125,8 menjadi 132,1 Trilyun Rupiah, defisit APBN hanya turun dari 94,5 menjadi 82,3 Trilyun rupiah, dan inflasi naik dari 6,5% menjadi 11,2%.  Inflasi inilah yang akan melibas seluruh rakyat.  APBN selamat namun rakyat sekarat, karena APBN sebenarnya hanya memainkan kurang dari 20% ekonomi Indonesia.

Dan tentang alternatif: sebenarnya banyak alternatif yang telah dimunculkan, mulai dari Indonesia membeli minyak dengan harga khusus ke Iran (yang sama-sama anggota OKI) atau Venezuela (yang sama-sama anggota OPEC), pajak progresif untuk sumberdaya alam, negosiasi ulang komitmen ekspor batubara dan LNG untuk diprioritaskan memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, pengembangan energi terbarui pada skala besar, hingga penghapusan dan penjadwalan kembali pembayaran bunga dan cicilan utang yang mencapai Rp. 151 Trilyun per tahun.  Namun semua opsi ini seperti tidak ditanggapi serius pemerintah.  Pemerintah sepertinya hanya fokus pada konversi minyak tanah ke elpiji (dibuktikan dengan membagi-bagi kompor elpiji ukuran 3 kg) dan – ini yang mengherankan – pada bahan bakar ajaib: “blue energy”.

Adalah Joko Suprapto, orang Nganjuk yang konon menemukan bahan bakar dari bahan baku hidrogen dan karbon, yang sama sekali tidak bersumber dari fossil tetapi dari air (www.presidensby.info diakses 3 Dec 2007).  Tanpa diminta presentasi ilmiah dulu di depan panel pakar kimia dan mesin, bahan bakar buatan Joko ini langsung diuji. Pada 25 Nov 2007, rombongan kendaraan berbahan bakar – oleh SBY dinamai “Minyak Indonesia Bersatu” atau “Blue Energy” – langsung diberangkatkan dari kediaman SBY di Cikeas menuju Bali untuk ikut pameran dalam rangka konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC).  Rombongan itu sampai di Bali.  Ketua Tim Blue Energy yang juga staf ahli presiden Heru Lelono, menunjukkan bahwa bahan bakar itu sama dengan premium, bahkan emisinya lebih bersih?  Waktu itu dijanjikan bahwa blue energy akan siap dipasarkan pada bulan April dengan harga hanya Rp. 3000 per liter.

Banyak ilmuwan skeptis.  Bahkan skeptisme itu termasuk sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan.  Penulis sendiri termasuk yang dari awal yakin bahwa itu hanya sejenis “hoax” (tipu-tipu).  Namun baiklah, kita beri kesempatan sampai April. Konon di Cikeas juga sudah ada aktivitas untuk membuat pabriknya, walaupun murni swasta.  Pemodalnya Heru Lelono cs.  Namun ini juga janggal, karena konon bahan bakunya mau ambil dari air laut saja.  Padahal Cikeas jauh dari laut.  Yang jelas, sejak dipamerkan di Bali, meski ada sampelnya yang diberi kode K-99 sebagai pengganti premium, dan ada juga yang sejenis untuk pengganti avtur, solar, atau minyak tanah, tetap saja misterius.  Pasalnya, tidak ada penjelasan ilmiah bagaimana semua itu dibuat, kecuali bahwa itu dengan “teknologi matahati” yang konon bersumber dari ayat al-Qur’an.

Orang Islam banyak yang langsung antusias kalau disebutkan teknologi bersumber dari al-Qur’an.  Padahal suatu hukum fisika tidak memerlukan dalil apapun dari suatu kitab suci.  Hukum fisika bersifat empiris.  Kalau suatu proses itu memang bisa dilakukan secara teknis, maka tak ada dalil yang dapat memustahilkannya.  Dan kalau suatu proses itu mustahil secara teknis, maka juga tak ada dalil yang dapat mengesahkannya.  Dalil syariah hanya diperlukan untuk soal apakah suatu penelitian itu halal atau haram dilakukan, dan kalau halal diteliti, lalu hasilnya apakah halal atau haram untuk dimanfaatkan.

Bagaimana jika K-99 itu sebenarnya memang hanya pertamax atau sejenisnya, lalu diklaim dibuat dari non fossil tetapi berhasil dibuat sangat mirip? Tidak ada cara membuktikannya kecuali menunjukkan prosesnya!

Lagi pula, kalau memang ini benar, sudah diam-diam saja, langsung produksi massal, pasarkan.  Pasti untung besar.  Tetapi mungkin mereka mencari pemodal besar dulu untuk bikin pabrik (yang dapat ditipu dulu) …

Kini kita semua menyaksikan, sudah bulan Juni, blue Energy tidak pernah muncul.  Yang ada adalah Joko Suprapto sempat diberitakan raib (diculik?), meskipun lalu muncul lagi.  Memang pernah ada film Hollywood yang menceritakan seorang professor penemu bahan bakar pengganti minyak, yang diculik komplotan yang tidak ingin dominasi perusahaan minyak dunia goyah.  Tapi itu kan fiksi.  Rupanya penemuan Joko ini fiksi juga.  Kini lebih banyak lagi yang terungkap.  Rupanya Joko Suprapto ini pernah datang ke UGM untuk minta pengakuan atas “penemuannya” berupa lemari misterius penghasil listrik.  Namun karena tidak mau membuka bagaimana proses listrik itu terjadi, oleh rektor UGM kala itu disindir sebagai “Pembangkit Listrik Tenaga Jin” (www.detik.com).

Banyak orang mulai khawatir: di lingkar pertama SBY ada orang-orang yang gampang ditipu!  Bagaimana kalau kebijakan penaikan harga BBM sendiri penuh dengan tipu-tipu?  Apalagi analisis ekonomi energi dan APBN jauh lebih rumit daripada soal kimia-fisika blue energy.

Hukum Termodinamika-2

Di fisika dikenal hukum kekekalan massa-energi.  Sifat kekal ini bukan seperti kekekalan Allah swt.  Ini hanya sifat kekal yang diamati dalam reaksi di suatu sistem (lab).  Sebenarnya ada lagi hukum yang sangat penting yang disebut hukum termodinamika 2.  Isinya adalah bahwa energi yang dapat dimanfaatkan itu selalu berkurang karena terserap oleh apa yang disebut “entropi” alam.  Entropi adalah tingkat ketidakteraturan alam.

Hukum termodinamika-2 sudah teruji.  Sebenarnya cukup satu experimen saja – bila valid – untuk menggugurkan hukum ini.  Yaitu menghasilkan mesin dengan efisiensi lebih dari 100%!  Semua mesin adalah mengkonversi energi.  Mesin mobil mengkonversi energi kimia dalam BBM ke energi mekanis.  Generator PLN mengkonversi energi kimia (pada PLTU) atau mekanis (pada PLTA) ke energi listrik.  Efisiensi mesin-mesin ini hanya berkisar dari 30% – 70%.  Banyak energi terbuang oleh gesekan menjadi energi panas yang tidak bisa dimanfaatkan.  Energi buangan ini menambah entropi mesin, yakni mesin akan aus dan lambat laun rusak.

Jika ada mesin dengan efisiensi lebih dari 100%, artinya kita mendapatkan energi yang lebih banyak daripada yang dimasukkan.  Jika ada mesin dengan efisiensi 200% saja, maka seluruh persoalan energi di dunia selesai.  Mesin itu akan berfungsi tanpa henti (perpetuum mobile).  Tapi yang seperti ini tidak pernah ada.

Semua riset yang ada saat ini hanyalah meningkatkan efisiensi konversi energi.  Popularitas mobil terjadi karena ada bahan bakar minyak yang praktis, mudah dibawa dan kandungan energinya cukup tinggi (pada minyak mentah: 42100 KJoule/kg).  Sebagai perbandingan, pada accu mobil canggih yang hanya seberat 10 kg, daya simpan energi (12V/60Ah), hanya setara dengan 260 KJoule/kg.

Andaikata sumber energi primer sudah terselesaikan dengan energi nuklir atau energi terbarukan (panas bumi, surya, angin, atau ombak), maka masalah utama sistem transportasi jalan raya adalah menyimpan energi itu agar dapat mudah dibawa, syukur-syukur tanpa memodifikasi apapun pada mesin.

Substansi air tak akan pernah menjadi sumber energi.  Tetapi dari air mungkin dibuat penyimpan energi sangat padat (minimal 120067 KJoule/kg = 3 x minyak).  Air dapat dipisahkan kembali (elektrolisis) ke unsur-unsur asalnya yaitu hidrogen dan oksigen.  Proses pemisahan ini tentu memasukkan energi (endoterm).  Hidrogen dan oksigen ini kemudian dipisahkan dalam suatu tabung tekanan tinggi yang aman.  Ketika hidrogen dipertemukan kembali dengan oksigen, tentu akan muncul reaksi yang mengeluarkan energi (eksoterm) dan hasil reaksi itu kembali air.  Proses ini biasa dipakai dalam peluncuran roket ke luar angkasa. Namun dalam proses ini, energi endotermis pasti lebih besar dari eksotermisnya.  Dengan kata lain tidak mungkin membuat bahan bakar dari air!

Satelit Surveillance

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Dari zaman dulu, hampir setiap manusia ingin mengamati lingkungan sekitarnya.  Setiap raja ingin memantau baik kondisi fisik maupun sosial wilayah kekuasaannya.  Ketika dunia memasuki era ruang angkasa tahun 1950-an, impian itu mulai menjadi kenyataan.  Sejak itu sudah ribuan satelit buatan yang diluncurkan ke orbit atau bahkan ke bulan dan planet-planet lain.  Meski semula menjadi dominasi dunia militer, lambat laun teknologi pemantauan bumi menjadi kebutuhan sehari-hari.  Dunia penerbangan, pelayaran dan pertanian tak bisa lepas dari ramalan cuaca yang sebagian besar datanya berasal dari satelit cuaca.  Dunia bisnis properti juga semakin akrab memakai citra satelit beresolusi tinggi.  Kemudian sejak beberapa tahun yang lalu, citra satelit bahkan dapat diakses semua orang lewat internet, sejak Google membuat layanan earth.google.com yang gratis.

Tak heran bahwa di tanah air, muncul obsesi memiliki satelit pemantau (surveillance satellite) sendiri untuk memantau seluruh penjuru Nusantara.  Dengan satelit ini diharapkan pelanggaran wilayah laut oleh kapal-kapal asing, baik penyelundupan maupun penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), pembalakan hutan (illegal logging), penambangan liar (illegal mining) hingga bencana alam, kecelakaan transportasi dan kerusuhan dapat dimonitor secara terus menerus.

Pertanyaannya, masuk akalkah impian ini? Bagaimana sebenarnya sistem pengawasan melalui satelit saat ini?

Teknologi Satelit

Bila kita bicara satelit, kita mengenal setidaknya enam jenis satelit.  Yang paling awal adalah satelit untuk tujuan mempelajari ruang angkasa.  Inilah satelit pertama yaitu SPUTNIK yang diluncurkan Uni Soviet tahun 1959, juga satelit stasiun ruang angka internasional (International Space Station ISS) yang sekarang menjadi tempat kerja sejumlah astronot Amerika, Eropa, Rusia dan Jepang.

Yang kedua adalah satelit telekomunikasi, sebagai contoh adalah satelit Palapa yang dibeli Indonesia pada 1970-an dan sudah disusul berbagai generasi.  Satelit jenis inilah yang faktanya paling populer.  Di beberapa kalangan, bila bicara satelit, yang dimaksud adalah antena parabola penerima siaran televisi yang dipancarkan dari satelit.

Yang ketiga adalah satelit navigasi, yang kini semakin populer dengan semakin murahnya harga sistem penentu posisi global (Global Positioning System, GPS) yang mengandalkan satelit yang dipasang militer AS namun dapat dipakai kalangan sipil di seluruh dunia dengan akurasi lebih rendah.

Yang keempat adalah satelit militer yang dibekali dengan senjata laser.  Inilah proyek star wars Ronald Reagan, presiden Amerika tahun 1980-an di era Perang Dingin.

Yang kelima adalah satelit pemantau langit atau satelit astronomi, misalnya pembawa teleskop “Hubble”, radio-astronomy “Hyparchos” atau pemantau matahari “Soho”.

Dan yang terakhir adalah satelit pemantau bumi, sesuai missi NASA yang beralih dari misi ke planet lain ke “Mission to Planet Earth”.  Dan inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.

Satelit Pemantau Bumi

Sebelumnya perlu diketahui bahwa untuk memantau bumi, satelit harus terbang pada ketinggian orbit tertentu.  Makin jelas objek yang ingin dipantau, makin rendah orbit itu.  Namun makin rendah orbitnya, area cakupannya makin sempit, dan kunjungan ulang (revisit) pada daerah yang sama makin lama.  Ini sesuatu yang saling bertentangan dengan keinginan kita.  Kita maunya melihat seluruh nusantara, detil, dan terus menerus sepanjang waktu.

Satelit pemantau cuaca global seperti Meteosat, harus dipasang pada orbit geostasioner pada ketinggian 36000 Km di atas permukaan bumi.  Satelit ini praktis diam di atas satu titik dan dapat melihat sepertiga permukaan bumi terus menerus.  Namun titik elemen gambar (pixel) yang terlihat sangat kasar (sekitar 8 km x 8 km).  Satelit cuaca ini dapat memantau pergerakan awan, namun tidak bisa melihat kapal induk apalagi mobil.

Satelit yang agak lebih detil, misalnya NOAA, ada pada orbit kutub setinggi 870 Km dan pixel 1 km x 1 km.  Satelit ini biasanya dipakai untuk mengenali gunung es atau titik api (hotspot) pada kebakaran hutan.  Namun untuk kehalusan  seperti itu, NOAA sudah tidak geostasioner lagi.  Dia mengelilingi bumi sehari beberapa kali untuk selalu dapat memantau daerah yang sedang siang hari.  Akibatnya tempat yang sama baru dilintasi ulang setelah 101-102 jam (4 hari).

Untuk pemantauan sporadis, cukup banyak data satelit yang dapat kita beli, seperti LANDSAT dari NASA yang lazim dipakai Departemen Kehutanan untuk memantau perubahan landcover terutama kawasan hutan.  Satelit ini terbang pada orbit setinggi 185 Km dengan revisit tiap 16 hari.  Besar pixelnya adalah 30 x 30 m.

Selain LANDSAT ada juga satelit SPOT dari Perancis, Aster dan ALOS dari Jepang, dan IKONOS serta Quickbird dari Amerika.  Saat ini satelit sipil yang pixelnya paling halus adalah Quickbird, yakni 60 cm x 60 cm.  Sebuah mobil akan kelihatan cukup jelas pada satelit ini.  Namun tempat yang sama baru akan dikunjungi lagi kurang lebih setelah dua bulan!

Semua satelit di atas memiliki sensor optis, yang bilamana permukaan bumi tertutup awan atau asap mereka tidak mampu menembusnya.  Oleh sebab itu sangat sulit untuk memantau suatu daerah terus menerus, karena selain kunjungan ulang baru setelah 4-60 hari, juga ada kendala awan atau asap.

Yang mampu tembus awan adalah satelit dengan sensor radar, misalnya Radarsat (Canada), ERS (Eropa), ALOS-Palsar (Jepang) dan TerrasarX (Jerman).  Citra radar ini membutuhkan SDM dengan kemampuan interpretasi yang lebih canggih, karena sifat-sifatnya sangat berbeda dengan citra optis biasa.

Namun baik sensor optis maupun radar, semuanya tidak akan mampu memantau permukaan nusantara secara terus menerus sekaligus.  Mereka harus senantiasa mengelilingi bumi, sehingga rata-rata suatu lokasi di nusantara baru dapat dicitra ulang paling cepat 4 hari sekali.  Adapun bila akan dicitra seluruhnya, masih akan memerlukan waktu minimal 3-4 bulan karena kemampuan teknis satelit yang masih terbatas.

Menuju Kemandirian Satelit.

Untuk wilayah Nusantara, sistem pengawasan terus menerus yang ada hanyalah dari satelit cuaca internasional (Meteosat, NOAA-AS, atau FengYun-Cina).  Penerimaan data satelit ini dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).  Mereka menerima data ini dalam suatu kerjasama ilmiah, di mana BMG atau LAPAN wajib membiayai sendiri perawatan sistem penerima data dan membagi hasil analisisnya ke komunitas internasional.

Untuk Landsat atau SPOT, LAPAN pernah menggunakan sistem sewa tahunan (sekitar US$ 1 juta untuk Landsat).  Setelah itu LAPAN berhak menjual data Landsat yang diterimanya (yaitu hanya atas wilayah Indonesia) kepada pihak ketiga.

Untuk citra satelit lainnya (Ikonos, ALOS, TerrasarX, dsb), biasanya dilakukan by project (kasus), scene by scene.  Ada yang didapatkan dalam kerjasama ilmiah, namun pada umumnya suatu scene citra dibeli secara komersial (Ikonos sekitar US$ 26 / Km2 dan minimal US$ 2000, ALOS-avnir sekitar ¥ 5 / Km2 dan minimal ¥ 25000, sedang TerrasarX sekitar € 2.5 per km2, minimal 1 scene seluas sekitar 1800 Km2).  Bila pengguna di dalam negeri semakin banyak dapat kita hitung berapa devisa yang harus dikeluarkan untuk impor citra satelit resolusi tinggi.

Kalau kita asumsikan daerah darat dan laut nusantara yang akan dipantau itu seluas 5 juta Km2, maka pencitraan dengan TerrasarX minimal sekali setahun akan menghabiskan dana € 12,5 juta atau Rp. 175 Milyar.  Namun citra TerrasarX yang tembus awan ini mesti dilengkapi dengan misalnya ALOS atau IKONOS untuk beberapa analisis.  Kalau diasumsikan wilayah perkotaan kita adalah 10% daratan Indonesia harus “disapu” dengan I

Jembatan Selat Sunda

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

 

Konon pada zaman es, pulau Sumatra, Jawa, dan Bali masih terhubung daratan dengan benua Asia.  Karena itulah hewan-hewan di wilayah ini ada kemiripan.  Kini, kondisi itu dimimpikan muncul lagi, setidaknya dalam wujud jembatan yang menghubungkan Malaysia dengan Riau melalui sejumlah pulau di Selat Malaka, kemudian jembatan Sumatra-Jawa melintasi Selat Sunda, jembatan Jawa-Madura (sedang dibuat dalam proyek Suramadu) dan jembatan Jawa-Bali.  Jadi nantinya, untuk ke Bali, turis dari Eropa dapat naik mobil saja, sekalipun ada kemungkinan lebih mahal daripada naik pesawat.

Ide jembatan Selat Sunda menghangat lagi ketika akhir-akhir ini cuaca buruk berkali-kali membuat kapal-kapal feri terlambat.  Akibatnya antrian penyeberangan mengular hingga 15 Km atau 2-3 hari, dari semula hanya 2-3 jam saja.  Kalau yang antri itu truk pengangkut ayam potong, bisa-bisa ayam-ayam tersebut sudah mati duluan karena lemas atau kelaparan.  Cuaca buruk juga sempat membuat pasokan batubara untuk PLTU Suralaya terganggu, dan Jawa mengalami krisis listrik.

Tahun 1960, Prof. Sediyatmo (yang namanya diabadikan untuk jalan tol bandara SukarnoHatta) sudah melontarkan gagasan jembatan Selat Sunda.  Tahun 1986 BPPT ditugaskan Presiden Soeharto mengkaji penghubung Tri-Nusa-Bima-Sakti (Sumatra-Jawa-Madura-Bali).  Waktu itu yang sempat mengemuka adalah terowongan.  Namun ide terowongan akhirnya disingkirkan dengan sejumlah alasan: adanya palung sedalam 150 meter dengan lebar hingga 4 Km yang membuat panjang terowongan menjadi 2x panjang jembatan (biaya lebih besar), terowongan hanya dapat dilalui kereta listrik (sehingga mobil atau truk harus dinaikkan keatas kereta seperti pada terowongan Selat Kanal yang menghubungkan Inggris-Perancis) dan terowongan tidak dapat menjadi landmark.

Jarak terpendek di Selat Sunda: 27 km, dengan pulau-pulau di antaranya: Sangiang, Rimau Balak, Sebuku, Sebesi, Ular, Tempurung dan Krakatau.

Jalur terpendek in menurut survei geologi dan vulkanologi sudah cukup aman.  Jalur subduksi Sunda yang rawan gempa ada jauh di selatan.   Demikian juga gunung Krakatau berada cukup jauh.  Namun demikian konstruksi jembatan harus dirancang tahan tsunami, yang diramalkan dapat terjadi bila Krakatau meletus lagi kurang lebih tahun 2300-an.  Memang masih lama, namun untuk ukuran jembatan, 300 tahun “relatif muda”.  Di Eropa ada sejumlah jembatan yang telah berdiri sejak zaman Romawi Kuno.

Yang menjadi pertimbangan juga adalah arus laut (0.95 m/s) dan kecepatan angin (15-18 knots).  Desain konstruksi harus memiliki kekuatan yang tahan 3x arus dan angin tersebut.  Memang belum ada pengukuran dalam skala yang diperlukan untuk elevasi pasang surut, tinggi dan perioda gelombang, arah/kecepatan angin dan arus, curah hujan, kelembaban, suhu, tekanan udara dan penyinaran matahari.

Model jembatan yang didesain adalah kombinasi jembatan cancang dan jembatan gantung.  Karena Selat Sunda ada pada jalur internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia), maka Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta bahwa di bawah jembatan utama harus bebas (clearance) setinggi 100 meter!  Dengan demikian kapal tanker atau kapal induk terbesar di dunia pun dapat melintas dengan aman di bawahnya. Untuk itu bentang jembatan utama kira-kira akan sepanjang 3300 m.  Jembatan gantung terpanjang di Indonesia saat ini baru 350 m!   Namun di dunia saat ini jembatan dengan bentang 3300 m sudah ada, yakni yang menghubungkan Italia dengan pulau Sicilia di Messina.

Menurut Dr. Pariatmono, Asisten Deputi Menristek urusan Promosi dan Komersialisasi Iptek, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri dan Sistem Transportasi telah melakukan kajian yang cukup intensif atas jembatan-jembatan antar pulau. Sebagian yang telah dilaksanakan adalah jembatan Suramadu (dalam proses) dan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) yang telah selesai dan beroperasi.  Kajian yang perlu dilakukan sebelum jembatan antar pulau dibangun meliputi kondisi alam (topografi darat, geologi, geomarine, geofisik, geoteknik), teknis struktur (aerodinamika, getaran) dan sosial ekonomi (lalu lintas, perkembangan wilayah).

Kompleksitas pembangunan jembatan Selat Sunda membuat prediksi biaya yang dibutuhkannya sangat tinggi.  Hitungan dari Prof. Wiratman (guru besar teknik sipil ITB) biayanya sekitar US$ 8 Milyar.  Sedang hitungan konsorsium dari AS, Korea dan Jerman, sekitar US$ 15 Milyar, namun dengan desain multiguna, jadi jembatan bukan hanya untuk lalu lintas jalan raya (tol), namun juga untuk kereta api, kabel-kabel listrik, fiber optik, pipa BBM, pipa gas dan bahkan untuk pengendara motor, sepeda dan pejalan kaki.  Dengan saat ini sekitar 4 juta motor per tahun yang menyeberangi selat Sunda, jelas rancangan multiguna ini cukup menarik.  PLTU besar bahkan dapat dibangun di dekat tambang batubara di Sumatera, sedang yang ke Jawa cukup kabel listrik saja.

Meski benefit secara nasional cukup besar, namun dengan kemampuan APBN yang ada sekarang, beranikah pemerintah segera membangun jembatan ini?  Kalau jembatan ini dibangun dalam 5 tahun, maka setiap tahun harus dianggarkan dana sekitar Rp 25 Trilyun?  Ini sudah 70% anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun dan merawat jalan negara, jembatan dan infrastruktur lainnya di seluruh Indonesia.

Karena itu Presiden SBY menyambut baik inisiatif group Artha Graha (milik Tommy Winata) dan Media Group (milik Surya Paloh) untuk membangun jembatan Selat Sunda ini dengan prinsip Building – Operation – Transfer (BOT). Jadi jembatan dibangun oleh swasta, dioperasikan dengan sistem konsesi selama 30 tahun, baru kemudian diserahkan kepada negara.  Namun tentu saja swasta cerdik juga.  Dia tidak hanya meminta konsesinya seperti lazimnya membangun jalan tol, namun juga meminta kompensasi lahan di Banten dan Lampung masing-masing 10.000 hektar dan bagian dari sumberdaya alam di kedua provinsi itu.

Tinggal pemerintah sebagai pengurus dan pelindung masyarakat harus lebih cerdik lagi.  Jangan sampai nanti lahan 20.000 hektar sudah diberikan dan oleh mereka sudah dijadikan real estate dengan total nilai lebih dari Rp. 100 Trilyun, namun jembatannya tidak jadi-jadi.  Sekarang saja, jembatan Suramadu mengalami hal sejenis.  Biaya membengkak terus dengan berbagai alasan.  Di Jakarta bahkan proyek monorel yang jauh lebih sederhana juga terbengkelai.  Di banyak tempat di Kalimantan atau Sumatra, proyek pertambangan atau perkebunan tidak sukses, karena pengusahanya sebenarnya hanya mengincar kayu yang akan digundulinya dulu dari area hutan yang konon potensial untuk perkebunan atau pertambangan tersebut.  Kata Nabi, tidak boleh seorang muslim itu terperosok dalam lubang ular dua kali