Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Matematika Islam bukan Numerologi

Wednesday, December 17th, 2008

Dr. Fahmi Amhar

Apakah itu matematika Islam?  Di masa kini ada sejumlah orang yang memahami “matematika Islam” sebagai islamic numerology.  Contoh praktisnya adalah menghitung-hitung jumlah ayat atau huruf tertentu di dalam surat Al-Qur’an kemudian mencari-cari bentuk atau makna yang unik dari situ, misalnya dengan klaim diketemukannya bilangan prima 19 sebagai faktor dari jumlah-jumlah tadi, atau bahwa di dalam ayat tertentu ternyata tersembunyi bilangan kecepatan cahaya, panjang keliling bumi atau bahkan tanggal robohnya gedung WTC akibat ditubruk oleh pesawat pada 11 September 2001 alias tragedi 911.

Tentunya ini semua hanya mencari-cari atau “otak-atik gathuk”, mirip orang yang mencari nomor togel dari angka-angka yang tidak ada hubungannya (sekalipun itu nomor ayat al-Quran).  Ini karena bilangan kecepatan cahaya adalah tergantung dari satuan panjang dan waktu yang digunakan, dan semua orang tahu bahwa meter dan detik adalah kesepakatan teknis manusia zaman mutakhir.  Kalau “meter” diganti “mil” saja, angka itu sudah pasti berubah.  Demikian juga, tanggal 11 September adalah kalender Gregorian.  Orang-orang Kristen Orthodox yang tetap menggunakan kalender Julian menunjuk pada tanggal yang berbeda, sebagaimana mereka saat ini menunjuk 6 Januari kita sebagai hari Natal, dan bukannya 25 Desember, meski di kalender Julian itu tertulis 25 Desember.

Kalau kita kembali ke zaman peradaban emas Islam, ternyata matematika Islam dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda.

John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to European mathematicians of the sixteenth, seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathematicians around four centuries earlier.”  (Penelitian terkini memberikan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita.  Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15, 17 dan 18, ternyata telah dikembangkan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat abad lebih awal).

Al-Khawarizmi (780-850 M), yang dari namanya muncul istilah “algoritma” yang lazim digunakan di dunia ilmu komputer, memberikan sumbangan signifikan ke ilmu aljabar, yang diturunkan dari judul bukunya “Kitab al-Jabar wa al-Muqabalah”, yang merupakan buku pertama tentang dasar-dasar aljabar.  Suatu riwayat menyebutkan bahwa beliau menekuni aljabar setelah mendapat pertanyaan tentang teknis pembagian waris.  Sebagaimana diketahui hukum waris dalam Islam cukup rumit sehingga dalam kasus-kasus tertentu membutuhkan seorang ahli aljabar untuk menghitungnya secara rinci.

Dalam bukunya ini, al-Khawarizmi juga memperkenalkan penggunaan angka Arab (sistem per-sepuluhan), yang aslinya adalah angka India.  Namun di India angka ini tidak populer dalam perhitungan sehari-hari, karena merupakan priviles para pendeta Hindu dalam komunikasi di antara mereka.  Selain itu al-Khawarizmi juga membuat perbaikan dengan memperkenalkan notasi pecahan sebagai desimal di belakang koma.

Al-Kindi (801-873) adalah perintis dalam analisis kriptologi, yaitu ilmu persandian suatu teks sehingga hanya dapat dimengerti bila diketahui kuncinya. Persandian mutlak diperlukan agar suatu teks yang dikirim melalui jalur komunikasi tidak diketahui atau digunakan orang yang tidak berhak.  Aplikasinya mencakup perlindungan data ATM atau kartu-kredit, hingga agar ponsel kita tidak disadap.  Semua teknik dasar al-Kindi ini masih dipakai hingga kini, termasuk di salah satu badan intelejen Amerika yaitu National Security Agency (NSA) yang mempekerjakan ribuan matematikawan untuk mengurai teks-teks tersandi yang bersliweran di internet.  Dalam buku A Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages ditunjukkan bagaimana al-Kindi mengurai suatu teks tersandi dengan analisis frekuensi.

Teknik induksi matematika muncul pertama kali dalam buku tulisan Al-Karaji sekitar tahun 1000 M, yang menggunakannya untuk menguji teorema binomial serta jumlah dari kubus integral.  Sejarawan matematika F. Woepcke memuji Al-Karaji sebagai “yang pertama mengajarkan teori kalkulus aljabar”.

Ibn al-Haytham adalah matematikawan pertama yang menurunkan rumus persamaan pangkat empat, dan menggunakan metode induksi untuk mengembangkan rumus umum segala persamaan integral – apa yang di Eropa baru dikembangkan Newton dan Leibniz empat abad setelahnya.  Pekerjaan Ibn al-Haytham diteruskan oleh Sharaf al-Din al-Tusi (1135-1213) yang menemukan solusi numerik untuk persamaan kubik sehingga menjadi penemu deret kubik yang merupakan hal esensial dalam kalkulus differensial.

Pada abad-11 M, seorang penyair yang juga matematikawan (suatu kombinasi yang saat ini amat langka), yaitu Umar Khayyam adalah yang pertama kali menemukan solusi geometris dari persamaan kubik (yaitu bentuk-bentuk seperti ellips, parabola, dan hyperbola) dan memberi dasar bagi geometri analisis, geometri aljabar dan non-euclidian geometri.  Yang terakhir inilah yang di awal abad-20 memberi jalan bagi Albert Einstein untuk mengembangkan fisika relativitas!

Capaian matematikawan muslim juga meliputi penemuan trigonometri sferis, yang menjadi dasar segala perhitungan penentuan lintang bujur di atas bumi, hal yang amat mendasar di dunia astronomi, geodesi dan geografi.  Mereka juga menciptakan tabel-tabel sinus-cosinus-tangent dengan teknik perhitungan deret trigonometris.

Ini hanyalah sedikit dari “gunung es” matematikawan pada masa khilafah Islam.  Kebutuhan mengurusi umat dan memenangkan jihad serta dorongan spiritual dari beberapa perintah al-Qur’an membuat kaum muslim bergiat dalam matematika, yang tidak sekedar berhenti pada olah pikiran, namun juga menghadirkan sesuatu yang real bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Matematika Islam telah mengusir numerologi Yunani, Mesir, Persia atau India kuno ke keranjang sampah peradaban.  Aneh bila pada saat ini sejumlah orang yang ihlas dan ghirah Islamnya tinggi justru terjebak pada pengembangan numerologi yang sejenis, yang tidak pernah terbukti mampu mengangkat peradaban manusia.

(dimuat di Media Umat no 3, Desember 2008)

Teknologi Anti Korupsi

Wednesday, September 10th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

Berniat menyusul “sukses” konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNCCC) di Bali akhir 2007 lalu, Indonesia kembali menjadi tuan rumah konferensi serupa, yaitu konferensi PBB tentang anti korupsi ke-2 atau Conference of States Parties to the United Nations Convention Against Corruption 2 (COSP-2 UNCAC), yang juga akan diselenggarakan di Bali pada 28 Januari hingga 1 Februari 2008.

Kalau pada UNCCC salah satu yang mengemuka adalah tuntutan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan untuk mencegah atau mengurangi gas rumah kaca, maka pada UNCAC ini yang mengemuka adalah teknologi untuk mencegah dan mengurangi korupsi.

Apakah ada teknologi anti korupsi seperti ini?  Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan luar biasa, yang terkait dengan masalah ahlaq?  Mungkinkah ada teknologi yang dapat menggiring agar ahlaq seseorang lebih lurus?  Pertanyaan ini memang sangat filosofis, dan perlu dijawab sebelum kita memutuskan apakah teknologi dapat efektif untuk memerangi korupsi atau tidak?

Dari pengamatan kita dapat melihat bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak faktor: motivasi pribadi, kultur/kesempatan yang diberikan lingkungan, dan paksaan sistem.  Paksaan sistem dapat berupa peraturan dan dapat pula berupa teknologi.

Contoh: Untuk untuk mencegah agar jalan tidak macet oleh para penyeberang sembarangan, kita bangun jembatan penyeberangan.  Untuk menggiring orang agar menyeberang pada jembatan penyeberangan itu, kita dapat kembalikan pada kesadaran individu yang dicoba dibentuk dengan edukasi.  Namun realita menunjukkan, kesadaran ini hanya akan muncul pada sedikit orang.  Sebagian orang malas untuk naik turun jembatan penyeberangan.  Lalu ada pengaruh kultur.  Kalau orang kita ada di Luar Negeri yang kultur kepatuhan lalu lintasnya tinggi, mereka juga malu untuk menyeberang jalan bukan di tempatnya.  Sebaliknya, orang asing dari negara maju jika datang ke negeri kita, juga lalu tidak malu ikutan melanggar, karena kultur kepatuhan kita rendah.  Untuk itu diperlukan pemaksaan oleh sistem.  Pada situasi tertentu, sistem ini cukup berupa aturan.  Misalnya, mereka yang menyeberang tidak di jembatan akan didenda Rp. 1 juta.  Namun efektifkah aturan ini?  Yang akan terjadi, kalau ada petugas yang menangkap basah pelanggar, lebih cenderung akan ada cincai.  Lebih ringan membayar Rp. 50.000 saja ke petugas, tanpa kwitansi, dan uang masuk kocek pribadi petugas, yang gajinya toh juga kecil.  Pemaksaan ini lebih efektif dengan memasang pagar tinggi di tepi atau median jalan, sehingga orang mau tak mau harus lewat jembatan.  Pagar tinggi inilah teknologi pemaksa perilaku.  Dan inilah yang kita cari untuk mencegah dan mengurangi korupsi.

Transparansi

Adalah fitrah manusia untuk tidak ingin diketahui umum jika perbuatannya dirasa melanggar hukum atau norma/etika/kepatutan yang berlaku.  Karena itu wajar jika alat utama pencegah korupsi adalah keterbukaan atau transparansi.  Karena itu, teknologi utama pencegah korupsi ada pada teknologi yang mendukung transparansi.

Transparansi ini mulai dari perencanaan, penganggaran, rekrutmen personel, pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan pekerjaan, perjalanan, pengawasan hingga penggunaan hasil pekerjaan.  Karena tujuannya adalah transparansi, yaitu keterbukaan informasi, maka teknologi informasi dengan beberapa pengembangannya akan sangat menonjol di sini.  Berikut ini adalah beberapa contoh inovasi yang sedang dikembangkan:

Cooperative-planning.  Ini adalah suatu teknologi, di mana masyarakat via internet dapat memonitor perencanaan tata ruang pemerintah daerahnya sejak awal.  Masyarakat jadi tahu di mana saja yang akan dikembangkan, apa dampaknya bagi lingkungan & sosial-ekonomi sekitarnya, termasuk juga perkembangan harga tanah di daerah itu.  Gerak mafia tanah dan oknum pemda pembisiknya akan terbatasi.  Masyarakat juga dapat memberikan masukan secara langsung atas perencanaan yang sedang dibuat.

Cooperative-Budgetting.  Ini teknologi penganggaran rinci dari dengan pelibatan masyarakat bisnis dan calon pengguna secara langsung, sehingga menghindari duplikasi, mark-up maupun penganggaran untuk kegiatan siluman atau kegiatan yang tak ada penggunanya.

e-Recruitment.  Ini adalah teknologi untuk merekrut calon personel, di mana para calon cukup mengisi CV melalui website, dan sekaligus mengerjakan suatu test on-line yang akan menentukan apakah yang bersangkutan pantas dipanggil wawancara atau tidak.  Pada saat tatap muka, para calon harus dapat membuktikan bahwa semua data dan dokumen yang mereka tulis dalam CV adalah sahih.  Teknik ini selain mengurangi KKN dalam rekrutmen juga efisien bagi lembaga untuk mendapatkan orang yang tepat dan bagi sang calon untuk mendapatkan tempat kerja yang tepat.  Contoh yang sudah berjalan adalah pada jobs.com.

e-Procurement.  Ini adalah teknologi untuk melakukan tender barang dan jasa secara on-line.  Syarat dan ketentuan tender dapat dilihat siapapun.  Beberapa kriteria kunci (seperti spesifikasi, delivery time, harga, dsb) sudah disiapkan form-nya secara on-line, dan sistem dapat dengan otomatis membatasi calon yang dipanggil tatap muka untuk dilihat otentitas segala dokumen yang dimilikinya atau untuk wawancara.   Selain transparan, cara ini juga sangat hemat waktu dan kertas.  Saat ini, tender konvensional sangat boros kertas, karena setiap proposal akan dilampiri berton-ton dokumen perusahaan, yang umumnya juga tidak dibaca oleh panitia tender.

Dalam pelaksanaan pekerjaan, sistem akuntansi yang terkoneksi dengan sistem penjadwalan pekerjaan, dapat sangat efektif digunakan untuk pengawasan.  Setiap milestone harus dilampiri foto dari objek yang telah selesai.  Auditor dan masyarakat dapat memeriksa apakah objek tadi secara real ada di alam nyata?

Untuk perjalanan, seseorang dapat dilengkapi dengan “gelang-GPS”, yang akan merekam koordinat dari rute perjalanannya, atau merekam tempat tujuannya setiba di sana.  Sekarang sudah ada gelang GPS yang merekam koordinat ini setiap 10 menit sekali, sehingga baterei tahan berhari-hari.  Gelang-GPS ini dapat diatur agar hanya dapat dimatikan dengan sidik jari dari pemberi tugas.  Pada level yang lebih sederhana, saat ini ada beberapa taksi yang dilengkapi GPS, sehingga sopir tak bisa seenaknya, sebab posisinya selalu dapat diketahui sentral taksi (call-center).  Namun di saat yang sama sopir juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taksi terdekat yang kosong.

Pengawasan

Pada umumnya, pengawasan dilakukan dengan melihat neraca obyek yang diawasi.  Neraca ini dapat dikembangkan agar tak cuma bersifat tabular, tetapi juga bersifat spasial (keruangan).

Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah atau bahkan presiden wajib dilampiri peta / citra satelit yang menunjukkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya.  Rakyat yang cerdas spasial juga terbantu dalam ikut mengontrol jalannya pemerintahan.

Setiap pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI) diwajibkan menyetor foto / citra Landsat setiap tahun.  Pemerintah ingin menilai berapa besar hutan yang benar-benar ditebang dan sejauh mana penanaman kembali.  Praktek yang terjadi saat ini, foto atau citra itu sering dimanipulasi.  Sepintas memang tampak mudah mengambil suatu bagian citra atas lahan yang masih berpohon untuk dicopy di bagian lain yang sudah gundul.  Penebangan berlebih jadi tersembunyi.  Hanya saja, teknik ini mustahil dilakukan sempurna untuk semua kanal Landsat yang ada 7.  Dengan analisis spektrum di semua kanal akan ditemukan discontinuity.  Gambar akan tampak aneh di kanal lain.  Hanya gambar asli yang tidak menunjukkan efek itu.  Korupsi pajak HPH dan pelanggaran konsesi yang amat membahayakan lingkungan dapat terdeteksi.

Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self-assesment.  Sayangnya, banyak hal membuat tingkat kejujuran wajib pajak masih rendah, termasuk para pejabat!  Bahkan jumlah orang kaya yang punya NPWP masih di bawah 20%.  Namun dengan citra resolusi tinggi (misal Quickbird) dapat diidentifikasi dengan cepat asset-asset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya.  Tentunya akan janggal bila pemilik rumah mewah belum punya NPWP.  Janggal pula bila sebuah pabrik besar (tampak di citra), ternyata melaporkan jumlah produksi yang amat kecil – dan tentunya PPN atau PPh yang kecil.  Dengan ini, upaya main mata pemeriksa dengan wajib pajak (ini korupsi “sektor hulu” terbesar) dapat lebih awal dicegah!

Investigasi

Bagian terakhir dari teknologi anti korupsi adalah teknik investigasi.  Biasanya ini dimulai dari analisis laporan transaksi keuangan, baik yang ada di bank maupun hasil audit akuntansi dan juga audit atas alat komunikasi atau   komputer yang sering dipakai (ini disebut ICT-forensic).  Korupsi jarang bisa dilakukan sendirian dan sulit tidak meninggalkan bekas, walaupun itu hanya sms.  Meski kadang dibuat rekening atas nama orang lain (misalnya pembantu, sopir atau anak asuh),  tetapi jika orang-orang ini, yang kesehariannya amat sederhana, tiba-tiba menerima transfer uang yang sangat besar, tentu tampak kejanggalannya.    Jika tidak ingin terdeteksi lewat ICT-forensic, maka dia akan minta serah terima uang dilakukan langsung, dan tentu saja tanpa tanda terima.  Untuk yang seperti ini perlu dilakukan skenario agar tertangkap basah.

Maka jika indikasinya cukup kuat, dilakukan aksi mata-mata (surveillance), seperti menaruh kamera tersembunyi untuk menangkap basah sang pelaku pada saat melakukan transaksi fisik.

Namun seluruh teknologi ini hanya bisa diterapkan bila perangkat hukumnya mendukung.  Beberapa UU hingga Kepres tentang penerimaan CPNS atau pengadaan tentu wajib diubah agar lebih transparan dan dapat mengadopsi teknologi anti korupsi.  Saat ini masih banyak aturan yang justru menyuburkan korupsi.  Misal aturan bahwa untuk pengadaan harus ada perusahaan penjual di Indonesia.  Akibatnya ketika membeli buku atau software dari Luar Negeri, kita tidak bisa membeli via amazon.com dengan cukup menggunakan kartu kredit, tetapi harus melalui proses penawaran yang ribet, dan ujung-ujungnya jauh lebih mahal.

Jadi implementasi seluruh teknologi ini tentu memerlukan keputusan yang berani dari pemimpin masyarakat, termasuk keberanian untuk memperbaiki aturan main.  Memang benar, seorang pemimpin harus seseorang yang shaleh, jujur, cerdas dan diterima masyarakat.  Tetapi lebih dari itu ia juga harus orang yang berani berhadapan dengan semua tradisi dan hukum yang anti syariat, termasuk terhadap para pelanggar hukum terutama dari kalangan orang-orang kuat.  Untuk itu, dia harus takut hanya kepada Allah saja.

GIS untuk Pemetaan Bahasa

Friday, August 15th, 2008

GIS untuk Pemetaan Bahasa

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Abstrak

Dengan perangkat Sistem Informasi Geografi (GIS), data sebaran bahasa, dialek dan fonem akan lebih mudah untuk disajikan dan dianalisis.  Pada tulisan ini akan disampaikan beberapa bentuk analisis serta penyajian data bahasa dengan GIS, dari sekedar presentasi hingga korelasi spasial antar “layer” bahasa, sintesis data sebaran bahasa dengan data statistik, serta simulasi dengan GIS untuk menunjang aktivitas penelitian bahasa, misalnya untuk menentukan area kerja.

1      Sistem Informasi Geografi

GIS adalah sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek serta fenomena, di mana lokasi geografi adalah karakteristik penting atau kritis terhadap hasil analisis (Aronoff, 1989).

Dengan GIS data yang telah diakuisi dari dunia nyata akan lebih mudah ditata sehingga lebih fleksibel diakses, diteliti lebih dalam, dianalisis serta disajikan, untuk kemudian dijadikan alat bantu para pengambil keputusan (decission support system) dalam bertindak di dunia nyata.

Sementara itu data sebaran bahasa, dialek dan fonem dapat dipandang sebagai atribut yang tercode atas suatu lokasi geografi, baik dengan kode wilayah, batas administrasi, atau juga batas-batas budaya baik yang ditentukan dengan perkiraan maupun yang diukur dengan alat seperti Global Positioning System (GPS).

Salah satu software GIS yang banyak dipakai di Indonesia – dan kemudian dijadikan alat eksperimen dalam tulisan ini adalah Arc/View dari ESRI.  Arc/View adalah suatu software yang memiliki kemampuan database dan sekaligus penyajian secara spasial.  Dalam Arc/View, data geometri dapat dimasukkan (didigitasi langsung); diimpor dari format software lain; diedit; ditambahkan berbagai data attribut; disajikan secara selektif menurut kriteria lokasi atau thema tertentu dengan berbagai variasi bentuk tampilan (jenis simbol, warna atau arsiran); dikombinasikan dengan berbagai data yang berbeda (seperti spatial join, intersection, union, …) dsb.  Kemampuan semacam ini hanya ada dalam software-software GIS, dan belum ada dalam software grafika seperti Corel Draw atau software editing seperti AutoCAD.

Selain Arc/View – yang harga resminya relatif mahal – ada juga software GIS yang lebih murah – dengan kemampuan lebih terbatas – misalnya Mapinfo, atau bahkan software GIS yang sama sekali gratis, misalnya GRASS atau TatukGIS.

 

 

Gambar 1 – Tampilan software Arc/View (tampilan warna-warni tiap kecamatan)
dan TatukGIS (tampilan desa yang terseleksi oleh lingkaran)

 

2        Analisis Sebaran Bahasa dengan GIS

Data spasial dan data atribut bahasa dapat digunakan bersama-sama untuk membuat peta tematik (special purpose maps) dan untuk mendapatkan suatu informasi atas area geografi tertentu.  Data tersebut juga dapat dipakai untuk analisis yang lebih khusus, di antaranya adalah pengalamatan suatu fenomena yang hanya diketahui dalam dialek tertentu (address matching), pengelompokan komunitas berdasarkan bahasa atau dialek yang dominan (district delineation) hingga seleksi route untuk suatu pekerjaan tertentu yang terkait bahasa (route selection).

Bentuk data yang paling sederhana adalah pencacahan bahasa atau dialek yang digunakan per satuan administrasi.  Untuk bahasa daerah yang dominan, barangkali satuan administrasi kabupaten / Kota dapat digunakan.  Pusat Bahasa adalah organ di bawah Depdiknas, yang juga memiliki jaringan dinas-dinas di setiap Kabupaten / Kota.  Untuk itu tidak terlalu sulit kiranya untuk melakukan inventarisasi – misalnya dengan mengetahui bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Kabupaten / Kota tersebut.  Dengan itu akan didapatkan tabel dengan dua kolom utama: KabKota – Bahasa.  Tentunya akan ada sejumlah daerah dengan bahasa yang sama.

Berikut ini adalah contoh simulasi untuk wilayah propinsi.


Tabel-1 Data simulasi sebaran bahasa daerah yang dominan di tiap provinsi

 

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Aceh

NUSATENGGARA BARAT

Sasak

SUMATERA UTARA

Melayu

NUSATENGGARA TIMUR

Sasak

RIAU

Melayu

KALIMANTAN BARAT

Dayak

KEPULAUAN RIAU

Melayu

KALIMANTAN TENGAH

Dayak

SUMATERA BARAT

Minang

KALIMANTAN TIMUR

Dayak

JAMBI

Melayu

KALIMANTAN SELATAN

Banjar

BENGKULU

Melayu

SULAWESI UTARA

Manado

SUMATERA SELATAN

Melayu

GORONTALO

Gorontalo

BANGKA-BELITUNG

Melayu

SULAWESI TENGAH

Kaili

LAMPUNG

Lampung

SULAWESI BARAT

Bugis

BANTEN

Banten

SULAWESI SELATAN

Makassar

DKI JAKARTA

Betawi

SULAWESI TENGGARA

Bugis

JAWA BARAT

Sunda

MALUKU

Ambon

JAWA TENGAH

Jawa

MALUKU UTARA

Ternate

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jawa

PAPUA

Papua

JAWA TIMUR

Jawa

IRIANJAYA BARAT

Papua

BALI

Bali

 

 

 

 Gambar 2 – Tampilan peta sebaran bahasa daerah
Geometri Kabupaten berdasarkan data dari Pusat PDRTR Bakosurtanal, 2005
Attribut bahasa daerah yang dominan berdasarkan data simulasi

 

Sedang untuk dialek, diperlukan satuan administrasi yang lebih rinci, misalnya Kecamatan, atau bahkan Desa.  Pembagian ini tidak harus kaku, karena tentunya akan ada data yang hanya dapat / perlu dilacak ke level kecamatan saja, ada juga daerah yang diperlukan pelacakan sampai desa – misalnya di Papua di mana area kecamatan sangat luas dan dihuni oleh berbagai suku yang memiliki dialek berbeda-beda.

 

 

Gambar 3 – Tampilan peta sebaran dialek di Kab. Puncak Jaya pada Arc/View
Geometri Desa berdasarkan data dari BPS, 2003
Attribut dialek berdasarkan data simulasi (disamakan dengan Kecamatan)

 

Selain itu harus disadari adanya sebaran dialek yang bahkan lebih rinci lagi dari area desa, sehingga tidak dapat dipetakan sesuai batas administratifnya.  Untuk itu dapat digunakan simbol (point) pada koordinat tempat dialek ditemukan (pada umumnya centroid suatu permukiman), atau grafik tambahan (theme / layer terpisah) bahkan dapat overlap dengan batas administratif.

Secara umum, batas sebaran bahasa memang harus ditaruh pada layer terpisah dari batas administrasi karena memiliki sifat-sifat yang berbeda.  Namun di sisi lain dibutuhkan mekanisme untuk menjamin agar dapat dilakukan link dengan berbagai data yang hanya bisa diakses sesuai batas administrasi – misalnya data statistik kependudukan atau ekonomi.

Penggunaannya antara lain untuk mengetahui bahasa apa yang penuturnya paling sedikit, atau ekonominya pada level terrendah – sehingga dikhawatirkan bahasa itu akan punah.  Pada sisi lain, peta bahasa ini dapat digunakan untuk agregasi daerah-daerah dengan kultur budaya yang kurang lebih homogen – karena bahasa dapat menunjukkan pola budaya yang mirip.

Pada level yang lain terdapat pemetaan penggunaan fonem untuk objek yang sama, misalnya Air – Ayer – Aik – Cai.  Peta fonem ini jauh lebih terbatas, dan tersedia dalam bentuk tabel-tabel dengan dua kolom utama: Fonem – KodeWilayah, di mana daerah ini sering diisi dengan data kode daerah secara sekuensial, misalnya sebagai berikut:

 

Fonem Kode daerah tempat ditemukannya
Fonem-1 1, 3, 5-8, 11
Fonem-2 2,4,10
Fonem-3 9

 

Bentuk kolom ini harus diubah agar memenuhi syarat sebagai data relasional dengan kunci pada lokasi, sehingga kolom KodeWilayah harus ditaruh di depan.

 

KodeDaerah Fonem yang ditemukan

1

Fonem-1

2

Fonem-2

3

Fonem-1

4

Fonem-2

5

Fonem-1

6

Fonem-1

7

Fonem-1

8

Fonem-1

9

Fonem-3

10

Fonem-2

11

Fonem-1

 

Selain itu ada juga bentuk tabel di Pusat Bahasa yang berisi ratusan kolom (sehingga kertas tabel itu digulung seperti perkamen kuno).  Setiap kolom pada baris pertama s.d ketiga berisi informasi wilayah (mungkin Kabupaten-Kecamatan-Desa).  Kemudian di bawahnya berisi daftar fonem.

 

Kab Kab-A Kab-A Kab-A Kab-B Kab-B
Kec Kec-a Kec-a Kec-b Kec-a Kec-b
Desa Desa-1 Desa-2 Desa-1 Desa-1 Desa-1
Fonem-1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa2-1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Bb1-1
Fonem-2 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa2-2 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ba1-2 Fonem-Bb1-2
Fonem-3 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa2-3 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ba1-3 Fonem-Bb1-3
Fonem-4 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa2-4 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ba1-4 Fonem-Bb1-4
Fonem-5 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa2-5 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ba1-5 Fonem-Bb1-5
Fonem-n Fonem-Aa1-n Fonem-Aa2-n Fonem-Ab1-n Fonem-Ba1-n Fonem-Bb1-n

 

Tabel inipun harus ditransposisi.  Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan Excel (fungsi TRANSPOSE(array)).  Yang penting adalah huruf fonetik yang dipakai bisa terus dipakai di Excel dan nantinya di Arc/View.

 

Kode Fonem-1 Fonem-2 Fonem-3 Fonem-4 Fonem-5 Fonem-n
Aa1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa1-n
Aa2 Fonem-Aa2-1 Fonem-Aa2-2 Fonem-Aa2-3 Fonem-Aa2-4 Fonem-Aa2-5 Fonem-Aa2-n
Ab1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ab1-n
Ba1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Ba1-2 Fonem-Ba1-3 Fonem-Ba1-4 Fonem-Ba1-5 Fonem-Ba1-n
Bb1 Fonem-Bb1-1 Fonem-Bb1-2 Fonem-Bb1-3 Fonem-Bb1-4 Fonem-Bb1-5 Fonem-Bb1-n
 

 

Penggambarannya adalah dengan langsung memplot fonem yang berfungsi sebagai atribut itu pada posisinya (pada Arc/View fungsi AutoLabel).  Idealnya peta fonem ini dibuat setiap lembar untuk satu jenis objek, sehingga bila ada 250 objek maka akan tercipta 250 lembar peta se Indonesia, yang tiap lembarnya berisi varian-varian istilah untuk objek yang sama.

Misalnya untuk objek “sungai”, di Aceh disebut “Alue”, di Sumatera Selatan “Way”, di Jawa Barat “Ci”, di Jawa Tengah “Kali” hingga di Timor “Mota”.  Para ahli toponimi biasa mengenali bahwa istilah-istilah tersebut adalah nama generik untuk sungai (lihat Spesifikasi Pemetaan Rupabumi).  Tentu saja spesifikasi dari objek air tersebut (misalnya ukuran sungai) di tiap bahasa tetap bisa bervariasi.

Dapat juga yang dipetakan adalah arti dari bunyi / ucapan yang sama di berbagai tempat, sehingga bila suatu kata – misalnya – “atos” memiliki banyak arti (“sudah” di Jawa Barat, “keras” di Jawa Tengah, dan sebagainya), maka yang dijadikan judul peta adalah “atos”.

3. Analisis Lanjut dengan GIS-Bahasa

Teknik Address-Matching memungkinkan berbagai data dari file terpisah digabungkan dengan suatu common georeferenced address, misalnya data sebaran bahasa dengan data populasi, pendapatan perkapita dengan distribusi sekolah.  Dengan demikian bisa didapat berapa jumlah penutur suatu bahasa daerah / dialek, dan apakah mereka tergolong komunitas yang sejahtera.  Suatu bahasa lokal yang hanya ditututkan oleh kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung serta kurang berpendidikan, dapat dipastikan lambat laun akan hilang.  Bila ternyata di masa silam pada bahasa itu tersimpan khasanah ilmu pengetahuan (lontar-lontar kuno berisi sejarah, pusaka atau resep obat-obatan), maka ilmu pengetahuan inipun akan terkubur bersamanya.

Gambar 4.  Contoh variasi sajian statistik dari penutur bahasa

Bahkan teknik ini memungkinkan melakukan sintesis antara data statistik dengan non-statistik, untuk mengetahui korelasi di antara mereka, dengan syarat, masing-masing data memiliki relevansi geografi.  Contoh analisis dengan metode ini adalah untuk mendapatkan korelasi antara kemiskinan di suatu tempat dengan penguasaan / penggunaan bahasa / dialek yang dominan.

Dalam hal data yang dipakai hanya data statistik, sebenarnya bisa diterapkan GIS “non-geometrik”, misalnya hanya menggunakan kode wilayah atau topologi sederhana.  Untuk analisis non geometrik, dari peta rupabumi sebenarnya cukup diambil kelas batas administrasi dan kelas nama-nama geografi, atau maksimal kelas jaringan jalan (untuk topologinya).

Teknik District Delineation adalah prosedur untuk mendefinisikan suatu area secara kompak dengan satu atribut atau lebih.  Misalnya untuk membagi daerah sosialisasi suatu program pemerintah berdasarkan populasi dengan bahasa lokal yang kurang lebih sama – sehingga diasumsikan memiliki budaya yang mirip.  Informasi bahasa didapat dari data atribut sedang informasi untuk mendefinisikan batas diambil dari data spasial.

4  Kesimpulan

GIS mempermudah penyajian data sebaran bahasa, membuka serangkaian analisis baru yang terintegrasi dengan data spasial dari peta dasar digital, serta mempermudah aktivitas survey statistik sendiri.  Namun kualitas hasil analisis dengan GIS tidak akan berbeda jauh dengan kualitas data yang merupakan masukkannya, bahkan bisa jadi kualitas analisis ini akan lebih jelek dari kualitas data bila petugas analis tidak memperhatikan tingkat akurasi maupun tingkat kemutakhiran data yang dipakainya.

Referensi

Amhar, F. (1999) GIS untuk Analisis dan Penyajian Data Statistik; presented paper pada Seminar “Statistika Sebagai Solusi Problematika Ilmiah dan Bisnis” BPS, Jakarta 20 April 1999

Aronoff (1989): Geographic Information Systems: A Management Perspective.  WDL Publ. Ottawa. 294 pp.

Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi.

Prahasta, E. (2002): Sistem Informasi Geografis: tutorial-ArcView.  Informatika, Bandung.


 

[1] disampaikan pada workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”
Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 24 Maret 2006

[2] Peneliti pada Lab Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang (PDRTR)
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong
Telp/fax. (021) 87901254,  email: famhar@yahoo.com