Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Ilmu Sosial bukan Anak Tiri

Friday, April 24th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya).  Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial?

Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama.  Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup.  Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban.  Dalam dunia saat ini yang didominasi Barat, ilmu ini praktis memandang segala hal dari standar liberalisme.  Demikian juga ilmu ekonomi.  Berbagai cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, kemakmuran ataupun kebahagiaan dianggap dalil yang tidak dapat ditolak lagi.

Karena itu lebih tepat bila umat muslim mengembangkan sendiri ilmu-ilmu sosial ini agar tidak menjadi “anak tiri”, baik dari sisi ilmu sosialnya maupun dari kemuslimannya.  Dan mereka memiliki sejumlah besar teladan di masa keemasan peradaban Islam.

Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana muslim.  Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekedar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits.  Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarahwan muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para khalifah hingga masanya).  Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya  Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.

Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu‘man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854–931 M), al-Farabi (873–950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (980–1037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (1058–1111 M), al-Mawardi (1075–1158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (1263–1328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).

Abū al-Rayhān al-Bīrūnī (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”.  Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan.  Al-Biruni juga bapak dari Indologi – ilmu tentang India.

Dari semua ilmuwan sosial muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun.  Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz, fuqoha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan.  Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.

Sejarawan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa.  Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun.

Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik.  Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).

Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam.  Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar.  Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa.  Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi.  Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.

Dari hasil penelitiannya atas sejarah bangsa-bangsa terdahulu, Ibnu Khaldun menyimpulkan ada lima fase peradaban yang dialami oleh hampir setiap bangsa.  Era pertama adalah era perintis, saat bangsa tersebut masih memiliki visi serta rela berjuang dan berkorban demi masa depan anak cucunya.  “Investasi” di era perintis ini adalah yang terbesar.  Era kedua adalah era pembangun, saat kesolidan bangsa tersebut telah menjadi modal untuk mengembangkan “asset”, baik dari segi cakupan pengaruh (wilayah, penduduk) maupun ekonominya.  Era ketiga adalah era konservasi, saat mereka menjaga apa yang telah diraih, namun “investasi” yang dilakukan hanya sekedar untuk menggantikan yang hilang.  Era keempat adalah era penikmat, saat “total asset” bangsa mulai berkurang dan “total investasi” negatif.  Dan era kelima adalah era penghancur, saat bangsa itu praktis kembali mundur dan tak diperhitungkan lagi.

Era Rasulullah dan para shahabat dapat dianggap era perintis.  Era khilafah hingga awal dinasti Abbassiyah adalah contoh era pembangun, dengan ditandai berbagai capaian-capaian besar dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan.  Masa yang panjang setelah itu adalah era taqlid.  Tak banyak lagi futuhat maupun prestasi ilmu yang dapat dilihat.  Abad terakhir Abassiyah adalah era penikmat, yang diikuti era kehancuran oleh datangnya pasukan Tartar ke Baghdad.  Setelah itu kepemimpinan dunia berpindah ke bangsa Turki (Utsmaniyah).  Mereka juga mengalami fase-fase yang sama.  Dan apa yang diramalkan oleh Ibnu Khaldun yang hidup di awal dinasti Utsmaniyah ini, kemudian benar-benar terjadi.

TIGA DOSA TAK TERMAAFKAN

Thursday, April 2nd, 2009
Dalam Epos Harry Potter, dikenal tiga kutukan tak termaafkan.
Siapapun menggunakan kutukan itu, dia akan langsung dikirim ke penjara sihir “Azkaban” di Laut Utara, yang dijaga oleh para Dementor.
Kutukan itu adalah:
1. Kutukan Imperio – yaitu kutukan pengendalian, sehingga orang yang terkena melakukan semua yang diinginkan penyihir, termasuk perbuatan kriminal.
2. Kutukan Cruxiatus – yaitu kutukan penyiksaan.  Sihir dalam epos Harry Potter hanya boleh digunakan untuk membantu pekerjaan yang positif, tidak boleh untuk menyakiti orang lain.
3. Kutukan Avada Kedavra – yaitu kutukan pembunuh.  Dalam dunia sihir, tidak ada yang mampu melawan kutukan pembunuh.  Hanya sebuah keajaiban bahwa Harry Potter tidak terbunuh oleh Avada Kedavra yang dilontarkan Lord Voldemort, konon karena perlindungan cinta yang sempurna dari ibunya.
Tentu saja dalam dunia sihir, ada para pelahap maut pengikut Lord Voldemort yang gemar menggunakan tiga kutukan tadi.  Harusnya mereka diseret ke Azkaban, namun para polisi penegak hukum sihir kewalahan, karena yang harus ditangkap juga menguasai sihir …
Nah dalam dunia ilmiah ada juga TIGA DOSA YANG TAK TERMAAFKAN.
Seorang peneliti yang melakukan salah satu (apalagi ketiga-tiganya) dari dosa tersebut, bisa langsung dikirim ke “penjara ilmiah”, yaitu pengucilan dari komunitas ilmiah.
Dosa tersebut adalah:
1. Dosa “Plagiarism” – yaitu mengklaim pekerjaan orang lain seolah-olah pekerjaannya, sekalipun orang lain itu adalah istrinya atau anak buahnya.  Ini adalah dosa yang sangat berat.  LIPI berhak menurunkan pangkat peneliti hingga dua tingkat, bahkan sampai memecat dari jabatan peneliti, bila seorang peneliti terbukti melakukan plagiarism.
2. Dosa “Tidak-Menyebut-Riwayat” – yaitu mengutip statement, data, tabel, gambar atau rumus yang bukan buatannya sendiri, dan juga belum jadi pengetahuan umum, lalu “lupa” atau “pura-pura lupa” tidak menuliskan sumbernya, atau menuliskan sumber tetapi tidak bisa dilacak orang lain, misalnya bilang “sumber dari internet”. Kalau untuk tulisan populer boleh-boleh saja, tetapi tulisan ilmiah fardhu ain menyebut riwayat dari semua data yang tidak dibuat sendiri.
3. Dosa “Copy-Paste-doank” – meski menyebut sumber dan riwayat, tetapi kalau dalam satu paper, sumbernya hanya satu dua (sekalipun itu tulisannya sendiri yang sudah dipublish di tempat lain) dan itu merupakan 80-90 persen isi paper, dengan pembahasan yang asal jadi, ini juga tidak layak.  Sebenarnya hampir mirip dengan plagiarism, meski agak halus (karena menulis sumbernya),  tetapi berapa dong Angka Kredit yang bisa diberikan untuk karya seperti ini?
Tentu saja ada peneliti yang “lolos” meski sering melakukan dosa-dosa tadi, sehingga bahkan sampai ke jenjang peneliti tertinggi …
Mungkin pembaca bisa menambahkan dosa-dosa yang lain … atau dosa-dosa yang bisa mengganti kedudukan ranking 1-3 di atas …

Islam Pernah Merevolusi Pertanian

Wednesday, April 1st, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Bila ada soal, “sebutkan contoh produk pertanian Islam!”, dapat diduga jawaban mayoritasnya adalah kurma.  Sama seperti pertanyaan tentang “pengobatan ala Nabi” atau “Thibbun Nabawy” yang diasosiasikan dengan madu, habatussaudah dan bekam.  Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian ataupun teknik pengobatan.  Semua ini masuk dalam ilmu-ilmu yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”.  Hanya saja, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”.  Namun ini bukan semata-mata kesalahan mereka.  Dunia kapitalisme telah mencampur-adukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”).

Dunia ilmu ekonomi mungkin termasuk bidang yang “tingkat ketercampuradukannya” tinggi, sedang ilmu kedokteran dan pertanian relatif netral.  Bila Ibnu Sina meletakkan tujuh aturan dasar uji klinis atau Ishaq bin Ali Rahawi menulis kode etik kedokteran, maka di dunia pertanian ada Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan (zoologist) dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī(828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabâtdan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya.  Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air.  Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.

Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya,  menaikkannya ke atas hinga meningkatkan kualitasnya.  Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.

Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling.  Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari.   Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis.  Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Di Andalusia, pada abad-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah.  Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.

Pada awal abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.

Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad.  Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri.  Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.

Kemajuan pemikiran Islam tergambar pada realitas bahwa mereka sudah memikirkan ekologi dan rantai makanan.  Al-Jāḥiẓ atau nama aslinya Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri (781-869) dalam bukunya Kitab al-Hayawansudah berteori akan adanya perubahan berangsur pada mahluk hidup akibat seleksi alam dan lingkungan.  Meski ada perbedaan, pemikiran ini 1000 tahun mendahului Alfred Wallace atau Charles Darwin.

Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit.  Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain.  Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian.  Kombinasi sinergik dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.

Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama.  Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia.  Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.

Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif.  Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah.  Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.

Mungkin ada pertanyaan: kalau kita pernah merevolusi pertanian, mengapa kita tidak ikut merevolusi industri?  Penjelasannya adalah: siapapun yang tetap melakukan riset hingga abad-19 akan memiliki peluang lebih besar untuk mengkombinasikan lebih banyak teknologi dasar.

Kalau kita punya 2 benda, dengan kreativitas kita 2 benda itu dapat dikombinasikan menjadi satu benda yang baru.  Misalnya kita punya teknologi ponsel dan camera, maka kita lalu terpikir ponsel berkamera.  Kalau ada satu benda dasar lagi, misalnya GPS (alat navigasi global), maka dapat dibuat 3 benda baru lagi: ponsel ber-GPS, camera ber-GPS, dan ponsel camera dan ber-GPS.

Inilah kombinatorik, yang di matematika memiliki rumus n!/(k! * (n-k)!) atau kombinasi kelas k dari n benda dasar akan menghasilkan n faktorial dibagi perkalian dari k faktorial dan (n-k) faktorial.  Kalau kita punya 2 benda (a,b), maka kombinatoriknya ada 1 (ab).  Sedang kalau 3 benda (a,b,c), maka kombinatorik kelas 2-nya ada 3 (ab, ac, bc), dan kelas 3-nya ada 1 (abc), atau semuanya 4 benda baru.  Dan kalau kita punya 4 benda, bisa dibuat 11 benda baru, dan kalau kita punya 10 benda, maka total dapat dibuat 1013 benda baru.

Itulah mengapa teknologi selalu makin lama makin cepat berkembang dan meletupkan revolusi demi revolusi.  Ini karena bahan dasar yang bisa dikombinasikan semakin banyak.  Tinggal pada sistem seperti apa para ilmuwan masih sempat bekerja secara ilmiah sehingga dapat mengembangkan penemuan baru bahkan revolusi baru.