Dr. Fahmi Amhar
Indonesia bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan manusianya yang ramah, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah. Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika, sebagaimana baru saja terjadi di Sumatera Barat dan Jambi tahun 2009 ini. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik. Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung. Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa sedunia banyak belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bala bencana baru dihadapi dan diratapi sebatas dengan doa?
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga tak cuma kaya sumber daya alam tetapi juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara tak pelak lagi rawan kekeringan. Banyak sahara yang setiap saat dapat mengirimkan badai gurun yang menyebabkan gagal panen dan berarti paceklik dan kelaparan. Wilayah lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak adalah wilayah rawan banjir. Wilayah Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga wilayah yang sangat rawan gempa. Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti baik penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya penyakit cacar atau pes. Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elit politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.
Untuk mengantisipasi kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga untuk antisipasi bila ada serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sementara itu untuk mengantisipasi banjir, para penguasa muslim berusaha keras untuk membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Astronom dan Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun melakukan pengukuran, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan sebuah bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu. Adalah Ibn al-Haitsam, yang semula tinggal di Irak yang berminat dengan sayembara itu, dan dia memenangkan kontrak pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi yang tepat untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan pyramid-pyramid raksasa yang dibangun Fir’aun di sana. Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun pyramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?” Karena malu atau takut menanggung konsekuensi hukumnya karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dijatuhi tahanan rumah dan seluruh hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga dia lalu menjadi Bapak fisika optika. Dia baru dilepas beberapa tahun kemudian setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai melupakan kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan pada masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam menemukan mekanika lanjut dari pengamatan planet melalui teleskop. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang terletak berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar. Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan yang tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi yang terburuk. Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau ikut meratap dalam doa bersama.
Dr. Fahmi Amhar
Kira-kira apakah yang akan dipamerkan dalam suatu pameran perdagangan atau industri Islam? Beberapa waktu yang lalu ada pameran seperti itu di Jakarta, tidak tanggung-tanggung, judulnya “islamic world trade fair”, pekan raya perdagangan dunia islam.
Jawabannya seperti telah diduga: perangkat ibadat seperti busana muslim / muslimah, sajadah, tasbih, minyak wangi non alkohol, halal-food, hiasan Islami seperti kaligrafi dan sejenisnya, serta biro jasa umrah dan haji plus. Padahal banyak orang berharap acara itu akan menjadi ajang pertemuan para industriawan dari negeri-negeri Islam. Mungkin dari Indonesia tampil industri agro, garmen, semen hingga industri pesawat; dari negara-negara Timur Tengah industri petrokimia, dari Malaysia industri otomotif dan dari Iran industri pertahanan. Tapi entahlah, mungkin para industriawan masih merasa acara itu bukan ajang mereka, atau sebaliknya, penyelenggara memang hanya membidik segmen sempit, yakni muslim yang sedang memenuhi hasrat spiritualnya.
Padahal kalau kita buka lembaran-lembaran sejarah, industri di masa khilafah Islam ternyata memiliki spektrum yang sangat luas. Donald R. Hill dalam bukunya Islamic Technology: an Illustrated History (Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986) membuat sebuah daftar yang lumayan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam, yakni dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan, hingga pertambangan dan metalurgi.
Alih teknologi dalam Islam berlangsung sejak abad pertama hingga abad ke-10 Hijriah. Dapat dilihat bahwa basis kemajuan dan perkembangan teknologi dalam peradaban Islam diperoleh dari peradaban Timur dekat pra Islam (Persia) dan Mediteranian Timur (Romawi), dan diketahui pula bahwa alih teknologi di daerah itu serta di bagian dunia lainnya telah berlangsung sejak sebelum kehadiran Islam. Namun terlihat bahwa selama periode tertentu, sebagian besar alih teknologi berlangsung dari Islam ke Eropa dan bukan sebaliknya. Dalam banyak hal, penemuan-penemuan Barat hanya dapat dipakai di Eropa Utara saja. Bajak beroda berat misalnya, hanya cocok untuk jenis tanah liat yang basah di daerah Eropa. Bandingkan misalnya dengan penemuan yang lebih universal dari al-Muradi pada abad ke-5 H tentang rangkaian roda gigi penggerak yang rumit dengan gir-gir bersegmen dan episiklus pada beberapa mesin.
Industri kertas yang menggabungkan pengetahuan kimia, material dan mesin bermunculan di dunia Islam setelah ada kontak budaya dengan Cina. Pada tahun 134 H / 751 M, pasukan Islam memperoleh kemenangan yang menentukan atas Cina sehingga Cina menarik diri dari seluruh daerah Turkistan (daerah Xin Jiang sekarang). Beberapa buruh Cina yang ditawan dalam pertempuran itu dikirim ke Samarkand dan kota-kota Islam lainnya.
Sementara itu penerimaan teknik Islam oleh Eropa tercermin dari banyaknya kata-kata bahasa Arab yang diturunkan menjadi kosakata bahasa-bahasa Eropa. Dalam bahasa Inggris kata-kata tersebut seringkali, tetapi tidak selalu, masuk melalui bahasa Italia dan Spanyol. Beberapa contoh: di bidang tekstil – muslin, sarsanet, damask, taffeta, tabby; di bidang kelautan: admiral, arsenal; di bidang kimia: alembic, alcohol, alkali; di bidang kertas: ream; dalam hal makanan: alfalfa, sugar, syrup, sherbet; di bidang penyamakan kulit: saffron, kermes; dsb. Dapat diduga bahwa khususnya bahasa Spanyol sangat kaya dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan irigasi. Contoh: tahona untuk penggilingan, acena untuk kincir air dan acequia untuk kanal irigasi.
Suatu ketika, industri permesinan yang paling maju adalah pembuatan alat-alat irigasi, yakni kincir-kincir otomatis bertenaga air. Namun industri ini juga menarik tumbuhnya industri konstruksi seperti pembuatan semen untuk konstruksi dam dan kanal, serta industri pertanian untuk mengolah hasil panen yang kemudian melimpah.
Industri irigasi menjadi perhatian utama di negeri-negeri Islam, baik untuk air minum, wudhu, kebutuhan rumah tangga maupun pertanian pada umumnya. Ini berbeda dengan Eropa Utara yang relatif memiliki curah hujan yang tinggi dan banyak sungai. Alat irigasi yang pertama-tama dikembangkan adalah shaduf, yaitu semacam katrol pemberat dengan ember pada ujungnya untuk menaikkan air dengan mudah. Katrol ini masih digerakkan dengan tenaga manusia. Alat yang lain adalah saqiya dan noria (atau na’ura). Saqiya digerakkan dengan tenaga hewan (seperti keledai), sedang noria dengan tenaga air. Kedua alat ini sudah menggunakan roda gigi yang cukup rumit. Meski alat-alat ini sudah dikenal sejak sebelum kelahiran Islam, namun para ilmuwan Islam telah menaikkan tingkat efisiensinya hingga lebih dari 60 persen. Al-Jazari, insinyur muslim abad-5 H, mengembangkan lima jenis pompa air yang berbeda dari rancangan tradisional. Saat ini, sisa-sisa saqiya maupun noria masih bisa ditemui di beberapa desa di Syria maupun Mesir, meski pompa listrik telah banyak menggantikannya.
Umat Islam benar-benar tekun mengembangkan industri bertenaga alam yang terbarukan seperti air atau angin. Mereka bahkan mengukur aliran sungai berdasarkan jumlah penggilingan yang dapat diputarnya. Sebuah sungai biasanyanya dinyatakan dalam sekian daya giling (mill-power). Penggilingan pasang surut digunakan di Basrah abad ke-4 H (11 M), sementara catatan pertama penggunaannya di Eropa adalah seratus tahun kemudian. Penggilingan biasanya didirikan di pinggir sungai dan terkadang pada penyangga jembatan memanfaatkan kecepatan aliran di tempat itu. Setiap provinsi Khilafah sejak dari Spanyol dan Afrika Utara hingga Turkestan di batas Cina mempunyai sejumlah penggilingan. Untuk melayani kota-kota besar bahkan diperlukan penggilingan gandum berskala besar. Di kota Naishabur Khorasan misalnya, didirikan tujuh puluh penggilingan. Demikian juga di Palermo Sizilia, ketika kota itu di bawah pemerintahan Islam. Di dekat Baghdad, setiap industri penggilingan ini mampu menghasilkan sepuluh ton per hari. Padahal sepanjang sungai Efrat dan Tigris sejak dari kota Mosul dan al-Raqqah hingga Bagdad berdiri ratusan penggilingan yang bekerja siang malam. Penggilingan bertenaga air juga dilaporkan al-Biruni dipakai untuk industri kertas, industri gula tebu dan pengolahan batuan yang mengandung emas.
Sementara itu di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin menyebar menjadi sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara pada abad ke-3 H (9 M). Tidak heran bahwa sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam”.
Dr. Fahmi Amhar
Benarkah sekarang isu atau pengelompokan agama tidak laku lagi? Isu seputar agama istri seorang cawapres sempat mengemuka, dan meski tidak dijawab dengan lugas tetapi toh tidak menurunkan elektabilitas pasangan capres-cawapres secara signifikan. Sebaliknya capres-cawapres yang istri-istrinya anggun berjilbab, bahkan didukung ormas-ormas Islam terbesar, ternyata justru mendapat nomor buncit dalam perolehan suara.
Agama memang tinggal dipahami orang sebatas apa yang tampak sebagai ritual ibadah, busana islami, majelis zikir ditambah status dalam dokumen resmi seperti KTP atau surat nikah. Dan fakta membuktikan, itu semua sudah dianggap kurang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara. Di negeri ini, agama tinggal menjadi isu sensitif pada sudut-sudut sempit kehidupan, misalnya soal kehalalan makanan, soal calon suami/istri atau pejabat, atau ketika akan dibangun rumah ibadah agama lain. Setiap ada yang mempersoalkan agama lain, distigma kurang toleran, tidak paham pluralisme, anti demokrasi. Kata mereka, mana agama yang benar biar menjadi persoalan masing-masing dengan Tuhan, toh masing-masing mendogmakan agamanya yang terbenar.
Memang sebagian masyarakat masih merasa gembira bila ada tokoh, apalagi selebriti dunia yang menjadi muallaf – contohnya Mike Tyson atau Michael Jackson, namun juga kecewa bila saat meninggalnya, upacara pemakamannnya tidak islami. Banyak juga orang mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Islam, berharap anak-anak itu tumbuh jadi anak yang shaleh, sekalipun kehidupan orang tuanya masih jauh dari Islam. Tak heran kini sekolah-sekolah Islam tumbuh seperti jamur di musim hujan, sekalipun biayanya kadang selangit, dan mencari guru agama Islam yang benar juga sebenarnya sulit. Di Indonesia ini gelar paling mudah adalah Ustadz. Asal lancar baca Qur’an dan sedikit tahu agama sudah bisa dipanggil Ustadz. Tambah bisa baca kitab bertulisan Arab gundul langsung dipanggil Kyai, sekalipun tidak di pesantren. Dan mohon maaf, menjadi Ustadz belum jadi pilihan pertama dari para pelajar yang paling cerdas.
Padahal bagaimana kedudukan agama di masa yang sangat panjang, ketika negara Islam masih menjadi negara yang mempesona di dunia?
Pada saat itu Islam bukan sekedar “dogma atau busana”. Islam disebarkan dengan rasionalitas dan teladan. Meski dakwah dilakukan ke seluruh penjuru dunia dengan jihad militer yang ofensif, namun jihad itu hanya bertujuan menghilangkan kekuatan militer yang menghalang-halangi dakwah. Selebihnya, apakah penduduk daerah yang mengalami futuhat itu akan memeluk Islam, dibebaskan kepada akal sehat mereka. Kepada mereka diberikan teladan dan bukti nyata, bagaimana Islam mengurus seluruh masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Kalau mereka masuk Islam, maka hak-hak dan kewajiban mereka sama dengan warga muslim yang lain. Mereka berhak mendapatkan pembagian zakat, berhak menikahi wanita muslimah, berhak dipilih dalam jabatan politik (seperti kepala negara atau kepala daerah), juga berhak diperlakukan sebagai muslim ketika wafat, tetapi juga wajib berbusana sebagai muslim, makan-minum sebagai muslim, juga beribadah sebagai muslim, termasuk berzakat atau berjihad.
Sebaliknya bila mereka bertahan dalam kekufurannya, mereka tetap mendapat santunan di kala membutuhkan, sekalipun itu bukan zakat; mereka tetap boleh menikahi wanita-wanita yang halal menurut agama mereka, selama bukan muslimah; boleh menjadi pejabat administrasi pemerintahan, selama bukan pejabat politik; juga berhak diurus jenazahnya sesuai tatacara agama mereka, berhak berbusana sebagaimana agama mereka mengaturnya, berhak makan-minum yang dianggap halal oleh agama mereka – termasuk babi atau minuman keras, selama diproduksi sendiri di rumah-rumah mereka; dan tentu saja mereka tidak wajib ikut ibadah seperti warga muslim, tidak wajib ikut puasa, tidak wajib berzakat – melainkan mereka hanya membayar jizyah; dan tentu juga mereka tidak wajib berjihad. Hanya pada saat negara dalam bahaya, mereka wajib ikut membela negara sebagaimana kesepakatan mereka sebagai ahlul dzimmah.
Bagi dunia saat itu, perlakuan pada umat lain semacam ini adalah luar biasa dan pertama kalinya. Hukum Islam merupakan satu satunya hukum yang membolehkan hukum lain berlaku dan dijalankan dalam banyak persoalan perdata (ibadah, makanan, pakaian, keluarga).
Sedang ulama adalah “kelas” yang benar-benar “terbuka” bagi siapa saja yang mempelajari dan menguasai hukum, baik melalui sistem pendidikan atau dengan belajar sendiri tanpa guru. Negara menjamin kehidupan para ulama yang mengajar secara informal di masjid-masjid. Siapapun boleh datang pada halaqoh-halaqoh ini. Sistem ini masih berjalan di banyak masjid di dunia Islam. Setidaknya jamaah haji masih bisa menyaksikannya di masjid Nabawi di Madinah, di mana setiap saat ada beberapa halaqoh sekaligus, barangkali satu membahas tafsir, lainnya fiqh, hadits, tarikh, tasawuf dan sebagainya. Kadang bahkan dalam bahasa yang berbeda-beda.
Tak heran dengan sistem dan tradisi seperti itu, seorang anak kecil bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafii mendapat akses ilmu sekalipun dia seorang anak yatim yang sangat miskin di Makkah. Ketika dia datang ke Imam Malik di Madinah, dia sudah hafal Qur’an dan kitab al-Muwatha’ Imam Malik. Dan oleh profesornya ini, Syafii muda kemudian dijadikan asisten mengajarnya meski belum baligh, sehingga ada riwayat, ketika dia mengajar fiqh di siang hari Ramadhan, dengan tenang dia minum. Ketika ada protes dari audiensnya, dia bilang, “Hei, jangan marah, saya belum baligh, belum wajib puasa”.
Saat itu orang-orang yang paling cerdas berbondong-bondong belajar ilmu-ilmu Islam. Ilmu fiqih termasuk yang paling laris, karena alumninya dicari oleh peradilan di mana-mana, baik untuk menjadi qadhi (hakim), jadi mufti (pemberi fatwa), jadi konsultan, jadi advokat ataupun jadi ilmuwan mujtahid yang terdepan melakukan penelitian hukum di segala bidang kehidupan.
Hasilnya, Islam tampak realisasinya di segala bidang kehidupan, tidak hanya di sudut-sudutnya saja. Para pemeluk agama lain juga menikmatinya. Walhasil, ketika beberapa kali terjadi serangan asing, warga non muslim dzimmy itu justru membela negerinya. Pada perang Salib, pasukan Salib justru menghadapi perlawanan dari warga Nasrani Palestina. Kalau serangan itu sudah tak tertahankan, seperti ketika Andalusia jatuh ke tangan Kerajaan Katholik Spanyol, mereka akan mengungsi ke wilayah muslim yang lain, sebagaimana Yahudi Andalusia yang mengungsi ke Maroko atau Bosnia,. Demikian juga dengan sejumlah penganut Orthodox di Rusia yang mengungsi ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik.