Dr. Fahmi Amhar
Kenalkah anda dengan satu perpustakaan di kota anda? Pernahkah anda mengunjunginya? Apakah anda merasa betah di dalamnya dan meraup manfaat darinya? Berapa buku yang pernah anda baca dari perpustakaan? Berapa orang yang biasanya anda jumpai di perpustakaan? Apa yang biasanya mereka kerjakan?
Bagi banyak orang, jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah jelas: geleng-geleng atau angkat bahu. Perpustakaan yang lazim dikenal barangkali cuma perpustakaan sekolah atau kampus. Orang ke sana karena ada tugas dari dosen dan harus mencari literatur. Selain itu karena ingin belajar pada suasana yang nyaman, sambil sekali-sekali membaca koran hari itu. Jarang orang datang ke perpustakaan, apalagi perpustakaan non kampus, untuk membaca buku-buku bermutu yang ada di dalamnya. Perpustakaan menjadi tempat yang sepi, agak berdebu dan “angker”. Hanya peneliti yang memerlukan singgah ke sana. Para penjaganya juga kesepian, sehingga ada perpustakaan yang buka hanya kalau ada permintaan saja.
Beberapa perpustakaan lalu ganti strategi. Mereka menjaring pembaca remaja dengan menyediakan lebih banyak bacaan populer, komik, teen-lit, dan multimedia. Perpustakaan pelan-pelan beralih fungsi menjadi tempat penyewaan komik dan DVD. Namun bertahan menjadi perpustakaan semacam ini tentu tidak mudah. Dalam waktu singkat, koleksi populer itu pasti akan termakan zaman. Tidak murah untuk terus mengupdate koleksi itu sesuai penerbitan terakhir yang jumlahnya makin banyak. Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan membeli buku atau DVD bajakan. Namun inipun tidak juga selalu menutup biaya operasional. Perpustakaan adalah proyek rugi, cost center, bukan profit-center.
Ini berbeda dengan seribu tahun yang lalu.
Tahun 1000 M, di Bagdad pedagang buku Ibn an Nadim mempublikasikan al-Fihrist (“Katalog Pengetahuan”). Buku ini terdiri dari 10 Jilid dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab yang terbit hingga saat itu, baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan kedokteran. Buku-buku yang masuk dalam katalog itu seperti sudah terjamin mutunya dan menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekia yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal buku yang ada dalam katalog itu. Buku yang saat itu masih ditulis tangan tentu saja sangat mahal. Untunglah, bagi yang tak mampu membelinya tersedia perpustakaan.
Maka tertariklah mahasiswa dari timur dan barat pada perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi setengah juta buku. Di Kairo ada beberapa ratus pustakawan yang melayani perpustakaan khilafah dengan koleksi dua juta buku. Ini duapuluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria sebelum dihancurkan oleh Romawi. Pernahkah anda menghitung berapa buku yang dapat dimuat dalam rak buku anda? Satu rak buku standar yang banyak terdapat di rumah-rumah dapat memuat rata-rata 100 buku. Jadi di perpustakaan Kairo kira-kira terdapat 20.000 rak. Kalau satu rak berikut ruang untuk orang lewat perlu area 1 meter persegi, maka berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira dua hektar!
Para pustakawan di masa itu wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya. Ia bukan hanya seorang yang tahu judul buku, pengarang dan di rak mana letaknya. Namun seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih, seperti halnya pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam harus pula seorang astronom atau matematikawan. Para pembaca dapat berkonsultasi tentang isi buku-buku itu pada para pustakawan.
“Aneh, bahwa di Roma tidak ada seorangpun, yang memiliki pendidikan yang cukup, bahkan sekedar untuk menjadi penjaga pintu perpustakaan itu”, keluh orang yang mestinya paling tahu, yaitu: Gerbert de Aurillac, yang pada tahun 999 M menjadi Paus di Roma! Demikian Sigrid Hunke dalam Allahs Sonne ueber dem Abendland.
Pada tahun tersebut, Abulkasis menyelesaikan ensiklopedi bedah. Al-Biruni menunjukkan kejeniusan layaknya “Aristoteles-nya dari Arab”, dengan karya-karya tentang peredaran bumi mengelilingi matahari. Al-Haitsam menulis prinsip-prinsip optika serta bereksperimen dengan kamera obscura dan berbagai bentuk lensa dan cermin.
Pada tahun tersebut, saat dunia Islam sedang menikmati zaman keemasannya, dunia Barat ketakutan akan segera datangnya hari kiamat. Anak lelaki Kaisar Otto III yang berusia duapuluh tahun berziarah ke Roma dan berpidato dalam penuh suasana sakral, “Sekarang Kristus akan segera datang untuk mengadili dunia dengan api, karena kedurjanaan sudah merajalela di Roma”.
Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina sedang memulai mengisi dunia dengan karya-karya intelektualnya yang hebat.
Dua dunia yang sangat berbeda. Berawal dari padangan hidup yang juga amat berbeda. Masyarakat Islam dituntun oleh sabda Nabinya, yang antara lain berbunyi, “Barang siapa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang pergi jihad fisabilillah”, “Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada”, dan “Ilmu itu ternak kaum muslim yang hilang, maka di mana saja kamu dapatkan, ambillah, sekalipun dari lisan seorang kafir”.
Sementara itu masyarakat Barat terpaku pada kata-kata Paulus, yang berbunyi, “Apakah Tuhan tidak menyatakan bahwa pengetahuan dunia ini sebagai hal tercela?”. Satu-satunya sumber kebenaran untuk kaum Nasrani adalah kitab suci. Karena itulah, meski Romawi mewarisi banyak peradaban tua seperti Yunani ataupun Mesir, mereka lalu membuangnya sejak beralih ke agama Nasrani. Perpustakaan Alexandria yang sangat tua dibakar habis. Andaikata tidak ada kaum muslim yang rajin memungut kembali ilmu pengetahuan Yunani, menerjemahkannya, dan mengkoleksinya di perpustakaan-perpustakaan, barangkali kita sekarang ini tak pernah lagi mengetahui tentang hukum hidrostatika Archimedes atau geometri Euklides.
Sementara itu orang-orang kaya se antero dunia khilafah menjadikan wakaf perpustakaan sebagai salah satu cara menunjukkan identitas. Di Baghdad saja ada 200 perpustakaan pribadi yang diwakafkan untuk umum. Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya berikut suatu asset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya. Sayang, saat serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris menjadi hitam warnanya.
Dr. Fahmi Amhar
Pameran buku (Book Fair) adalah ajang yang ditunggu-tunggu baik oleh para penerbit, distributor maupun penggemar buku. Meski demikian konsumsi buku per orang di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Bagi sebagian besar masyarakat kita, harga buku masih tergolong tinggi dibanding tingkat penghasilan. Jadilah masyarakat kita bukan masyarakat pembaca. Minat baca mereka rendah dibanding menonton televisi. Sebenarnya tidak jadi soal bila siaran televisinya bermutu. Namun semua orang tahu bahwa siaran televisi kita belum cukup edukatif, apalagi inspiratif. Televisi kita sarat dengan tayangan gossip, pornografi, kekerasan ataupun mistik. Bisa dinikmati bebas tanpa membayar. Yang jelas hasilnya tidak membuat penonton bertambah cerdas.
Lain dengan buku. Mahalnya buku antara lain disebabkan oleh tingginya harga kertas. Kebutuhan kertas kita masih harus dipenuhi dengan kertas impor. Meski kita memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghasilkan kertas, namun realitanya kita lebih suka mengekspor bahan mentah seperti kayu dan membeli hasil olahannya berupa kertas, dengan harga berlipat-lipat. Padahal generasi awal kaum muslim telah bersusah payah pergi ke Cina untuk dapat merebut teknologi pembuatan kertas.
Tidak ada yang menyangkal bahwa kertas ditemukan dan lalu diproduksi massal pertama kali di Cina pada tahun 105 M, ketika kertas dibuat dari semak murbei. Juga diriwayatkan bahwa tentara Cina sering menghancurkan pusat-pusat pembuatan kertas non Cina untuk tetap memegang monopoli pabrikasi kertas di dunia. Namun akhirnya pabrik kertas muncul di dunia Islam yakni di kota Samarkand pada abad ke-2 H (ke 8 M). Meski rahasia pembuatan kertas secara manual telah diketahui di era sahabat sejak sejumlah orang nekad mencarinya ke Cina, namun dalam skala industri, pabrik kertas itu baru dimulai setelah ada sejumlah orang Cina yang menjadi tawanan perang di Sungai Talas tahun 750 M. Al-Qazwini mengabarkan bahwa sejak itu terjadilah revolusi pengetahuan di dunia Islam. Bahan-bahan tulis-menulis bebas dari monopoli dan kertas menjadi barang yang sangat murah.
Di Baghdad saja di akhir abad-3 H (abad-9 M) terdapat lebih dari seratus kompleks tempat pembuatan buku. Perpustakaan pribadi berlimpah, sementara perpustakaan umum tersedia di mana-mana. Baghdad memiliki tak kurang dari tigapuluh enam perpustakaan umum pada waktu penghancuran oleh Tartar Mongol tahun 1258.
Sejarahwan George Sarton mengutarakan bahwa asal kata paper kemungkinan besar dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab tidak ada kata tunggal untuk kertas, termasuk antara lain ‘papyrus’. Jejak lain bahasa Arab dalam industri kertas adalah kata ream (dalam bahasa Inggris) atau risma (dalam bahasa Italia) yang dipastikan berasal dari bahasa Arab rismah, yang artinya setumpuk atau sebundel kertas, biasanya terdiri dari 500 lembar.
Ibnu Badis di Kitab ‘Umdat al-Kuttab (Buku Penunjang untuk para Penulis) menjelaskan metode pembuatan kertas dari rami dengan proses perendaman di air kapur selama beberapa hari, diselang dengan peremasan dan penjemuran. Rami yang telah memutih lalu dipotong-potong, direndam di air tawar lalu digerus dengan mortar. Hasilnya llau dicetak, diratakan, lalu dibiarkan kering. Kertas yang telah setengah jadi dilewatkan dalam larutan tepung kemudian digosok dengan bambu.
Tentu saja proses ini bukan satu-satunya cara, namun Ibnu Badis sepertinya ingin mengajarkan teknik membuat kertas yang bisa dikerjakan sendiri di rumah. Bukunya juga memuat cara membuat tinta sampai cara menjilid buku. Untuk skala industri tentu saja dibutuhkan perlengkapan yang lebih besar dan mekanik.
Sejarahwan Dard Hunter mengatakan bahwa inovasi utama orang Islam dalam teknologi kertas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Berbagai jenis kertas dibuat. Ada yang untuk dokumen dan surat-surat resmi, untuk buku, bahkan untuk bungkus. Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa kerrtas Baghdad (al-Baghdadi) merupakan yang terbaik mutunya dan digunakan untuk menulis risalah kekhalifahan. Syami (kertas Syria) juga tersedia dalam berbagai tingkatan mutu, salah satanya Hamwi dari kata Hama (kota di Syria) yang lazim digunakan di lembaga pemerintahan. Ada juga kerta yang amat ringan, dipakai untuk mengirim surat yang diantar burung merpati pos, sehingga disebut ‘Kertas Burung’.
Kertas dibuat dalam berbagai warna. Pada suatu manuskrip dapat dibaca berbagai ramuan tentang cara membuat warna seperti merah, hijau, tosca, dan bahkan petunjuk bagaimana membuat kertas terlihat usang.
Adalah hal yang ironis bahwa saat ini kaum muslim tak lagi berada di jajaran terdepan dalam teknologi kertas. Kertas untuk mencetak kitab suci al-Qur’an dan kertas untuk mencetak uang negara-negara muslim pun banyak diimpor dari negara kafir, lengkap dengan mesin cetak dan tintanya. Tanpa kertas, bagaimana mau cerdas?
Relik mesin pabrik kertas zaman dulu
Mesin-mesin di pabrik kertas modern
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda mendengar istilah “industri kreatif”? Di era perdagangan bebas sekarang ini, konon industri yang akan bertahan terhadap “serangan” produk massal dari Cina adalah “industri yang tidak massal”, karena dibuat dengan melibatkan intelektualitas SDM yang dimiliki. Di Departemen Perdagangan RI, yang dicatat sebagai industri kreatif ada 15, yakni (1) jasa periklanan; (2) arsitektur; (3) seni rupa; (4) kerajinan; (5) desain; (6) mode (feisyen); (7) film; (8) musik; (9) seni pertunjukan; (10) penerbitan; (11) riset dan pengembangan; (12) piranti lunak; (13) televisi dan radio; (14) mainan; dan (15) video game. Dari 15 macam ini yang kontribusinya pada PDB paling besar adalah fesyen (43,71 %), diikuti oleh kerajinan (25,51%), dan sisanya masing-masing lebih kecil dari 10%, bahkan untuk riset dan pengembangan kurang dari 1%,
Kalau kita bicara feisyen maka kita bicara tentang dua hal: pertama tentang bahan baku feisyen, yaitu tekstil; dan kedua tentang tujuan feisyen yaitu berpakaian, yang menurut pandangan Islam adalah menutup aurat. Karena itu teknologi feisyen yang islami adalah teknologi untuk menutup aurat.
Industri tekstil termasuk industri pelopor pada masa Islam. Ini wajar karena menutup aurat adalah kewajiban sekaligus kebutuhan dasar masyarakat. Pengaruh industri tekstil di masa Islam tampak dari kata-kata Arab untuk tekstil yang ada pada bahasa-bahasa Eropa, misalnya kata damask, muslin dan mohair dalam bahasa Inggris.
Serat tertua yang digunakan dalam tekstil Muslim adalah wol. Lapisan bulu bagian dalam domba Angora yang disebut mohair (dari bahasa Arab mukhayyar) digunakan untuk syal yang halus dan bagian yang lembut pada jas, sedang bulu onta digunakan untuk bahan-bahan lain.
Domba dicukur dengan sebuah gunting besar dan sebelum dipintal, wol mentah ini terlebih dulu disortir berdasarkan kualitas, kemudian dibersihkan, dihilangkan lemaknya dan disisir.
Dari zaman Fir’aun, Mesir terkenal dengan linennya, tetapi di zaman Islam pembuatan linen menyebar ke Iran dan negeri Islam lain. Rami dari Mesir diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa, mendominasi pasar sampai tahun 1300 M. Rami diproses untuk diambil seratnya.
Kapas dikenal di India dan Mesir kuno, tetapi baru setelah kedatangan Islam kapas menjadi bahan baku tekstil yang penting. Salah satu hasil revolusi pertanian Muslim adalah penyebaran tanaman kapas ke seluruh wilayah Islam, ke Timur maupun Barat. Umat Islam jugalah yang memperkenalkan industri tekstil kapas ke Spanyol di abad-2 M (abad-8 H). Di sini tanaman kapas tumbuh subur sebelum menyebar ke Perancis abad-12 M, ke Belgia abad-13 M, ke Jerman abad-14 M dan ke Inggris seabad kemudian. Dia juga menjadi faktor utama revolusi industri tiga abad belakangan.
Di pabrik, buah kapas diproses sebelum dipintal. Serat dipisahkan dari bijinya, kemudian dibersihkan dari pengotor. Petunjuk untuk memperkirakan kualitas kapas yang telah dipisahkan dan bebas dari biji serta kulit diberikan dalam sebuah manual (alhisba) yang disiapkan sebagai panduan bagi para muhtasib.
Selain wol, serat rami dan kapas, sutera juga menjadi bahan baku tekstil. Bahan baku sutera diperoleh dari kokon ulat sutera yang dijemur di terik matahari atau direndam air mendidih hingga larva di dalamnya mati. Kemudian filamen dari kokon itu digulung atau dipintal seperti wol atau kapas.
Industri sutera dibawa dari Cina sebelum zaman Islam. Namun di masa Islamlah pabrikasi sutera menjadi hal penting sehingga akhirnya “sutera Islam” menggantikan sutera Byzantium di pasaran Eropa dan mendominasi hingga abad-13 M. Sutera tetap menjadi komoditas ekspor terpenting masyarakat Islam ke Barat hingga abad-19 M. Sutera-sutera ini bertuliskan Arab setidaknya untuk menunjukkan tempat dan tahun pembuatan. Tak heran, hingga kini, masih ada kain penutup dari sutera di berbagai gereja di Barat yang bertemakan penggalan kalimat syahadat Islam.
Mesin pintal untuk membuat benang dari berbagai bahan tadi mengalami evolusi sejak zaman Cina kuno hingga bentuknya yang sempurna di zaman Revolusi Industri. Ibnu Miskawayh (wafat 1030 M) dalam Kitab Tajari al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa) memberikan deskripsi tentang mesin pemintal sutera di masanya yang sudah terdiri dari banyak gelondong. Dalam kitab Maqamat karya al-Hariri (1237 M) terdapat ilustrasi tentang seorang gadis yang bekerja pada roda pemintal.
Setelah pemintalan dilakukan serangkauan persiapan sebelum penenunan (untuk membuat kain dari benang). Prinsip dasarnya adalah menganyam seberkas benang. Meski perkakas tenun sudah ada sejak zaman pra Islam, para insinyur muslim menambahkan beberapa komponen yang signifikan, misal pedal untuk menaik-turunkan benang. Jika salah satu pedal ditekan, kumparan dilontarkan dari satu tangan ke tangan lain melalui sela di antara benang-benang, lalu ditimpa dengan sisir benang, kemudian pedal yang lain ditekan untuk membuka bukaan yang berlawanan, kumparan kembali melintas dan benang kembali ke tempat semula. Demikianlah seterusnya, dan semua ini terjadi dengan sangat cepat.
Proses tenun ini bahkan bisa didesain dengan berbagai jenis dan warna benang sehingga membentuk pola atau motif tertentu. Deskripsi menarik tentang perkakas tenun gambar ini dilaporkan oleh al-Nuwairi (wafat 1376 M).
Ibn al-Mubarrid (abad-16 M) menulis dalam Kitab al-Hisba tentang 100 tipe penenun! Dia memberikan daftar tentang sepuluh jenis penenun katun, lebih dari dua puluh penenun linen, lebih dari empat puluh untuk sutera, lebih dari sepuluh untuk permadani dan karpet, dan lebih dari lima untuk kanvas dan karung goni.
Banyak profesi terkait dengan industri tekstil. Mulai dari saudagar penjual pakaian baru, pedagang pakaian bekas dan kain lap, pedagang sutera dan benang, pengelantang, pengempa, pencelup, pemintal dan berbagai pengrajin lain. Seorang muhtasib bertugas mengawasi mutu dan pelaksanaan peraturan-peraturan pemerintah, sehingga seluruh profesi ini berhasil menyediakan penutup aurat yang bermutu tinggi dan sesuai selera konsumen.
Pada zaman sekarang, ketika tekstil yang tahan lama telah dapat diproduksi dengan murah, dunia feisyen lalu didorong agar produk industri tekstil tetap dapat diserap pasar. Feisyen menjadi industri kreatif nomor satu. Pertanyaannya, apakah tujuan semula untuk menutup aurat telah tercapai? Mungkin diperlukan kembali institusi hisbah untuk mengawasinya.
Alat Tenun Bukan Mesin
Mesin Pintal Modern