Dr. Fahmi Amhar
Apakah yang anda bayangkan tentang porselin? Boneka yang cantik, atau guci yang indah? Sama saja? Kalau begitu, dari mana porselin yang anda nilai mahal? Atau dari zaman apa? Pada umumnya kolektor benda antik amat menghargai porselin dari zaman dinasti Ming yang memerintah Cina dari 1368-1644 atau bahkan yang lebih tua dari dinasti Tang ((618-907 M).
Anda tidak sama sekali salah. Cina memang mata air ilmu pembuatan porselin di dunia. Ke sana pula Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk berburu ilmu. Tetapi tahukah anda, bahwa di abad pertengahan banyak porselin lain yang sama indahnya beredar di pasaran, namun bukan made in Cina? Di banyak museum di dunia masih disimpan porselin-porselin dari era keemasan Islam.
Sejarah keramik kaum muslim tidak terbatas hanya pada kaligrafi di atas keramik. Sisi teknologi di bidang ini memang termasuk yang jarang diketahui kecuali oleh para sejarahwan. Padahal umat Islam melakukan banyak inovasi keramik dan porselin untuk berbagai kebutuhan. Ada yang menjadi lantai dan dinding masjid, toilet dan bak mandi, tungku pemasak, hiasan di istana sultan, hingga alat-alat makan. Proses pembuatannya pun beraneka ragam. Teknologi ini terkait erat dengan pembuatan tembikar atau keramik dari tanah liat dan pembuatan gelas dari pasir kuarsa.
Para sejarahwan membagi keramik zaman Islam ke dalam tiga periode: periode awal (mulai abad-1 H sampai dengan abad-4 H, era pemerintahan bani Umayyah dan awal Abbasiyah), periode pertengahan (abad-5 H sampai abad-10 H) dan periode setelah abad-10 H (era bani Utsmaniyah).
Barang pecah belah dari awal dinasti Abbasiyah yang ditemukan di Samarra dapat digolongkan menjagi 6 tipe: (1) Tembikar tanpa glazur; (2) Tembikar berlapis monokrom alkalin; (3) Tembikar berlapis timah berhiasan relief; (4) Tembikar berlapis timah berhiasan bintik-bintik atau gambar abstrak warna-warni; (5) Tembikar berlapis aluminium; dan (6) Tembikar berlukis di bawah lapisan gelas.
Salah satu prestasi besar orang-orang Islam di periode ini adalah penemuan pelapisan dengan alumnimum. Jika glazur aluminium oksida ditambahkan pada glazur timah, akan didapatkan porselin krem ala dinasti Tang. Keunggulan aluminium oksida selain memungkinkan pengecatan permukaan bergelombang yang belum dibakar, juga karena cat tersebut tidak memudar ketika tembikar dibakar seperti halnya yang terjadi pada pemakaian glazur timah secara langsung.
Sepanjang periode Islam pertengahan, prestasi penting yang lain adalah penciptaan tembikar warna putih. Ini diperoleh dari bahan-bahan baru dari pasir kuarsa, lempung putih dan potasium. Produk ini tercipta dari keinginan pengrajin muslim untuk menyaingi porselin Cina. Jika dibakar, bahan-bahan baru ini menghasilkan tembikar semi-transparan yang sangat keras, yang di Eropa setelah abad 18 M dikenal sebagai “porselin pasta lunak”.
Pusat yang paling masyhur dalam pembuatan porselin adalah Kasyan di Iran. Pada tahun 700 H / 1301 M, Muhammad Abu Al-Qassim al Kasyani menulis sebuah buku penting yang memberikan rincian teknik keramik Islam.
Beberapa jenis inovasi keramik dan porselin yang terkenal adalah:
(1) Abarello: ini adalah semacam poci yang didesain untuk menyimpan obat-obatan dari abad 15.
(2) Fritware: ini adalah alat dapur untuk memanggang atau menggoreng dari abad 11. Sebuah resep cara membuatnya ditulis Abu al-Qassim pada tahun 1300 yang memuat perbandingan bahan-bahannya yaitu kuarsa : gelas frit : lempung putih = 10 : 1 : 1.
(3) Hispano-Moresqueware: ini adalah keramik yang dibuat di Spanyol Islam setelah bangsa Moor (Maroko) mengenalkan teknik pembuatan keramik ke Eropa dengan pelapisan timah dan gambar warna. Teknik ini sangat berbeda dengan keramik yang dikenal di kalangan Kristen dari karaketer Islam dalam dekorasinya yang bermotif kaligrafi.
(4) Iznik: ini adalah keramik dari era Turki Utsmani pada awal abad-15 M. Keunggulannya adalah ramuan bahan-bahannya yang membuat koefisien muainya turun sehingga tahan panas.
(5) Lusterware: lapisan gilap untuk keramik jenis ini semula dipakai di Mesopotamia (Irak) sejak abad-9 M lalu sangat terkenal di Persia dan Syria, dan berikutnya diproduksi massal di Mesir selama era Fatimiyah (abad-10 hingga abad-12 M). Teknik inilah yang pada abad-16 M menyeberang ke Itali di masa rennaisance lalu menyebar ke Belanda, Perancis dan negeri Eropa lainnya.
Sebuah porselin yang berlapis timah dari Spanyol-Mor di era Islam (disebut Hispano-Moresque), tahun 1475.
Di abad-20, teknologi keramik sempat terdesak oleh teknologi plastik yang membuat alat-alat yang sama dari bahan baku hidrokarbon (minyak) karena alasan lebih murah, lebih ringan dan tahan pecah. Namun belakangan disadari bahwa limbah plastik tidak bisa hancur secara alami dan menjadi masalah lingkungan yang serius. Proses pembuatan plastik juga tidak ramah lingkungan karena melepaskan dioxyn yang menyebabkan kanker. Maka kini orang kembali menengok ke keramik. Perkembangan di fisika nano membuat kini mampu dibuat keramik yang juga murah, ringan, tahan pecah dan juga bahkan anti kotor! Ini suatu perkembangan yang menarik. Mungkinkan para ilmuwan muslim kembali berperan dalam mengembangakan keramik seperti seribu tahun yang silam?
Dr. Fahmi Amhar
Setelah kemampuan membaca dan menulis, tingkat kecerdasan sebuah bangsa adalah pada matematika. Kalau kemampuan matematika bangsa ini dihitung dalam skala 0-100, berapa nilai yang pantas kita berikan?
Ada guyonan, bahwa mereka yang terpandai dalam matematika di sekolah akan menjadi dokter, insinyur atau pilot, yang ketika menghitung dosis obat, kekuatan bangunan atau tinggi terbang memang perlu kemampuan berhitung yang cepat nan akurat. Yang pas-pasan dalam matematika akan menjadi pedagang yang tidak perlu menghitung yang rumit-rumit, tetapi harus bisa memastikan bahwa bisnis masih untung. Sedang yang matematika di sekolahnya paling jeblok akan menjadi politisi, orang partai, anggota DPR atau kepala daerah. Mereka ditengarai sama sekali tidak bisa berhitung. Dalam proses politik saja mereka sering sudah salah hitung tentang potensi perolehan suara. Sedang bila sudah berkuasa, mereka terbukti tidak mampu berhitung bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuatnya – seperti konsesi, privatisasi, dan utang luar negeri – telah membuat negeri dan rakyatnya ini semakin bangkrut. Dari matematika, yang mereka kuasai cuma menambah (beban pajak), mengurangi (subsidi) dan mengalikan (gaji diri sendiri). Yang tersulit adalah membagi (kekayaan umum kepada rakyat). Tapi sekali lagi ini cuma guyonan.
Namun para pemimpin yang hebat dalam sejarah dunia sejatinya adalah para pecinta dan pengguna matematika yang baik. Tentu saja yang kita ceritakan bukanlah Eropa abad pertengahan, namun adalah negeri Daulah Khilafah.
Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi khalifah al-Mansur yang berkuasa di Bagdad antara 754-775 M. Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang teknik berhitung (aritmetika), yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik. Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet. Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”. Belakangan karya ini diedit ulang oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.
Dengan karya ini, angka India menjadi populer. Ketika pada tahun 706 M Khalifah al-Walid I menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti dengan bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya. Namun ketika buku al-Fasari dan kemudian al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.
Al-Khawarizmi adalah tokoh matematikawan besar yang ditarik oleh khalifah al-Makmun ke istana. Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika. Dan al-Makmun tidak salah. Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India.
Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka. Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan luas lingkaran, yaitu bilangan pi (π). Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu. Dewasa ini, dengan superkomputer, nilai pi sudah dicoba didekati hingga semilyar angka di belakang komma, dan tetap saja tidak berhenti atau ditemukan keteraturan.
Kalau sebuah bidang datar memotong sebuah kerucut secara miring dan membentuk ellips, lalu pertanyaannya berapa luas dan panjang keliling ellips tersebut, maka geometri Yunani tak lagi memberi jawaban. Pada saat yang sama, seni berhitung (arimetika) ala India juga tidak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini. Di sinilah al-Khawarizmi mencoba “mengawinkan” geometri dan aritmetika. Perpotongan kerucut dengan bidang datar secara miring menghasilkan beberapa unknown (variabel yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, rumus kerucut dan kemiringan perpotongan dijadikan satu lalu diselesaikan. Inilah aljabar. Dan model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai oleh Galileo, Kepler, dan Newton dalam meramalkan gerakan planet.
Namun karya terbesar al-Khawarizmi yang sebenarnya justru bukanlah makalah ilmiah yang berat, tetapi dua buah buku kecil yang sengaja ditulis untuk kalangan awam tentang penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Buku perrtama memang menyandang judul yang sangat teoretis, “Aljabar wa al-Muqobalah” – kitab tentang persamaan-persamaan dan penyelesaiannya. Namun isi sebenarnya ringan. Ketika orang Barat menerjemahkan buku ini ke bahasa Latin, judul Arabnya tetap bertahan – hingga hari ini: Algebra.
Buku kedua yang ditulis al-Khawarizmi justru membuat namanya abadi. Buku ini tentang teknik berhitung dengan menggunakan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa. Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.
Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian lupa asal-usul kata algoritma. Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru. Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung objek sebanyak pasir di pantai. Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus. Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma. Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya. Sebagaimana diketahui, huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.
Pada masa rennaisance di Eropa, menguasai aljabar menjadi sesuatu yang sangat prestisius. Maka tentu tak sulit membayangkan, bahwa kalau di dunia Islam orang dapat melamar seorang gadis dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, maka di Eropa, orang dapat melamar seorang gadis dengan mengajarkan aljabar!
[ GAMBAR ]
Adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang berhitung dengan abakus Yunani) dengan kaum Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.
Al-Azhar Press
isbn: 979-3118-80-6
Buku ini saya sebut “TSQ-stories”, karena berisi kisah-kisah tentang kecerdasan ilmiah dan kreativitas teknologi yang berbasis spiritual (technoscience-spiritual-quotient). Kisah-kisah ini digali dari sejarah keemasan peradaban Islam, era di mana diyakini ada keseimbangan yang luar biasa antara budaya rasional dan transendental, antara dunia “aqli” dan “naqli”, dan antara kemajuan dunia dan keselamatan akherat.
Kisah-kisah ini “dipulung” dari banyak sekali sumber. Saya amat berhutang budi kepada Wikipedia, Sigrid Hunke (“Allahs Sonne ueber dem Abendland”), Ahmad Y Al-Hassan & Donald R. Hill (“Islamic Technology: An Illustrated History”), suami istri Ismail Roji & Lois Lamya al-Faruqi (“The Cultural Atlas of Islam”), Francis Robinson (“Atlas of the Islamic World since 1500”), Geoffrey Barraclough (“The Times Atlas of World History”), dan masih banyak lagi sumber-sumber yang berserakan. Meski akurasinya dijaga, buku ini tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah yang harus mencantumkan sumber referensi di setiap pernyataan, namun buku ini ditulis lebih untuk dijadikan inspirasi.
Dengan kisah-kisah ini kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia? Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam, yang bila dipraktekkan secara sinergis baik di level individual, level sosial-kultural, maupun level sistemik-struktural pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama. Dalam bahasa yang lebih gamblang, pada masa keemasan Islam itu tak cuma ada kesalehan individual, tetapi juga ada kesalehan kolektif, dan kesalehan negara. Untuk itulah pada awal setiap kisah selalu diberikan refleksi untuk menghubungkan masa kini dengan dengan masa lalu.
Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat nan mulia itu kemudian tenggelam? Lalu apa saja yang dapat kita perbuat untuk menarik peradaban itu dari dasar samudra agar dapat tegak kembali berlayar menuju tanah impian? Untuk pertanyaan-pertanyaan ini sudah tersedia jawabannya, namun bukan di buku ini.
Buku ini didesain agar ringan, dapat dibawa ke sekolah di level apapun, dijadikan materi diskusi oleh guru pelajaran apapun. Sengaja, hampir seluruh pelajaran yang ada di SD hingga SMA dapat dicarikan contohnya di satu atau lebih judul tulisan dalam buku ini. Kita ingin, Islam tidak cuma dikenal dan diinternalisasi oleh guru agama saja, tetapi juga oleh guru-guru dari segala mata pelajaran. Guru matematika mengetahui kisah-kisah matematikawan muslim di masa lalu, sebagaimana guru olahraga atau guru kesenian juga mendapatkan perkenalan yang serupa. Bahkan lulusan SMA yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi dapat mendapatkan inspirasi – dan juga motivasi – tentang jurusan apa di perguruan tinggi yang dapat mengikat emosinya dengan kehebatan dan kemuliaan nenek moyang kaum muslim.
Tentu saja, sebagai perkenalan, buku ini teramat singkat. Sesungguhnya tulisan-tulisan ini pernah dipublikasikan di tabloid Media Umat dari tahun 2008 hingga 2010. Setelah mengarungi nyaris seluruh jenis ilmu, tiba saatnya bahasan di tabloid tersebut diperdalam. Kalau tidak, niscaya kisah-kisah singkat yang bersifat overview semacam ini lekas kehabisan bahan.
Sebagai catatan terakhir, kalau di buku ini disebut “ilmuwan Islam”, maka maksudnya adalah “ilmuwan negara Khilafah”. Ilmuwan yang bersangkutan boleh jadi non muslim, atau kemurnian aqidahnya diragukan oleh sejumlah ulama ushuluddin. Kita tidak perlu berdebat tentang itu. Yang penting, selama seorang ilmuwan mengabdikan hidupnya dalam negara Khilafah dan karyanya memuliakan Islam dan kaum muslim, maka dia adalah “ilmuwan Islam”. Ini karena Islam adalah suatu tatanan atau suatu ideologi yang khas. Masyarakat Islam dibangun di atas tatanan itu, mulai dari cara pandangnya atas kehidupan dan metode mereka menyelesaikan segala persoalan kehidupan itu, yang semuanya khas.
Hal ini sebenarnya mirip dengan kalau kita menyebut “ilmuwan Amerika” untuk para saintis atau teknolog di Amerika, mulai yang bekerja di NASA atau di Microsoft hingga yang membangun Disneyland atau membuat animasi untuk Hollywood. Mereka tak semuanya warga negara Amerika dan secara individual juga tidak semua setuju dengan ideologi ataupun politik luar negeri Amerika. Tetapi kita tidak salah menyebut mereka “ilmuwan Amerika”, karena mereka, meski berasal dari Cina, India ataupun Timur Tengah, bekerja di Amerika, dan ikut memakmurkan, membuat jaya, dan mengharumkan citra Amerika di dunia.
Saya memohon kepada Allah, semoga langkah yang kecil ini dapat mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik peradaban Islam keluar dari dasar samudra, kembali memimpin zaman, merahmati seluruh alam.
Saya memohon kepada Allah, agar mempertemukan kita dengan orang-orang yang amat kita rindukan, yaitu baginda Nabi dan para sahabatnya, serta para ilmuwan Islam yang shaleh, yang perjalanannya mencari ilmu adalah jihad fii sabilillah, dan goresan tintanya lebih mulia dari darah para syuhada.
Daftar Isi:
1. Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana
2. Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya
3. Olahraga Para Mujahid
4. Ketika para Seniman Orang-orang Beriman
5. Matematika Islam bukan Numerologi
6. Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Ru’yat
7. Fisikawan Islam Mendahului Zaman
8. Terbang tanpa karpet ajaib
9. Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir
10. Teknologi Militer Islam
11. Kedokteran Islam pakai Uji Klinis
12. Ketika Sehat bukan Misteri
13. Islam Pernah Merevolusi Pertanian
14. Ketika geografi induk segala ilmu
15. Ilmu Sosial bukan Anak Tiri
16. Psikologi tak harus ikut Freud
17. Tata Negara yang tidak membosankan
18. Ekonomi Umat tak hanya Zakat
19. Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat
20. Negeri Kincir Angin pertama bukan Belanda
21. Arsitektur Islam tak hanya Masjid Sentris
22. Kota Islami Kota Terrencana
23. Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa
24. Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
25. Ketika Jarak bukan Penghalang Komunikasi
26. Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya
27. Teknologi untuk Menutup Aurat
28. Menjadi Cerdas dengan Kertas
29. Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
30. Manajemen Riset para Mujtahid
Total 204 halaman.