Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Ketika Muadzin seorang Astronom

Thursday, June 3rd, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid?  Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid.  Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam.  Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.

Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal.  Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan.  Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.

Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah.  Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi.  Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya.  Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat.  Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi.  Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom!  Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.

Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini.  Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad.  Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah.  Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad.  Subhanallah.

Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya.  Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha.  Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.

Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu.  Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs.  Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus.  Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion).  Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars.  Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus.  Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.

Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari.  Mereka membuat model planet non Ptolomeus.  Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis.  Ini pendapat yang luar biasa maju.  Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian.  Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.

Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi.  Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi.  Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain.  Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.

Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.  Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi.  Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).

Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun.  Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam.  Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim.  Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!

Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi.  Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai.  Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi.  Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara.  Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia.  Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.

Penjelajah yang bukan Penjajah

Wednesday, May 26th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

 

Musim liburan sekolah segera tiba.  Apakah anda suka jalan-jalan dan akan memanfaatkaan waktu liburan untuk pergi melancong?  Ke luar negeri?  Umrah?  Orang yang sedang jalan-jalan disebut pelancong atau turis.  Profesinya boleh macam-macam.  Tidak hanya pedagang ekspor-impor, diplomat atau pramugari saja yang bisa ke luar negeri.  Di negara maju, berprofesi sebagai penjual es krim saja bisa nabung untuk jalan-jalan ke luar negeri.  Tetapi ada orang yang profesinya melancong, bahkan sebagian besar usianya dihabiskan di perjalanan, itulah para penjelajah.

Dahulu, alat transportasi belum canggih.  Perjalanan masih harus dilakukan dengan naik kuda, unta atau kapal laut.  Sehari kuda atau sehari kapal layar paling hanya menempuh jarak 80-100 kilometer.  Selain itu satelit pemantau bumi maupun satelit navigasi juga belum ada.  Alat telekomunikasi untuk bertukar kabar dengan orang di kampung halaman juga belum ada. Sehingga orang yang nekad berprofesi menjadi penjelajah amat sangat langka.  Merekalah yang kemudian mengabarkan tentang dunia negeri antah berantah.  Setelah itu terserah kepada para penguasa ataupun pedagang, untuk apa pengetahuan itu akan dimanfaatkan.

Ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Barat, penjelajahan membuahkan penjajahan.  Dengan kaki tangan yang biasanya orang-orang lokal yang bisa dibeli, negeri-negeri baru itu dikuasai, rakyatnya diperbudak, kebudayaannya dimanipulasi dan sumber daya alamnya dikuras.  Tetapi lain halnya ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Islam.  Salah satu contoh yang paling besar adalah Ibnu Battutah.

Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah al-Lawati al Tanji ibn Battutah lahir di Tanger Maroko, 24 Februari 1305 M (tahun 703 H) adalah ulama dari madzhab Maliki dan pernah menjabat sebagai qadhi (hakim).

Hingga wafatnya pada tahun 1368 (sumber lain menulis 1377 M) dia telah melawat sejauh 117.000 Km, meliputi seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, sejak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga China.  Total 44 negara modern telah dia jelajahi.  Dia jauh melampaui penjelajah paling top hingga saat itu yaitu Marco Polo.

Atas undangan Sultan Maroko Abu Inan Faris, beberapa tahun setelah kepulangannya, Ibnu Battutah mendiktekan sejumlah perjalanannya kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayi.  Kitab yang kemudian secara singkat dijuluki “Ar-Rihlah” inilah sumber utama info petualangannya.  Hampir seluruh isi kitab ini – juga tentang kehidupannya – berasal dari satu sumber, yaitu Ibnu Battutah sendiri.  Mungkin apa yang dia klaim dilihat atau dilakukannya agak sedikit diwarnai fantasi, tetapi untuk sebagian besar memang tidak ada cara lain untuk memverifikasinya.  Namun dengan kompleksitas masalah yang diceritakan, serta dengan posisi dia sebelumnya sebagai seorang qadhi yang faqih, kita dapat mengasumsikan bahwa dia jujur, dan apa yang diceritakannya itu fakta.

Awal dari penjelajahan Ibnu Battutah adalah perjalanan haji yang ia lakukan pada usia 20 tahun.  Perjalanan ini melalui Kairo, Damaskus, Palestina dan Madinah.  Setelah haji dia tidak langsung pulang, melainkan melanjutkannya ke negeri yang dikuasai pemerintah Mongol Il-Khanate yang kini dikenal sebagai Iraq dan Iran.

Setelah itu dia ke ujung semenanjung Arabia, terus ke Afrika.  Dia telah mengunjungi Mogadishu, Mombassa, Zanzibar dan Kilwa.  Kemudian dia balik ke Mekkah lagi.

Ibnu Battutah mengalami banyak gegar budaya (culture schock) di daerah yang dia kunjungi, yang memiliki budaya sangat berbeda dengan latar belakangnya.  Dia menyaksikan orang-orang Turki dan Mongol yang masuk Islam.  Dia melihat pakaian wanita yang lebih bebas di Maladewa dan sub-Sahara.  Dia banyak menerima bernaeka souvenir dari penduduk lokal, yang tentu saja akan membebaninya sepanjang sisa perjalanannya, karena saat itu belum ada jasa paket internasional.

Dalam setiap routenya, Ibnu Battutah sering bergabung dengan suatu kafilah dagang.  Bahkan dia sendiri sering mencoba peruntungannya sebagai pedagang.  Di tahun yang lain, karena menguasai beberapa bahasa internasional (Arab, Persia, Romawi) dia mencari pekerjaan sebagai guide dan penerjemah.

Ibnu Battutah melampaui batas negara Islam ketika dia sampai ke Konstantinopel dan China.  Pada akhir 1332 M, dia bertemu Kaisar Andronicus III Palaeologus dan melihat katedral Hagia Sophia dari luar.  Kemudian dia melanjutkan ke laut Caspia, laut Aral, Bukhara dan Samarkhand.  Kemudian dia melanjutkan ke Afghanistan, dan melintasi pegunungan ke India.

Sultanat Delhi, salah satu ex negara Mongol yang masuk Islam dan sedang banyak mengimpor sebanyak mungkin ulama Islam untuk mengajar, menggajinya untuk menjadi qadhi.  Namun kehidupan istana tidak menurunkan jiwa petualangan Ibnu Battutah.  Ketika dia berniat naik haji lagi, Sultan Tughlaq dari Sultanat Delhi malah menawarinya jadi duta besar ke Cina.  Karena ini kesempatan untuk menjelajahi dunia baru, Ibnu Battutah menerima tawaran ini.  Pada perjalanan ke Cina via laut inilah dia sempat singgah di Samudera Pasai atau Aceh sekarang ini, yang penduduknya sudah masuk Islam.

Tetapi penugasannya ke Cina ini dinilai kurang sukses.  Dia sempat kembali ke India di bawah perlindungan Sultan Jamaluddin.  Namun ketika pemerintahan ini digulingkan, Ibnu Battutah pindah ke Maladewa.  Di pulau yang semula mayoritas Budha ini, Ibnu Battutah terpaksa tinggal lebih lama.  Semula dia memang setengah disandera untuk tinggal di situ.  Namun keahliannya sebagai qadhi kemudian dibutuhkan, bahkan dia dinikahkan dengan puteri keluarga istana.  Namun dia schock mendapati wanita non muslim di pulau itu terbiasa telanjang dada di area publik.  Kritiknya atas kebiasaan ini membuatnya dilecehkan oleh penduduk lokal.  Maka kemudian dia meninggalkan pulau itu menuju Srilangka.  Namun di tengah lautan kapalnya tenggelam oleh badai, dan kapal yang menolongnya dibajak oleh bajak laut.  Dia akhirnya terdampar di India kembali.

Ketika dia hampir memutuskan balik ke Maladewa, dia bertemu dengan pelaut Cina, yang mengajaknya kembali ke Cina (dinasti Yuan).  Kali ini dia sukses.  Selain mengunjungi banyak kota di Cina, juga mengunjungi Vietnam, Filipina dan Sumatra.

Setelah merasa cukup di Cina, Ibnu Battutah memutuskan pulang ke kampung halaman, walaupun agak sulit dia mendefinisikan mana kampung halamannya (India, Maladewa, Iraq, Damaskus ?).

Ketika sampai di Damaskus, dia mendengar berita bahwa ayahnya telah wafat oleh wabah yang sedang menjadi tema dunia saat itu, yaitu penyakit pes (black death).  Akhirnya setelah naik haji kembali ke Mekkah, Ibnu Battutah kembali ke Maroko, nyaris seperempat abad setelah dia tinggalkan!

Namun sesampai di kampung halamannya, tak lama kemudian dia berangkat lagi ke Andalusia.  Kali ini sekaligus untuk mempertahankan beberapa wilayah Islam dari ancaman serangan Kristen Spanyol.   Namun kemudian dia kembali ke Maroko dan menjelajahi Afrika Barat ke daerah-daerah yang tidak banyak dikenal orang.  Dia mencapai beberapa negeri di Gurun Sahara.  Tahun 1351 (pada usia 46 tahun) dia sampai ke Timbuktu, sebuah negeri yang hingga abad-21 pun masih terdengar amat eksotis.

Di perjalanan ke negeri yang amat asing ini, tiba-tiba pemandu dan kafilahnya hilang tanpa jejak.  Ini merupakan tragedi bagi Ibnu Battutah, dan dia menulis kesulitan yang teramat besar untuk bernavigasi tanpa tanda-tanda jalan (landmark).

Setelah publikasi ar-Rihlah, dia dipilih sebagai qadhi di Maroko.  Sampai tahun 1800-an, bukunya tetap dianggap aneh sekalipun di dunia Islam.  Sama seperti buku Marcopolo di Eropa.  Baru tahun 1800-an, bukunya mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa, dan bukunya menunjukkan relevansi dengan hasil penjelajahan bangsa Barat terbaru.  Sejak itu, Ibnu Battutah makin terkenal, tidak hanya sebagai penjelajah dan penulis, tetapi juga membantu dalam proses perubahan banyak sekali bangsa sepanjang rute perdagangan yang dia lakukan.

Untuk menghormatinya, para astronom telah menamai sebuah kawah di bulan dengan namanya.  Demikian juga sebuah mall di Dubai (yang kini telah menempatkan diri sebagai kota di dunia yang paling banyak dikunjungi turis) telah dinamai Ibnu Battutah Mall, dengan display dari penemuannya yang disebar di sepanjang koridornya.

Islam masuk sampai ke Dapur

Wednesday, May 26th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri.  Bagaimana anda menilai dapur anda saat ini?  Type masakan apa yang dominan anda siapkan?  Masakan Jawa?  masakan Padang?  masakan Cina?  masakan Barat?  atau Masakan Timur Tengah?

Kalau anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa.  Kalau anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang.  Kalau anda suka mie, itu Cina.  Kalau anda suka roti dengan selai, itu Barat.  Dan kalau anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.

Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam?  Bukankah itu semua mubah-mubah saja?  Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.

Benar.  Yang akan kita bahas kali ini kita memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur?  Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:

Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula.  Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.

Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.

Ketiga adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.

Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.

Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non muslim.  Sebagai contoh Jerman atau Perancis saat ini sangat terkenal aneka minuman kerasnya.  Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi teknik pembuatan bir.  Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”.  Islam ternyata telah masuk sampai ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.

Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada akhir abad-5 H (11 M).  Satu aspek penting revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru seperti padi, sorghum, gandum keras (triticum durum – digunakan untuk membuat pasta), tebu dan berbagai jenis bunga, sayuran dan buah-buahan.  Adanya tanaman baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.  Al-Marqasi (awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat.  Ibn al-Bassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.  Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.  Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.

Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.

Sebagai bahan pangan utama, padi berada pada posisi kedua setelah gandum.  Padi adalah salah satu tumbuhan yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.  Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di berbagai daerah.

Ada berbagai jenis roti yang dibuat di negeri-negeri Islam.  Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar duabelas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.  Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibuat dari gandum serta dibakar dengan cara sederhana.

Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang membuat adonan roti di rumah lalu membawanya ke toko roti untuk dibakar.  Tukang roti diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya agar konsumen terlindungi.

Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan dan penyebarannya berhutang banyak pada peradaban Islam.  Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi belum menjadi bahan makanan di masa pra-Islam.  Literatur Barat sebelum abad ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula.  Hingga abad pertengahan, bahan pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.

Dari semua jenis makanan di abad pertengahan, gula adalah satu-satunya bahan yang membutuhkan proses kimia.  Pembuatan gula membutuhkan kecakapan teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun proses pembuatannya.  Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan sejak awal negara memainkan peran utama dalam perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula.  Dalam kitab Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab  dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai perkebunan tebu di berbagai negeri Islam.  Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina.  Kali ini bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”, tetapi “mengajarlah sampai ke negeri Cina”.  Menurut Marco Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan menggunakan abu kayu bakar.

Selama abad ke-4 dan ke-10 H (ke 10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku masakan (tabikh).  Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.  Dari buku-buku itu dapat dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negeri-negeri muslim yang lain.  Kitab At-Tabikh yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep masakan di Baghdad.  Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18 hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan sederhana, berbagai masakan ayam, 9 kue kering dan bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue pastel, 5 hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue manis, 10 mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).  Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan penjabaran perlengkapan dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.

Pengawetan makanan juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan muslim.  Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan, pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan dengan bumbu.  Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan makanan dalam buku-buku mereka.  Es-es pada musim dingin disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.

Kalau sekarang banyak makanan tiruan seperti daging vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang lalu.  Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang dibuat tanpa daging, telor dadar yang dibuat tanpa telor, kue beras tanpa beras dan kue halwa tanpa madu/gula.  Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab khusus tentang rahasia para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak tanpa sedikit peniruan.  Itulah gunanya para muhtasib juga memiliki ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya.