Dr. Fahmi Amhar
Anda di rumah memiliki globe (bola dunia)? Untuk apa? Saat ini banyak pengasong menjual globe murah buatan Cina di beberapa perempatan Jakarta. Sebagian memang didesain untuk dapat dipajang di meja kelas. Sebagian lain untuk dipakai main lempar bola di kolam renang.
Tahukah anda bahwa sekitar 1000 tahun yang lalu, globe adalah sebuah masterpiece. Hingga saat itu belum semua ilmuwan sepakat bahwa bumi itu bulat. Tetapi Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Idris asy Syarif atau dikenal sebagai Al-Idrisi (1100 M – 1165 M) percaya, dan dialah pencipta pertama peta dunia dalam bentuk globe seperti yang kita kenal sekarang!
Sebenarnyalah, al-Idrisi mampu melakukan itu karena sejumlah politisi dan ilmuwan telah membukakan jalan. Berabad sebelumnya, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendorong para ilmuwan Muslim untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah kuno dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Beberapa naskah penting Yunani yang diterjemahkan adalah: Almagest dan Geographia.
Khalifah Al- Ma’mun (813 M – 833 M) memerintahkan para geografer Muslim untuk mengembangkan geodesi, yaitu teknik mengukur jarak di atas bumi. Umat Islam pun akhirnya bahkan mampu menghitung volume dan keliling bumi. Lalu Al-Ma’mun memerintahkan untuk menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer lainnya akhirnya mampu menyelesaikan tugas ini pada tahun 830 M. Kemudian Khawarizmi juga menulis kitab geografi yang berjudul “Surah Al-Ard” (tentang geomorfologi), sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi landasan ilmiah bagi geografer Muslim klasik. Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah kitab berjudul “Keterangan tentang Bumi yang Berpenghuni”.
Ilmu geografi pun makin berkembang. Di awal abad-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan akademi survei dan pemetaan di Baghdad. Di abad-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri menulis kitab “Mu’jam Al-Ista’jam” (Eksiklopedi Geografi) dan “Al-Masalik wa Al-Mamalik” (Jalan dan Kerajaan).
Al-Idrisi lahir pada tahun 1100 di Ceuta Spanyol. Pada usia muda dia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi. Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, dia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh di Barat sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, “Geographia Nubiensis”.
Kemasyhuran dan kompetensi al-Idrisi didengar oleh Raja Roger II dari Sicilia (1129 M – 1140 M). Ia mengundang dan memfasilitasi al-Idrisi untuk membuat peta dunia paling baru saat itu. Al-Idrisi menyanggupi namun mengajukan syarat bahwa dalam peta itu ia ingin memasukkan data wilayah Sicilia yang pernah 200 tahun berada di bawah kekuasaan kaum muslim sebelum Raja Roger berkuasa. Raja Roger setuju.
Peta pesanan Raja itupun diwujudkan oleh al-Idrisi dalam bentuk globe dari perak seberat 40 kg yang secara cermat memuat pegunungan, sungai-sungai, kota-kota besar, dataran subur dan dataran gersang, lengkap dengan informasi tinggi di beberapa titik. Karya ini dilengkapi sebuah buku berjudul “Kitab Al-Rujari” (Roger’s Book) sebagai bentuk penghormatan ke Raja Roger.
Kitab ini diakui dunia sebagai bentuk deskripsi paling teliti dan cerrmat tentang peta dunia pada abad pertengahan. Bahkan buku tersebut menjelaskan keberadaan sebuah pulau yang terletak sangat jauh dan terpencil, seperti sebuah pulau es (mungkin Islandia), di mana perjalanan mencapai pulau itu sangat sulit karena dipenuhi kabut dan lautan yang sering dilewati bongkahan-bongkahan es berbahaya yang hanyut.
Ia juga menggambarkan tentang “Laut Gelap” yang kemudian dinamai Atlantik. Al-Idrisi menyebut penduduk asli yang mendiami pulau di laut tersebut sebagai penduduk Inggris.
Peta dan globe buatan al-Idrisi, sekalipun di beberapa area masih kosong (karena saat itu belum ada informasi tentang keberadaan benua Amerika atau Australia), namun secara umum sudah memberikan gambaran yang akurat kepada masyarakat, terutama bangsa Eropa. Mereka menggunakan peta itu untuk melakukan penjelajahan dunia – bahkan berakhir dengan penjajahan!
Selain membuat peta dunia dan globe, al-Idrisi juga menciptakan beberapa metode baru untuk mengukur garis lintang dan bujur, menulis kitab “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” yang berguna untuk orang-orang yang ingin mengadakan perjalanan menembus berbagai iklim. Ini adalah sebuah ensiklopedia yang berisi peta yang digambar rinci dan informasi lengkap dari negara-negara yang pernah dikunjunginya. Buku ini diterjemahkan dan diedarkan oleh orang Barat dalam bahasa Latin berkali-kali, dan pada tahun 1619 (hampir 4 abad kemudian!), diterbitkan di Roma dengan judul “Geographia Nubiensis” dalam versi cetak, karena saat itu mesin cetak sudah ditemukan.
Namun al-Idrisi masih menulis beberapa buku lagi. Pertama sebuah ensiklopedia yang lebih komprehensif “Rawd-un-Naas wa-Nuzhat al-Nafs” (Kenikmatan Manusia dan kesenangan Jiwa), “Shifatul Arab” (Karakter bangsa Arab), dan “Kharithanul ‘Alamil ma’mur minal Ardh” (Sumber daya alam dunia). Karya-karya ini juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain Spanyol (1793), Jerman (1828), Perancis (1840) dan Italia (1885).
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal
Indonesia adalah supermarket bencana. Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir. Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya. Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus. Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman. Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa. Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.
Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah. Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal. Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar. Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar. Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI. Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun. Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.
Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.
Pertama masalah fokus. Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran. Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan. Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja. Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan. Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan. Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.
Kedua masalah organisasi. Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya. Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana. Kenyataan di lapangan tidak semudah itu. Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya. Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana. Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi. Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi. Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting. Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.
Ketiga masalah anggaran. Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran. Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal. Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”. Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu? Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun. Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.
Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.
Dr. Fahmi Amhar
Dewasa ini nyaris tidak ada orang yang tidak mengenal musik dalam berbagai bentuknya. Musik hadir tidak cuma di acara seni, budaya atau pesta, namun juga di upacara kenegaraan, olahraga, berita televisi, hingga acara-acara keagamaan. Kalau di agama Nasrani atau Hindu, musik memang dari dulu bagian integral dari ritual. Namun meski tidak menjadi rukun ibadah, makin banyak acara keislaman yang diiringi dengan musik. Alhamdulillah, belum perlu ada sholat atau khutbah yang diiringi musik. Kalau seperti itu jelas bid’ah. Namun cobalah tengok berbagai majelis dzikir, tabligh akbar atau istighotsah. Makin banyak suara musik yang menjadi latar agar persiapan lebih syahdu, agar pergantian acara lebih segar, atau agar suasana do’a lebih berkesan.
Sebagian orang menyangka bahwa musik memang terkait hadharah, dan orang Islam tidak pantas ikut-ikutan. Sebagian ulama bahkan dengan tegas mengharamkan musik. Namun kalau kita merujuk kepada nash, akan ditemukan sejumlah dalil di mana Rasul membolehkan bahkan menganjurkan memainkan musik, seperti saat hari raya, atau saat ada pesta pernikahan. Tentu saja, kehalalan ini bersyarat, yakni tidak ada isi lagu atau syair yang bertentangan dengan Islam, tidak ada aurat yang dipamerkan, tidak ada ikhtilat (campur aduk antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram) dan tidak menghabiskan waktu dengan musik sampai melalaikan berbagai kewajiban syar’i. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, niscaya musik itu akan melalaikan manusia dari cahaya iman, dari dakwah, dari jihad, bahkan dari memenuhi kewajiban fardhiyahnya. Musik jadi isi hidupnya. Musik bermetamorfosis menjadi agamanya. Dan para musisi menjadi para Nabi atau bahkan Tuhan yang disembahnya. Inilah yang terjadi di dunia Barat sekarang ini.
Ketika Khilafah Islam jaya, musik tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan. Bahkan kaum muslimin pernah ikut berkontribusi dalam teknologi musik.
Sejumlah besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat musik Arab. Lute berasal dari “al-‘ud”, rebec (pendahulu dari violin) dari “rabab”, guitar dari “qitara”, naker dari “naqareh”, adufe dari “al-duff”, alboka dari “al-buq”, anafil dari “al-nafir”, exabeba (flute) dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum) dari “al-tabl”, atambal dari “al-tinbal”, sonajas de azofar dari “sunuj al-sufr”, dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata berakar dari alat musik Arab.
Mengapa bisa demikian? Apakah karena memang orang Arab dulu senang dengan musik? Ternyata kalau cuma itu halnya, pastilah musik mereka tidak akan mendunia.
Penyebabnya ada dua: Pertama, adalah kenyataan bahwa musik Arab itu dimainkan oleh masyarakat dari negeri yang luar biasa. Negeri Daulah Khilafah saat itu kenyataannya adalah negara paling kuat, paling adil, dan paling makmur di muka bumi. Maka orang-orang asing, termasuk orang-orang Barat sangat ingin meniru apa saja yang mereka lihat di negeri itu. Karena aqidah tidak kasat mata, yang kasat mata antara lain adalah alat musik, maka mereka meniru musik ini. Fenomena ini mirip saat ini banyak orang-orang dari negeri muslim yang ingin meniru musik apa saja dari Amerika, yang diyakininya masih sebagai negara paling kuat, paling demokratis dan paling makmur di muka bumi.
Kedua, adalah kenyataan bahwa teori musik banyak ditemukan oleh orang Islam. Meninski dalam bukunya Thesaurus Linguarum Orientalum (1680) dan Laborde dalam tulisannya Essai sur la Musique Ancienne et Moderne (1780) sepakat bahwa asal-muasal notasi musik Solfège (do, re, mi, fa, sol, la, si) diturunkan dari huruf-huruf Arab sistem “solmization” Durar-Mufassalat (dāl, rā’, mīm, fā’, ṣād, lām, tā’) yang bermakna “mutiara yang terpisah”. Setiap huruf memiliki frekuensi getar dalam perbandingan logaritmis dengan huruf sebelumnya. Maka tak heran bahwa di zaman peradaban Islam, para penemu teori musik ini umumnya juga matematikawan.
Kehebatan musik dari negara Khilafah bertahan sampai abad-18 M, yakni ketika militer Utsmaniyah sebagai militer terkuat di dunia memiliki marching band yang hebat, bahkan ini dianggap marching-band militer tertua di dunia. Orang Barat menyangka, bahwa semangat jihad yang menyala-nyala dari tentara Utsmaniyah ini ditunjang atau bahkan dilahirkan oleh musik militernya. Padahal sejatinya, aqidah Islam dan semangat mencari syahidlah yang membuat militer ini jadi hebat. Ketika belakangan aqidah dan semangat mencari syahid ini mengendur, militer ini tinggal marching-band-nya saja yang hebat L.
Marching-band ini dijuluki dengan istilah Persia “Mehler”. Instrument yang digunakan oleh Mehler adalah Bass-drum (timpani), Kettledrum (nakare), Frame-drum (davul), Cumbals (zil), Oboes, Flutes, Zuma, “Boru” (semacam terompet), Triangle dan “Cevgen” (semacam tongkat kecil yang membawa bel). Marching-band militer ini menginspirasi banyak bangsa Barat, bahkan juga menginspirasi para komponis orkestra Barat seperti Wolfgang Amedeus Mozart (1756-1791) dan Ludwig van Beethoven (1770-1827).