Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Ketika Wanita Bicara

Sunday, March 20th, 2011
Asturlabi

Asturlabi

Dr. Fahmi Amhar

Oleh orang Barat, Islam sering difitnah sebagai penindas wanita.  Hal ini karena wanita dikekang di dalam rumah, setiap keluar harus memakai jilbab, setiap bepergian jauh harus disertai mahram, kesaksiannya dinilai separuh laki-laki, dan bagian warisannya juga separuh laki-laki.

Namun tahukah anda, sesungguhnya tanpa wanita-wanita muslimah, peradaban Islam tidak akan mencapai derajat seperti yang pernah dicapainya.

Kontribusi wanita-wanita dalam peradaban Islam ada dua jenis: pertama adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu atau istri.  Di balik setiap ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa.  Andaikata Imam Syafii tidak memilik ibu yang tangguh, barangkali si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan.  Demikian juga andaikata istri-istri al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sering mengambil alih tugas-tugas dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering harus keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk melakukan survei, mengumpulkan data atau menghadiri majelis-majelis ilmu.  Namun tentu saja, dalam kondisi pertama ini, nama-nama wanita luar biasa itu kurang tercatat dalam sejarah.  Mereka seperti gula dalam “teh manis”.  Dalam menu minuman, tentu saja “gula” tidak ditulis, tetapi semua orang seharusnya tahu, bahwa di balik “teh manis” ada gula.

Kontribusi kedua para wanita adalah secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban.  Dan ini ternyata sudah dimulai sejak zaman Nabi masih hidup.  Tidak ada yang meragukan kontribusi beberapa istri Nabi atau shahabiah yang meriwayatkan banyak hadits atau memberikan kritik kepada para penguasa.  Suasananya kondusif.  Pemerintah mendengarkan nasehat, sekalipun diluncurkan oleh seorang wanita dan dilakukan di muka umum.  Dan karena ini terjadi saat para shahabat masih hidup, dan mereka semua mendiamkan, maka menjadi ijma’ shahabat yang mengikat seperti Qur’an atau Sunnah.

Karena itulah, Muhammad Akram Nadwi menulis buku Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam.  Buku ini terbitkan di London oleh Oxford Interface Publications; 2007.  Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.

Buku itu dipenuhi kisah-kisah tentang para wanita yang di antaranya sampai harus bepergian secara terrencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi.  Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah.

 Illustrasi Maryam al Asturlabi dengan astrolabnya, dalam film “1001 Inventions”, Oxford, London

Illustrasi Maryam al Asturlabi dengan astrolabnya, dalam film “1001 Inventions”, Oxford, London

Kondisi yang memungkinkan itu semua terjadi memang mungkin sangat unik, sebuah kondisi yang hanya terjadi ketika keamanan dan kehormatan para wanita terjaga di dalam masyarakat Islam, baik secara kultural oleh masyarakat, maupun secara hukum oleh aparat Daulah Khilafah.  Syariat Islam yang dituduhkan Barat sebagai menindas kaum wanita itu ternyata tidak menghalangi sedikitpun peran wanita dalam memajukan peradaban.

Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak wanita muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan.  Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci.  Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).

Astrolab

.

 

Tiada PLTN tanpa Syariah

Thursday, March 3rd, 2011
Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir.  Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir

SETELAH pantai Jepara di Jawa Tengah, kini wilayah Pulau Bangka telah disurvei oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai kandidat tapak Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mendatang.  Alasannya wilayah ini bebas gempa, sehingga membangun PLTN di sana akan relatif aman, ada potensi bahan thorium yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTN dan krisis listrik, karena BBM untuk PLTD kadang-kadang terlambat dikirim akibat cuaca buruk.

Namun alasan-alasan positif ini belum dapat meyakinkan masyarakat agar menerima PLTN.  Ini karena informasi yang diberikan dirasakan kurang berimbang.  Lebih-lebih bila yang menyampaikan disinyalir memiliki kepentingan.  Akibatnya informasi seperti prasyarat yang dibutuhkan, atau dampak yang mungkin terjadi tidak pernah diberikan dengan jelas dan tuntas.

 Teknologi Strategis

Teknologi nuklir dan teknologi ruang angkasa adalah teknologi paling strategis sejak abad-20.  Kalau umat Islam terdahulu sampai berjalan jauh ke Cina untuk belajar membuat kembang api uamh kemudian dikembangkannya menjadi mesiu hingga meriam raksasa (supergun) saat penaklukan Konstantinopel pada abad 15 masehi maka semestinya, teknologi nuklir ini juga dikuasai umat Islam.  Hanya saja negara-negara maju tak akan rela keunggulan mereka disaingi negara lain, sehingga banyak aspek dari teknologi ini dirahasiakan atau dibatasi penyebarannya.

Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir.  Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir.  Contohnya adalah Iran atau Korea Utara.

Memang benar, bahwa barangsiapa mampu membangun PLTN sendiri, maka dia juga akan mampu membuat senjata nuklir.  Dalam sejarahnya, Amerika Serikat telah lebih dulu berhasil meledakkan bom atomnya, sebelum dapat mengendalikan proses reaksi berantai nuklir itu dalam sebuah PLTN.
Alternatif Energi Bersih

Energi nuklir adalah salah satu energi bersih masa depan, karena tidak menghasilkan emisi (CO2, SOx, NOx) seperti  halnya PLTD atau PLTU.  Tentu saja sebuah PLTN juga menghasilkan limbah, baik itu berupa air hangat (yang tidak radioaktif) maupun sedikit limbah radioaktif yang harus disimpan dengan aman di ruang anti radiasi untuk ribuan tahun ke depan.

Namun untuk Indonesia, alternatif sumber energi bersih bahkan terbarukan ini masih banyak. Kita memiliki potensi panas bumi, angin, surya dan laut yang berlimpah.  Sekali lagi ini soal teknologi yang akan menentukan apakah kita dapat segera memanfaatkan semua potensi ini sendiri, atau harus menunggu uluran tangan (dan jerat hutang) dari bangsa lain.

PLTN Wajib Disiapkan Serius

Teknologi PLTN adalah teknologi tinggi.  Hal ini karena kebocoran atau kecelakaan dapat berakibat fatal.  Bahan radioaktif yang keluar akan memancarkan radiasi sinar Gamma selama ribuan tahun.  Bila terkena mahluk hidup, radiasi ini akan merusak sel, menyebabkan kanker atau kemandulan.  Pada kasus kecelakaan PLTN di Chernobyl tahun 1986, sebuah kota harus dievakuasi, dan kota itu hingga kini masih menjadi kota mati.  Untuk itu sebuah PLTN modern harus dibangun dengan keamanan berlapis.  Sistem kontrol otomatis disiapkan agar bila ada sesuatu yang tak wajar, reaktor otomatis dimatikan.  Masalahnya adalah bila kelalaian dan korupsi membuat sistem kontrol itu tak lagi berfungsi. Bangsa kita ini terkenal pintar membangun, tetapi malas memelihara.  Walhasil, selain kecelakaan saat pemboran minyak di Lapindo Sidoarjo yang berakibat keluarnya lumpur panas tak tertangani dari 2006 hingga kini, hampir setiap hari kita mendengar kecelakaan kereta api, kapal hingga pesawat.

Kita juga wajib menyiapkan agar PLTN tersebut bila jadi dibangun tidak makin menjerat kita pada ketergantungan kepada asing, baik dalam bentuk utang, maupun dalam pengadaan bahan bakar nuklir.  Memang Indonesia punya uranium, tetapi kadarnya rendah, sedang alat untuk memperkaya uranium termasuk yang dibatasi, untuk mencegah suatu negara membangun senjata nuklir.  Sedang thorium yang konon berlimpahpun, mungkin belum bisa dimanfaatkan, karena hingga kini di dunia belum ada satupun PLTN dengan bahan bakar thorium.

Program komputer yang dipakai di PLTN juga harus open-source, agar dapat dirawat dan update sendiri, juga dapat diaudit dulu, agar tidak disusupi baik oleh spy-ware maupun bom-waktu.
Menyiapkan PLTN

Kalau syariat Islam diterapkan untuk menyiapkan PLTN, insya Allah kita akan mendapatkan SDM yang andal, baik dari ketakwaan, profesionalisme maupun semangat juang.  Ini untuk mengantisipasi agar mereka tidak lalai dan tidak korupsi dalam menjalankan pekerjaannya, dan agar mereka senantiasa bekerja keras menguasai teknologi dengan motivasi spiritual. Pekerjaan nuklir hanya sedikit mentolerir kecerobohan (zero-tolerance).

Kemudian syariat pula yang akan menuntun agar sejak dari tender, pembebasan tanah, perjanjian dengan luar negeri terkait dengan pembiayaan, alih teknologi dan pengadaan bahan bakar, hingga pengurusan limbah radioaktif dapat berjalan dengan transparan, adil, aman, dan berkelanjutan. Hanya dengan syariah, sebuah proyek PLTN akan aman, mensejahterakan dan melindungi kedaulatan. Tanpa syariah, PLTN adalah arena mafia, lahan korupsi dan sebuah risiko serius. (*)

Mencari Resep Panjang Usia

Tuesday, December 14th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Berapa usia rata-rata kita sekarang?  Dapat usia 70 tahun sudah termasuk istimewa, apalagi bila masih sehat, masih bisa jalan sendiri kemana-mana, masih bisa makan tanpa pantangan, dan masih mudah melihat dan mendengar apa saja.  Dalam 70 tahun itu, kira-kira berapa pengalaman yang dapat kita kumpulkan?  Berapa kota yang dapat kita kunjungi?  Berapa makanan yang dapat kita cicipi?  Berapa orang yang dapat kita ajak berdiskusi?  Kita bisa mengukur dari yang kita raih hingga usia kita sekarang.  Dan ternyata: sangat sedikit!

Namun ada orang-orang yang pengalamannya jauh melebihi usianya.  Dan pada sisi lain, ada orang-orang yang usia kontributifnya jauh melebihi usia biologisnya.  Keduanya sama-sama berterimakasih pada apa yang disebut: biografi.

Biografi adalah riwayat tentang orang-orang, baik orang itu sangat terkenal seperti pemimpin politis tertinggi atau artis papan atas, maupun yang kurang terkenal seperti seorang tukang penjaga kuda di pasar (kalau sekarang mungkin tukang parkir).  Namun membaca biografi seakan menyerap sari pati pengalaman seseorang.  Kalau kita membaca sepuluh biografi, di mana rata-rata tokoh yang diceritakan berusia 70 tahun, maka seakan-akan kita telah berusia 700 tahun.  Di sisi lain, kisah-kisah inspiratif dari tokoh yang diceritakan itu akan berkontribusi dalam hidup kita.  Itulah yang membuat para tokoh itu seakan-akan hidup lebih panjang dari usia biologisnya.

Tradisi menulis biografi sudah ada sejak zaman Yunani kuno.  Namun tradisi ini menguat di zaman Islam, karena ada sebuah kepentingan yang luar biasa, yaitu menjaga kemurnian hadits.  Berbeda dengan Qur’an yang terjaga redaksi maupun substansinya dengan bahasa al-Quran itu sendiri, sehingga kesalahan dapat dikenali dengan sendirinya; hadits tidak memiliki mekanisme itu.  Hadits hanya dapat dijaga dengan kredibilitas mata rantai (sanad) periwayatnya (rawi).  Dan untuk itu diperlukan informasi tentang semua orang yang menjadi mata rantai, itulah “Ilm ar-Rijaal”, atau “biografi kritis”.  Begitu pentingnya ilmu kritik biografi ini, sampai-sampai Ali ibn al-Madini, penulis biografi kritis awal mengatakan, “Mengetahui rawi adalah setengah dari pengetahuan”.

Dan soal rawi ini, ternyata tak hanya relevan untuk ilmu hadits, tetapi juga untuk sains modern, yakni ketika menilai tingkat akurasi data yang dikumpulkan di lab atau di lapangan.  Dalam sains modern, ada tiga jenis kebenaran:  Pertama adalah kebenaran deduktif, yakni kebenaran karena hasil kreatifitas.  Adalah pasti benar ketika perusahaan Research In Motion (RIM) menyebut produknya “Blackberry”, karena gadget canggih itu hasil kreativitas mereka, jadi mereka punya wewenang penuh menamainya demikian.  Kedua adalah kebenaran induktif, yakni penarikan kesimpulan dari berbagai hal.  Kebenaran ini hanya tergantung pada sejauh mana akurasi data yang digunakan dan sejauh mana penarikan kesimpulan itu logis atau tidak mensisakan kejanggalan.  Jadi kebenaran induktif tidak tergantung pada siapa yang berbicara, soleh tidak, sarjana tidak, punya wewenang tidak.  Ketiga adalah kebenaran naratif, yaitu menyampaikan data dari medan kenyataan ke pengguna apa adanya.  Di sinilah, kebenaran tergantung kepada narator, apakah dia akurat, apakah integritasnya dikenal?

Di zaman modern ini ada ilmuwan-ilmuwan yang dikenal sangat hati-hati dalam menyampaikan data, tetapi ada pula yang justru biasa membungkus data sedemikian rupa – bahkan dengan statistik – untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak etis atau bahkan melanggar hukum.  Mereka inilah yang sampai membuat bursa efek hancur, padahal sebelumnya prediksi pertumbuhan ekonomi begitu cerah.  Seorang pakar statistik Darel Huff sampai menulis buku “Lie with Statistics” – untuk menelanjangi cara-cara berdusta dengan statistik.

Ilmu kritik biografi dimulai pada generasi tabi’in, seperti dikatakan Muhammad ibn Sirin, “Sebelumnya mereka tak bertanya tentang sanad, sampai akhirnya ada kekacauan pasca kemelut Ali-Mu’awiyah, sehingga mereka bertanya, ‘Sebut para rawimu!’.”  Maka ahli sunnah akan diterima haditsnya, sedang ahli bid’ah tidak.  Pada generasi setelah itu, rawi yang lemah semakin banyak, sehingga muncul ulama yang mengkhususkan diri pada klarifikasi mutu rawi untuk memisahkan hadits yang asli dari yang palsu.

Menurut Ibn as-Salah, ahli kritik biografi pertama adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj, diikuti oleh Yahya ibn Sa’id al-Qattan, Ahman ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in.  Al-Bulqini menambah beberapa nama seperti Ali ibn al-Madini dan Amr ibn Ali al Fallas, lalu Malik ibn Anas dan Hisyam ibn Urwah.

Para rawi itu dinilai dari kondisi: lurus (al-‘adalah) yang menyangkut moral (taqwa) dan kesalehan sosial (al-muru’ah), dan presisi (al-ḍabṭ) yang terkait presisi ingatan dan presisi catatan.  Banyak metode evaluasi para narator ini, mulai dari menanyakan tingkat religiositasnya pada ulama lain sezaman, dan kalau sang narator mengatakan dia mendengar hadits dari seseorang yang sudah wafat, maka ditanya kapan bertemunya, di mana, kemudian dibandingkan dengan catatan-catatan lain untuk menguji apakah ceritanya itu akurat.  Kalau ceritanya itu bertentangan dengan fakta yang lain, maka seluruh isi narasinya akan menjadi lemah.

Apapun yang terjadi dalam proses ini, maka ilmu biografi menjadi hidup.  Dan orang yang menuliskan sejarah pun menjadi hati-hati, agar tidak asal menuliskan apa yang diceritakan seseorang, tetapi juga menguji bahwa orang yang meriwayatkan itu akurat, tidak asal cerita sesuai versi dan kepentingannya.

Hasilnya, ada dua: pertama, kita mewarisi sebuah tradisi ilmu untuk menjaga kemurnian penyampaian data, dari para peneliti yang melihat dekat fenomena ke mereka yang sulit atau tidak akan pernah sampai ke fenomena itu.  Tradisi ini merasuk baik pada ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam, kecuali pada segelintir mereka yang hanya mencari popularitas atau uang dengan cara yang haram.

Kedua, kita mewarisi satu koleksi raksasa biografi orang-orang terdahulu yang luar biasa, yang pengalamannya maupun integritasnya dapat menginspirasi kita.

Alhamdulillah tradisi biografi ini masih berlanjut hingga hari ini.  Dr. Muhammad Akram Nadwi, seorang ilmuwan muslim yang mendapat beasiswa dari Oxford Center for Islamic Studies, menulis buku berbahasa Inggris berjudul: Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam, London and Oxford: Interface Publications; 2007.  Buku ini menceritakan biografi ratusan wanita yang bekerja keras berkelana dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu yang lain di berbagai penjuru dunia untuk mengumpulkan hadits.  Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.