Dr. Fahmi Amhar
Setelah Tunisia, Mesir pun mengalami revolusi. Husni Mubarak yang kini bagi rakyat Mesir diplesetkan menjadi “Laa Husni wa Laa Mubarak” (yang tidak bagus dan tidak barokah) akhirnya mundur, setelah didemo besar-besaran selama 18 hari, disindir terus majikannya, yakni Obama, Presiden AS dan akhirnya ditinggalkan tentaranya.
Tetapi belum pasti, apakah pergantian rezim ini berarti juga pergantian dari sistem sekuler menjadi sistem Islam. Sistem sekuler terbukti hanya menjadikan Mesir terpuruk dan terhina. Dari sisi sains dan teknologi, SDM bergelar “Master of Science” per sejuta penduduk di Mesir hanya ada 370 orang, sementara di Israel ada 13.000 orang! Meski ini data dari UNDP tahun 2003, tapi sepertinya secara perbandingan belum ada perubahan signifikan.
Padahal dulu berabad-abad Mesir adalah negeri para ilmuwan, baik ilmuwan di bidang fiqih maupun di bidang sains dan teknologi. Kehebatan Mesir hanya tertandingi oleh Cordoba dan Baghdad. Rahasianya ada pada Islam.
Memang, berabad-abad sebelum Islam hadir di Mesir, negeri ini pernah memiliki banyak matematikawan, astronom dan insinyur yang hebat. Para insinyur itu digunakan Fir’aun untuk membangun piramid raksasa dengan presisi yang tinggi. Sebelum datangnya Romawi, Alexandria pernah memiliki perpustakaan terlengkap di dunia. Namun Romawi lalu memusnahkan perpustakaan itu. Selama enam setengah abad sesudahnya, Mesir tenggelam dalam kegelapan peradaban. Sampai akhirnya cahaya Islam datang.
Ketika pasukan Amr bin Ash membebaskan Mesir dari tangan Romawi, pampasan perang yang diminta bukanlah emas, perak atau harta benda sejenisnya. Tetapi semua buku kuno yang telah ditelantarkan berabad-abad. Buku-buku itu lalu diterjemahkan, dipelajari dan dikembangkan. Tanpa upaya ini, mungkin kita hanya mengenal Ptolomeus sebagai seorang jenderal yang menjabat gubernur, bukan sebagai astronom yang menulis buku astronomi Almagest, yang dipelajari di seantero dunia Islam sebagai tafsir ayat “Dan langit bagaimana ditinggikan” (QS al-Ghasiyah:18).
Di Mesirlah sejak tahun 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar. Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak cuma orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya. Reputasi pabrik ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil para aghniya untuk wakaf dengan asset-asset produktif – seperti kebun, pabrik atau pasar – agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa calon-calon ulama pejuang dari seluruh dunia.
Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir bertabur bintang-bintang sains. Inilah beberapa di antaranya:
Di bidang ilmu Kimia:
pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab. Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.
Pada 1250 M, para insinyur di Mesir berhasil membuat senapan tangan (midfa), yang merupakan prototype pistol atau senjata api yang portabel Senjata ini digunakan oleh pasukan Mesir untuk mengalahkan tentara Mongol dalam pertempuran di Ain Jalut. Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol ini memiliki bubuk mesiu yang terdiri dari 74% amonia, 11% belerang dan 15% karbon) – sebuah komposisi yang ideal seperti di zaman modern. Pasukan Mesir juga dikabarkan sudah menggunakan pakaian yang tahan api agar tidak terluka oleh cartridge mesiu yang mereka bawa.
Di bidang matematika dan fisika:
Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis). Abu Kamil lah orang pertama yang menuliskan notasi dengan tanda pangkat seperti
Sekitar tahun 1000-1009 M, Ibnu Yunus mempublikasikan hasil risetnya di bidang fisika dan astronomi Al-Zij al Hakimi al Kabir. Ini adalah deskripsi paling awal tentang gerak bandul (pendulum). Dia juga membangun tugu astrolab yang pertama.
Dalam dunia fisika, penemuan optika oleh Ibn al-Haitsam (1021 M) juga dapat dikatakan terjadi di Mesir, ketika al-Haitsam ini mengalami tahanan rumah, setelah insinyur yang berasal dari Iraq itu gagal menyelesaikan proyek bendungan sungai Nil, lalu pura-pura gila.
Pada 1312-1361 M, Tajuddin Ali ibn ad-Duraihim ibn Muhammad at-Tha’alibi al-Mausili menulis banyak hal tentang ilmu persandian (kriptologi). Karya beliau diungkap dalam salah satu bab dari ensiklopedi 14 jilid karya Syihabuddin Abu’l Abbas Ahmad ibn Ali bin Ahmad Abdullah al-Qalqasyandi (1356-1418 M). Di situ dijelaskan teknik substitusi dan transposisi, dari yang sederhana hingga yang rumit, sehingga mampu membuat suatu plain-text menjadi text yang tidak dapat dibaca kecuali dengan analisis kripto tingkat tinggi.
Di bidang teknologi rekayasa:
Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.
Pada 953 M Ma’ad al Mu’izz, seseorang qadi di Mesir, menemukan fulpen yang tidak akan mengotori tangan atau bajunya, yang tintanya tersimpan dalam suatu reservoir dan turun oleh gaya gravitasi dan kapiler. Ini adalah penemuan fulpen yang tercatat pertama kali, seperti direkam oleh an-Nu’man al-Tamimi (wafat 974 M) dalam bukunya Kitab al-Majalis wa’l Musayardh.
Pada tahun 1000-an M, banyak penemuan teknik di Mesir seperti ventilator untuk pertambangan, penggilingan gandum bertenaga air sungai yang berbentuk jembatan (bridge mill) dan industri logam bertenaga air.
Pada 1551 M, insinyur Taqiyuddin yang disponsori pemerintah Utsmaniyah di Mesir menciptakan mesin uap, jauh lebih dulu dari James Watt (1736-1819) di Inggris.
Di bidang kedokteran:
Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo.
Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia. Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.
Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur. Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apothek, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional). Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan. Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.
Semoga revolusi Mesir saat ini, mendorong rakyat Mesir untuk mendesak agar pemerintah yang baru menerapkan syariat Islam, agar Mesir meraih kembali kemuliaannya dalam sejarah peradaban selama berabad-abad.
Sebuah dentuman keras membuat tubuh seorang pemuda terlempar dari atas kapal dan terombang-ambing di laut lepas. Penumpang lainnya terlihat bertebaran seperti titik-titik hitam yang timbul tenggelam diterjang ombak.
Pada sepotong papan dan semangat hidup yang terus menyala, pemuda yang tidak bisa berenang itu mengantungkan harapan hidupnya.
Selintas, peristiwa itu mirip kisah Jack Dawson yang diperankan apik oleh aktor Leonardo DiCaprio dalam film Titanic.
Tapi siapa yang menyangka bahwa kisah dramatis itu merupakan penggalan dari perjalanan panjang kehidupan Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc., salah satu perintis geomatika di Indonesia.
Perjalanan hidup Jacub Rais memang belum ditakdirkan berakhir dalam peristiwa yang terjadi pada 4 April 1944 itu. Padahal sebelum kapal meledak karena terkena torpedo, ia begitu ketakutan dan bersembunyi di belakang drum bahan bakar. Untung ada seorang Jepang memerintahkannya untuk maju ke ujung depan kapal.
Kehidupan Gurubesar Emeritus ITB kelahiran Sabang, 18 Juni 1928, itu memang diwarnai petualangan dan perjuangan. Dalam sebuah kegiatan semasa aktif di kepanduan Hisbul Wathan (HW), regu berkemahnya disatroni harimau. Ketika Kota Sabang mendapat serangan bom udara dari tentara Jepang pada Februari 1942, ia tidak mengubris perintah gurunya untuk masuk ke lubang perlindungan. Jacub Rais lebih memilih untuk pulang ke rumah, berlari kencang di tengah-tengah hujan bom dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Semasa Perang Dunia II, untuk mempertahankan hidup, ia ikut menjarah toko milik orang keturunan Tionghoa. Melihat hasil jarahannya, ibunya marah-marah karena stoples-stoples yang dibawanya pulang bukan berisi bahan makanan tetapi obat-obatan.
Semasa revolusi kemerdekaan, Jacub Rais ikut berjuang mengangkat senjata dengan menjadi Tentara Pelajar Aceh Detasemen Glee Genteeng. Pada waktu itu ia pernah mendapat tugas penuh resiko yaitu memasang detonator pada bom seberat 250 ton. Tapi, gelora perjuangan tak memadamkan semangatnya untuk belajar. Di sela-sela perang, ia masih menyempatkan diri untuk membuka buku-buku pelajaran goniometri, bahasa Inggris, fisika dan kimia.
Semangat belajar Jacub Rais memang sangat kental. Bahkan ketika hendak melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa, karena tak punya cukup uang, ia nekad menjadi penumpang gelap. Perjalanan itu tak mulus karena ia sempat diusir oleh kapten kapal di Teluk Bayur, Padang.
Akhirnya secarik iklan tentang penawaran beasiswa untuk Jurusan Geodesi (Afdeling Geodesie) di “Universiteit van Indoenesia, Fakulteit der Technische Wetenschappen” (sekarang Institut Teknologi Bandung) membuka pintu jalan hidupnya untuk mengakrabi bumi. Selepas lulus ITB, pada Februari 1956, Jacub Rais langsung menduduki jabatan sebagai kepala Kantor Jawatan Pendaftaran Tanah (JPT) Semarang.
Dua tahun kemudian dunia kampus memanggil hatinya untuk kembali. Dorongan yang kuat itu membawanya bukan hanya menjadi dosen tapi terlibat dalam pendirian fakultas dan perguruan tinggi seperti pendirian Akademi Teknik di Universitas Semarang, merintis jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada dan pendirian Universitas Diponegoro.
Melalui dunia pendidikan itulah, diawali dengan kiprahnya di bidang Geodesi, Jacub Rais mengenalkan dan mengembangkan ilmu Geomatika yang relatif baru di Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan pemikirannya yang berkaitan dengan Geomatika telah berhasil diaplikasikan di Indonesia.
Rasanya tak salah jika buku otobiografi ini bertajuk ”Jacub Rais 80 tahun, Merintis Geomatika di Indonesia”.
Komentar berbagai kalangan yang dimuat dalam buku ini seperti mengamini jasa dan kontribusi Jacub Rais dalam pengembangan Geomatika, bidang ilmu yang menyatukan Geologi, Geodesi, Geografi, Geofisika, dan Informatika. Salah satunya adalah Dr. Ir. Tiene Gunawan Msc, Perencana Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Alam, konsultan independen untuk perencanaan spasial dan konservasi.
Menurutnya, ”Pak Rais tidak mengenal lelah dalam mengembangkan ilmu Geomatika karena beliau percaya bahwa ilmu itu dapat menyelesaikan banyak masalah yang berkaitan dengan keruangan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kita miliki.”
Bahkan Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin, Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB mengatakan bahwa, “Dalam dunia Geodesi Geomatika di Indonesia, tidak dapat dipungkiri – Prof. Jacub Rais dapat diposisikan sebagai ‘godfather’”.
disunting dari e-Magazine Technology Indonesia, technologyindonesia.com
Pada 28 Maret 2011, Prof. Dr. Ir. Haji Jacub Rais, MSc. telah pergi selamanya menghadap Yang Maha Mendengar lagi Mengetahui. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima amalnya, dan menempatkannya bersama dengan orang-orang yang mulia di surga-Nya. Amien.
Dr. Fahmi Amhar
Tunisia bergolak. Rakyat turun ke jalan. Presiden Ben Ali lari. Tirani sekian puluh tahun pun berganti. Berganti, bukan berhenti. Mungkin akan muncul tirani baru yang belum disadari. Bukan sistem baru. Tirani baru yang tetap akan melarang wanita memakai jilbab di ruang publik. Tirani baru yang akan tetap berhamba kepada hukum sekuler warisan Barat. Padahal Barat yang diperhamba ternyata lepas tangan, tidak mau menolong Presiden Ben Ali, saat rakyat mengusirnya.
Sayang sekali. Padahal Tunisia adalah mutiara di Afrika yang ditinggalkan peradaban Islam pada masa jayanya. Pada pergantian abad ke-7 ke abad ke-8 M, wilayah Tunisia dibuka oleh kaum muslim. Mereka mendirikan kota Kairouan, yang menjadi kota pertama Afrika utara. Di kota ini pula berdiri masjid dengan seni arsitektur terindah di dunia Islam bagian barat.
Pemerintahan Islam juga membangun instalasi irigasi yang ekstensif untuk menjamin kota dan daerah pertanian dengan air. Akhirnya kemakmuran yang diraih itu memungkinkan untuk membangun istana Al-Abassiyah pada tahun 809 M dan Raqadda tahun 877 M. Sebuah universitas juga dibangun.
Tunisia menjadi matahari peradaban ke dua di dunia Barat mengiringi Cordoba, sebagaimana Cairo menjadi pengiring Baghdad di dunia timur. Para ilmuwan besar pun muncul atau berdatangan untuk penelitian di Tunisia. Namun dari seluruh ilmuwan yang dibesarkan atau berkarier di Tunisia, tidak diragukan bahwa yang paling dikenang adalah Ibnu Khaldun, sampai-sampai pemerintah sekuler membuatkan patungnya di Tunis.
Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz (penghafal puluhan ribu hadits), faqih (pernah menjabat qadhi utama untuk madzhab Maliki di Mesir), astronom, geografer, matematikawan, sosiolog, ekonom, politolog dan sejarahwan. Riwayat Ibnu Khaldun terdokumentasi dengan amat bagus, karena sebagai sejarahwan, dia juga menulis autobiografi: At-Taʻrīf bi Ibn-Khaldūn wa Riħlatuhu Gharbān wa Syarqān. Namun tentu saja bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarahwan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan ahli Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang intelektual setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“. Negaralah yang harus berdiri di pihak para korban ketika menghadapi kekeliruan atau kelalaian yang dilakukan orang-orang kaya. Negara juga yang harus memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa ketika pasar tidak berfungsi sepenuhnya. Ini adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi). Teori Ibnu Khaldun ini ternyata masih cocok untuk menganalisis akar krisis finansial global yang melanda Amerika tahun 2008.
Teori pasang surut peradaban dari Ibnu Khaldun juga berlaku untuk negerinya sendiri. Zaman keemasan Tunisia ternyata memiliki sisi gelap yang dimulai dari mengendurnya dakwah tauhid, yakni dakwah yang menolak semangat ashabiyah (kesukuan / tribal). Ketika pemerintah pusat Khilafah sedang direpotkan oleh separatisme dinasti Fatimiyah di Mesir, Afrika Utara nyaris terabaikan. Akibatnya muncullah instabilitas politik karena perebutan kekuasaan antar kabilah. Kondisi ini berakibat mundurnya pertanian dan perdagangan. Ibnu Khaldun sendiri pada masanya menulis bahwa banyak tanah pertanian yang kemudian berubah kembali menjadi gurun pasir, karena irigasi tidak lagi berfungsi. Salah satunya adalah tanah-tanah yang diduduki oleh Banu Hilal.
Peradaban memang naik turun seperti gelombang. Kemunduran Tunisia akhirnya menjadikan daerah ini diduduki oleh orang-orang Kristen Norman dari Sizilia pada awal abad-12. Kaum muslim Arab kemudian merebutnya kembali, memaksa orang-orang yang murtad untuk kembali ke Islam, atau mengusirnya. Pada 1159 wilayah ini berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Almohad dari Andalusia, yang merupakan pecahan khilafah Umayyah di Cordoba. Kemudian dari 1230 – 1574 M, Tunisia berada di bawah kekuasaan dinasti Berber Hafsid, yang dapat kembali memakmurkan Tunisia. Ini adalah kurun ketika Ibnu Khaldun hidup. Namun pada akhir abad-16, jauh setelah wafatnya Ibnu Khaldun, terjadilah apa yang diprediksikan: dinasti ini bangkrut, dan pantai Tunisia berubah menjadi sarang bajak laut di Laut Tengah. Sejak itulah muncul istilah “Negara Barbar” – untuk mencerminkan negara yang buas.
Sebenarnya “Berber” sebagai nama suku, dalam huruf Arab tentu saja ditulis “Barbar”. Namun karena “Barbar” kemudian menjadi sinonim dari kejahatan, maka dewasa ini untuk nama suku lalu ditulis dan dilafalkan “Berber”.