Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Iptek’ Category

Iran Memang Negeri Para Ilmuwan

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

 

Iran adalah sebuah negeri yang unik.  Setelah revolusi Islam, tidak ada orang asing datang ke Iran untuk mencari hiburan.  Nyaris tidak ada hiburan di sana – kalau hiburan itu diartikan pesta minum-minuman keras, berjudi, bermalas-malasan di pantai, ataupun mencari sex.  Mereka yang hari-hari ini ke Iran datang untuk mencari alam yang indah (seperti kelompok “Kartini Petualang” yang akan mendaki gunung Damavand), spiritualitas (mengunjungi kota suci Syiah Qom), mencari celah bisnis (mumpung di Iran sejak diembargo tidak ada lagi perusahaan Amerika seperti Coca Cola, McDonald atau Microsoft!) atau berinteraksi dengan para ilmuwan Iran.

Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam.  Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu.  Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang.  Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan.  Berikut ini cuplikannya saja.

Di bidang matematika ada Abū ʿAbdallāh Muḥammad ibn Mūsā al-Khwārizmī lahir 780 M di Khwarezm, provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang.  Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika.  Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten.  Al-Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.

Di bidang astronomi ada Abū al-Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Katsīr al-Farghānī alias Alfraganus pada abad 9 M.  Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah al-Ma’mun.  Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Müller von Königsberg (1436–1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus.  Al-Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.

Di bidang kimia ada Abu Musa Jābir ibn Hayyān (Geber) yang lahir tahun 721 M di Tus Khorasan, Iran dan wafat 815 M in Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia experimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), beliau juga seorang astronom, geologist, dokter dan insinyur.  Beliau menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.

Di bidang kedokteran ada Abū ʿAlī al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allāh ibn Sīnā (Avicenna), yang  lahir tahun 980 M di Afshana, masuk provinsi Khurasan Raya.  Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan.  Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat luas, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran.  Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18.  Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.

Di bidang ilmu bumi ada Abū al-Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad al-Bīrūnī (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm  (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran.  Beliau adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.

Monumen al-Biruni di Laleh Park, dekat Univ. of Teheran

 

Pada masa rezim sekuler Syah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk.  Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik.  Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri.  Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.

Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000% antara 1995-2004.  Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 % dari total output sains dunia.  Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang).  Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit.  Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, China, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).

Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apalagi kalau Khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.

Ketika dunia belajar pengobatan

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Bangsa Franken adalah nenek moyang bangsa Perancis.  Meski Perancis sekarang adalah salah satu negara maju, seribu tahun yang lalu mereka masih amat biadab, terlebih dalam ilmu pengobatan.

Bangsa Franken adalah peserta terbanyak dalam tentara Salib yang menguasai Jerusalem dan sekitarnya kira-kira seabad lamanya.  Karena di wilayah sudah banyak penduduk muslim, maka ada interaksi antara tentara Salib dan kaum muslim. Namun para jurnalis muslim banyak menceritakan kisah mengerikan meski sekaligus aneh dan lucu di antara tentara Salib.

Misalnya kisah dokter bernama Tsabit bertugas di Libanon. Para pembesar pasukan salib tidak begitu yakin dengan cara penyembuhan dokter-dokter Franken sendiri. Di ‘Negeri Suci’ ini, mereka, yang menderita berbagai penyakit kulit, perut mulas dan diare, ternyata lebih senang berobat kepada dokter-dokter muslim.

Suatu hari Tsabit pulang terlalu cepat.  Tsabit bercerita, “Kepadaku didatangkan seorang prajurit dengan kaki bengkak bernanah, dan wanita yang demam tinggi.  Untuk si prajurit aku balutkan perban hingga bengkaknya kempes dan berangsur membaik. Kepada wanita itu aku sarankan untuk diet dan memperbaiki kondisi tubuhnya dengan ramuan dari bahan herbal. 

Tiba-tiba datanglah seorang dokter Franken dan berkata: ‘Ia tak tahu apa-apa untuk dapat menyembuhkan mereka.’ Maka ia hampiri si prajurit dengan pertanyaan: ‘Pilih, mana yang lebih kamu sukai, hidup dengan satu kaki, atau mati dengan dua kaki?’ Si prajurit menjawab: ‘Hidup dengan satu kaki.’ Maka berserulah sang dokter Franken: ,Datangkan kepadaku seorang prajurit yang kuat dengan sebuah kampak yang tajam!’ Seorang prajurit dengan sebuah kampak tajam pun muncul. Aku masih berdiri di situ. Sang dokter lalu meletakkan kaki bengkak itu di atas sebuah balok kayu dan memerintah si prajurit berkampak: ,Penggallah kaki itu dengan sekali ayunan kampakmu!’ Tanpa ragu si prajurit menebaskan kampaknya sekali, tapi ternyata kaki sakit itu belum juga terputus.  Ditebaslah kaki itu sekali lagi dengan kampak. Maka mengalirlah sungsum tulang di kaki terpenggal itu. Dan prajurit yang malang itu pun tewas sejam kemudian.

Sang dokter Franken beralih memeriksa wanita yang demam itu dan berkata: ‘Wanita ini kesurupan jin yang jatuh cinta kepadanya. Potonglah rambut di kepalanya.’ Seseorang lalu memotong rambut wanita itu. Seterusnya wanita itu kembali lagi makan hidangan ala negeri asalnya.  Panas di tubuhnya meninggi. Sang dokter berkata: ‘Jin di dalam tubuhnya telah naik di kepala.’ Bersamaan dengan ucapan ini ia raih sebuah pisau cukur, ia sayat kulit kepala wanita itu menyilang dan ia kelupas sebagian kulit kepala itu sedemikian rupa sampai tulang tengkoraknya tampak jelas terlihat. Lalu ia taburkan sejumput garam pada luka sayatan. Sejam kemudian wanita itupun tewas.

Aku bertanya pada mereka: ‘Masih adakah tugas-tugas dari anda untukku?’ ‘Tidak.’ Karena itu pergilah aku, setelah aku ‘belajar’ cara penyembuhan mereka yang aneh, yang sejauh ini belum pernah aku kenal.”

Itulah kisah Tsabit yang diceritakan Amir Usamah ibnu Munkhid (1095 – 1188), seperti dikutip Sigrid Hunke dalam bukunya “Allah Sonne ueber dem Abendland”.

Cerita di atas bukan propaganda bermusuhan, juga bukan penghinaan dari lawan. Namun memang orang-orang Franken itulah yang justru bersikap memusuhi umat Islam.

Seratus tahun kemudian, seorang bangsawan Jerman yang pendek dan gemuk harus mati menyakitkan akibat ulah penganut Kitab Tawarikh. Sebagai pengiring Kaisar Heinrich IV dalam rombongan yang ke Italia, ia cemas, apakah tubuhnya yang berlemak itu dapat melewati sulitnya medan dan panasnya cuaca Italia. Karena itu ia berkonsultasi pada seorang dokter. Sang dokter ternyata langsung mengiris perut si bangsawan dan mengeluarkan lemak di dalamnya. Sebuah metode yang radikal sama halnya dengan yang dilakukan para dokter Franken.

Tidak ada sesuatupun cara pengobatan Pasukan Salib, yang dapat diambil pelajaran. Tidak ada yang pantas dipertahankan dari mereka di bidang kedokteran.

Di mana coba, di dunia saat itu terdapat dokter-dokter bermutu seperti di dunia Islam? Di mana terdapat perkembangan kedokteran yang begitu mekar seperti hasil pemikiran masyarakat muslim ini? Adakah di lain tempat sistem sanitasi dan apothek? Bisakah rumah-rumah sakit di mana pun di dunia saat itu menyamai canggihnya rumah-rumah sakit di kota-kota Khilafah? Kemajuan metode pengobatan mereka seiring dengan riset yang mereka lakukan. Masih adakah yang aneh, jika ternyata orang-orang Franken pun meminta bantuan pengobatan kepada mereka?

Para biarawan di gereja-geraja Eropa sering diminta umatnya memberi keajaiban penyembuhan, sebagaimana dulu al-Masih melakukannya.  Mereka menyembuhkan dengan usapan tangan, ritual pengusiran iblis, dan doa bersama.  Mereka menolak obat-obatan apapun, baik yang dari tumbuhan, hewan maupun kimia, karena itu dianggap tanda tipisnya iman kepada Tuhan.

“Ilmu obat-obatan dalam segala bentuknya berasal dari tipu-daya yang sama,” — tuduh Tatian, seorang penginjil, atas orang-orang yang percaya pada obat-obatan alami. “Bila seseorang menggunakan obat yang ia percayai, maka ia tidak akan lebih banyak disembuhkan, ketika ia sendiri melupakan Tuhan. Mengapa kamu tidak berserah diri saja kepada Tuhan? Relakah kamu disembuhkan seperti anjing dengan rumput, kijang dengan ular, babi dengan kepiting, singa dengan kera? Mengapa kau pertuhankan hal-hal duniawi?”

Pengkhotbah Salib Bernhard von Clairvaux (1090 – 1153), dengan tegas melarang para biarawan, yang sering sakit karena kondisi udara yang buruk, untuk berobat pada dokter muslim dan menggunakan obat, karena “tidak sepatutnya membiarkan kesucian jiwa berada dalam bahaya melalui penggunaan obat-obatan duniawi.”

Paus Innocentius III dalam Konsili Lentera pada 1215 menjadi kewajiban yang harus ditaati: Atas putusan dari sebuah komite gereja, seorang dokter dilarang menangani pasien, sebelum si pasien melakukan pengakuan dosa. Sebab penyakit itu berasal dari dosa.  Hal yang di abad-21 ini nyaris ditiru seorang Ustadz penyembuh di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.

Bandingkan situasi suram di Eropa itu dengan sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam.

“Ayahku! Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas, sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang, jika kau masih ingin menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan saal operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu dirawat-nginap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di apotek rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar menemui dokter kepala rumah sakit. Seorang perawat memapahku masuk ke bangsal pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah kiri kau dapat melihat perpustakaan, dan ruang kuliah besar berada di belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa. Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat membaca buku-buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi, ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku, bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan yang sebenarnya belum aku inginkan.  Rasanya aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Di sini semuanya begitu bersih dan terang. Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan masakan daging unggas atau domba panggang, yang sangat cocok bagi kondisi perut para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap hidangan roti keju dan ayam panggang.  Nah, ayah, datanglah, sebelum daging ayam terakhir untukku dipanggang!”

Situasi sebagaimana yang digambarkan dalam surat di atas tentu tak perlu diragukan, andai itu ditulis pada abad ke-21 ini. Namun surat itu menggambarkan fasilitas dan pelayanan salah satu rumah sakit 1000 tahun yang lalu, yang ada di kota-kota besar Khilafah, yang membentang antara Himalaya di India dan Pyrenia di Perancis. Cordoba sendiri pada pertengahan abad ke-10 sudah mempunyai 50 rumah sakit. Pada jaman Harun Al-Rasyid, Baghdad sudah memiliki banyak rumah sakit terkenal.  Di situlah diterapkan ilmu kedokteran yang tidak lagi dari berasal dari takhayul, tetapi yang telah melalui percobaan ilmiah (kedokteran experimental).

Ibnu Sina, pioner kedokteran experimental

 

Copy halaman kitab Qanun fit Thib karya Ibnu Sina

Minyak dari para ulama

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Menaikkan harga BBM (mengurangi subsidinya), pasti tidak populer.  Membatasi distribusi premium hanya ke kendaraan umum, teknisnya susah.  Jangan-jangan nanti banyak angkot alih jasa, tidak lagi membawa penumpang tapi berganti jadi makelar premium buat mobil pribadi.  Maka pemerintah dapat ide baru, menghapus premium sama sekali, dan subsidinya tidak dialihkan ke pertamax.  Di dunia, memang tinggal sangat sedikit negara yang masih memakai BBM ber-oktan 88 seperti premium, dengan alasan kurang ramah lingkungan  Di negara maju, premium hanya dijual terbatas pada mobil antik, yang mungkin menjadi barang koleksi.

Tetapi bicara premium berarti bicara minyak, dan kalau kita menengok ke belakang, itu berarti bicara prestasi umat Islam dalam teknik kimia dan teknik perminyakan.

Banyak bukti menunjukkan bahwa para kimiawan muslim adalah yang pertama-tama memproduksi bahan bakar dari minyak bumi mentah.  Sebelumnya, manusia hanya mengenal minyak organik, baik dari tumbuhan (seperti minyak kelapa) atau hewan (lemak unta).

 

Sebotol minyak mentah, umumnya sulit terbakar.

Tentu saja, pada awalnya hasil olahan minyak mentah itu masih sangat sederhana, seperti nafta (lilin) dan ter (aspal).  Tapi pada akhir abad-8 M, jalanan di Baghdad sudah diaspal dengan hasil olahan minyak melalui suatu proses yang disebut “destilasi destruktif”.  Al-Qazwini, dalam kitabnya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua jenis campuran aspal dan pasir yang digunakan melapisi jalan, yang dikenal kuat dan lekat.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan infrastruktur transportasi jalan di zaman kekhalifahan Islam, terutama di Baghdad. Pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai sejak Khalifah Al-Mansur pada 762 M. Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of Arab juga melukiskan jalan-jalan di Baghdad dan Cordoba telah berlapis aspal, dan di malam hari telah diterangi lampu minyak. Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan beraspal adalah pada 1824 M, yaitu di Champs-Elysees Paris, Perancis.

Pada abad-9 M, Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.

Masih pada abad-9 M, sebuah ladang minyak di dunia pertama kali dimanfaatkan di sekitar Baku (Azerbaijan) untuk menghasilkan nafta.  Deskripsi al-Mas’udi (abad-10) dan Marcopolo (abad-13) menggambarkan adanya hasil dari sumur minyak mencapai jumlah ratusan kapal perhari.

Sebuah Sumur minyak tua.

Berbeda dengan rekan-rekan ilmuwan sebelumnya, pada abad-11 Abū Alī ibn Sīnā menemukan “minyak essensial”.  Minyak esensial adalah cairan “hidrofobik terkonsentrasi” yang mengandung senyawa aroma-atsiri dari tanaman. Minyak atsiri juga dikenal sebagai minyak ethereal atau aetherolea, atau hanya sebagai minyak extrak tanaman dari, seperti minyak cengkeh, tetapi bukan sekedar “minyak tanaman” seperti minyak kelapa.

Minyak essensial adalah “penting” dalam arti bahwa ia membawa aroma khas esensi tanaman. Minyak atsiri membentuk suatu kategori khusus untuk tujuan medis, farmakologi, atau kuliner.  Pada umumnya minyak atsiri diekstraksi dengan penyulingan.  Proses lainnya termasuk ekspresi, atau ekstraksi pelarut.  Mereka digunakan dalam parfum, kosmetik, sabun dan produk lainnya untuk aroma makanan dan minuman, dan untuk menambah “aroma dupa” dan “produk pembersih” rumah tangga.

Teknologi perminyakan sangat berkembang di tubuh umat Islam ketika mereka masih memiliki visi menjadi umat yang terbaik di dunia.

Karena itu, tidak sedikit para ilmuwan – yang dibesarkan dalam pendidikan Islam seperti hafal al-Qur’an di usia 10 tahun –  berlomba terjun dalam riset teknologi.  Mereka mendapat dorongan penelitian dari Qur’an dan Sunnah, dan memanfaatkan hasil penelitiannya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim.  Namun demikian, berbeda dengan riset yang didorong oleh ideologi kapitalisme, “riset Islam” tidak pernah menjajah dan memboroskan sumber daya alam dan lingkungan.

Sementara itu negara Daulah Khilafah masih efektif melakukan dakwah ke seluruh dunia dengan memberi contoh nyata, yakni menerapkan Islam dan menunjukkan bahwa penerapan Islam itu menjadika