Apakah yang bisa membuat Anda atau anak-anak Anda doyan belajar? Kita melihat, banyak orang malas belajar, apalagi bila itu menyangkut pelajaran yang dinilai sulit, seperti matematika atau bahasa Inggris. Padahal, sebenarnya semua anak pernah mengalami masa-masa belajar yang menyenangkan. Hampir setiap anak suka belajar naik sepeda, berenang, atau menggunakan HP, meski tidak ada sekolah yang memberinya nilai.
Setidaknya ada empat motivasi yang mendorong anak-anak sehingga suka belajar.
Pertama adalah pengalaman sehari-hari. Bila sesuatu yang dipelajari dapat langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka itu akan membuat mereka bersemangat mempelajarinya. Itulah mengapa semua anak semangat belajar naik sepeda atau menggunakan HP tanpa perlu ada yang menyuruh atau menilainya.
Kedua adalah menyadari tantangan. Bila anak menyadari apa saja yang pasti akan dihadapinya di masa mendatang atau di tempat baru yang pasti dapat dikunjunginya, maka mereka akan bersemangat untuk mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tantangan itu. Maka anak yang tahu akan diajak wisata ke luar negeri atau bertemu orang asing akan lebih semangat belajar bahasa Inggris, dibanding yang tidak punya harapan untuk itu.
Ketiga adalah mendapatkan teladan. Bila anak bertemu atau mendapatkan contoh sosok teladan yang menekuni suatu bidang ilmu, maka dia bisa terinspirasi untuk jadi menyukai bidang ilmu tersebut. Seorang anak yang telah menonton film kisah Thomas Alva Edison bisa terinspirasi untuk tekun belajar fisika dan hobby utak-atik elektronika agar mengikuti jejak sang penemu lampu listrik itu seperti halnya anak yang rajin berlatih bola karena terinspirasi idola bola Zinedine Zidan.
Motivasi pertama dapat disebut “experiential”, motivasi kedua “adventurial”, dan motivasi ketiga “historical”.
Motivasi yang keempat adalah yang terunik, karena dapat mendorong orang mempelajari sesuatu yang di luar pengalaman sehari-hari, melebihi tantangan yang ada, dan nyaris tidak ada contohnya dalam sejarah. Motivasi ini muncul dari kekuatan di luar dunia – yakni Allah swt, dan karena itu disebut juga “transendental”
Kaum muslimin terdahulu memberikan contoh, bagaimana mereka termotivasi belajar, mengembangkan kreativitas ilmiah dan menerapkan teknologi secara arif, oleh dorongan ayat-ayat Qur’an dan sabda Nabi saw. Maka mereka meraih banyak hal, jauh di atas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, melebihi yang dibutuhkan untuk menaklukkan musuh-musuhnya seperti Romawi atau Persia, dan menorehkan peradaban jauh di atas para teladannya yakni bangsa Yunani atau bangsa Cina.
Ayat yang pertama kali turun bukanlah ayat tentang ibadah mahdhoh seperti sholat, bukan pula ayat tentang keutamaan jihad, melainkan ayat tentang belajar.
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan tulis-baca, Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya. (QS al-Alaq 1-5)
Ditambah sejumlah hadits, di mana Rasulullah sangat mengapresiasi pencari ilmu.
Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga” (HR Muslim)
“Para malaikat selalu membentangkan sayapnya menaungi para penuntut ilmu karena senang dengan perbuatan itu, dan orang alim dimintakan ampun
oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air.
Kelebihan orang alim atas ahli ibadah bagaikan kelebihan cahaya rembulan atas cahaya bintang” (HR Abu Daud)
Selain memberi motivasi secara umum, ada sekitar 800 ayat Qur’an yang secara spesifik mendorong kaum muslim agar mempelajari suatu hal.
Ayat “Dan [mengapa kalian tidak memperhatikan] langit, bagaimana ia ditinggikan?” (QS al-Ghasiyah:18) dijadikan pendorong belajar astronomi. Pada abad 9 M, di Baghdad, orang biasa menggunakan kitab Almagest karya astronom Yunani Ptolomeus dalam kajian “tafsir” atas ayat tersebut.
Sedang ayat “Hai jama’ah jin dan manusia,
jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi,
maka lintasilah, kamu tak dapat menembusnya, kecuali dengan kekuatan.” (Qs. 55 Ar-Rahman :33) telah mendorong Abbas Ibnu Firnas dari Cordoba (abad 9 M) untuk menciptakan gantole dan parasut, yang dengan itu dia telah menjadi manusia pertama yang terbang dengan peralatan teknologi.
Sedang Hasan al Rammah (abad 13 M) mengembangkan hampir 70 resep bahan peledak hingga torpedo mungkin karena termotivasi ayat “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan selain mereka yang kamu tak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya …” (Qs. 8-Al-Anfaal :60).
Dalam kaitan teknologi, Rasulullah memandang manusia lebih tahu urusannya, sehingga beliau mendorong agar ada yang belajar ke Cina, yang tentu saat itu kaitannya dengan teknologi. Sungguh, sebagian sahabat benar-benar pergi sampai ke Cina, antara lain untuk belajar teknologi membuat kertas, sehingga di masa Utsman bin Affan, Qur’an sudah dapat ditulis di atas mushaf (kertas).
Karena Nabi juga pernah mengatakan “Jika mati manusia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan dirinya” (HR Muslim), maka pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu. Mereka melakukan wakaf berupa pembangunan lab riset atau observatorium, lengkap dengan kebun yang luas untuk menghidupi para ilmuwannya agar melakukan riset. Hasilnya antara lain adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya. Tabel itulah yang akan dibawa-bawa oleh para pelaut dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat-tempat baru yang perlu disampaikan risalah Islam atas mereka, juga untuk selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu mengintai kelemahan dan kelengahan kaum muslim. Shadaqah jariyah yang sekaligus memiliki output ilmu yang manfaat.
Karena iklim cerdas di masyarakat seperti itu, tak heran bila para penguasa juga dikelilingi penasehat yang terdiri dari para ulama dan ilmuwan, sehingga kebijakan-kebijakannya tak melenceng dari dalil Qur’an dan Sunnah, dan juga tidak pernah mengabaikan sunnatullah yang ditemukan secara empirik dan ilmiah. Meski penguasa dapat silih berganti, tetapi politik teknologi nyaris tidak berubah. Negara tetap pro pencerdasan rakyat, memberi akses pendidikan yang maksimal kepada rakyat, dan menghargai karya para ulama dan ilmuwan sebagaimana mestinya.
Inilah kecerdasan berbasis spiritual. Berawal dari sebuah dorongan transendental (Qur’an dan Sunnah), diproses dengan sebuah metodologi yang dibentengi syariah oleh orang-orang yang sejak kecil dididik dalam pendidikan Islam, dan akhirnya menerapkan teknologi yang ditemukannya untuk memberi rahmat seluruh alam
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.
Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah. Baru 40 persennya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.
Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.
Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.
Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.
Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19. Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella). Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah! Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya. Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.
Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.
Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.
Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.
Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.
Dr. Fahmi Amhar
Yaman sedang bergolak. Presidennya terluka dan kabur berobat ke Saudi Arabia. Suasana politik menjadi serba belum pasti hingga tulisan ini ditulis. Dalam suasana seperti itu tentu sulit untuk melanjutkan kehidupan secara normal, apalagi aktivitas pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi.
Dahulu, ketika Khilafah masih tegak dan syari’ah masih diterapkan, keributan politik tak banyak berpengaruh pada aktivitas pendidikan dan pengembangan sains, karena aktivitas ini sudah melebur dalam kehidupan masyarakat. Karena itu meski Khalifah silih berganti, dan sebagian bahkan secara berdarah, tetapi pendidikan tetap berjalan dengan kualitas tinggi, melanjutkan nilai-nilai Islam ke generasi berikutnya. Para ilmuwan juga tetap berkarya, karena era yang baru tentu tetap membutuhkan kontribusi mereka.
Di masa lalu, meski Yaman tidak sebesar Baghdad atau Cordoba, namun Yaman ternyata juga pernah punya sejumlah ilmuwan besar.
Yang pertama Ya’qūb ibn Isḥāq al-Kindī (Alkindus), yang dijuluki “guru-filosof-kedua-pasca-Aristoteles”. Beliau hidup dari 801 – 873 M. Meski lahir di Kufah Iraq, tetapi al-Kindi adalah keturunan bani Kindah yang berasal dari Yaman. Selain filosof, dia juga ahli berbagai bahasa, juga dokter yang meneliti dosis tepat khasiat obat (farmakologi) dan menggabungkannya dengan khasiat terapi musik, bahkan juga berexperimen dengan cryptografi – bagian ilmu matematika untuk menyandi dan mengungkap informasi yang tersandi. Al-Kindi pernah menjadi tokoh sentral di Baitul Hikmah di Baghdad, dan beberapa khalifah Abbasiyah menunjuknya untuk menjadi guru privat anak-anak Khalifah serta memimpin tim penerjemahan banyak naskah Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Karena naskah-naskah ini umumnya membahas filsafat, maka dalam perkembangannya, tulisan-tulisan al-Kindi tentang filsafatlah yang paling banyak dibicarakan orang.
Potret al-Kindi
Sebagian dari karya filsafat al-Kindi memang kontroversial dan menjadi sasaran kritik para ahli Ushuluddin. Misalnya al Kindi menganggap bahwa wahyu dan pengetahuan empiris adalah dua jalur yang sama-sama menuju Tuhan. Ini bisa diartikan bahwa tanpa wahyupun orang bisa mendapatkan kebenaran bagaimana cara beribadah dan cara hidup di dunia lainnya. Sayangnya, tidak banyak tulisan asli al-Kindi yang bertahan hingga zaman modern untuk direview. Sebagian yang ada hingga kini adalah komentar atas komentar tulisan al-Kindi. Bisa saja, komentar yang pertama sudah bias karena tidak memahami pendapat asli al-Kindi.
Ilmuwan Italia zaman Rennaisance Geralomo Cardano (1501-1575) menyebut al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir terbesar Zaman Pertengahan. Menurut Ibn an-Nadim, al-Kindi menulis sedikitnya 260 buku, di antaranya 32 buku tentang geometri, 22 buku tentang kedokteran, 22 buku filsafat, 9 buku logika, 12 buku fisika. Meskipun banyak bukunya telah hilang, sebagian terjemahan latinnya diselamatkan Gerard of Cremona dan sebagian lain ditemukan di sebuah perpustakaan di Turki.
Dari buku cryptografi al-Kindi
Harbi al-Himyari adalah ilmuwan Arab dari Yaman hidup antara abad 7 – 8 M. Dia adalah salah satu guru dari ahli kimia terbesar Jabir al Hayyan. Namun biografinya tidak banyak diketahui.
Abū Muḥammad al-Ḥasan ibn Aḥmad ibn Ya‘qūb al-Hamdānī (sekitar 893-945 M) adalah muslim Arab yang ahli geografi, pujangga, ahli bahasa, sejarahwan dan astronom. Dia berasal dari suku Hamdan, di barat ‘Amran Yaman. Dia adalah salah satu wakil kebudayaan Islam pada masa-masa akhir Khilafah Abbasiyah.
Sayang data biografi al-Hamdānī sangat sulit diketahui, meskipun karya ilmiahnya tersebar luas. Dia sangat dikenal reputasinya sebagai grammarian (ahli bahasa), tetapi juga menulis banyak puisi, mengkompilasi tabel astronomi, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari sejarah dan geografi kuno Arabia.
Ayahnya adalah pengelana dan sering harus ke kota-kota Kufah, Baghdad, Basra, Oman dan Mesir. Pada usia 7 tahun, dia telah mulai bercakap tentang pengelanaan. Dia lalu pergi ke Makkah dan tinggal dan belajar di sana lebih dari enam tahun. Belakangan dia balik ke San’a dan berkarya di Himyar. Namun sikapnya yang kritis terhadap politik membuatnya dipenjara hingga dua tahun. Setelah dilepas dia kembali ke Rayda, dan dalam perlindungan sukunya, dia berkarya di sana sampai wafat hingga 945 M.
Karya al-Hamdani tentang Geografi Jazirah Arab (Sifat Jazirat ul-Arab) adalah karya yang sangat penting di bidang ini, bahkan hingga seribu tahun kemudian (!) sebagaimana diakui oleh A. Sprenger dalam bukunya “Post- und Reiserouten des Orients” (Leipzig, 1864) dan dalam “Alte Geographie Arabiens” (Bern, 1875). Karya besar al-Hamdānī yang lain adalah “Iklil” (Mahkota) yang membahas genealogi (silsilah) para Himyarit, peperangan di antara mereka dan para rajanya, dalam 10 jilid. Jilid 8 tentang kota-kota dan istana di Arab Selatan telah diedit dan dikomentari oleh Müller dalam buku “Die Burgen und Schlösser Sudarabiens” (Vienna, 1879-1881).