Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah Anda terlambat shalat? Sering? Janganlah ya!. Pernahkah Anda telat check-in pesawat? Juga janganlah! Masalahnya telat check-in sering berarti uang hilang, tapi bagaimana kalau shalat sampai telat?
Masalah waktu adalah contoh masalah perorangan yang ternyata bisa dijaga dengan suatu sistem.
Dulu, ketika belum ada jam, atau sudah ada jam tetapi belum ada standarnya, maka termasuk susah untuk menjaga ketepatan suatu acara. Karena tiap orang punya waktu masing-masing. Saat manusia mulai menggunakan kereta api jarak jauh, mau tidak mau standar waktu harus dibuat agar waktu keberangkatan atau kedatangan kereta bisa dipastikan.
Para ilmuwan memikirkan agar ada sebuah aturan tentang waktu yang dapat berlaku antara negara, dari soal yang mendasar seperti: sehari dibagi berapa jam, sejam berapa menit, semenit berapa detik, hingga tentang acuan meridian (sekarang di Greenwich), zona waktu, hingga lokasi garis batas tanggal internasional!
Aturan ini kemudian diadopsi dalam berbagai undang-undang di berbagai negeri. Undang-undang ini adalah contoh sebuah sistem pada level yuridis. Sebuah negara biasanya mengeluarkan banyak aturan baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan di bawahnya. Karena diwajibkan oleh organisasi berupa negara, maka terjadilah perubahan sistemik. Mau tidak mau semua dipaksa ikut “sistem” itu.
Sistem pada level yuridis ini sering harus didetilkan lagi dalam suatu sistem pada level teknis. Misalnya, kapan jam belajar di sekolah mulai, kapan jam buka/tutup toko, kapan kereta berangkat, dsb.
Sistem pada level teknis ini pun sering harus dipaksakan lagi dalam bentuk sistem pada level mekanis, agar subyektifitas manusia bisa diminimkan lagi. Dibuatlah bel otomatis yang akan berbunyi ketika sekolah akan dimulai, atau lampu yang akan menyala sendiri ketika toko akan buka/tutup, bahkan pintu kereta yang akan menutup sendiri ketika saatnya harus berangkat. Semua orang yang berada di situ dipaksa oleh sistem agar mereka disiplin.
Kaum Muslim memiliki kontribusi yang luar biasa dalam teknologi sistem pada level mekanis ini.
Teknologi jam dimulai oleh para astronom. Ini karena pengamatan obyek langit sangat tergantung penunjuk waktu yang akurat. Berbagai jam telah dibuat, namun secara umum terdiri dari tiga prinsip penunjuk waktu: fenomena astronomi (jam matahari), aliran air (jam air), dan fungsi mekanik (komputer analog). Pada era modern, ditemukan jam quartz dan jam atom.
Jam Astronomi
Penunjuk waktu ini tergantung dari gerak matahari. Sebuah paku aku melempar bayangannya ke sebuah permukaan lengkung yang berisi garis dan kurva, dan dengan sedikit latihan kita akan dapat membaca tanggal dan jam. Di beberapa pesantren dan masjid di Indonesia, masih bisa dijumpai jam semacam ini. Di masa lalu, astronom Muslim bahkan membuatkan jam-jam matahari untuk penghias taman istana-istana di Eropa.
am astronomi yang lebih portabel (bisa dibawa kemana-mana) adalah astrolab. Pada abad-10, al-Sufi menuliskan lebih dari 1000 macam penggunaan astrolab, termasuk untuk menghitung waktu shalat dan awal Ramadhan.
Jam Air
Jam air ditulis pertama kali oleh Ibn Khalaf al-Muradi dalam “Kitab Rahasia-Rahasia” pada tahun 1000 M. Kitab ini disimpan pada Museum of Islamic Art di Doha, Qatar. Namun banyak desain jam air yang spektakuler dilakukan Al-Jazari (1206 M). Salah satu di antaranya memiliki tinggi sekitar satu meter dan lebar setengah meter. Jam ini menunjukkan gerakan dari model matahari, bulan dan bintang-bintang. Inovasinya adalah, sebuah jarum yang ketika melewati puncak perjalanannya akan membuat pintu terbuka setiap jam. Jam asli al-Jazari ini berhasil direkonstruksi dan dipamerkan di Science Museum London pada tahun 1976. Selain jam ini al-Jazari juga membuat jam air yang berbentuk gajah.
Jam Mekanik
Jam mekanik menggunakan prinsip gerak yang dapat diatur perlahan dan teratur, misalnya pegas atau bandul. Yang menarik, pada tahun 1559, Taqiuddin as-Subkhi, seorang astronom Utsmani saat itu sudah mendesain berbagai jam mekanik yang dilengkapi dengan suatu alarm, misalnya untuk penggerak teleskop, sehingga akan sangat memandu astronom dalam mengamati obyek langit, misalnya yang mendekati meridian. Dia menulisnya dalam bukunya “Al-Kawākib al-durriyya fī wadh’ al-bankāmat al-dawriyya” (The Brightest Stars for the Construction of Mechanical Clocks).
Ada juga jam mekanik yang sudah digabung dengan kalender lunisolar (gabungan bulan dan matahari). Ini adalah embrio dari komputer analog. Ibn as-Syatir pada awal abad-14 membuat jam yang menggabungkan penunjuk hari universal dan kompas magnetik untuk menentukan jadwal shalat dalam perjalanan. Semakin hari jam karya insinyur Muslim semakin teliti. Abad-15 M, mereka sudah mampu menghasilkan jam yang dapat mengukur sampai detik. Presisi dalam penunjuk waktu berarti akurasi dalam navigasi, dan ini adalah modal keunggulan dalam jihad fi sabilillah, terutama di lautan.
Tinggal apakah sistem mekanis ini dioperasikan atau tidak, tergantung yang mengendalikan, “man behind the gun”. Seorang kepala sekolah dapat saja dengan suatu alasan menonaktifkan bel sekolah otomatisnya. Demikian juga dengan pemilik toko atau masinis kereta. Dampaknya tentu saja juga sistemik, meskipun lokal. Ini adalah sistem pada level praktis (pelaksana). Sistem pada level ini biasanya paling mudah diubah, begitu ganti orang, sistem bisa dengan cepat ikut diganti.
Namun di atas sistem pada level juridis, itu sebenarnya ada sistem pada level politis. Kenapa khilafah pada tahun 1884 ikut hadir dan menyetujui Konferensi Meridian yang mengadopsi Greenwich sebagai acuan? Ini tidak lepas dari pribadi Sultan Abdul Hamid II yang memiliki pemahaman yang tajam, bahwa Konvensi itu hanya kesepakatan tentang aturan teknis, bukan soal syar’i. Demikian juga mengapa kaum Muslimin belajar membuat berbagai jenis jam dari bangsa Yunani, Persia atau Cina, juga tak lepas sistem politis khilafah yang mendorong kaum Muslimin untuk mencuri teknologi dari manapun. Sistem politis yang tepat akan menjaga agar teknologi tetap dikembangkan dan digunakan secara syar’i.
Ketika sistem pada level politis membusuk, maka berbagai level sistem di bawahnya ikut membusuk. Undang-undang tidak dimutakhirkan, atau dimutakhirkan tetapi malah jadi tidak syar’i, akibatnya aturan teknisnya juga tidak punya payung yang tepat. Selanjutnya mau dibuat mekanis juga malah menzalimi orang. Dan sudah dapat dipastikan, pelaksananya akan bimbang. Pada kondisi ini, maka sistem harus diganti. Tetapi kita wajib tahu, pada level mana masalah yang dihadapi, agar penggantian sistem ini dapat dilakukan dengan tepat dan cepat.
Sistem pada level politis kadang-kadang sangat kompleks, karena tak hanya menyangkut perkara di dalam negeri tetapi juga luar negeri, tidak hanya soal pejabat negara namun juga pandangan hidup rakyat yang membelanya. Kalau harus sudah pada tataran ini yang harus diubah, maka kita bicara sistem pada level ideologis.
Dalam sejarah panjang khilafah, perubahan-perubahan yang ada baru sampai ke sistem level politis. Perubahan sistem secara ideologis hanya terjadi sekali ketika khilafah dibubarkan oleh Mustafa Kamal pada tahun 1924.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial
Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30 dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu keesokan harinya. Dan kalau transfer itu dilakukan pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu Senin pagi. Hal ini karena perbedaan daerah waktu. Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah pukul 16:30, dan Bank sudah tutup. Sekalipun sekarang orang bisa menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.
Inilah, dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang mendasari gagasan penyatuan daerah waktu. Ketika WIB, WITA dan WIT disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke. Eloknya lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8. Saat ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam. Jadi, bila kita menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari “ketertinggalan kita dari Singapura”. Selama ini, “di Singapura orang sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih tidur…”
Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah, sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita Trilyunan Rupiah.
Tetapi benarkah demikian?
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu matahari sebesar rata-rata 184 menit. Setiap perbedaan 1 derajat bujur setara dengan waktu 4 menit. Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding Merauke.
Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat Indonesia. Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak. Apa ini artinya?
Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA, maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu awal.
Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal. Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB. Di wilayah Jabotabek, pukul 5.30 itu matahari belum terbit! Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum masuk!
Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT. Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9 WIT, sudah sangat siang. Kebalikannya, jam pulang yang semula – misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT. Sudah cukup gelap, dan mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.
Dan kalau saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan masuk pukul 13 WI. Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka akan terlambat bekerja lagi. Pemborosan. Sementara bila waktu istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan. Jelas ini masalah.
Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul 13-14, dan pulang kantor pukul 17. Praktis tak ada bedanya dengan WIB. Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita baru berangkat ke kantor”.
Dilihat dari manfaatnya, yang akan menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa. Sedang lebih dari 100 juta orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah akan mengalami kesulitan. Kalangan penerbangan konon sudah keberatan dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian banyak persoalan.
Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.
Zona waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19. Tanpa zona waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota yang berjauhan jadi sangat sulit. Dalam prakteknya, pengaturan zona waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.
Telaah buku Imunisasi, dampak dan konspirasi.
(sumber: http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=380:telaah-buku-imunisasi-dampak-dan-konspirasi&catid=89:artikel&Itemid=121)
Jakarta, 5 April 2009
Telah buku ini merupakan bahan untuk Seminar tentang “Vaksinasi dan Problematika di Bidang Kesehatan. Seminar ini diadakan di Auditorium UIN Jakarta pada tanggal 14 Maret 2009.
Hasil lengkap atas telaah buku Imunisasi, dampak dan konsporasi, dapat dibaca pada uraian berikut:
Bab -1. Mukaddimah
Secara garis besar penulis menganjurkan pengobatan : ”back to nature”, beliau menganjurkan makanan alami.
Hal 7 .
”Dilema yang sangat tajam dan membahayakan umat muslim belum terungkap ketengah masyarakat sehingga dengan suka rela, terpaksa maupun dipaksa, vaksin meningitis terus dimasukkan kedalam tubuh para jemaah haji”.
Penjelasan
Vaksinasi meningitis yang diberikan kepada calon jemaah haji adalah meningitis meningokokus. Sedangkan bakteri penyebab meningitis meningokus yaitu Neisseria meningitidis tidak ditemukan di Indonesia. Apa akibatnya? Akibatnya semua masyarakat Indonesia belum pernah terinfeksi meningitis meningokokus sehingga tidak mempunyai Kekebalan (antibodi) terhadap bakteri meningokokus. Hal ini sangat berbahaya untuk calon jemaah haji yang akan bertemu dengan jemaah lain dari negara-negara Afrika yang mempunyai bakteri N.meningitidis di tenggorokannya (orang yan mengandung bakteri namun tidak sakit disebut karier. Oleh karena itu, semua jemaah haji yang akan berkumpul di Mekah, Arafah, Mina, dan Madinah di haruskan mendapat suntikan imunisasi meningitis tersebut, agar tidak menderita meningitis.
Perlu dijelaskan bahwa vaksin meningitis meningokok ada 4 serotipe (A-C-Y-W135), jadi harus diamati dahulu apakah vaksin yang akan disuntikkan berisi keempat serotipe yang diperlukan tersebut. Hal lain yang harus diperhatian ialah setelah mendapat suntikan vaksin meningitis kekebalan baru mencapai kadar pencegahan setelah dua minggu. Jadi minimal imunisasi untuk calon jemaah haji harus diberikan dua minggu sebelum berangkat ke Saudi Arabia.
Bab-2 : Seputar masalah vaksin
Hal 12, baris ke 4 : ”Sekarang ini vaksin oral (maksudnya polio) tidak lagi dianjurkan karena terbukti menyebabkan polio pada beberapa penerimanya dan orang-orang yang berkontak akrab dengan mereka yang baru di vaksinasi ”.
Dasar pemikiran ini tidak benar : (akan dilengkapi)
Dengan hanya 5 putaran PIN dan 3 putaran SubPIN (mohon dikoreksi jumlah putarannya) menggunakan vaksin oral polio telah berhasil membebaskan Indonesia dari KLB polio. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan untuk melaksanakan PIN, berapa jumlah anak yang meninggal ataupun cacat akibat KLB polio tersebut.
VDPV (vaccine derived polio virus) dapat terjadi pada anak yang belum pernah diimunisasi sehingga tertular dari vaksin yang berada di dalam tinja recipient yang mencemari lingkungan. Oleh karena itu cakupan imunisasi harus tinggi, mendekati 100%. Kejadian VDPV adalah 1 diantara 2 juta dosis vaksin OPV.
Penjelasan
Dengan hanya 5 putaran PIN (mohon dikoreksi jumlah putarannya) menggunakan vaksin oral polio telah berhasil membebaskan Indonesia dari KLB polio. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan untuk melaksanakan PIN, berapa jumlah anak yang meninggal ataupun cacat akibat KLB polio tersebut. Tercatat kita memiliki kasus polio sebanyak 306. Saat ini kasus terakhir terlaporkan tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, jadi sudah 3 tahun kita tidak ada laporan kasus polio lagi. Kita tetap harus menunggu negara tetangga lainnya sampai tidak ada kasus polio lagi.
Hal : 13
Vaksin gondang mungkin yang dimaksud vaksin gondongan atau mumps.
Hal 12 – 27
Sulit untuk dipahami (mengenai zat yang dikandung dan tata cara pembuatan vaksin) hal ini juga dapat menunjukkan sebenarnya penulis tidak paham mengenai pembuatan vaksin.
Hal 17
Neomisin ditemukan pada vaksin MMR dan Polio
Penjelasan
vaksin polio tidak mengandung unsur neomisin
Hal 18
Streptomisin
Penjelasan
tidak ada unsur streptomisin dalam vaksin polio.
Hal 26
pembuatan vaksin berasal dari embryo manusia Ada 3 cell line yang mendominasi pasar : · WI:38 : produksi Wistar Institute Philadelpia (dikembangkan Dr L Heyliflik, 1962) berasal dari sel paru embrio perempuan berusia 3 bulan yang mengalami aborsi.
· MCR-5: produk Medical Research Council (MRC) Inggris 1966, berasal dari sel paru-paru embrio laki2 berusia 14 minggu yang sengaja di aborsi oleh ibunya karena alasan kejiwaan.
· PER C6 dibuat Dr alex van der Eb dari retina embrio berusia 18 minggu yang sengaja di aborsi oleh ibunya. (sumber : Prof Jurnalis, seminar Farsi , 17 April 2007)
Penjelasan
No human cells are actually present in the vaccine, and no abortions are conducted specifically for the purpose of harvesting cell lines.
Tidak ada sel manusia yang terdapat dalam vaksin, dan tidak ada aborsi yang dilakukan spesifik untuk tujuan mendapatkan kultur sel.
Ethicists at the US National Catholic Bioethics Center have concluded that the association between certain vaccines and abortion was non- complicit, and thus use of these vaccines is not contrary to a religious opposition to abortion.27.
Para ahli Etika di US National Catholic Bioethics Center telah menyimpulkan bahwa hubungan antara vaksin tertentu dan aborsi tidak saling terkait, sehingga penggunaan vaksin tidak bertentangan dengan aliran relijius yang menentang aborsi. Atau dapat diterjemahkan bebas sbb: masalah aborsi tidak terlibat dalam pembuatan vaksin
Sumber : CLINICAL UPDATE :Vaccine components and constituents: responding to consumer concerns, Barbara E Eldred, Angela J Dean, Treasure M McGuire and Allan L Nash (Volume 184 Number 4 20 February 2006).
Pro dan kontra sebenarnya Tahun 1962, hal tsb terjadi 37 tahun yang lalu dimana saat ini dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi pembuatan vaksin yang lebih aman sehingga dengan teknologi rekombinan, vaksin polisacharida, conjugated dsb.
Program imunisasi dasar Departemen Kesehatan yang telah dimulai sejak tahun 1970-an memakai produksi dalam negeri yaitu P.T. Bio Farma, dan telah diklarifikasi bahwa tidak ada embryo manusia ataupun produk dari manusia yang dipakai untuk pembuatan vaksin.
Hal 27
UUD kesehatan :
antara lain program imunisasi massal mempunyai sasaran utama yaitu bayi dan anak-anak, kepada orang tuanya dikatakan bahwa mereka harus menerima dosis ganda dari 10 vaksin yang berbeda sejak kelahiran sampai usia lima tahun.
Penjelasan
Vaksin didalam program imunisasi ada 7 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (yaitu BCG terhadap TBC, Polio, campak DPT (difteri, tetanus dan pertusis, hepatitiS B dab campak). Vaksinnya ada 5 macam, untuk mencegah penyakitnya 7, bukan 10.
Hal 28
Imunitas kelompok adalah tingkat di mana suatu populasi tertentu bisa bertahan terhadap penyakit. Untuk mencapai tingkat imunitas kelompok yang tinggi, kelompok yang berpihak pada imunisasi massal berusaha untuk mencapai angka vaksinasi yang setinggi mungkin dengan harapan nyaris setiap orang di dalam kelompok yang terpilih akan terlindungi dari penyakit. Salah satu argumentasi utama mereka yang menentang imunisaisi massal pada anak-anak adalah bahwa lain dalam area vaksinansi wajib memiliki sikap ” satu ukuran untuk semua orang” yang sangat berbahaya.
Penjelasan
Imunitas kelompok : maksud nya adalah ”herd immunity” atau ”community immunity”, bukan kelompok pro dan kontra imunisasi. Vaksin diberikan kepada perorangan untuk melindungi orang tersebut dari penyakit. Pemberian vaksin kepada perorangan ini juga memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat. Bagaimana ini bisa terjadi? Imunisai akan menginduksi pembentukan kekebalan dengan tingkat kekebalan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Sebagian orang yang tidak divaksinasi ( yang rentan) bisa ”terlindungi (tidak sakit)” secara tidak langsung karena berada di tengah-tengah kelompok orang orang yang tervaksinasi. Dengan demikian penyebaran bibit penyakit dari orang yang terinfeksi (penularan) kepada orang yang rentan bisa terputus.
Bukti adanya imunitas kelompok adalah terbasminya virus cacar dari muka bumi, padahal pemerintah setiap negara sebetulnya tidak mampu mengimunisasi 100% penduduknya Semakin rendah tingkat kemampuan pemerintah mengimunisasi penduduknya, akan semakin rendah kemungkinan terbentuknya imunitas kelompok.Imunitas kelompok juga dipengaruhi oleh sifat penyakit, makin menular suatu penyakit semakin tinggi daya penularannya maka cakupan imunisasinya harus tinggi.
Sumber : (Fine E.M.Paul, Plotkin, Orenstein, Community Immunity, Vaccines, fourth edition, Chapter 56, p 1443-1461
Hal 29
“Vaksin seharusnya memicu sistem imun tubuh untuk menyerang komponen-komponen vaksin. Tetapi bagaimanan jika sistem imun menyerang lebih banyak dari seharusnya, yaitu menyerang bagian2 tubuh yang susunan kimiawi serupa dengan vaksin? Jenis reaksi ini disebut autoimun, yang berarti tubuh menyerang diri sendiri. Reaksi ini bisa terjadi pada vaksin campak, tetanus dan flu”.
Penjelasan
Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengan kenaikan cakupan imunisasi. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba sebagai alat untuk menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan mempunyai evidence based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan imunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular . Menggugah respons imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri . Meskipun paradigma ini sudah dikenal namun belum ada pengamatan jangka panjang yang membuktikannya. Pada imunisasi akan merangsang sel Th1 sedangkan reaksi autoimun melibatkan sel Th2.
Sumber : Miskonsepsi dan Kontroversi dalam vaksinasi. Hartono Gunadi, Ismoediyanto. Pedoman Imunisasi di Indonesia/edisi ketiga/2008
Hal 30
Salah satu contohnya adalah vaksin polio oral (ditelan), yang sejak 1 Januari 2000 tidak lagi dianjurkan untuk digunakan karena vaksin tersebut bertanggung jawab untuk sekitar sepuluh kasus polio yang dilaporkan per tahun ketika vaksin tersebut diberikan.
Penjelasan
Sampai saat ini vaksin polio oral tetap diberikan kita sedang berjuang untuk bebas polio, Indonesia saat terjadi KLB (Kejadian Luar biasa) adanya kasus polio di Kab Lebak tahun 2005 dan terus menjalar ke P sumatra sampai ke Aceh tenggara dan menyebar ke P Jawa (kecuali DIY) sanpai ke Madura denagn pelaksanaan PIN ( Pekan Imuniasai Nasional dimana seluruh anak balita diberi polio, maka penyebaran polio dapat dihentikan, dan kasus terakhir tanggal 20 Fabruari 2006 di Aceh tenggara sehingga saat ini polio sudah 3 tahun tidak ditemukan di Indonesia, namun kita masih menunggu negara lain yang masih memiliki kasus polio.
Sampai saat ini hanya tinggal 3 negara yang masih mempunyai virus polio liar yang bersirkulasi di masyarakat yaitu India, Afganistan, dan Nigeria.
Iklan Vaksin dosis ganda ? (yang dimaksud disini adalah vaksin kombinasi). Penjelasan tidak dapat dipahami tetapi secara garis besar bisa dijelaskan sbb:
Penjelasan
Mengenai penggabungan beberapa jenis antigen, dimaksudkan selain penyederhanaan jadwal juga adanya kinetik respons dimana antigen yang diberikan akan timbul respons imun yang lebih tinggi sehingga memberikan perlindungan jangka panjang, anak mendapat suntikan lebih sedikit, mengurangi jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan. Departemen Kesehatan yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan penggunaan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik, untuk anak Indonesia. Tentunya vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara masing2, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI
Sumber : Sri Rezeki S Hadinegoro . Vaksin Kombinasi (vaksin Kombo) : Pedoman Imunisasi di Indonesia/edisi ketiga/2008
Kebijakan Departemen Kesehatan mendukung penyederhanaan dari vaksin DPT/Hb kombinasi.
Sumber : SE Menkes no 697/MENKES/ VI/2004.Pedoman penyelenggaraan Imunisasi KEPMENKES RI Nomor: 1611/MENKES/SK/XI/2005.
Hal 41
Air raksa dalam vaksin. Terlalu panjang untuk di kutip (hal 41-46)
Penjelasan
Timerosal/thiomerosal merupakan preservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmercuri. Timerosal dipakai dalam vaksin untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vial multidosis. Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thiomerosal. Secara teoritis dapat meningkatkan mercuri didalam darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan mercuri itu masih dalam rentang normal yang diacu oleh US Departemen of Health and human cervices. Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa timerosal dalam vaksin mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode waktu pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian vaksin bebas thimerosal insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vaksin dengan thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkan lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkna efek buruk pada perkembangan saraf maupun psikologis.
Hal 46
Hubungan vaksin dengan autisme
Penjelasan
Penelitian terbaru semakin membuktikan bahwa tak ada kaitan sama sekali antara vaksin MMR dengan autis.
Riset untuk membuktikan kaitan vaksin MMR dan autis telah dilakukan bertahun-tahun. Hasilnya nihil alias tidak terbukti. Namun masyarakat tetap takut. Hal itu karena salah satu penelitian di Inggris tahun 1998 yang menyebut hubungan vaksin itu dengan sekelompok anak autis yang juga memiliki masalah pencernaan serius. Studi itu melaporkan bahwa virus campak yang dilemahkan ikut berperan.
Sampai akhirnya, peneliti menguji kembali temuan itu. Sampelnya adalah pencernaan anak yang lebih belia untuk memburu virus tersebut menggunakan teknologi genetik yang paling modern. Hasilnya, seperti dilaporkan tim periset internasional, sekali lagi tak ditemukan bukti vaksin MMR berperan memicu autis Temuan teranyar itu juga didukung tim peneliti yang menelurkan isu autis dan MMR sepuluh tahun lalu.
“Kenyataannya, vaksin MMR aman. Kami yakin sepenuhnya tak ada hubungan antara MMR dan autis kata Dr. W lan Lipkin, dari Columbia University College of Physicians and Surgeons, seperti dilansir jurnal PLoS One.
Dr. Larry Pickering dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menambahkan;’ Tak ada keraguan bahwa vaksin itu sangat aman: Tak ada data resmi berapa banyak penderita autis yang juga mengalami gangguan pencernaan. Tapi Lipkin memperkirakan sampai seperempatnya. Ketakutan yang tidak beralasan terhadap MMR berangkat dari alasan bahwa vaksin tersebut melemahkan virus campak yang justru akan membuat radang di pencernaan. Akibatnya, produk sisa penncernaan pindah hingga mencapai sistem saraf pusat.
Untuk membuktikan alasan tersebut salah, tim peneliti telah mengobservasi 25 anak yang menderita autis sekaligus mengalami gangguan pencernaan serta 13 anak dengan masalah pencernaan namun tidak ada gangguan neurologi. Semua anak itu menjalani kolonoskopi, diambil contoh jaringannya, kemudian diuji untuk mengetahui jejak genetik virus campak. Sebagai tambahan, semua anak tersebut telah divaksinasi. Hasil pengujian ternyata tak menemukan jejak material genetik virus campak pada anak autis maupun normal. Hasil itu tentu berseberangan dengan riset tahun 1998 yang memicu ketakukan terhadap vaksin MMR. Dengan demikian, ujar tim peneliti, ketakukan terhadap vaksin MMR pun menjadi tidak beralasan. Pro kontra terhadap vaksin itu juga harus diakhiri.
Dengan demikian baik WHO (Badan Kesehatan Dunia), Depkes RI, IDAI, tetap menganjurkan pemberian vaksinasi MMR, mengingat ketiga penyakit yang dicegah oleh vaksin tersebut dapt menyebabkan kematian atau kecacatan.
Sumber : (Healt to day , October 2008)
Hal 51
“Sebenarnya orang yang berisiko mendapatkan hepatitis B adalah pengguna obat terlarang yang disuntikan, pria homoseksual, pelacur, dan orang-orang lain yang mempunyai banyak pasangan seksual, maka perntanyaannya yang harus diajukan orang tua kepada dokter adalah : mengapa bayi tetap dianjurkan untuk di vaksinasi hepatitis ?”
Penjelasan
Hasil-hasil penelitian Indonesia termasuk daerah risiko tinggi untuk hepatitis B, maka pemberian imunisasi pada bayi lahir adalah untuk memutuskan mata rantai penularan dari ibu pengidap hepatitis B kepada bayinya, karena kalau bayi terkena maka 90% akan menjadi kronis yang akhirnya setelah 20-40 tahun kemudian menjadi kanker hati.
Hepatitis B dapat menularkan bukan saja dari contoh-contoh negatif dalam halaman 51 tersebut, tetapi merupakan resiko bagi orang yang bekerja sebagai tenaga kesehatan, melalui donor darah, bahkan seorang bayi dapat mewarisi hepatitis B dari Ibu yang melahirkannya. Makanya sangat penting untuk segera melindungi bayi baru lahir tersebut.
Sumber : (Jacyna & Thomas . Pathogenesis and treatment of chronic infection. Dalam: Zuckerman A., Thomas H.C., Penyunting. Viral Hepatitis , Scientific basic and clinical management, Churchil Livingstone, 1993. h.185-205)
Hal 53
”Imunisasi yang disuntikkan ke tubuh manusia adalah penyakit yang diambil dari cairan darah orang yang terkena berbagai penyakit misalnya : Hepatitis B, herpes, HIV/AIDS dan lain-lain yang melakukan sex bebas, minum alkohol, narkotika dan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah lainnya. Lalu dibiakkan di media-media seperti: ginjal kera, ginjal anjing, sel-sel embrio marmut, serum anak sapi, telur ayam, dan lain-lain, dan menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan, ditambah dengan merkuri atau air raksa, logam sebagai zat pengawetnya. Vaksin-vaksin yang dihasilkan juga antara lain, vaksin polio, MMR, Rabies, cacar air, meningitis dll.”
Penjelasan
Pernyataan tersebut sama sekali salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hanya bernada memojokkan imunisasi dengan memberikan pernyataan yang salah, bernada provokasi.
Teknologi dan Ilmu pengetahuan sudah sangat berkembang dengan baik. Sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Allah kepada manusia dimana manusia dianugrahi akal untuk berpikir. Sehingga isolasi dan pengembangan virus untuk vaksin sangat mudah dilakukan, tidak harus dari (yang tertulis pada halaman 53) cairan darah orang yang terkena berbagai penyakit Proses pembuatan vaksin sangat rumit tentunya melalui tahapan yang penapisan yang sangat ketat dan tidak mengandung penyakit menular lainnya, seperti kita ketahui bahwa untuk donor darah PMI pun harus dilakukan penapisan terhadap penyakit hepatitis B dan C, HIV AID, penyakit kelamin dll. Melalui suatu quality control yang sangat ketat karena akan dipakai jutaan dosis.
Bab-3 : Imunisasi kebijakan yang dipaksakan
Hal 62
beberapa kasus akibat vaksinasi di indonesia.Ada 10 kasus yang dipaparkan a.l. – kasus no 5. keyakinan mata anak menjadi silindris setelah mendapat imunisasi.- kasus no 9 setelah imunisasi cacar air masal anak terkena cacar air.
Penjelasan
– Silindris pada mata seperti telah diketahui akibat genetik atau dapat juga akibat rangsangan fisik berulang terhadap bola mata akibat tekanan oleh kelopak mata dan lain-lain..
– Vaksin cacar air (varicela) belum masuk kedalam program imunisasi. Hal 67 Beberapa kasus pasca imunisasi meningitis sebagai persyaratan haji. Ada 3 kasus yang dilaporkan.
Penjelasan
Saudi Arabia termasuk daerah risiko tinggi untuk meningitis, sehingga sesuai dengan surat dari kerajaan Saudi Arabia bahwa setiap jemaah haji, tenaga kerja dan umroh harus mendapat imunisasi meningitis untuk mendapatkan visa .
Sumber ; Surat edaran Direktur jenderal Protokol dan konsuler, Departemen Luar Negeri. Nota D iplomatik dari Ke Dubes Saudi Arabia Jakarta no: 588/PK/VI/06/61
Hal 68 Beberapa kasus vaksinasi di mancanegara Menceritakan bahwa di Nigeria , vaksin pemberian Amerika yang membuat anak menjadi steril atau tidak akan mempunya keturunan. ”WHO telah mengirimkan sebuah tim ke dearah tersebut untuk mengevaluasi penularan polio yang dilaporkan. Tentu dengan rasa puas akan keberhasilan penyebaran penyakit”
Penjelasan
Pernyataan itu hanya sekedar isu negatif yang tidak ada buktinya.Adanya isu menjadi mandul maka imunisasi polio Nigeria dihentikan sementara , kemudian terjadi KLB polio di Nigeria yang kemudian menyebar ke Saudi Arabia dan Yaman, dan dibawa oleh TKW Indonesia sebagai karier ke Desa Girijaya Sukabumi sehingga timbul KLB polio di indonesia . Nigeria telah mengirim kan tim ke Indonesia (20 orang, 10 dari para ahli dan 10 alim ulama) untuk mempelajari pembuatan vaksin polio di Bio Farma, juga bertemu dengan Badan POM. Kemudian berkunjung ke Produsen vaksin Bio Farma Bandung . Kesimpulan akhir setelah kujungan ke Indonesia, Nigeria bersedia melajutkan program imunisasi dasar dengan sumber vaksin dari Bio Farma.
(Penelaah mendampingi tamu Nigeria tersebut saat berkunnung ke Indonesia)
Hal 72
”Cacar, Desember 2002, Menteri Kesehatan dan Pelayanan masyarakat Amerika menyatakan untuk memberikan suntikan vaksin cacar dan merekomendasikan kepada anggota kabinet lainnya untuk tidak meminta pelaksanaan vaksin itu”.
Penjelasan
Imunisasi cacar (variola) didunia telah dihentikan pada tahun 1980, sebagai salah satu tonggak keberhasilan vaksin cacar (kasus terakhir di Indonesia dilaporkan dari Tangerang tahun 1972), tanggal 25 April 1974 Indonesia dinyatakan bebas cacar, tiga tahun dari kasus terakhir di Somalia ditemukan. dunia dinyatakan bebas cacar tahun 1978 dan vaksinasi cacar dihentikan 3 tahun kemudian yaitu tahun 1981.
Ada ketakutan yang kurang beralasan dari Amerika terhadap negara lain yang akan mempergunakan vaksin cacar sebagai senjata biologis (bio terrorisme). Hal ini menyebabkan pemerintah Amerika menganjurkan pejabat parlemen Amerika untuk diimunisasi.
Sumber : Keberhasilan pemberantasan penyakit cacar di Indonesia . 2001
Bab-4 : Vaksin meningitis dan krisis kesehatan yang terjadi pada penulis
Menceritakan pengalaman setelah imunisasi meningitis.
Hal 112
”WHO adalah kendaraan penjajah yang ingin menjajah manusia di Bidang kesehatan. Dengan iklannya yang terus menerus menyatakan ”tanpa imunisasi maka manusia menjadi tidak sehat” jadi imunisasi sebenarnya adalah ujung tombak WHO untuk merusak generasi berdasarkan bisnis dan penjajahan”. WHO merupakan organisasi kesehatan dunia terdiri dari berbagai negara. Bukan hanya negara barat, tenaga kerja WHO berasal dari berbagai negara, termasuk negara berkembang dan negara Islam.
Beberapa orang terpilih dari Indonesia juga bekerja di WHO untuk menggalakkan program kesehatan dunia, juga warga negara Afrika atau Asia telah memberikan kontribusi kepada kesehatan dunia. WHO bukan hanya bergerak di bidang imunisasi, tapi juga untuk program kesehatan ibu hamil, program peningkatan gizi, ASI exclusive, penyediaan air minum, pengendalian polusi, pemberantasan penyakit menular dengan peningkatan higienitas, dll. Jadi WHO lebih banyak membantu negara miskin daripada negara kaya, untuk kesehatan umat manusia di dunia. WHO bukan lahan untuk berbisnis, namun lebih banyak pada segi kemanusiaan.
Bab -5 : Vaksinasi, trial and error dan bisnis kapitalisme.
Hal 117
”Experimen WHO di lapangan , terbukti mengakibatkan banyak kematian dan cacat pada bayi dan anak2 maupun dewasa yang berdampak pada perkembangan manusia selanjutnya”.
Penjelasan
Studi vaksin sangat cermat dan berhati-hati untuk melindungi resipien saat diberi vaksin. Selain kebaikan vaksin yang akan diterima, keselamatan resipien menjadi tujuan utama pemberian vaksin. Maka sebelum vaksin diberikan kepada manusia, vaksin telah mengalami ujipreklinik dengan percobaan binatang. Apabila percobaan pada binatang aman, maka kemudian dilanjutkan dengan uji klinik phase1 – 2 dan 3 (GCP/Good Clinical Practices) , setelah terbukti mengenai safety dan immunogenicity (keamanan dan kemampuan menimbulkan kekebalan) barulah akan mendapat izin edar dari Badan POM. Kemudian vaksin telah dipakai jutaan dosis oleh program dilakukan juga PMS (Post Marketing Surveilans) atau sama dengan phase 4. Ini adalah untuk keamanan vaksin dilapangan dan secara terus menerus akan dikaji melalui sistem monitoring PMS.
Sumber : buku biru. BPOM. : Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) . BPOM 2001..
Program imunisasi diIndonesia memakai produksi dalam negeri yaitu Bio Farma, dan kita patut bersyukur bahwa BF telah mengekspor vaksin ke lebih dari 100 negara di dunia termasuk negara-negara Islam.
Sumber : Company Profile P.T. Bio Farma.
Hal 117
konspirasi vaksinasi dan Namru-2 = senjata biologis.
Penjelasan
Tidak dilakukan evaluasi bukan porsi Sub Dit Imunisasi.
Garis besar:
NAMRU-2 tidak pernah berhubungan dengan pembuatan vaksin maupun pemberian vaksin di Indonesia. NAMRU-2, penelitian dalam bidang penyakit infeksi.
Bab-6 : hukum islam dalam penggunaan obat2an.
Hal 64
Apakah Hijamah itu?Dst secara garis besar adalah pengobatan alternatif
Bab-7 : Beberapa jenis obat yang disebut dalam Al Quran dan As sunah.
Back to nature : (dengan kurma, tajin, gandum, jinten, sayuran dll obat herbal) Obat alami (herbal) boleh saja tetap dipergunakan namun perlu diingat bahwa obat alami bersifat umum yaitu meningkatkan daya tahan, bukan mengobati penyakit secara satu per satu. Satu macam cara pengobatan dapat mengobati segala macam penyakit, tentu tidak benar . Juga sangat sulit mengukur keberhasilan pengobatannya.
Kesan :
Penulis Hj Umu Salamh SH, mempopulerkan pengobatan alternatif dan kembali ke pengobatan alami, syah2 saja, namun penjelasan tentang manfaat imunisasi patut kita luruskan. (beliau memasarkan obat-obat alami) Hj. Ummu Salamah, dkk sudah menulis surat resmi kepada IDAI tetapi sudah 2 kali dibatalkan (untuk temu muka dan berdiskusi).