Segalanya bermula dari sebuah tipu-tipu.
Suatu hari ada iklan KURSUS GRATIS dari sebuah sekolah bernama Institut Wiraswasta. Tempat kursusnya bangunan semi permanen. Ada jurusan mengetik, jurusan elektronika, jurusan bahasa Inggris dsb. Saya waktu itu masih kelas 2 SMP. Saya iseng-iseng daftar kursus mengetik. Bahasa Inggris atau Elektronika sudah dapat di sekolah. Oya, ini tahun 1981. Saat itu di kota saya di Magelang saya kira belum ada computer satupun !
Kursus dimulai. Ternyata saya murid satu-satunya. Tidak ada guru. Ada asisten, tetapi dia ternyata murid kursus juga yang sudah lebih dulu. Saya disodori diktat, suruh menyalin. Setelah selesai, kursus berikutnya mulai pakai mesin ketik jadul. Karena tidak ada pita, maka diketik pada dua lembar kertas buram yang diselipi karbon. Ketikan akan terbaca di kertas yang di bawah. Di atasnya tidak terlihat apa-apa. Saya ingat saya mesti menulis sebuah kalimat “The quick brown fox jumps over the lazy dog” 1000 kali (kira-kira 15 lembar kertas). Kalimat ini mewakili seluruh huruf latin yang ada. Kemudian setelah itu, sesuai diktat, ada sekian macam tulisan lagi yang harus diketik. Dan semua sesuai aturan, huruf a pakai jari kelingking, huruf s pakai jari manis dsb. Karena tuts mesin ketik manual kuno itu sangat berat, kuku jari kelingking saya sampai pecah!
Dua minggu kemudian, pemilik kursus datang. Ketika melihat saya sudah latihan mengetik, dia tanya, “Sudah ujian teori belum?”. Saya jawab, “belum”. “Oh, gak bisa langsung latihan praktek begini, harus ujian teori dulu!”. Ternyata untuk ujian teori harus bayar cukup mahal. Wah saya merasa ditipu. Akhirnya saya tidak datang lagi. Tapi saya sudah dapat ilmu. Biarin saja gak dapat sertifikat. Saya ingin membuktikan bahwa saya bahkan bisa lebih lancar mengetik dari mereka yang menggondol sertifikat.
Setelah itu saya mulai suka mengetik. Kebetulan tak lama kemudian kakak saya beli mesin ketik Brother, karena mulai banyak tugas kuliah. Saya menawarkan diri mengetikkan, agar saya dibolehkan meminjam untuk mengetik karangan saya sendiri. Saya memang sejak itu rajin menulis dan mengirimkan karangan ke berbagai media serta mengikuti banyak sekali lomba mengarang / karya ilmiah. Jadilah makin lama saya makin mahir mengetik. Benar-benar 10 jari, tanpa melihat keyboard. Kecepatan bisa mencapai 40 word per minute. Dan saya bahkan bisa mengetik saat lampu mati dengan hasil relatif bersih dari kesalahan !
Tahun 1987 itu computer (PC) masih sangat mahal. Sebuah computer dengan prosesor 80287, RAM 640 KBytes, dan harddisk cuma 20 MB !!!, harganya hampir US$ 4000. Mungkin anak sekarang akan koprol sambil bilang “Wow”. Jadi sementara saya hanya mengetik kalau di campus saja. Alhamdulillah, asal tidak lagi ada praktikum, semua PC di lab bebas dipakai mahasiswa. Ternyata mengetik di komputer memang jauh lebih mudah. Semua bisa diedit. Semua bisa diformat ulang. Tetapi ternyata, dengan keahlian mengetik 10 jari, saya bisa jauh lebih cepat mengetik dengan komputer dari orang lain. Saya berani adu cepat mengetik dengan semua sekretaris kantor saya saat ini he he (kalau dengan sekretaris di kantor berita Antara atau di sekretariat jenderal DPR RI ya gak lah) … :-). Kelemahan saya cuma satu: tidak punya sertifikat! Saya bisa mengikuti rapat, bahkan memimpin rapat, sambil menulis apa yang dibicarakan orang. Jadi selesai rapat, notulen rapat juga selesai. Gara-gara ini saya pernah dimarahi boss saya. “Sdr. Fahmi konsentrasi rapat saja, jangan sambil mengetik!”. He he … soalnya beliau tidak bisa seperti itu.
Ketika saya kuliah di Austria, saya sempat pula cari uang dengan mengetikkan skripsi. Lumayan juga, di sana dibayar sekitar 2 Euro per halaman. Padahal kalau sudah lancar, kita bisa dapat 8-10 halaman per jam, tergantung tingkat kerumitan yang ditulis. Namun ada juga bedanya mengetik pikiran sendiri dengan mengetikkan pikiran orang. Kadang-kadang, kalau yang saya ketik itu ada kesalahan bahasa, saya “gatel” juga untuk langsung mengoreksi. Padahal mestinya ya biarin saja ya? Kan kita cuma “copy-typist”. Tapi bisa sih diatur dalam kontrak, apakah kita sekedar mengetikkan coretan tangan cakar ayam, atau sekaligus mengetikkan yang baik dan benar …
Jadi kadang-kadang saya bersyukur … untung dulu ada tempat kursus ngetik gratis, walaupun tipu-tipu … 🙂
Data Spasial
Data Spasial adalah data yang posisi atau lokasinya berperan penting dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh: setiap orang pasti memiliki data. Ada data nama, nama orang tua, tanggal lahir, tempat lahir, sekolah, pekerjaan, hingga alamatnya sekarang. Dari data tersebut, tempat lahir, sekolah dan alamat adalah data spasial, sedang selain itu bukan data spasial. Dengan data tempat lahir dan sekolah, dapat dilacak lingkungan tempat orang itu tumbuh dewasa. Bagi sebuah institusi, informasi ini sedikit banyak dapat digunakan misalnya, untuk memberi penugasan bagi orang tersebut (misalnya survei atau pemasaran) pada lingkungan yang dia kenal baik. Sedang dengan data alamat sekarang, dapat diprediksi tingkat efisiensi perjalanan dari rumah ke kantornya.
Data spasial dapat tersimpan dalam berbagai bentuk. Yang paling sederhana adalah daftar alamat. Data tabular semacam ini, selama dapat dihubungkan dengan dunia nyata yang dikenali, adalah data spasial yang berguna. Pada level yang lebih tinggi, data spasial tersimpan dalam bentuk peta, citra satelit, hingga database geografis berformat digital.
Cerdas Spasial
Kegunaan data spasial sangat tergantung kepada kecerdasan spasial seseorang. Bagi orang yang cerdas spasial, data spasial sekecil apapun dapat dikaitkan dengan upaya optimasi aktivitasnya. Seorang atlet sepakbola yang cerdas spasial selalu memikirkan posisi bola, gawang, kawan maupun lawan mainnya. Seorang turis, selalu memikirkan lokasi perhentian angkutan umum, hotel, tempat makan dan objek yang akan dikunjunginya. Dengan itu dia merancang rute perjalanannya. Kalau tidak cerdas spasial, maka seluruh data posisi tadi tidak dia hiraukan. Bahkan tanpa cerdas spasial, data spasial secanggih apapun tidak akan berperan dalam pengambilan keputusan.
Dalam pemberantasan korupsi, cerdas spasial diperlukan baik untuk mencegah (preventif) maupun memberantas korupsi yang telah terjadi. Secara preventif misalnya, pemasangan alat GPS di tiap kendaraan suatu armada taxi, akan membuat sopir taxi tak bisa seenaknya, karena pusat taxi (call center) jadi tahu persis posisi tiap taxi. Namun pada saat yang sama sopir taxi juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taxi terdekat yang kosong. Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah wajib dilampiri peta / citra satelit yang menunjukkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya. Rakyat yang cerdas spasial juga terbantu dalam ikut mengontrol jalannya pemerintahan.
Memberantas Korupsi dengan Data Spasial
Pepatah bilang, “tidak ada kejahatan yang sempurna”. Suatu pelanggaran hukum pasti meninggalan jejak. Di antara jejak itu adalah yang menyangkut posisinya dalam ruang. Itu data spasial. Tak terkecuali kejahatan luar biasa seperti korupsi. Oleh karena itu, dapat dikembangkan berbagai teknologi informasi spasial dalam membantu memberantas korupsi. Di sisi lain, potensi teknologi ini sekaligus dapat mencegah orang untuk melakukan korupsi, karena dia sadar ada teknologi yang mampu mengungkapkannya.
Dalam tulisan singkat ini, akan ditunjukkan tiga jenis teknologi informasi spasial untuk mengungkap korupsi: (1) korupsi di kehutanan; (2) korupsi di perpajakan; (3) korupsi di sektor property.
(1) Setiap pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) diwajibkan menyetor foto / citra Landsat setiap tahun. Pemerintah ingin menilai berapa persen hutan yang benar-benar ditebang dan sejauh mana penanaman kembali. Praktek yang terjadi saat ini, foto atau citra itu sering dimanipulasi. Sepintas memang tampak mudah mengambil suatu bagian citra atas lahan yang masih berpohon untuk dicopy di bagian lain yang sudah gundul. Penebangan berlebih jadi tersembunyi. Hanya saja, teknik ini mustahil dilakukan sempurna untuk semua kanal Landsat. Dengan analisis spektrum di semua kanal akan ditemukan discontinuity. Gambar akan tampak aneh di kanal yang lain. Hanya gambar yang natural (asli) yang tidak menunjukkan efek itu. Korupsi pajak HPH dan pelanggaran konsesi yang amat membahayakan lingkungan dapat terdeteksi.
(2) Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self-assesment. Sayangnya, berbagai hal membuat tingkat kejujuran wajib pajak sangat rendah. Bahkan jumlah orang kaya ber-NPWP masih di bawah 20%. Namun dengan citra resolusi tinggi (misal Quickbird) dapat diidentifikasi dengan cepat asset-asset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya. Tentunya akan janggal bila seseorang yang memiliki rumah mewah dengan kolam renang, namun belum punya NPWP. Akan janggal pula bila sebuah pabrik yang sangat besar (tampak di citra), ternyata melaporkan jumlah produksi yang kecil – dan tentunya besaran PPN atau PPh yang kecil. Dengan ini, upaya main mata pemeriksa pajak dengan wajib pajak (dan ini korupsi “sektor hulu” terbesar) dapat dideteksi lebih awal – untuk kemudian dicegah!
(3) Di sektor property (misal pembangunan gedung, pembukaan lahan, penyiapan infrastruktur), laporan “ABS” suatu proyek property yang belum selesai – namun sudah dilaporan selesai, juga dapat lebih mudah terdeteksi. Tinggal dilakukan komparasi atas foto sebelum dan sesudah dibangun.
Anda kenal film “UP”, tentang Mr. Frederiksen (seorang tua pensiunan pedagang balon) yang berpetualang dengan Russel (anak pramuka) ke Amerika Selatan – mencari “air terjun surga” dengan mengendarai rumahnya yang terangkat dengan balon? (http://en.wikipedia.org/wiki/Up_(2009_film)).
Film yang sangat mengasyikkan dan sarat nilai itu mensisakan satu pertanyaan, “Berapa balon yang dibutuhkan untuk mengangkat seorang manusia atau bahkan sebuah rumah”. Hitungan fisika berikut ini mungkin dapat Anda coba untuk menguji kemampuan Anda menggunakan hukum Archimedes.
Diameter balon mainan ~ 30 cm –> r = 15 cm (kita anggap bulat sempurna)
Volume balon = 4/3 x pi x r^3 = 14137 cm3 = 0,014137 m3
Balon ini akan diisi helium
Massa jenis helium = 0,1785 kg/m3
Massa jenis udara = 1,204 kg/m3 (pada suhu 20 derajat Celcius)
Selisih massa jenis = 1,0255 kg/m3 (massa kulit balon sementara kita abaikan)
Daya angkat per balon = 0,014137 x 1,0255 = 0,014498 kg
Jadi untuk mengangkat 1 kg barang perlu = 1 / 0,014498 = 69 balon !
Karena itu, untuk mengangkat Russel yang gemuk dan beratnya minimal 50 kg diperlukan 3449 balon!
Dan untuk mengangkat sebuah rumah kecil dengan berat minimal 10000 kg diperlukan 689.766 balon !
Jadi kalau di film itu Russel hanya dengan sekitar 30 biji balon terbang mengejar Charles Muntz yang menculik Kevin, jelas perlu kekuatan supranatural 🙂
Dapatkah Anda memperkirakan, berapa jumlah balon yang ada di film UP?
Gambar di bawah ini mungkin bisa membantu.
Kalau hitungan saya tidak keliru, gumpalan balon itu dari bawah ke atas, itu sekitar 7x tinggi rumah, artinya kalau tinggi rumah sekitar 6 meter, maka diameter gumpalan balon Mr. Frederiksen itu sekitar 7 x 6 = 42 meter, atau Volumenya = 4/3 x pi x 21^3 = 38.792 m3.
Andaikata ini bentuk bola sempurna (bukan seperti tetes air terbalik), maka daya angkatnya sekitar 39 ton. Cukup untuk sebuah rumah beserta isinya.
Tetapi itu setara dengan balon kecil (diameter 30 cm) sebanyak = 2,7 juta balon !!!
Kalau untuk mengisi helium pada balon perlu waktu 6 detik, atau 1 menit dapat 10 balon, maka Mr. Frederiksen perlu waktu 274.400 menit atau 4573 jam atau 190.5 hari tanpa istirahat … Tetapi di film itu dia hanya butuh waktu beberpa menit saja atau maksimal 1 hari …
Tetapi di luar soal fisika, film ini memang enak dinikmat