Oleh: Dr. Fahmi Amhar
di publish Mediaumat.com (19/11/2012)
Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa. Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda? Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di bangku sekolah? Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda merasakan gunanya di kehidupan sehari-hari, dan anak-anak Anda bersemangat mempelajarinya?
Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata. Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua anak-anak yang menuntut ilmu, di mana akses sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.
Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menjadikan matematika “ramah keluarga” ini adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).
Masa remaja Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui. Yang jelas dia kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M. Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika. Dan al-Makmun tidak salah. Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga dapat dipelajari oleh anak sekolah dasar.
Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga dapat diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu memiliki judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku tentang teknik berhitung dengan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa. Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.
Algoritma akhirnya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa). Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan). Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.
Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma. Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru. Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung obyek sebanyak pasir di pantai. Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus. Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma. Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, lalu ke kiri dengan puluhan dan seterusnya. Sebagaimana huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.
Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi al-Mansur. Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik. Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet. Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”. Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.
Dengan karya ini, angka India menjadi populer. Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya. Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan akhirnya oleh ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”. Matematika akhirnya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.
Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka. Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π). Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.
Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu bangun geometri (ellips, parabola atau hiperbola) lalu pertanyaannya berapa luas atau keliling bangun tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban. Pada saat yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini. Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan lalu diselesaikan. Inilah aljabar.
Hitungan ini lalu dipakai untuk membuat berbagai benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV. Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian dipakai oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.
Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar,
Kadang-kadang ada seseorang bertanya kepada saya, “Prof, apakah saya bisa menjadi peneliti?”.
Dan kadang-kadang saya gemes dan ingin menjawab, “Biasanya kalau berbakat jadi peneliti, tidak akan pernah bertanya seperti itu”. 🙂
Peneliti itu ada dua macam: peneliti formal dan peneliti informal. Sama dengan dunia usaha, ada sektor formal yang diakui negara (karena bayar pajak) dan ada sektor informal, yang meskipun dirasakan nyata, tetapi sering tidak dihitung.
Di Indonesia, peneliti formal ada di dunia perguruan tinggi, lembaga penelitian, divisi R&D BUMN dan perusahaan swasta besar bahkan lembaga konsultan yang melakukan riset. Mereka tentu saja wajib membawa sejumlah syarat formal, misalnya minimal ijazah S1. Kalau mau jadi peneliti senior, profesor misalnya, tentu bahkan harus S3 (doktor). Selain itu, mereka wajib rajin membuat karya tulis ilmiah. Kalau tidak produktif, pasti dicopot-lah status penelitinya. Tetapi ada juga peneliti informal. Mereka adalah yang meneliti karena hobby, karena penasaran pada sesuatu, atau memang karena kebutuhan urusan/bisnis pribadinya. Mereka tidak peduli dengan status formal. Ada peneliti yang bahkan bukan sarjana. Tetapi karyanya jelas dirasakan banyak orang. Di tingkat dunia, banyak penemu teknologi yang sejatinya hanya peneliti informal. Thomas Alva Edison atau Bill Gates adalah para penemu yang gigih meneliti bertahun-tahun, sebelum karya mereka akhirnya mengubah dunia. Mereka tentu saja tidak akan lolos syarat peneliti formal, karena keduanya bukan sarjana. Mereka juga membuat tulisan yang sangat informatif, inovatif dan inspiratif bagi jutaan orang, tetapi mungkin tulisan itu juga tidak lolos standard jurnal ilmiah.
Saya saat ini menyandang predikat peneliti formal. Jabatan peneliti itu saya mulai sejak tahun 1998. Pada tahun 2010 saya bahkan sudah dikukuhkan sebagai Professor. Banyak orang melihat ini terlalu cepat. Tetapi sesungguhnya, saya sudah menjadi peneliti informal sejak tahun 1981 !!!
Benar, saya sudah menggeluti dunia penelitian sejak saya masih kelas 1 SMP !!! Apa ya buktinya? Buktinya, sejak kelas 1 SMP saya sudah gemar melakukan aktivitas yang ternyata terhitung aktivitas paling mendasar dalam penelitian, yakni membaca secara sistematis & kritis. Membaca sistematis artinya kita membaca dengan tujuan yang jelas, apa yang dicari, lalu dibuatkan summary atau dibuat klipping tema tertentu. Sedang kritis artinya, kita mendiskusikan topik itu, mencari kelebihan dan kelemahannya, bahkan membandingkan dengan tulisan lain. Kita tidak menganggap tulisan itu satu-satunya yang paling benar atau hebat. Waktu itu saya melakukan untuk tema elektronika. Saya membuat klipping rangkaian elektronika dari koran. Memang belum jurnal ilmiah. Tetapi saya sangat heran, kalau ada peneliti formal yang belum pernah melakukan seperti itu. Sekarang untuk membuat klipping semacam ini jauh lebih mudah, ada software free seperti MENDELEY yang bisa dipakai untuk mengklipping dan melakukan citasi berbagai versi dengan sangat cepat.
Aktivitas kedua adalah pengamatan. Sejak SMP, saya gemar membawa notes kecil setiap pergi ke mana-mana. Apa-apa yang menarik segera saya catat. Saya menghitung berapa langkah yang dibutuhkan dalam berjalan dari rumah ke masjid atau ke pasar. Beberapa hari saya mencatat jam berangkat dari rumah dan jam tiba di sekolah ketika saya bersepeda ke sekolah. Bahkan saya mencoba beberapa rute yang berbeda untuk membandingkan waktu perjalanannya. Saya bahkan iseng banget: menghitung jumlah pengemis yang ada sepanjang pertokoan pecinan, dari hari ke hari, sampai menjelang hari raya! Beberapa pengemis bahkan saya ajak ngobrol, saya tanya-tanya mereka dari mana, berapa uang yang didapat perhari, apakah mereka sendirian atau berkelompok, dan sebagainya. Dengan dikawani seorang teman, saya juga pernah melakukan survei menelusuri sebuah saluran irigasi yang cukup besar di Magelang (Kali Manggis) sampai ke hulunya di Kali Progo di Temanggung, sejauh kurang lebih 26 Km. Di beberapa lokasi, saya melempar botol plastik kecil untuk mengukur kecepatan airnya. Saya juga mengukur kedalaman air dan menaksir lebar sungai. Jadi saya dapat angka perkiraan debit air per detik. Kadang-kadang, sekarang saya mikir, apa kalau anak saya nekad melakukan seperti ini, bakal saya ijinkan ya? Tapi dulu Ibu saya tidak begitu tahu, bahwa saya senekad itu. 🙂
Tapi beberapa hal tidak bisa diamati begitu saja. Harus ada pengamatan yang dirancang. Bentuknya bisa eksperimen, atau untuk fenomena sosial bisa kuesioner. Saya banyak melakukan eksperimen dengan alat-alat listrik, kadang bahkan dengan tegangan tinggi. Saya membuat aquarium, di mana ikan saya masukkan, lalu saya aliri arus listrik PLN. Aman sih, karena kabelnya saya hubungkan seri dengan lampu. Tentu saja begitu elektroda dimasukkan, ikan-ikan pada pingsan. Begitu arus diputus, mereka bangun lagi … Kadang kalau saya pikir, nekad banget ya, kalau saya kesetrum gimana … Saya juga bikin kompor listrik dari batu tahu yang saya lubangi, lalu ke dalamnya dimasukkan elemen pemanas 300 Watt. Saya mencoba menghitung, berapa Rupiah yang dibutuhkan untuk mendidihkan seliter air. Ini saya kerjakan ketika saya kelas 1 SMA. Kemudian saya juga menyebarkan kuesioner ke teman-teman. Kuesioner pertama saya buat untuk tahu pendapat siswa atas tradisi memakai baju tradisional saat Hari Kartini. Ada guru-guru yang berkomentar miring, “ngapain sih bikin kuesioner segala ?” Padahal saya tidak minta bantuan apapun.
Aktivitas ketiga adalah menulis. Menulis yang tidak sekedar menulis, tetapi menuliskan hasil pengamatan, eksperimen atau hasil kuesioner kita langsung. It is very amazing! Hasilnya sering tidak terduga. Apakah Anda bisa menebak, berapa jumlah pengemis di hari biasa dan di hari Jum’at ? Benarkah tebakan Anda? Ini saya tulis. Saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah sejak kelas 1 SMP (tahun 1981). Waktu itu LKIPR Dikbud (sekarang namanya LPIR Dikbud). Tetapi tulisan saya itu cuma dari bacaan dan ditambah opini (persisnya khayalan) :-). Tentu saja tidak lolos final. Tahun 1983 (kelas 3 SMP) saya ikut Lomba Karya Ilmiah yang diadakan Cerebrovit. Ini meskipun mayoritas masih dari bacaan, tapi ada sedikit pengamatan. Topiknya tentang Hobby. Alhamdulillah juara 1. Tahun 1983 (tapi sudah kelas 1 SMA) ikut Lomba Karya Ilmiah Perminyakan dari HMTM ITB. Ini nyaris hanya dari bacaan semua. Pas final, hanya dapat juara 2, soalnya yang juara 1 pakai kuesioner. Padahal kuesionernya sederhana, tanya ke sejumlah orang seperti ibu rumah tangga, pemilik warung dsb persepsi mereka tentang BBM dan alternatifnya. Tahun 1984 (kelas 1 SMA), saya menuliskan beberapa hasil survei pedesaan saya ke LKIR LIPI. Dipanggil final. Wah pesaingnya hebat-hebat. Banon Gede Umbaran dari Semarang melaporkan penelitiannya di kampung-kampung nelayan di Pantura. Sergius Sutanto penelitian tentang pengemis di Jakarta. Tetapi pas final, yang disidang oleh para Professor (Prof. Astrid Susanto, Prof. Conny Semiawan, Prof. Doddy Tisna Amidjaya), jawaban polos saya rupayanya memukau. Mungkin mereka melihat, ini beneran meneliti, dan tingkatannya memang masih anak SMA, tidak disetir oleh gurunya. Jadi saya dikasih juara 2 bersama dengan Sergius Sutanto. Yang juara 1 tidak ada.
Sampai detik itu, memang praktis tidak ada guru yang secara khusus membimbing. Di SMP saya ketemu Pak Bambang Supriyo, guru bahasa Indonesia yang mengajari membuat klipping dan majalah dinding. Juga Pak Darodji yang mengajari survei (sinau wisata). Tapi itu diberikan ke semua siswa. Anehnya, tidak banyak siswa yang lalu tertarik meneliti. Karena tidak punya “gen” meneliti ?
Karena memang tidak ada guru yang khusus membimbing, di SMA saya nekad mendirikan sendiri Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Ya di situ secara formalitas ada juga guru yang didudukkan sebagai pembimbing. Tetapi kami lebiih sering jalan sendiri. Lha bingung, kalau mengajak guru, ternyata mereka selalu mikir SPPD-nya. Padahal kami sering jalan sendiri tanpa SPPD … he he …
Memang hidup tidak selalu linier. Ada teman-teman yang waktu SMA sama sekali tidak tertarik ikut KIR, tapi ternyata setelah mahasiswa sangat cemerlang, lalu terus sekolah di luar negeri sampai S3, dan terus jadi peneliti kelas dunia. Sebaliknya, ada juga yang dulu ikut KIR, bahkan pernah menjuarai LKIR LIPI, tapi ternyata sekarang tidak terlalu terdengar kiprahnya dalam penelitian. Meskipun yang namanya peneliti informal, itu bisa saja profesinya jadi wartawan, aktivis LSM, atau bahkan wirausaha sejati, yang menjalankan roda bisnis tidak sekedar dengan intuisi, tetapi juga research-based, meskipun produknya tidak harus berbau teknologi.
Tetapi yang saya paling sedih adalah jika ada peneliti formal yang sebenarnya tidak paham-paham juga aktivitas penelitian itu apa. Ada yang menyangka, penelitian itu cuma membaca lalu menulis. Ada yang menyangka survei itu sudah penelitian. Padahal kan tergantung yang disurvei apa, bakal ada sesuatu yang “Wow” atau tidak. Tetapi saya paling “eneg” dengan peneliti yang hanya pelarian karena tidak laku di tempat lain, dan karena itu hanya menjadi pemburu “kum” – angka kredit peneliti – yang kadang bahkan menghalalkan segala cara, seperti nitip nama, niitip judul doang (tapi idenya seperti apa tidak jelas, boro-boro menunjukkan metode penelitiannya, boro-boro ikut menulis), bahkan plagiarisme. Yah sekilas, itulah dunia peneliti, yang saya sudah mulai sejak 32 tahun yang lalu.
Banyak muslim yang sebenarnya bersemangat belajar apa saja kalau ada dorongan agama. Termasuk belajar sains. Tetapi kadang-kadang mereka membatasi sendiri rejekinya dengan belajar “SAINTIFIKASI ISLAM”, bukan Sains Islam.
Saintifikasi Islam adalah adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan yang dianggap benar dalam Islam. Pernyataan yang “taken for granted” sebagai kebenaran dalam Islam tentu saja adalah yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, baik itu mengenai suatu hal yang harus dipercaya atau suatu amal yang harus dilakukan.
Hal-hal yang harus dipercaya masuk dalam kategori aqidah. Bila sumbernya adalah Qur’an atau hadits mutawatir, kemudian dalalahnya tidak multitafsir, maka ia masuk dalam dalil qath’i, yang wajib dibenarkan secara pasti. Misalnya adalah:
– pernyataan bahwa di sekitar kita bersliweran malaikat, jin dan setan; malaikat rahmat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya, sholat shubuh dan ashar disaksikan oleh dua malaikat, di tengah pasangan pria-wanita bukan mahram yang berdua-duaan terdapat setan, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah mengutus banyak Nabi di berbagai tempat, masa, dan dengan berbagai mukjizatnya, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama, Nabi Nuh disuruh membuat perahu, Nabi Musa pernah membelah Laut Merah, Nabi Sulaeman pernah berbicara dengan binatang, Nabi Isa pernah menghidupkan orang mati, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah telah menurunkan berbagai kitab suci, yang di dalamnya berisi ajaran tauhid dan mengabarkan akan kedatangan Nabi Muhammad.
– pernyataan bahwa alam semesta ini dulu diciptakan dan nanti alam semesta akan mengalami kiamat berikut tanda-tandanya, lalu setelah itu manusia akan dibangkitkan dan akan ditempatkan di surga atau di neraka.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah hal-hal yang ada di luar dunia empiris, sehingga nilai kebenarannya sangat tergantung pada sejauh mana penerimaan seseorang pada dalil qath’i yang menjadi sumbernya.
Sedang hal-hal yang harus dilakukan termasuk amal baik dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan manusia lain. Misalnya adalah:
– sholat Shubuh 2 rokaat, sholat Maghrib 3 rokaat, yang lain 4 rokaat
– sholat tahajud dll sebagai amalan sunnah.
– puasa di bulan Romadhon, dan beberapa jenis puasa sunnah.
– makan-minum yang halal dan thayyib, dan beberapa jenis makanan/minuman yang diharamkan.
– penggunaan busana yang menutup aurat.
– bentuk pergaulan laki-perempuan (pernikahan) yang disahkan.
– syariat wudhu dan mandi janabat.
– tatacara pengurusan jenazah.
– pengaturan ekonomi yang bebas riba, maisir, gharar dsb.
Nah, SAINTIFIKASI ISLAM berkutat pada masalah-masalah “sains” di balik semua pernyataan yang diasumsikan benar dalam Islam ini. Jadi penelitian-penelitian di bawah ini masuk kategori saintifikasi Islam:
– penelitian mendeteksi kehadiran malaikat dengan Infrared, radiasi Gamma atau Neutrino, “dikontrol” dengan beberapa amalan & kondisi khusus; apakah benar pada ruangan yang diselenggarakan sholat shubuh berjamaah dapat dideteksi tanda-tanda kehadiran lebih banyak malaikat?
– penelitian menguji kebenaran pernah terjadinya mukjizat para Nabi, misalnya:
— pencarian footprint Adam & Hawa ketika turun dari surga,
— pencarian relik kapal Nabi Nuh,
— menganalisis berbagai proses terjadinya pembelahan laut Merah,
— membuktikan bahwa Firaun memang mati tenggelam di laut tapi jasadnya terselamatkan,
— mencari bekas 12 mata air Nabi Musa,
— mencari fossil hewan yang pernah berbicara dengan Nabi Sulaeman
— mencari gua Ashabul Kahfi dan mempelajari efek terowong waktu,
— mencari fossil mayat yang konon pernah dihidupkan Nabi Isa,
— mencari bekas bulan yang terbelah di masa Nabi Muhammad, dsb.
– penelitian manuskrip-manuskrip kuno yang diklaim sebagai Kitab Nabi Musa, Daud, Isa dsb.
– penelitian keberadaan “terompet Israfil”, pintu neraka dsb.
– penelitian EKG & EEG pada orang yang sholat khusyu’.
– penelitian fisiografis & psikografis pada orang yang sedang puasa.
– penelitian dampak jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi, bangkai, darah).
– penelitian kesakitan yang diderita ternak saat disembelih dengan cara syar’i dan non syar’i.
– penelitian dampak sosiologi dan ekonomi pada penggunaan busana muslimah.
– penelitian dampak khitan pada kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologis.
– penelitian komparasi pada mereka yang polygami dibandingkan dengan yang non polygami.
– penelitian dampak wudhu & mandi janabat pada berbagai aspek kesehatan
– penelitian dampak beberapa jenis pengurusan jenazah (dikubur, dibakar, dibalsem, …).
– penelitian kondisi ekonomi pada beberapa tingkat suku bunga.
– penelitian tentang efektifitas mata uang tunggal berbasis emas/perak.
Penelitian-penelitian saintifik tentang hal-hal di atas selalu menarik (amazing) bagi kaum muslimin, sehingga bahkan kadang-kadang lupa menguji kebenaran sainfitiknya ketika kesimpulannya sudah seolah-olah mendukung dalil. Banyak paper yang diklaim sebagai hasil penelitian orang Barat (non muslim) yang mendukung klaim kebenaran dalil itu, ketika ditelusuri ternyata tidak ditemukan. Semua link mengarah ke situs-situs milik muslim sendiri, dan itupun bukan sebuah karya yang dapat dikategorikan penelitian ilmiah (yang harus memenuhi syarat transparan, replicable, consistence dan explaining). Ketika rujukan itu tidak ditemukan, sering penjelasannya hanya, “ada konspirasi untuk menutupi kebenaran Islam”.
Sebaliknya ketika hasil penelitian berlawanan dengan yang dikehendaki, misalnya bahwa “tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang terbiasa mengkonsumsi babi dengan yang tidak”, maka tulisan ini cenderung dijauhi. Ini contoh suatu bentuk “kepengecutan ilmiah”. Seharusnya biarkan saja, toh nanti setiap riset akan diverifikasi dan direlatifkan oleh riset berikutnya, selama proyek “saintifikasi Islam” ini tidak menyedot energi utama ilmuwan muslim.
Yang benar adalah, meski riset-riset saintifikasi Islam ini “amazing”, tetapi dia sama sekali “not worth” (mengasyikkan, tetapi tidak ada manfaatnya), karena tidak akan mempengaruhi apapun pada nilai kebenaran dari pernyataan dalil yang harus diyakini maupun diamalkan.
Yang harus dipahami juga adalah, bahwa ada beberapa pernyataan di dalam Qur’an & Sunnah yang tidak masuk dalam dalil qath’i, karena dalalahnya multitafsir, sedang objeknya adalah dunia empiris, sehingga pantas bila diteliti secara saintifik. Inilah yang masuk kategori SAINS ISLAM. Misalnya persoalan:- apakah bumi yang mengitari matahari atau matahari yang mengitari bumi ?
– seberapa besar sebenarnya “langit dunia” itu ?
– seperti apa sesungguhnya mekanisme “air laut yang tidak tercampur” itu ?
– sejauh mana Habatussaudah bisa benar-benar “mengobati segala penyakit kecuali maut” ?
– bagaimana saja khasiat dalam jahe, sehingga disebut campuran minuman ahli surga ?
dsb.
Wallahu a’lam bis shawab