Hidup ini tidak linier.
Kadang-kadang, istri saya membandingkan Fahri (anak ketiga) dengan Fitri (anak pertama). Pada usia 3 tahun dulu, bicara Fitri sudah jelas, membaca dikit-dikit sudah bisa, beberapa doa-doa sudah lancar. Fahri belum, meskipun motoriknya bagus, usil (dalam bahasa Jawa: “petakilan”) dan pokoknya “rame” banget. Dulu ibu saya juga suka membandingkan saya dengan beberapa teman atau sepupu, yang konon tulisan mereka lebih rapi atau belajarnya lebih rajin. Tetapi ketika saya mendapat beasiswa sekolah ke Luar Negeri, semua komentar itu tentu saja terhenti dengan sendirinya.
Saya bilang, hidup ini tidak linier. Seseorang yang di suatu masa dilebihkan atau dikurangkan, tidak selamanya begitu. Semua yang didapat seseorang di suatu masa, itu hanya modal dari Sang Maha Pencipta untuk kehidupan selanjutnya. Yang dihitung adalah amal, sejauh mana performance seseorang dalam membuat nilai tambah dari modal tersebut. Nilai tambah ini ada yang berupa fisikal, finansial, emosional, intelektual ataupun spiritual. Tak heran bila Rasulullah mengajarkan kepada kita doa: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dien (=spiritual), wa afiatan fil jasadi (=fisikal), wa ziyadatan fil ilmi (=intelektual), wa barakatan fi rizki (=finansial) wa taubatan qablal maut (=emosional).
Kadang-kadang orang melihat diri kita hanya sebagai kita sekarang. Saya sendiri sering dilihat sebagai “orang yang beruntung” – minimal beruntung dari sisi pernah menikmati pendidikan S1-S3 di Austria, meraih Doktor pada usia 29 tahun dan jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e pada usia 39 tahun. Beberapa orang bertanya apa kunci suksesnya. Saya katakan, semua ini hanya merupakan satu mata rantai dari sebuah mosaic. Ada masa lalu, yang tanpa itu semua tidak terjadi. Dan ada masa depan yang masih menanti.
Kalau kembali ke tahun 1973, tahun ketika saya masuk Taman Kanak-kanak, dan ayah saya berhenti bekerja karena dua hal: lapak dagangnya digusur dan diikuti penyakit glaukoma yang merenggut penglihatannya, tentu saat itu tidak ada harapan yang muluk-muluk di keluarga kami. Saya menapaki masa-masa sekolah dari TK hingga SMA dalam situasi yang mungkin jarang dirasakan anak-anak lain: yakni hampir tidak pernah jajan karena juga hampir tidak pernah dibekali uang saku! Kalau habis pelajaran olahraga, anak-anak lain langsung menyerbu warung, saya ya biasa saja tidak ikut ke warung. Haus ditahan. Kadang sih bawa air putih dari rumah. Alhamdulillah kebiasaan itu menjadi salah satu “faktor sukses” ketika saya belajar di Luar Negeri. Sepuluh tahun di Austria, saya tetap saja tidak akrab dengan kantin Universitas. Lebih banyak bawa bekal yang disiapkan sendiri. Jauh lebih murah dan dijamin halal.
Karena kami keluarga besar (total sembilan bersaudara), sementara kondisi ekonomi cukup memprihatinkan, hanya dua kakak saya pertama yang sempat kuliah dengan biaya orang tua. Ayah sangat berharap mereka sukses dan menjadi lokomotif bagi adik-adiknya. Sayang, harapan ini tidak tercapai. Kakak saya ketiga masuk STM dan pernah bekerja serabutan dengan ijazahnya, sebelum sepuluh tahun kemudian diterima di perusahaan minyak asing. Kakak saya keempat masuk Akabri karena alasan simpel saja: sekolahnya gratis. Kakak saya kelima dan keenam masuk sekolah menengah kejuruan farmasi, sehingga setelah lulus langsung dapat cari uang dengan jaga apotik. Belakangan kakak-kakak ini yang lalu patungan membiayai adik-adiknya, yang nomor tujuh dan delapan, yang kebetulan perempuan.
Kondisi ekonomi juga membuat kakak-kakak saya kreatif menciptakan pekerjaan. Ada yang bikin layang-layang lalu dijual. Ada yang memelihara ulat sutera untuk diambil benangnya. Ada yang melukis kartu lebaran lalu ditiipkan di toko-toko. Ada yang mengkreditkan baju ke teman-temannya. Saya sendiri kebagian menjaga warung material bangunan dan membesarkan bibit cengkeh. Dan ini saya lakukan kelas 3-4 SD!
Di masa SMP, saya mendapat dua “mentor” yang banyak berpengaruh dalam hidup saya. Pertama seorang guru Bahasa Indonesia yang masih muda namun sangat inspiratif, mendorong murid-muridnya mengarang dan membuat majalah dinding. Dan kedua seorang mahasiswa fisip yang mengumpulkan remaja di kampung dan diprovokasi untuk jadi militan, berani mengungkapkan pendapat – termasuk di muka umum. Herannya, dari sekian banyak murid dan remaja kampung yang bertemu mentor tersebut, sejatinya tidak banyak yang kemudian “jadi”.
Di masa SMP itulah saya merasakan kemampuan menulis bisa menjadi salah satu bekal hidup saya. Saya mulai menulis di media massa. Mulai dari cerpen, puisi, dan reportase singkat. Saya juga mulai mengikuti berbagai Lomba menulis atau Karya Ilmiah. Dari uang yang saya dapat, saya mulai membiayai sekolah saya sendiri. Bahkan sedikit-sedikit ikut menyumbang kakak-kakak saya kalau ada keperluan biaya sekolahnya …
Namun sejatinya banyak juga ketrampilan yang saya pelajari untuk jaga-jaga di kemudian hari. Saya belajar menservis elektronik, fotografi hingga mengetik. Ada kursus mengetik yang katanya gratis. Saya ikut dua minggu. Eh rupanya kursus itu ada tipu-tipunya. Setelah dua minggu, harus naik level, dan untuk itu ada ujiannya, nah untuk ujian itu siswa diminta membayar cukup mahal. Saya berhenti kursus, namun keahlian mengetik itu terbawa sampai sekarang – meskipun tidak punya ijazah mengetik. Alhamdulillah dengan honor tulisan, saya kemudian dapat membeli mesin ketik (manual) sendiri. Jadilah, hampir tiap hari di rumah tak tik tuk tak tik tuk cling ….
Keahlian mengetik sangat penting, sekalipun sekarang sudah pakai komputer. Kita jadi tidak perlu melihat keyboard lagi. Dan kecepatannya: boleh dech balapan sama para sekretaris … he he … Dan itu pernah terpakai. Ketika di Luar Negeri, ada masa-masa paceklik, ketika beasiswa sudah tidak ada. Saya sempat jadi tukang ketik skripsi. Lumayan, dapat sekitar 30 Austrian-Schilling (sekarang kira-kira 3 Euro) per halaman.
Namun hobby saya menulis tidak selalu terakomodir oleh lingkungan. Karena sering dipanggil final Lomba Menulis di luar kota, saya jadi sering meninggalkan sekolah. Akibatnya sebagian nilai pelajaran saya di SMA jadi kebakaran. Bukan karena tidak bisa mengerjakan, namun karena terkadang tidak diberi kesempatan test-susulan. Saya tahu, sikap guru-guru terbelah. Anehnya, guru pelajaran Bahasa Indonesia termasuk yang kurang kondusif pada aktivitas kepenulisan ini.
Pada saat kelulusan SMA, saya tidak termasuk lima puluhan siswa yang beruntung lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa test (jalur PMDK). Sebagian orang heran, sebagian gembira (“rasain loh, emang enak ..”), sebagian lagi kecewa. Dari wajahnya, saya tahu ibu saya termasuk yang kecewa. Kalau ayah saya waktu itu masih hidup, tentu beliau juga amat kecewa. “Makanya, jangan cuma mengetik melulu” …
(bersambung)
Sebagai pejabat struktural, saya kali ini harus mengisi form Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) anak buah saya yang 19 orang. Ternyata mengisi DP3 ini ada “tradisi” yang cukup unik. Saya kira tradisi ini merata di seluruh lembaga pemerintah.
Pertama, kolom kesetiaan, nilainya harus 91 ke atas (amat baik), karena kalau kurang, orang akan diragukan kesetiaannya. Kesetiaan pada siapa? Tentu saja pada Pancasila! Jadi biarpun kita tahu, ada staf yang bikin “kantor dalam kantor”, atau tiap hari kerjaannya lebih banyak ngerumpi, tetap saja harus nilainya minimal 91. Mungkin kesetiaan pada institusi dianggap tidak berhubungan dengan kesetiaan pada Pancasila.
Kedua, kolom kepemimpinan, hanya boleh diisi untuk yang menjabat struktural. Jadi biarpun ada staf yang sangat piawai memimpin tim survei atau sukses jadi ketua panitia seminar internasional, selama dia tidak menyandang jabatan struktural, kolom itu tidak boleh diisi. Padahal kalau dipikir-pikir, kalau kita sedang mencari calon pejabat struktural, mestinya ya selain mempertimbangan Daftar Urut Kepangkatan (DUK), kita juga melihat nilai kepemimpinan ini. Dan juga, jika kita merujuk PP no 10/1979 pasal 4 ayat 3, di situ disebutkan, “Usur kepemimpinan dinilai bagi PNS yang berpangkat Pengatur Muda golongan ruang II/a ke atas yang memangku suatu jabatan”. Coba dipikir, mana ada golongan II/a yang memangku jabatan. Eselon terrendah yaitu eselon V, minimal dijabat oleh golongan III/a. Jadi terus jabatan dalam PP tadi jabatan struktural apa? Kalau non struktural, seperti jadi ketua tim atau ketua panitia, tentu masuk akal.
Ketiga, nilai tahun ini tidak boleh lebih rendah dari tahun lalu. Wah ini yang paling susah. Kadang-kadang, nilai tahun lalu sudah “terlalu tinggi”. Apalagi kalau ganti job-desc atau ganti pejabat, dan pejabat sebelumnya mempersilakan staf untuk mengisi sendiri nilainya. Bisa saja tahun lalu misalnya, tanggung jawab diisi 95 (amat baik), padahal sekarang faktanya, banyak yang “adakalanya terlambat melaksanakan tugas atau tepat pada waktunya tapi kurang lengkap” – sehingga harusnya nilainya hanya “cukup” (61-75) saja, atau bahkan “ada kalanya meninggalkan tempat tugasnya” dengan nilai sedang (51-60). Jadi gimana ya?
Katanya sih DP3 ini hanya formalitas belaka. PNS bisa naik pangkat otomatis setiap 4 tahun sekali selama seluruh angka DP3 minimal “baik”. Tapi buat apa bikin aturan seperti ini, jika tradisi kita tidak sejalan dengan jiwa peraturan itu ya? Akibatnya ada juga PNS yang ditunda-tunda kenaikan pangkatnya, padahal semua DP3-nya baik. Mungkin karena atasan yang berwenang tidak suka dengan PNS tersebut, jadi dipending saja berkas kenaikan pangkatnya. Dan seperti biasanya, tidak ada penjelasan yang resmi. Kita ini mungkin bangsa yang paling menderita sindrom kompleks: “informal-formalism” — semua maunya formal, tetapi yang terjadi dan yang sesungguhnya berkuasa adalah kekuatan informal dan paham informal.
Apa pendapat anda?
Sekali ini bukan tulisan yang dipublikasikan di media massa (cetak) …
Senin (1 Okt 2007) lalu saya menerima surat PAK (Penetapan Angka Kredit) dari Kepala LIPI no. 1580/D/2007 tertanggal 26 Juni 2007. Intinya saya telah meraih AK 1173.8, dan dapat diangkat dalam jabatan Peneliti Utama Gol IV/e (dulu “Ahli Peneliti Utama” alias APU) mulai 01-07-2007, bidang Sistem Informasi Spasial. Ya inilah mungkin maksimal yang dapat diraih seorang pejabat peneliti.
Saya tinggal nunggu waktu orasi ilmiah untuk dilantik sebagai Professor Riset. Tetapi aturan yang ada sekarang mengatakan, untuk itu pangkat PNS-nya harus sudah IV/e juga. Saya sekarang baru IV/b (t.m.t. 1 April 2006). Jika saya tiap 2 tahun naik pangkat, maka baru 1 April 2012 saya IV/e, artinya baru 2012 itu bisa dilantik jadi Professor Riset. Itu juga kalau masih hidup 🙂 dan itu juga kalau LIPI masih ada …
Jadi ingat iklan rokok “Yang Muda Yang Gak Boleh Bicara …”. Usia saya baru 39 tahun, jadi ya masih terhitung muda lah … he he … Adik kelas saya di Wina (www.ipf.tuwien.ac.at) dulu, kelahiran 1969, dan 2001 sudah jadi Professor (usia 32 tahun). Kalau dia hidup di Indonesia … capek dech … 🙂
Tapi itulah realita. Sebenarnya saya hanya ingin menunjukkan bahwa jadi APU itu tidak hebat-hebat amat. Tidak perlu dibandingkan dengan kolega di Luar Negeri. Di Indonesia juga banyak yang bisa jadi APU – meski kemudian “gak bunyi”. Jangan-jangan saya termasuk itu juga ya … Obsesi saya bikin buku-buku yang menjadi trendsetter di bidang keahlian saya, atau mempatenkan suatu teknologi yang laris manis, atau menginisiasi suatu lembaga (perusahaan, LSM) yang berpengaruh, juga belum tercapai. Tapi gini-gini saja koq sudah APU ya ???
Tapi di sisi lain saya lihat ada juga orang-orang cerdas nan tekun yang menghasilkan karya-karya hebat yang sesungguhnya, tetapi tidak sempat ngurus jabatan fungsional penelitinya. Yang kasihan, secara administratif orang-orang ini nantinya akan dinilai oleh rekan-rekannya yang hanya sibuk ngumpulin AK tanpa menghasilkan karya yang sesungguhnya.
Dan saya pengalaman: sekedar ngumpulin AK itu tidak susah-susah amat. Yang susah itu mempertanggungjawabkan terutama kepada Tuhan, dan kepada rakyat yang telah membayar tunjangan peneliti dan dana penelitian melalui pajak.
Yang susah juga adalah sistem birokrasi di Indonesia. Karena sekarang saya gol IV/b, saya diserahi tugas jadi Kepala Balai Penelitian Geomatika (eselon III/A). Saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan di posisi ini. Secara finansial gak ada untungnya … tunjangan fungsional saya sudah lebih tinggi dari tunjangan struktural. Tahun depan saya IV/c, dan itu berarti – menurut pemahaman Kepala Biro Kepegawaian di Lembaga saya – tidak boleh menjabat eselon III.
Jadi ada dua kemungkinan: saya tidak boleh naik pangkat pilihan (sekalipun sudah ada Kepres yang mengangkat saya menjadi Peneliti Utama IV/e), atau saya harus mengundurkan diri dari Kepala Balai. Kalau disuruh milih, sepertinya milih mundur saja.
Jadi Peneliti bagaimanapun lebih bebas, tidak harus rapat hampir tiap hari, tidak harus tanda tangan soal keuangan atau personil, yang kadang dirasa belum sreg benar, tetapi someone must do that job!
Sejak jadi Ka Balai, saya juga hampir tidak sempat menulis paper ilmiah lagi. Untungnya tidak lagi harus ngumpulin AK lagi (kecuali cuma Maintanance, 20 AK per tahun). Tapi rasanya sayang ya … Yang sempat tinggal jadi “selebriti”. Nulis populer di media massa alhamdulillah masih bisa. Tapi mudah-mudahan dengan amanah yang ada ini, saya bisa memberi manfaat lebih besar ke lebih banyak orang.
Saya sering gundah kalau belum bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Padahal di hadapan Tuhan nanti yang penting bukan apa gelar, jabatan atau penghasilan yang kita raih tetapi sejauh apa itu bermanfaat bagi kemanusiaan?
Kata Rasul: sebaik-baik mu’min adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lain.