Berapa bahasa asing yang Anda kuasai?
Berapa tahun Anda belajar bahasa tersebut?
Apakah Anda percaya diri berkomunikasi dengan bahasa itu?
Sekarang ini, banyak orang menawarkan training untuk menguasai bahasa asing. Ada yang dengan jargon “Enam minggu percaya diri berbahasa Inggris”. Ada juga bahkan “Enam jam percaya diri berbahasa Inggris” … Anda percaya, dan mau keluar uang untuk ikut kursus itu?
Saya tidak menampik bahwa ada orang-orang yang memang dikarunia kecerdasan linguistik yang luar biasa. Sewaktu di Austria, saya mengenal seorang Profesor kimia yang memiliki hobby bahasa. Beliau menguasai secara aktif 10 bahasa asing, yaitu (kalau tak salah 🙂 Jerman (bahasa ibu) – Inggris – Perancis – Spanyol – Italia – Turki – Arab – Jepang – China – Thai. Dan dia waktu itu ingin belajar bahasa Indonesia dengan kami – mahasiswanya.
Tetapi mayoritas atau rata-rata orang, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menguasai satu bahasa asing saja. Di sekolah, anak-anak kita sejak kecil diberi pelajaran bahasa Inggris, bahkan di SDIT juga bahasa Arab. Kalau mereka lulus SMA, mereka telah menelan 12 tahun pelajaran bahasa Inggris dan 12 tahun bahasa Arab? Apakah mereka sudah bisa kita ajak ngobrol atau surat menyurat dengan bahasa itu? Jawabnya pasti: tergantung ! Tetapi saya mengamati: mayoritas tetap tidak percaya diri.
Sebagai orang yang lahir di Jawa Tengah, bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa. Kemudian, di kelas 1 SD, pelan-pelan saya mulai belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hanya dua bahasa itu yang diajarkan di SD saya saat itu.
Di rumah, karena ayah saya mahir bahasa Arab, saya dilatih small-talk bahasa Arab. Kalau ada tamu yang juga ustadz atau kyai, ayah saya suka memamerkan “kebolehan” saya bercakap-cakap ringan dalam bahasa Arab. Namun pelajaran bahasa Arab ini kemudian terhenti ketika ayah saya sakit, bahkan lalu meninggal dunia.
Di SMP-SMA kita semua belajar bahasa Inggris. Tetapi saya kira, guru-guru kita sendiri masih baru “teaching as usual”. Di SMA bahkan salah satu guru bahasa Inggris saya hanya menekankan grammar. “Conversation itu tidak akan keluar di EBTANAS ataupun Sipenmaru”, katanya. Wow … bener juga sih.
Pada saat kelas 2 SMA, saya pernah ikut test seleksi peserta American Friendship Service (AFS). Ujiannya 3x. Ujian pertama: pengetahuan umum dan mengarang dalam bahasa Inggris. Yang lulus, ikut ujian ke-2: Wawancara dalam bahasa Indonesia (tentang motivasi ikut AFS) dan Wawancara dalam bahasa Inggris. Yang lulus, ikut ujian ke-3: diskusi kelompok (dalam bahasa Indonesia). Sewaktu ujian pertama mengarang dalam bahasa Inggris, saya menulis seluruh karangan saya terlebih dulu dalam bahasa Indonesia, baru menerjemahkannya dalam bahasa Inggris. Saya kira karangan saya jelek sekali. Tetapi saya lolos ke ujian ke-2. Wawancara dilakukan oleh anak AFS dari Amerika yang sekolah di Indonesia. Sepertinya sedikit nyambungnya … he he … tetapi saya beruntung lolos ke ujian ke-3. Diskusi kelompoknya membahas isu-isu kontroversial. Tapi dari sekian belas orang yang sampai ujian ke-3 ini hanya dipilih 1-2 orang saja. Dan saya alhamdulillah tidak terpilih !!! Kalau saya terpilih, mungkin jalan hidup saya akan sangat berbeda.
Ketika baru duduk 1 semester di ITB, saya lolos tes beasiswa LN OFP-Ristek, sehingga saya dipanggil untuk kursus bahasa Jerman di Goethe Institut Jakarta. Seperti diketahui, bahasa yang dipakai di Austria adalah bahasa Jerman, sama seperti di Republik Federasi Jerman dan Swiss. Hanya di Swiss, bahasa resminya ada 4, selain Jerman juga Perancis, Italia dan Ratoroman.
Di Goethe Institut kami belajar 5 jam sehari x 5 hari/minggu. Bahasa Jerman diajarkan dengan pengantar bahasa Jerman juga. Kami cuma dikasih Glosarry, seperti kamus tetapi tidak urut abjad, melainkan urut kata-kata yang keluar selama pelajaran. Gurunya separo orang Indonesia dan separo orang Jerman. Tidak semua orang Jerman bisa jadi guru di Goethe Institut lho, mereka harus lulus sekolah mengajar bahasa Jerman untuk orang asing.
Setelah dua minggu kursus, kami kedatangan seorang Profesor dari Austria yang akan mewawancarai kami. Tahu kami baru kursus dua minggu, dia coba menanyai kami dalam bahasa Inggris. Tetapi ternyata, dengan kursus dua minggu itu, bahasa Inggris yang telah saya pelajari enam tahun, seperti terhapus oleh bahasa Jerman.
Setelah kursus sekitar lima bulan, kami menghadapi ujian Zertifikat Deutsch als Fremdsprache (ZDaF). Mungkin mirip TOEFL. Bentuk ujiannya ada 5: LV (Leseverstehen – Membaca & Memahami), HV (Hoerverstehen – Mendengar & Memahami), SA (Schriftliche Ausdruck – Mengarang), SW (Strukturen & Wortschatz – Tatabahasa & Kosakata) dan MA (Mundliche Ausdruck – Berbicara). Saya mendapat nilai 96,5 (dari max 120). Wah jadi sangat percaya diri.
Sampai di Austria, kami dikursuskan bahasa Jerman level Universitas, karena agar diterima di Universitas, setiap mahasiswa asing harus lulus Universitaet SprachPruefung (ujian bahasa universitas). ZDaF saja tidak cukup. Alhamdulillah, setelah dua bulan, saya mengantongi ijazah USP ini.
Kuliah pun dimulai. Dari 70-an mahasiswa, yang orang asing cuma 2 orang, termasuk saya. Stress-pun dimulai. Waktu itu, proyektor LCD + Powerpoint belum ada. Dosen paling hanya memakai OHP, tetapi lebih banyak yang menulis mind-map-nya di papan tulis. Saya yang jadi bingung, apa yang mau ditulis, apalagi ternyata banyak dosen yang ngomongnya secepat kereta api. Akhirnya saya selalu duduk di samping mahasiswa bule. Kalau dia nulis, saya ngelihat apa yang dia tulis, kalau perlu tanya, lalu saya tulis juga. Saya tidak akan fotocopy. Memang mungkin terlihat kekanak-kanakan buat saya, dan agak mengganggu bagi si bule, tapi ya itulah yang harus saya jalani beberapa bulan. Lebih repot lagi, ada mata kuliah Pengantar Hukum Konstitusi dan Administrasi (Verfassung & Verwaltungsrecht) yang dosennya tidak pernah menulis. Dia datang, duduk di meja, lalu cerita. Akhirnya saya menghadapnya, tanya buku apa yang paling praktis untuk saya baca agar saya mengerti apa yang dia ajarkan. Buku itu lalu saya cari di perpustakaan, kemudian saya membaca semua bab sebelum dia ajarkan. Hasilnya, di akhir semester, saya malah mendapat nilai tertinggi untuk mata kuliah itu.
Sejak di Austria, Bahasa Jerman saya tumbuh lumayan pesat. Bangun tidur, wecker radio langsung menyapa dalam bahasa Jerman full. Dan saya tinggal di asrama yang isinya tidak ada orang Indonesia lain. Dan waktu itu internet juga belum ada, sehingga kita benar-benar dipaksa berkomunikasi hanya dengan bahasa Jerman. Bahkan saya mencoba menulis buku harian dalam bahasa Jerman. Hasilnya, setelah dua tahun, saya bahkan bisa mimpi dalam bahasa Jerman !!!
Di tahun kedua saya memiliki tetangga yang mahasiswa doktorat dari Mesir dan Thailand, yang selalu berkomunikasi di antara mereka dalam bahasa Inggris. Akhirnya saya mulai belajar lagi berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Saya usahakan setiap jadwal masak & makan bersamaan dengan mereka, supaya bisa ngobrol dalam bahasa Inggris. Tetapi lucunya, kalau saya ragu-ragu, reflek saya adalah mencarinya kembali ke bahasa Jerman. Kamus yang saya pakai adalah kamus Jerman-Inggris. Belakangan, saya menulis thesis S2 saya dalam bahasa Jerman, tetapi disertasi S3 saya putuskan dalam bahasa Inggris – lebih agar mudah diakses orang dari seluruh dunia. Bahasa Jerman cuma digunakan oleh kurang lebih 120 juta orang; sedang bahasa Inggris oleh 750 juta orang. Di PBB, bahasa resmi dunia ada 6: Inggris – Perancis – Spanyol – Rusia – Arab – China.
Setelah bahasa Jerman saya mantap, serta terinspirasi oleh profesor kimia yang hobby bahasa tadi, saya mencoba belajar beberapa bahasa lainnya. Kebetulan di masjid khutbah disampaikan dalam bahasa Turki. Maka saya lalu belajar bahasa Turki. Wow, ternyata bahasa Turki lebih rumit dari bahasa Jerman. Kemudian saya sempat punya teman pena orang Belanda. Karena ada kedekatan bahasa Jerman dengan bahasa Belanda, saya sempat beberapa lama berkorespondensi dalam bahasa Belanda. Kemudian ketika tahun 1988 saya berkeliling Eropa, saya membawa kamus-kamus kecil untuk mempelajari bahasa-bahasa negeri yang saya lewati : Perancis – Italia – Spanyol – Yunani. Kalau cuma untuk little talk (sekedar bilang selamat pagi, mana arah ke …….. , berapa harganya, dll) ternyata memang tidak membutuhkan waktu yang lama. Tetapi belajar seperti ini ya cepat lupa lagi.
Di tahun ke-4 di Austria, saya iseng-iseng ikut kuliah bahasa Arab di Universitas Wina. Cuma 2 x 2 jam/minggu. Di sini ikut kuliah apa saja bebas, dan waktu itu tidak perlu bayar. Semula saya merasa paling hebat, karena dari seluruh mahasiswa, mungkin saya yang sudah hafal huruf Arab duluan. 🙂 Tetapi ternyata mind-set ini kurang baik. Ternyata pelajaran berjalan cepat. Dari awal, bahasa Arab diajarkan tanpa tanda harakat (syakal). Dari awal: arab gundul. Ujian Semester adalah potongan koran berbahasa Arab lalu pertanyaan-pertanyaan, yang juga dalam Arab gundul. Wow … nyerah dech … Sepertinya memang harus seserius atau bahkan lebih serius dari ketika saya belajar bahasa Jerman dulu.
Bahasa Arab adalah bahasa persatuan Islam dan konon akan menjadi bahasa di Surga. Tetapi saya yakin, orang yang dimasukkan Allah ke surga, pasti otomatis akan bisa berbahasa Arab, sekalipun di dunia satu hurufpun tak kenal, karena di surga itu segala keinginan akan terkabul. Sedang sebagai bahasa persatuan, bahasa Arab tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sumber-sumber ilmu dan sejarah Islam semua dalam bahasa Arab. Tetapi memang tidak otomatis bisa bahasa Arab akan mengantarkan orang ke pemahaman Islam yang benar. Andaikata begitu, niscaya semua orang di Timur Tengah yang dari kecil lancar berbahasa Arab akan ber-Islam dengan benar. Faktanya kan tidak begitu. Oleh sebab itu, belajar bahasa Arab dan belajar Islam keduanya harus dilakukan. Belajar bahasa Arab agak sulit dengan “sambil lalu” – “sambil baca kitab di halaqah”, apalagi dengan musyrif yang bahasa Arabnya juga masih belum kokoh. Kalau seperti ini, hasilnya malah kemampuan bahasa Arab tidak dapat, dan materi halaqah juga tidak tertransfer dengan sempurna.
Kursus-kursus singkat yang ditawarkan (dari yang 6 minggu sampai 6 jam) tidak lain hanya memberi motivasi saja. Buat beberapa orang, motivasi ini dapat menjadi cambuk mereka belajar selanjutnya, baik mandiri atau dengan komunitasnya. Percaya diri berbahasa asing itu tidak perlu menunggu fasih berbahasa asing. Tetapi walau baru little-talk (lebih rendah dari small-talk), percaya diri ini sangat perlu. Kalau sudah tidak percaya diri, maka bahasa yang telah dipelajari tidak akan pernah dipraktekkan, padahal kemampuan bahasa itu tumbuh seiring dengan praktek.
Hal ini ternyata tidak cuma untuk bahasa manusia. Bahasa komputerpun demikian. Setelah saya percaya diri dengan bahasa Pascal, saya lalu mulai lagi mempelajari bahasa Basic, Fortran, C, Lisp, Prolog, SQL, APL, dll. Intinya: belajar bahasa itu mesti serius sampai mencapai ambang kritis, pertama ambang “percaya diri bicara bahasa itu” – dan setelah itu jangan berhenti, teruslah belajar sampai “ambang bisa mimpi dalam bahasa itu” 🙂
Sepandai apa Anda bisa memasak? Sebatas bikin nasi dengan rice-cooker, mie instant dan telor ceplok? Mau sepuluh tahun hidup nyaris hanya dengan nasi, mie instant dan telor ceplok?
Jelek-jelek begini, saya bisa memasak lebih dari 20 macam resep (di luar yang instant-instant), meskipun tentu saja tidak sejago master chef William Wongso atau Farah Quinn 🙂
Saya belajar memasak pertama kali itu tahun 1976 (kelas 3 SD), karena di sekolah ada acara masak-memasak. Kelompok saya wajib membuat bakwan. Waktu itu, karena pertama kali, saya minta tolong ibu saya menyiapkan bumbu-bumbunya di rumah, terus resep (urutan) yang harus dilakukan. Wah repot sekali, membawa ke sekolah penggorengan, minyak goreng, bahan-bahan bakwan berikut tungku (anglo) dan arang (karena waktu itu kami belum ada yang punya kompor gas, apalagi elpiji 3 kg).
Tapi memang saat itu, sebagai anak laki-laki, saya jarang diajak belajar memasak. Terakhir waktu camping pramuka SMA, saya terpaksa belajar menyiapkan makan satu regu. Sempat sih bikin nasi goreng dan telor dadar, meskipun rasanya nggak rata. Habis itu, teman-teman dan saya sendiri lebih suka jajan di warung terdekat saja. Dengar-dengar anak pramuka jaman sekarang lebih “enak” lagi. Di arena jambore nasional pun sekarang ada banyak restoran cepat saji seperti McDonald, KFC, Pizza Hut, dsb.
Tapi ketika akhirnya tahun 1987 saya harus kuliah di Austria, saya tiba-tiba harus belajar memasak. Otodidak !!! Ceritanya begini:
Hari pertama makan, saya langsung schock dengan harga makanan di sana. Tahun 1987, makan kenyang di kantin Goethe Institut Jakarta itu cuma Rp. 1000,- Nah di kantin Universitaet Innsbruck, itu menu termurah 40 [Austrian] Schilling, yang dengan kurs saat itu sekitar Rp. 7000,- Jadi tujuh kali lipat. Beasiswa saya di Austria memang juga sekitar 7-8 kali lipat penghasilan saya di Jakarta (dari gaji dan tunjangan kursus). Akhirnya, biar tidak terlalu mikirin, saya menganggap kurs 1 Schilling bukan Rp. 175, tapi seolah-olah cuma Rp. 25. Jadi 40 Schilling ya kira-kira sama dengan Rp. 1000,- 🙂 Beasiswa saya saat itu 7000 Schilling. Kalau saya tiap kali makan habis 40 Schilling, kalau sehari 3 kali, itu 120 Schilling, sebulan sudah 3600 Schilling. Padahal untuk sewa kamar sudah 3000 Schilling. Untuk abonemen bus kota sebulan 500 Schilling. Untuk beli buku ? Untuk beli baju winter ? wow, bangkrut … 🙁
Persoalan kedua, saya sering tidak mengerti komposisi menu di kantin. Pernah makan sudah enak-enak gitu (karena lapar), tiba-tiba ada teman basa-basi tanya ke pelayan, “Mbak, ini koq enak resepnya apa?” – Terus si Mbak bilang, “itu pakai speck Mas”. Speck itu apa sih? Lemak Babi ! Waduh. Saya cari di ensiklopedi, benar, speck hanya bisa dibuat dari lemak babi atau lemak ikan paus. Tapi Austria tidak punya laut. Wah jadi pasti dari lemak babi. Repot memang kalau makan di tempat orang, sekalipun enak.
Akhirnya saya mulai coba-coba masak. Repotnya, di kota Innsbruck, yang tidak punya banyak komunitas Asia, nyaris tidak ada yang jual mie instant. Pernah di sebuah toko yang saya mendapatkan sebungkus “nasi goreng instant”, tentu saja nasinya harus ditanak dulu, sedang bumbu sudah siap. Tapi harganya sangat mahal (hampir 75 Schilling untuk seporsi nasi goreng). Akhirnya malah saya terlalu sayang untuk memasaknya. Apalagi kemudian saya mulai belajar masak nasi goreng tanpa bumbu instant.
Pada awalnya, bumbu masak saya untuk bermacam-macam hal nyaris sama. Ada irisan bawang bombay, ada garam, ada bubuk merica dikit, semua dimasukkan ke sedikit minyak goreng, baru kemudian ditambah macam-macam. Kalau bikin nasi goreng, di atas bumbu tadi dimasukkan telor, diaduk-aduk sebentar, lalu dimasukkan nasi, lalu saus tomat. Kecap di Innsbruck tidak ada, jadi saus tomat saja yang selalu ada. Kalau masak dengan daging, maka di atas bumbu tadi dimasukkan rebusan daging ayam atau daging sapi, lalu dituang saus tomat juga. Kadang semuanya dicampur, jadi nasi goreng ayam, atau nasi goreng daging … Pokoknya lezat dech …
Kemudian saya mulai belajar bikin yang lain. Paru sapi di Austria sangat murah. Saya beli, diiris tipis-tipis, dikeringkan di oven, terus dimasukkan ke adukan tepung beras yang telah dicampur garam dan bubuk bawang (knoblauch), digoreng, jadilah peyek paru. Wah, ternyata orang bule juga suka.
Lalu bikin mie. Karena tidak ada mie instant, saya bikin mie dari spagheti. Setelah direbus sampai lunak, saya olah spagheti tadi seperti bikin nasi goreng. Jadi yang dimasukkan bukan nasi tetapi spaghetti. Kalau dibuat mie kuah, ya tinggal dicampuri air atau susu. Biasanya juga ditambah potongan daging. Kalau tetap dibuat spaghetti, ya tinggal dikasih daging cacah goreng dalam saus tomat terus dikasih parutan keju.
Yang paling heboh adalah bikin soup. Awalnya sama, irisan bawang bombay, garam, merica, terus masuk rebusan daging, kaldu ayam Maggie, sayuran (buncis, wortel, kubis, erbsen, terong, tauge), kadang juga sarden tuna, saus tomat, dll. Teman-teman saya kadang bilang, “Fahmi, kamu bikin ramuan tukang sihir ya? Tapi sepertinya lezat. Nanti kalau saya cicipin, lalu saya berubah jadi kodok, semua tahu lho ya, siapa penyebabnya …. ” :-D.
Pas bulan puasa, saya juga bisa bikin kolak roti atau kolak pisang. Tetapi karena tidak ada gula merah (gula jawa), saya pakai coklat untuk memasak !!! Sedang santan kelapa diganti dengan susu !!! Pisangnya juga pakai pisang ambon. Tetapi tetap enak dan khusyu’ lah.
Beberapa bahan memang bikin sendiri. Taoge ya bikin sendiri, di pasar Innsbruck tidak ada yang jual. Telor asin juga bikin sendiri. Tapi mau mencoba bikin telor asin madu belum kesempatan. Yang jelas, hampir tiap hari saya memasak. Kalau hari-hari kuliah, pukul 6 pagi saya sudah memasak. Lama-lama saya bisa masak cepat, sekalipun tidak instan. Alokasi waktunya maksimum 30 menit. Sering cukup 10-15 menit saja. Nanti masakan itu dibagi 3: 1 buat sarapan, 1 buat bekal ke campus, 1 disimpan buat makan malam. Akibatnya, bibi cleaning service-nya nyeletuk, “Fahmi, kamu ini tiap hari makan kayak raja ya?” — soalnya, orang-orang bule kalau ke dapur paling hanya bikin teh atau paling jauh telor dadar. Ah bibi nggak tahu saja, ini kan demi penghematan dan pencarian yang halal. Dengan masak sendiri begini, pengeluaran saya untuk makanan bisa ditekan hingga di bawah 800 Schilling sebulan. Itupun kadang-kadang saya masing menraktir teman makan di tempat saya.
Akhirnya inilah yang saya bisa masak:
1. Nasi goreng (berikut variannya: nasi goreng ayam, nasi goreng daging)
2. Mie goreng (berikut variannya: mie goreng ayam, mie goreng daging)
3. Spaghetti (hampir mirip mie, cuma ada daging cacahnya & parutan keju)
4. Soup (soup ayam, soup daging)
5. Daging berbumbu (kalau di Austria disebut “Gulasch”, kadang dari hati sapi atau ikan)
6. Daging goreng atau ikan goreng (digoreng doang, goreng tepung)
7. Sate (tapi dibakar di atas kompor listrik)
8. Pizza (tepi adonan tepungnya kadang kurang mantap)
9. Sandwich (roti isi daging, sayuran, kadang juga sarden tuna dll).
10. Burger atau Kebab (mirip juga, roti disisipi sosis panggang)
11. Peyek (peyek paru, peyek kacang)
12. Aneka telor (telor dadar, telor ceplok, telor orak-arik)
13. Gado-gado (sayuran dikasih larutan bubuk kacang)
14. Aneka salad (sayuran dikasih mayonaise)
15. Aneka sambal (dari cabe kering italia, diblender, dicampur tomat, atau ikan, dsb …)
16. Kolak (kolak roti, kolak pisang)
…
Ketika tahun 1989 pindah ke Vienna, di sana ada banyak toko Asia. Soal bumbu tidak perlu improvisasi lagi. Jadi dech, dunia kuliner diperluas. Kita coba bikin lumpia, karena kulit lumpianya dijual. Lalu juga semur ayam (atau ayam kecap, wah gak terlalu tahu bedanya). Terus makaroni panggang. Kupat tahu Magelang (tapi tahu di Austria lebih mahal dari daging !!!). Aneka bakso. (mau bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi, sudah ada, walaupun bikin sendiri juga bisa, tapi males). Terus gule atau karee (tapi ini mulai pakai bumbu jadi he he … :-). Intinya petualangan kuliner ternyata cukup mengasyikkan. Apalagi ketika kita mencoba resep penemuan kita sendiri. Yang penting halal, murah, sehat, lezat dan cepat. Walaupun sekilas seperti tukang sihir bikin ramuan ajaib. Tetapi ketika saya kemudian menikah, istri saya yang meneruskannya.
Gara-gara lebih sering masak sendiri begini, hingga 10 tahun saya di Austria, saya tetap saja tidak familier dengan kantin campus, baik dari segi menunya maupun harganya. Kalau ada tamu dari Indonesia, saya dan kawan-kawan lebih percaya diri masak sendiri dan menjamu mereka. Ada kawan, dosen dari Makassar yang ternyata pintar bikin Coto Makassar. Sedang teman dosen dari Jogja lebih suka bikin rawon. Kami memasak bersama-sama, jadilah kombinasi menu yang istimewa, yang pasti halal, murah, tidak pakai ngantri, bahkan saking semangatnya, di sela-sela makanan sempat kita kasih bendera merah putih kecil. Kayaknya boleh-boleh saja pakai nasionalisme kalau cuma urusan selera kuliner 🙂
Apa hobby Anda?
Apa pekerjaan Anda?
Apa pendidikan Anda ?
Apa cita-cita Anda ?
Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda? Sejauh apa?
Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan. Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda. Biar ada keseimbangan. Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi. Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate. Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.
Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan. Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan. Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi. Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey. Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling. Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling. Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah. Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.
Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam. Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan. Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ? Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”. Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”. Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.
Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga. Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus. Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam. Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali. Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda. Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu. Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom. Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir. Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT. Dunia sudah campur aduk.
Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli). Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri. Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email. Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas? Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi. Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia. Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli. Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah. Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri. Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya. Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga. Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko. Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet. Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!
Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat. Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko. Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda. Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal. Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.
Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika. Ini sejak kelas 1 SMP. Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya. Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu. Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri. Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa. Dan itu tahun 1980! Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar. Kemudian mencoba sendiri. Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000. Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya. Uang itu seharga emas 1 gram saat itu. Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !
Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti. Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini. Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya. Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.
Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya. Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang. Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya … Namun hobby itu bertahan cukup lama. Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal. Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri! Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂
Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif. Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding. Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”. Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo). Saya dapat honor Rp. 25.000. Saya sujud syukur. Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow ! 🙂 Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya ! Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak. Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah. Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik. Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit. Hadiahnya Rp. 250.000 ! Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP. Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”. Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak. Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …
Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili. Judulnya “Expedisi ke Bosnia”. Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya. Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan. Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998. Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan. Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he … Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud. Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku. Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS. Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller. Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter. Hidup memang tidak linear …
Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera. Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang. Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik. Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang. Harganya waktu itu Rp. 15.000. Lumayanlah untuk main-main. Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto. Saya membaca buku-buku fotografi. Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto. Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide). Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula. Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya. Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti. Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi. Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya. Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”. Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz. Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain. Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.
Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro. Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi. Hal yang semula tidak begitu saya tahu. Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik. Hobby fotografi saya akan tersalurkan! Dan benarlah. Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi. Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter. Mantap. Benar-benar seperti profi lah. Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas! Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak. Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!! Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis. Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya. Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya. Walaupun itu 100 halaman! Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor. Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens. Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂 Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi. Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.
Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ? Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar. Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP. Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut. Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis. Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif. Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”. Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).
Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar. Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah. Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah. Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”. Akhirnya sikat aja … Di SMA ini berlanjut. Yang namanya hobby tidak bisa dibendung. Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja. Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan. Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja! Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” … Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri. Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit. Akhirnya kalau mengajar juga rapi. Seminar juga rapi. Training juga rapi. Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi. Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi. Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam. Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual … he he … 🙂
Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian. Semua saling mendukung. Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan. Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete. Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂