Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk. Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?
Data Dunia Islam
Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki. Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php
Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat. Ada peluang over- atau under-estimated. Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur. Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif. Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.
Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.
Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim. Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.
Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia. Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.
Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan. Namun distribusi harta ini amat tidak merata. GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).
Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa. Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi. Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626). Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.
Memang area luas ini baru bermakna bila produktif. Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan. Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya.
IndikatorProduk Vital
Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi.
Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun. Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari. Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.
Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton. Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari. Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi. Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.
Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton. Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari. Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati.
Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi. Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun. Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil. Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga. Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.
Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.
Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah. Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss. Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!
Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor). Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$. Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar. Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.
Sumber Daya Non-tangible
Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul. Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.
Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%! Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.).
Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA. Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.
Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi. Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak. Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi. Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah. Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah.
Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.
Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan. Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%. Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006). Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)
Menyatukan Ekonomi Dunia Islam
Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan. OKI telah gagal. Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal. Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki. Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.
Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi.
Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.
Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah. Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara.
Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah. Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung. Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah.
Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa. Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.
Republika, Senin, 08 Januari 2007 23:36:00
Pemerintah Siap Cetak Sawah Baru 20 Ribu Hektar
Jakarta-RoL–Pemerintah pada 2007 siap membuka sawah baru se-luas 20 ribu hektar (ha) untuk mengganti konversi lahan pertanian. Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Senin menyatakan, saat ini alih fungsi lahan di tanah air mencapai 30.000-40.000 ha per tahun.
Komentar LM:
1. Bagaimana alih fungsi tidak terjadi, kalau kapitalisasi tanah dan air terus dibiarkan? Tata Ruang dipermainkan. Yang dulu diplot daerah pertanian, tiba-tiba jadi real estate. Dan para bupati menyebutnya “pembangunan”. Tanah kini jadi objek spekulasi dan investasi. Para petani pusing jadi petani, karena sudah capek, nggak gengsi, eh pupuk mahal, apalagi dengan UU SDA sekarang air bisa dikelola swasta dan dijual untuk yang mau membeli lebih mahal. Repotnya, nanti kalau panen harga gabah anjlog – belum kalah sama beras impor – akhirnya petani memilih menjual sawahnya ke calo tanah. Lumayan, hasilnya bisa buat naik haji, walaupun pulang haji tidak punya asset, apalagi warisan untuk anak cucu. Jadilah mereka buruh urban.
2. Kalau sudah tahu begitu, jalan keluarnya cuma: terapkan system syariah di bidang tata ruang, pertanahan, tata guna air, pertanian dan perdagangan. Tata Ruang harus strik pada fungsi-fungsi masyarakat. Kalau tanah untuk satu fungsi dialihkan, maka harus digantikan di tempat lain. Tanah pertanian tidak boleh jadi objek investasi / spekulasi. Kalau tiga tahun ditelantarkan tidak produktif, harus disita oleh negara dan diberikan ke yang mau mengelola untuk pertanian. Air untuk pertanian juga diatur oleh negara dan dibagikan ke seluruh petani secara adil, tidak komersil. Negara juga wajib melindungi keadilan di tingkat petani maupun konsumen. Kalau negara mampu, subsidi petani dengan pupuk. Teknologi pupuk biologis harus digalakkan. Negara bisa mensupport riset agar petani menggunakan teknologi terkini seperti bioteknologi, precission agriculture, in-time-farming dsb. Negara dapat juga membantu dan merangsang pembukaan lahan-lahan pertanian baru untuk menaikkan produksi sekaligus membuka lapangan kerja. Orang yang mampu menghidupkan lahan kritis (tanah mati) menjadi lahan pertanian yang subur, akan diberikan hak menguasai tanah itu serta memetik hasilnya. Negara membangun infrastruktur pertanian, termasuk saluran irigasi, jalan ke pasar, gudang dan pengolahan pasca panen, agar harga di tingkat petani tidak ditekan oleh para tengkulak. Hasil akhirnya harus petani makin sejahtera, namun beras di tingkat konsumen juga terjangkau.
LM 2007-01-09
FA.-
Republika Selasa, 21 Nopember 2006
Oleh :
Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Sejauh mana ketergantungan ekonomi Indonesia pada Amerika? Sejauh kepentingan ekonomi, atau sejauh ketakutan secara politik/militer? Pertanyaan ini akan dicoba dijawab dengan beberapa indikator.
Neraca perdagangan
Menurut CIA World Fact Book (https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/id.html), hingga 2005 ekspor Indonesia ke AS ditaksir sekitar 9,62 miliar dolar AS per tahun (dengan komoditas utama migas, elektronik, kayu lapis, tekstil, dan karet). Sedangkan impor dari AS adalah 4,16 miliar dolar AS (dengan komoditas utama mesin, bahan kimia, bahan makanan). Sayang tidak ada statistik lebih detail untuk masing-masing komoditas tersebut. Data dari CIA ini berdekatan dengan data resmi BPS (http://www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.pdf? Halaman 43): ekspor Indonesia ke AS 2005 9,87 miliar dolar AS (11,5 persen total ekspor) sedangkan impor dari AS 3,88 miliar dolar AS (6,7 persen).
Ini artinya, bila terjadi pemutusan hubungan dagang dengan AS (baik karena kita memboikot produk AS, atau AS mengembargo kita), maka dampak ekonomi yang ditimbulkan tidaklah seluas yang dicemaskan orang–dengan catatan negara-negara lain seperti Uni Eropa, Jepang atau Cina tidak ikut-ikutan. Memang bagi pihak-pihak terkena langsung, seperti para pebisnis dengan ekspor/impor ke AS beserta para pekerjanya, mereka akan merasakan dampak yang berat.
Utang LN
Menurut Koalisi Anti Utang (www.kau.or.id), utang LN Indonesia kepada AS terdiri dari utang multilateral, yakni dengan beberapa lembaga keuangan yang didominasi AS seperti IBRD (Bank Dunia) = 7,86 miliar dolar AS (12,7 persen dari seluruh utang LN Indonesia) dan utang bilateral 3,53 miliar dolar AS (5,7 persen). Sayangnya data resmi Depkeu malah sulit didapatkan di internet. Melihat porsi utang tersebut, sebenarnya tak layak AS selalu memaksakan agendanya ke Indonesia.
Investasi
Idealnya ada data total investasi AS di Indonesia menurut bidang investasinya serta jumlah perusahaannya. Namun, sementara ini data yang didapat dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (www.bkpm.go.id/en/figure.php?mode=baca&t=Facts%20and%20Figures) adalah bahwa AS bukanlah negara asal yang menonjol dalam investasi.
Dari 2001-September 2006, total investasi AS di Indonesia hanya berjumlah 208 investasi (2,60 persen dari seluruh PMA di Indonesia) atau hanya senilai 1,1 miliar dolar AS (1,49 persen). Jadi sebenarnya sangat kecil. Namun angka investasi ini adalah di luar investasi sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan nonbank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Bidang investasi yang tidak didata di BKPM ini adalah bidang yang justru sangat strategis (Freeport, Newmont, ExxonMobile, Chevron dll), namun keberadaannya di Indonesia hanya mungkin terjadi oleh manipulasi hukum serta perilaku koruptif para pejabatnya.
Wisatawan AS di Indonesia
Menurut BPS (http://www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.pdf? Halaman 52) jumlah kunjungan wisata dari AS pada 2005 adalah 160.597 orang dan setiap kunjungan mereka rata-rata selama 13 hari dan mengeluarkan uang rata-rata 1.334 dolar AS/orang/kunjungan. Dengan demikian bila Indonesia ditutup bagi wisman AS, maka kehilangan per tahun ditaksir adalah 214,2 juta dolar AS. Namun ini ternyata hanya 4,7 persen dari total penerimaan sektor wisata dari kunjungan wisman.
Orang Indonesia di AS
Warga negara Indonesia yang belajar atau bekerja di AS akan terkena dampak langsung hubungan Indonesia-AS. Bila hubungan memburuk, mereka terancam berhenti belajar atau bekerja. Sayangnya jumlah mereka tak diketahui dengan pasti. Informasi dari KBRI Washington (http://www.embassyofindonesia.org/) hanya menyebutkan jumlah paspor yang dikeluarkan oleh KBRI, yang jumlahnya hanya berkisar 1.000 paspor/tahun. Paspor dari KBRI biasanya hanya diberikan pada WNI yang menetap di AS namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia. Dengan asumsi paspor berlaku 10 tahun, maka jumlah mereka berkisar 10 ribu orang.
Namun seorang WNI yang tinggal di AS dan sering bolak-balik ke Indonesia (pelajar atau pengusaha), tidak selalu harus berurusan dengan KBRI. Info ini lebih tepat dicari pada kedutaan AS di Jakarta (http:www.usembassyjakarta.org/). Sayangnya di sana juga tidak ada data jumlah visa yang diberikan untuk WNI untuk pergi ke AS.
Hal serupa juga terjadi pada warga negara AS yang bekerja di Indonesia untuk jangka lama. Warga AS bebas visa bila hanya berkunjung 1 bulan. Jadi mereka yang mondar-mandir ke Indonesia dan tiap bulan pergi ke Singapura, tidak perlu visa. Sebenarnya di Ditjen Imigrasi Departemen Luar Negeri mestinya ada data tentang warga AS yang masuk ke Indonesia. Namun data ini tidak didapatkan di internet.
Kepentingan militer
Kepentingan militer diduga paling dominan dalam hubungan ekonomi Indonesia-AS. Kepentingan yang dimaksud adalah berupa (1) pembelian persenjataan dari AS; (2) pelatihan personel militer ke AS; dan (3) bantuan (grant) untuk program-program militer di Indonesia–semacam pembentukan Densus-88 Antiteror. Sayang informasi di bidang ini justru paling sulit didapat. Kalau misalnya ada data perbandingan negara asal persenjataan yang dimiliki TNI, barangkali kita akan tahu, serapuh apakah kita terhadap AS. Namun sejak embargo senjata AS tahun 1991 (kasus Dili), Indonesia telah memutuskan untuk melakukan diversifikasi negara tempat membeli senjata. Indonesia telah membeli kapal dari Jerman, tank dari Perancis, pesawat tempur dari Russia, pistol dari Austria, dan sebagainya.
Kesimpulan
AS sendirian sebenarnya tidak terlalu signifikan bagi ekonomi Indonesia, baik secara perdagangan, utang, investasi, pariwisata, ekspatriat, bahkan mungkin militer. AS baru berbahaya ketika sikap atau kebijakannya diikuti oleh negara-negara lain, terutama yang memiliki peran ekonomi besar atas Indonesia, seperti Jepang, Cina, Uni Eropa, atau Australia. Namun dengan diplomasi aktif yang baik ke seluruh negara di dunia, risiko ini bisa ditekan.
Ketakutan pemerintah Indonesia atas sanksi ekonomi, politik, dan militer AS, sehingga begitu tunduk kepada AS–terbukti dari penyambutan yang berlebihan di Bogor tgl 20 November ini–sangat tidak beralasan. Sebaliknya Indonesia justru dapat memainkan peran strategisnya, agar hubungannya dengan AS tidak seperti jongos terhadap juragan, tetapi sama tegak antara sesama negara merdeka. Bahkan Indonesia harus memandang rendah AS, karena mereka adalah negara yang telah mendzalimi bangsa-bangsa lain di dunia.