Tanah mati dengan definisi “tanah yang ditelantarkan / tidak dikelola selama 3 thn” – yang oleh karena itu bisa disita oleh negara – di Indonesia saat ini masih sangat sulit diidentifikasi kecuali ada sinergi yang baik dari aspek hukum & teknis.
Yang ada adalah:
(1) lahan kritis, yaitu yang kurang subur, meski dikelola tiap hari dan bayar PBB. Ini ada datanya di Deptan. Luasnya 22 juta ha dari 107 juta ha lahan pertanian di Indonesia.
(2) lahan nunggak pajak, yaitu lahan yang tidak dibayar pajaknya, baik karena alasan ekonomis (kurang menghasilkan), politis (enggan bayar pajak) ataupun karena ditelantarkan (si empunya mungkin sudah lupa).
Persoalannya sebagai berikut:
(1) secara teknis lahan kritis gampang dideteksi secara visual ataupun dengan penginderaan jauh. Namun apakah lahan itu ditelantarkan, maka perlu ada cross data dengan survei sosial-pertanian untuk menemukan fakta bahwa benar-benar tidak ada orang yang diserahi tugas untuk menggarapnya.
(2) secara hukum lahan nunggak pajak juga gampang dideteksi, karena Direktorat PBB sudah punya peta dasar perpajakan di seluruh Indonesia. Tetapi apakah nunggak pajak itu karena ditelantarkan (ini asumsi yang lazim dari masa lalu), maka masih perlu survei. Faktanya di sisi lain, lahan yang rajin bayar pajak juga tidak otomatis tidak ditelantarkan. Banyak lahan yang hanya menjadi objek investasi / spekulasi — nunggu harga naik. Bukankah tanah adalah sumber daya yang terbatas, sedang kebutuhannya terus naik, sehingga harganya pasti naik? Buat para spekulan ini, lahan yang diterlantarkanpun tetap ekonomis, karena harganya toh naik terus.
Solusi:
Perlu ada model pengawasan tanah yang sudah diserahkan menjadi hak milik pribadi. Pengawasan tidak boleh hanya semata-mata dengan instrumen PBB, tetapi juga dari instrumen survei pemetaan (untuk melihat sejauh mana lahan itu dapat diharapkan produktivitasnya) dan survei sosial (untuk melihat aktivitas pengelolaan lahan tsb).
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Ekonomi Islam – Pusat Studi & Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII)
Adalah kecenderungan yang wajar bila para penggiat zakat selalu ingin melihat bahwa “zakat adalah segalanya”, seperti halnya para penggiat sholat melihat “sholat adalah segalanya” – sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.
Ketika orang ingin melihat bahwa zakat adalah kunci untuk semua problema kemiskinan, maka zakat akan digenjot habis-habisan, dipopulerkan dengan ilmu marketing, dioptimalkan dengan sistem informasi, diperluas dengan aneka zakat profesi, dan dikeluarkan dengan berragam teknik pemberdayaan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun sosial.
Karena itu agak mengejutkan ketika saat acara buka puasa di Bappenas, tokoh ekonomi Islam Dr. M. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa dalam pemberdayaan sosial sebenarnya zakat hanya ada pada posisi ke-tiga. Sambil berseloroh, beliau menambahkan, “Wah ini bid’ah apalagi?”
Namun beliau kemudian menjelaskan, bahwa pertama, pemberdayaan sosial sesungguhnya harus bersandar pada aktivitas ekonomi, tepatnya ekonomi syariah. Tanpa aktivitas ekonomi, tidak akan ada akumulasi harta, dan berarti tidak akan ada yang bisa dizakatkan. Ekonomi syariah adalah ekonomi dengan paradigma yang amat berbeda, mulai dari asal-usul kepemilikan yang sah, teori manfaat, teori harga, problema ekonomi dan sebagainya. Pada tataran praktis: ekonomi syariah adalah ekonomi yang seluruh transaksinya syar’ie, mulai dari soal jual-beli, pinjam-meminjam, berserikat bisnis dan sebagainya. Ekonomi syariah tidak sekedar ekonomi para penjual buku Islam, asessori Islam atau penyelenggara wisata ruhiyah, umroh dan haji, sebagaimana terlihat dalam SYARI’AH EXPO di Jakarta belum lama ini. Ekonomi syariah juga tidak sekedar ekonomi tanpa riba dan judi, karena syariah mengatur lebih banyak lagi, misalnya bagaimana kepemilikan pada sumber daya alam yang besar seperti tambang, hutan atau laut; bagaimana mengatur fiskal dan moneter; bagaimana peran negara; dan seterusnya.
Ekonomi syariah harus menggantikan seluruh sistem ekonomi kapitalis yang terlanjur mendarahdaging di negeri-negeri Islam, baik level mikro maupun makro. Ini tentu tantangan besar bagi para ahli ekonomi Islam untuk bersama-sama mensyariahkan ekonomi nasional.
Pilar yang kedua menurut Syafi’i adalah sistem nafkah. Sistem nafkah adalah jejaring sosial yang ampuh untuk menjaga keberlangsungan masyarakat. Pada sistem nafkah Islam, setiap lelaki akil baligh yang mampu bekerja terkena kewajiban mencari nafkah. Sedang yang mereka yang tidak mampu, mereka akan dinafkahi oleh kerabat dekat yang juga ahli warisnya. Sistem ini terbukti lebih efektif dari sistem asuransi sosial yang ada di Barat saat ini. Pada sistem asuransi, hubungan kekerabatan tak perlu ada, sehingga timbul kecenderungan menurunnya peran keluarga dan bahkan trend yang mengarah ke tidak menikah atau orang tua tunggal (single parent). Kondisi ini pada jangka panjang akan berakibat punahnya populasi. Di sisi lain, sistem Islam memberi wewenang pada negara untuk intervensi ketika ada orang yang menelantarkan tanggungannya. Negara bisa mengambil paksa hak nafkah tersebut atau mengambil alih tanggungjawab ketika seseorang sudah tidak memiliki siapapun. Karena itu dalam sistem nafkah Islam, mestinya tidak perlu ada orang yang terjebak situasi sehingga mencari sesuap nasi sebagai pengemis, gelandangan atau pelacur.
Pilar yang ketiga barulah zakat. Zakat adalah mekanisme non ekonomi (karena ia adalah ibadah) dan non nafkah (karena tidak diberikan pada orang yang menjadi tanggungan). Jadi zakat adalah katup terakhir pemberdayaan sosial. Karena itu wajar jika efektifitas zakat amat tergantung dari sejauh mana ekonomi syariah maupun sistem nafkah berfungsi.
Dalam hitungan kasar saja: jumlah orang miskin di Indonesia standar Bank Dunia ada 100 juta orang. Kalau untuk memberdayakan mereka rata-rata diperlukan Rp. 1 juta / orang / tahun saja, itu berarti Rp 100 Trilyun. Sementara PDB kita diperkirakan sekitar Rp. 3600 Trilyun. Kalau semua ini dipukulrata dizakati 2,5% maka baru didapat Rp. 90 Trilyun! Jelas masih kurang! Belum kalau melihat bahwa harta itu banyak yang ada di tangan non muslim yang tidak wajib zakat. Realitanya saat ini zakat yang terkumpul melalui Laznas tak pernah mencapai Rp. 1 Trilyun!
Itulah karena saat ini ekonomi syariah baru berjalan atas kesadaran masing-masing. Di lapangan, ekonomi syariah dipaksa bersaing dengan ekonomi ribawi. Walhasil, setelah 16 tahun perbankan syariah di Indonesia, assetnya masih kurang dari 2% asset perbankan nasional. Sementara itu negara juga praktis tidak pernah intervensi bila ada rakyat yang tidak mendapatkan hak nafkahnya.
Maka dalam posisi inilah, peran zakat yang semula nomor tiga dipaksa naik menjadi nomor satu. Itupun masih dalam basis kesadaran masing-masing. Belum ada aturan apapun yang memberi sanksi pada penunggak zakat, sebagaimana tak ada sanksi atas pelaku ekonomi ribawi atau penunggak nafkah.
Dengan kondisi seperti ini, berharap zakat menjadi tulang punggung pemberdayaan sosial memang seperti mimpi. Memang perjuangan apapun selalu bermula dari mimpi. Namun kalau perjuangan ini diintegrasikan dengan perjuangan penerapan kembali syariat Islam termasuk dalam bidang-bidang ekonomi, maka tidak sulit menjadikan mimpi ini kenyataan.
(ditulis untuk Bulletin Yayasan Pembina Keluarga Remaja Islam Magelang, Nov. 2007)
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang
Pendahuluan
Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan. Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:
Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.
Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi. Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.
Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi. Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.
Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan. Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:
Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini. Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.
Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia). Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional. Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan. Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.
Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan. Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.
Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka.
Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya. Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia. Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat.
Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini. Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia. Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional. Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.
Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia. Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni). Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.
Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada. Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara. Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi. Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut. Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas.
Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri. Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.
Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis. Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi. Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.
Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.
Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.
Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.
Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.
Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri.
Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.
Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.
Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.
Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.
Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya. Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.
Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.
Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.
… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)
Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)
Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju. Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara. Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer. Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.
Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20.
Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana. Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat. Selain itu hanya kipas angin. Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India! Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa. Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India!
Demikian juga Cina. Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.
Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya. Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.
Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar. Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek. Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung. Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama. Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.
Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.
Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya. Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.
Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum. Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya. Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan. Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.
Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.
Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN. Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?
Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain. Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.
Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat. Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam. Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah. Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.
Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis. Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.
Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah. Wallahu a’lam.
Bacaan Lanjut:
Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla). Bangil: Al-Izzah. 2001.
Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology). Mizan, 1993.