Dr. Fahmi Amhar
Kontributor Lajnah Khusus Pengusaha HTI
Saat ini isu syariah sedang naik daun, walaupun masih terbatas di dunia perbankan dan asuransi. Untuk tataran praktis, penting dikembangkan suatu set indikator seberapa syariah (shariah compliance) sebuah entitas bisnis, terutama yang terkait langsung dengan konsumen publik, seperti perhotelan, restoran atau tempat kerja. Berbagai organisasi keislaman (seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia) dapat mendorongnya dengan edukasi publik dan mulai memberikan penghargaan (award) kepada mereka yang telah secara sungguh-sungguh berusaha mensyariahkan entitas bisnisnya di tengah pusaran arus kapitalisme sembari menjadi bagian penegakan kembali syariah secara menyeluruh.
Berikut ini adalah sekelumit gagasan untuk mencoba mencari indikator syariah untuk restoran.
Dalam bisnis restoran, yang dilihat adalah lima aspek yang bersifat mutlak. Artinya kalau salah satu aspek itu gagal, maka restoran tersebut sama sekali gagal mendapatkan ‘sertifikat’ shariah compliance. Di tiap aspek itu ada poin-poin yang semakin dipenuhi maka semakin tinggi nilai yang didapatkan.
1. Bisnis inti
– Semua makanan yang dijual harus memenuhi kategori halal. Yang mendapat nilai tertinggi adalah bila telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Di sinilah, MUI harus menyosialisasikan sertifikasi halal berbiaya rendah atau gratis ke pemilik usaha kecil dan menengah.
– Setiap makanan yang dijajakan harus memiliki spesifikasi yang jelas (seperti bahan baku, daerah asal, kalori) dilengkapi foto dan harga.
– Makanan yang dihidangkan dan cara menyiapkan semuanya memenuhi syarat-syarat higienis.
2. Pelayanan/komunikasi dengan pelanggan
– Ringkasan jenis makanan dan harga sudah dipajang di luar restoran sehingga calon pembeli sudah mengetahuinya sebelum masuk restoran.
– Pemilik dan pelayan restoran mengenakan busana sopan yang menutup aurat.
– Pemilik dan pelayan restoran menunjukkan akhlaqul karimah, seperti salam, senyum, memberikan informasi yang dibutuhkan, dan melayani komplain secara santun.
– Pelayan membacakan ulang pesanan pelanggan untuk konfirmasi ordernya.
– Musik atau tontonan yang mengiringi tidak bertentangan dengan islam; boleh saja musik instrumental klasik atau tradisional yang tidak terasosiasikan dengan maksiat.
– Perabotan yang dipakai untuk menghidangkan tidak mengandung bahan yang diharamkan, seperti emas atau perak.
– Konsumen diberi kesempatan mengecek akurasi tagihan sebelum pembayaran dilakukan.
– Diberikan tanda terima setelah pembayaran.
– Disediakan media untuk memberikan feedback atas pelayanan yang diberikan.
3. Lingkungan usaha
– Nyaman, bebas dari asap rokok.
– Lukisan atau foto-foto yang dipajang di restoran tidak mempromosikan maksiat/mengandung pornografi atau bertentangan dengan Islam.
– Memiliki tempat duduk yang terpisah, seperti female-corner, men-corner, dan family corner.
– Memiliki toilet bersih yang dapat mencegah najis menyebar ke mana-mana.
– Memiliki mushala atau dekat dengan mushala berikut tempat wudhu yang layak.
– Memiliki tempat parkir yang aman dan tidak menyebabkan macet.
4. Hubungan dengan hak-hak publik
– Tidak merampas hak-hak umum (misalnya mencuri/mencantol listrik atau badan jalan).
– Tidak melakukan pembukuan ganda, dan menolak membuat struk fiktif.
– Memiliki sarana penetral limbah, sehingga limbahnya (termasuk asap) tidak menggangu sekitarnya.
– Memiliki jam usaha yang jelas yang diridhai tetangga sekitarnya
– Pada siang hari di bulan Ramadhan tetap boleh dibuka secara terbatas, untuk melayani pembeli dari kalangan yang tidak wajib puasa, seperti wanita haid/nifas, orang sakit, musafir atau non muslim.
5. Hubungan pemilik usaha dengan pekerja
– Kontrak kerja dengan karyawan jelas, mencakup hak dan kewajiban, serta reward & punishment sesuai syariat yang diridhai kedua belah pihak.
– Jam kerja karyawan diatur untuk memenuhi haknya bersama keluarga.
– Setiap karyawan mendapat giliran kesempatan untuk shalat dan istirahat pada waktunya.
– Pada saat shalat Jumat, hanya karyawati atau pegawai non Muslim yang tetap dinas, sedang karyawan Muslim akan shalat Jumat. Kalau jumlah ini tidak memadai, maka restoran akan ditutup pada saat shalat Jumat.
Demikianlah, gagasan ini. Mungkin ada poin-poin di sini yang masih harus ditambah atau dipertajam. Terutama aspek empat dan lima mungkin tidak bisa dilihat langsung, tetapi harus dengan wawancara pada karyawan/pemilik.
Mungkin ada yang akan mencoba melakukan survei percobaan dengan menerapkan shariah compliance indicators di atas? Berapa kira-kira restoran yang lolos? Dan mana yang mendapatkan nilai tertinggi?
Muslimpreneur, makin jelas Islam menuntun kita untuk berbisnis penuh ‘berkat’ dan berkah dengan seperangkat aturan yang mudah dilaksanakan. Jadi tunggu apa lagi?[]
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Lajnah Maslahiyah, DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Indonesia, jika menerapkan semua hukum Islam, termasuk dalam keuangannya, niscaya dapat mengatasi kemiskinan. Namun ketika orang bicara bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, umumnya orang hanya terpikir pada zakat. Sesungguhnya berapa potensi zakat di Indonesia?
Dari 211 juta penduduk Indonesia pada 2003, menurut Primus Dorimulu dalam tulisannya di majalah Investor Edisi 93 – 27 Jan-8 Feb 2004 (http://www.pajak.go.id/ index.asp?pjk=31&idnews=512&idsec=6) diperkirakan punya kemampuan finansial sebagai berikut:
(1) 6-8 juta (3-4%) penduduk yang masuk kategori kaya, dengan asset likuid minimal Rp. 33,2 miliar. Dengan asumsi 6 orang mewakili satu keluarga kaya, 33% dari jumlah itu muslim (karena sudah terkenal bahwa sebagian besar orang kaya kita adalah Cina yang mayoritas non muslim) serta harta kena zakat sebesar 20% dari asset liquid, maka akan didapat potensi zakat sebesar: 1 juta x 33% x Rp. 33,2 M x 20% x 2.5% = Rp. 54,78 triliun.
(2) 21 juta (10%) penduduk setengah kaya, dengan asset likuid minimal Rp. 4 miliar. Dengan asumsi 5 orang mewakili satu keluarga setengah kaya, 50% dari jumlah itu muslim serta asset liquid yang kena zakat ada 20%, maka akan didapat potensi zakat sebesar: 4,2 juta x 50% x Rp. 4 M x 20% x 2.5% = 42,00 triliun.
(3) 32 juta (15%) orang kelas menengah dengan pendapatan minimal Rp. 3,5 juta sebulan. Di sini diasumsikan 4 orang per satu keluarga kelas menengah dan 80% muslim (seperti rasio populasi saat ini), maka potensi zakatnya: 8 juta x 80% x 12 bln x Rp 3.5 juta x 2.5% = 6,72 triliun.
(4) 50 juta (40%) penduduk berpendapatan minimal Rp. 800.000–1000.000 sebulan yaitu mayoritas pekerja. Penghasilan mereka mungkin tidak mencapai nishab meskipun juga belum termasuk mustahiq. Bila nishab adalah 20 Dinar emas atau 85 gram emas, dengan harga emas saat ini (1 Dinar emas = Rp. 1.500.000) maka nishab itu kira-kira Rp. 30 juta.
Jadi dari zakat saja bisa terkumpul sekitar Rp. 103,5 triliun. Bila ini dibagikan ke 100 juta orang sisanya yang tergolong mustahiq, maka tiap orang akan mendapat kurang lebih dari Rp 1 juta. Jumlah yang cukup lumayan bagi mustahiq.
Namun ini jelas belum benar-benar mengentaskan kemiskinan secara tuntas dan berkelanjutan. Untuk itu sistem ekonomi secara keseluruhan perlu digerakkan. Pembangunan harus berjalan, mulai dari infrastruktur, lapangan kerja, arus modal, pendidikan, infrastruktur dan sebagainya. Pada tahun 2010, Negara Republik Indonesia mengerahkan lebih dari Rp. 1000 Trilyun untuk menggerakkan sistem ekonomi. Jadi jumlah yang didapat dari zakat – kalau ditarik optimal – paling jauh baru 10%.
Untuk itulah, dapat kita katakan bahwa zakat bukanlah pilar ekonomi umat yang utama, apalagi untuk mengentaskan kemiskinan. Pilar nomor satu tentu saja adalah Sistem Ekonomi Islam (Sistem Ekonomi Syariah) itu sendiri. Sistem ini mulai dari sistem mata uang yang bebas inflasi (yakni hanya berbasis emas/perak), sistem perbankan non ribawi, sistem permodalan syariah, sistem pertanahan syariah, sistem pengelolaan sumberdaya alam syariah, APBN syariah, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi singkat, bila sumberdaya alam dikelola secara syariah, maka setiap tahun dari sektor kehutanan saja yang dikelola secara lestari sudah akan didapatkan Rp 999 Trilyun (dan ini berkelanjutan), dari migas dan batubara Rp. 641 Trilyun, dari mineral laiin seperti emas Rp. 50 Trilyun dan dari hasil laut Rp. 73 Trilyun. Dengan pendapatan negara yang sangat besar ini, niscaya sektor pendidikan dan kesehatan dapat digratiskan sepenuhnya, infrastruktur dapat ditingkatkan, alutsista TNI dapat dilengkapi, dan utang negara dapat dilunasi dalam beberapa tahun saja.
Dan bila sistem Islam diterapkan, maka asumsi prosentase muzakki dari kelompok kaya akan terkoreksi, baik dari penduduk muslim yang makin kaya karena mendapat pendidikan dan kesempatan yang lebih fair, maupun dari non muslim kaya yang kemudian terpanggil masuk Islam karena pengaruh dari dakwah yang lebih profesional dan media massa yang sehat karena dibentengi dengan syariah.
(Jurnal Bogor, 7 September 2010 – di edisi cetak ada beberapa text yang tidak dimuat)
Dr. Fahmi Amhar
Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah? Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:
Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.
(3) Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.
(4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.
(5) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.
(6) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Jumlah penduduk | 230.000.000 |
Luas wilayah darat (Km2) | 1.900.000 |
Luas wilayah laut (Km2) | 5.800.000 |
Panjang garis batas (Km) | 15.000 |
Jumlah satuan administrasi level Provinsi | 33 |
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten | 480 |
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan | 6.000 |
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan | 70.000 |
Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Pos Santunan Fakir Miskin
asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) | 50% |
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) | 600 |
asumi harga pangan per-kg | Rp 10.000 |
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) | 60.000.000 |
rasio guru:siswa = 1: | 20 |
rasio sekolah:siswa= 1: | 300 |
asumsi rata-rata gaji guru per bulan | Rp. 5.000.000 |
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) | Rp 25.000.000 |
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: | 10 |
rasio dosen:mahasiswa = 1: | 10 |
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: | 1.000 |
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) | Rp 250.000.000 |
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1: | 1.000 |
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: | 10.000 |
Rasio rumah sakit: desa = 1: | 3,0 |
Asumsi gaji dokter per bulan | Rp 7.500.000 |
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan | Rp 225.000.000 |
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = | 25 |
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: | 1.000 |
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal = [km] | 25 |
Rasio pesawat militer untuk menjaga area 1 pesawat = [km2] |
40.000 |
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan | Rp 7.500.000 |
Asumsi operasional markas tentara / bulan (hanya ada satu di tiap provinsi) |
Rp 1.500.000.000 |
Asumsi operasional markas polisi / bulan (ada di tiap kecamatan) |
Rp 105.000.000 |
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: | 1.000 |
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: | 1.000 |
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan | Rp 7.500.000 |
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan | Rp 33.000.000 |
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap | 10 tahun |
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya | 20 tahun |
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT | 20 tahun |
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik | 20 tahun |
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen | 20 tahun |
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista | 20 tahun |
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN 5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1) Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi:
Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada. Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan. Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa. Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi. Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak. Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti
(2) Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:
Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.
(3) Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:
Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik. pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.
Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.
Data yang ada saat ini:
Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd). Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 Triliun. Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal. Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profitnya sekitar Rp 268 Triliun.
Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 212 Triliun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Triliun.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri. Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara BukitAsam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp. 30 Triliun per tahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 Kg emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 Triliun per tahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10%, maka ini sudah sekitar Rp. 73 Triliun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 Triliun. Fantastis. Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan kita telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp. 1000 Triliun juga masih sangat besar. Dan kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Ketiga, standar dari Dinar – namun juga natura.
Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah. Ini sekedar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini. Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini akan tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi. Pada bulan April 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp. 1.500.000 per Dinar.
Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang. Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak. Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian. Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.
APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan. Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran. Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.
Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp. 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja. Bagian-bagian seperti fai & kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga shadaqah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.
Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus. Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur. Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar yakni hampir 3.5% APBN. Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi, sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah sehingga pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti. Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp. 10.000/kg. Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp. 180.000,- perbulan! Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp. 100.000 per KK per bulan.
APBN
Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)
Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan) |
0 |
Bagian Kepemilikan Umum | |
– Minyak |
121,5 |
– Gas |
178,9 |
– Batubara |
127,5 |
– Emas & Mineral Logam lainnya |
33,5 |
– BUMN Kelautan |
48,9 |
– Hasil hutan |
666,0 |
Bagian Shadaqah (tidak diperhitungkan) |
0 |
JUMLAH PENERIMAAN |
1176,3 |
Pos Pengeluaran (juta Dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk |
167,9 |
Kompensasi | |
– Layanan Hankam & Jihad |
41,7 |
– Layanan Pemerintahan dan Peradilan |
30,8 |
– Layanan Pendidikan dan Dakwah |
180,0 |
– Layanan Kesehatan |
55,8 |
Maslahat Vital (Infrastruktur & Fasum) |
143,1 |
Cadangan Kebencanaan & Perang |
33,3 |
Maslahat Lain-lain |
13,2 |
JUMLAH PENGELUARAN |
666 |
Analisis
Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini. APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional. Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman. Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar. Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya. Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).
Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.
Tentu saja, bila khilafah berdiri di negeri muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda. Kalau khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol. Sebaliknya bila khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (terlebih pajak) dan bagian shadaqah mesti dielaborasi dengan intensif.
Wallahu a’lam bis shawab.