Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Sabtu 30 Agustus 2003.
Pada 27 Agustus pukul 17.00 WIB, planet Mars berada di posisi terdekat dengan bumi, yaitu 55,6 juta km atau selisih radius orbit kedua planet ini. Karena periode revolusinya tidak sama, biasanya jarak keduanya berkisar 101-378 juta km.
Berdasarkan hitungan yang memasukkan semua komponen gangguan yang dikenal hingga kini, peristiwa seperti ini amat langka, yaitu setiap 73 ribu tahun. Sedangkan hitungan yang lebih sederhana menyatakan peristiwa ini terjadi setiap 63 ribu tahun.
Terserah hitungan mana yang mau dipakai. Yang jelas, bagi sebagian besar manusia, fenomena langit yang langka sering dihubungkan dengan peristiwa yang bakal terjadi. Apalagi nama Mars artinya “Perang” dalam Mitos Yunani. Dan planet ini diiringi dua bulan, yaitu Deimos (Teror) dan Fobos (Takut). Apakah ini sesuai dengan perang global melawan terorisme yang sedang dipromosikan oleh Amerika Serikat? Atau tanda akan makin banyaknya teror yang menebar rasa takut, sehingga kita perlu Undang-Undang Anti Teror yang lebih represif ala ISA? Atau justru AS dan ISA itu sendiri yang menebar rasa takut di dunia, seperti dibuktikannya di Iraq, Afghanistan dan Palestina?
Tapi astrologi semacam ini sebenarnya tinggal “hobby” sejumlah orang yang tidak memiliki aktivitas yang cukup bermutu dengan fenomena langit. Empat belas abad silam, Nabi Muhammad saw memperingatkan bahwa fenomena langit tidak berhubungan dengan kelahiran atau kematian seseorang, juga keberuntungan dan bencana. Alkisah saat itu terjadi gerhana matahari bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Nabi. Namun beliau tidak justru memanfaatkan fenomena itu sebagai tanda kenabian, misalnya dengan berkata, “Tuh lihat, kalau aku bukan nabi, mana mau matahari sampai berduka atas kematian puteraku …”.
Tidak. Nabi justru memerintahkan agar manusia berlomba untuk melakukan penyelidikan langit dan bahkan perjalanan ruang angkasa. Sejarah mencatat, bahwa di abad pertengahan, kaum muslimin tidak canggung untuk mengkaji al-Qur’an dengan “tafsir” buku Almagest karya astronom Mesir kuno, Ptolomeus. Mereka lalu membawa perkembangan signifikan di astronomi, yang berdampak luas di bidang pemetaan, pelayaran serta teknologi pendukungnya, optika, mekanika dan matematika.
Sepintas astronomi memang “dunia awang-uwung”, yang asyik ditonton, tapi jauh dari realita sehari-hari. Memang bila wahana pengintai Mars, seperti yang diluncurkan AS (Spirit dan Opportunity) serta Eropa (Beagle 2) saat ini dimaksudkan untuk merintis koloni di Mars, maka itu benar-benar mimpi.
Namun toh missi ruang angkasa selalu memberi dampak, sadar ataupun tidak. Teknologi remote sensing, semula untuk memetakan planet lain tanpa manusia. Kini, teknologi itu kita gunakan untuk memantau cuaca dan membantu menata sumber alam kita, agar tidak terus menerus didera kekeringan seperti sekarang.
Jadi, bila ada dampak kedatangan Mars bagi Kehidupan Kita, itu bukanlah “Mission to Mars” itu sendiri, namun “Mission to Earth”. Planet kita tercinta, pinjaman anak cucu kita.