oleh Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Praktisi Astronomi Falakiyah, Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta (www.kr.co.id) tgl 19 Oktober 2006
Benarkah tahun ini ummat Islam bakal sholat Iedul Fitri pada dua hari yang berbeda?
Jawabannya: tidak, melainkan pada EMPAT hari yang berbeda?
Apa benar? Koq bisa?
Jawaban ringkasnya: demikianlah, karena ummat Islam tidak bersatu dan tidak memiliki institusi pemersatu di level global.
Jawaban cerdasnya: ini persoalan yang memerlukan perhatian segenap pihak. Perbedaan ini bukan sekedar masalah hisab vs rukyat. Bukan pula sekedar karena perbedaan negara bangsa. Bahkan sesama mazhab hisab atau rukyatpun sesungguhnya berbeda pendapat.
Organisasi Persis dan Muhammadiyah, sama-sama memakai hisab mutlak. Namun mereka berbeda pendapat tentang kriteria masuk tanggalnya. Persis memakai kriteria hilal dua derajat di atas horizon sedang Muhammadiyah mencukupkan diri dengan 0 derajat (“wujudul hilal”), ini menurut kalkulasi bagi suatu tempat tertentu di saat maghrib. Karena itu, kalkulasi ini sangat tergantung pilihan tempatnya.
Untuk Indonesia Barat, menurut Muhammadiyah, tgl 23 Oktober 2006 ini sudah masuk 1 Syawal. Namun untuk Indonesia Timur, belum masuk. Sedang menurut kriteria Persis, semuanya belum masuk, karena hilal tertinggi pada Ahad 22 Oktober 2006 di wilayah Indonesia itu kurang dari satu derajat.
Terus mana yang benar secara ilmu astronomi?
Secara astronomi modern, kalkulasi poin-poin kunci dalam hisab falakiyah itu sudah sangat akurat. Data ijtima’ (miladul hilal, moon conjunction), umur bulan dan irtifa’ (sudut elevasi hilal di atas horizon) itu dapat dihitung dengan akurat dan para astronom di seluruh dunia tidak berbeda pendapat.
Persoalannya, bagaimana menerjemahkan sabda nabi untuk melihat hilal (rukyatul hilal) itu ke suatu momen astronomis yang terukur dan calculable ?
Sebelum masa Islam, kalender qomariyah sudah ada dan dibuat berdasarkan rumus-rumus urfiyah yang pasti dan konsisten. Dalam sistem urfi ini, bulan Sya’ban selalu 29 hari sedang Ramadhan 30 hari. Namun sejak Nabi menyuruh melakukan rukyat, maka yang sering terjadi, Sya’ban teristikmalkan (tergenapkan 30 hari) dan Ramadhan menjadi 29. Persoalannya, rukyatul hilal menyangkut tiga aspek faktual:, yaitu A (Astronomi), B (Baik-buruknya pengamat dan lingkungan pengamatan) dan C (Cuaca). Dari tiga hal ini hanya faktor A yang dapat dihitung. Allah dan RasulNya tentu amat memahami wisdom di balik ketentuan ini.
Hilal awal bulan selalu terlihat di ufuk barat tak lebih dari setengah jam setelah Maghrib. Setelah itu bulan ikut terbenam. Sebelum matahari terbenam, cahaya bulan yang masih kurang dari 1% dibanding purnama, akan kalah oleh silau matahari yang puluhan ribu kali lebih cerah.
Para ahli hisab hanya berbeda pendapat tentang momen astronomis yang pantas untuk pergantian bulan kalender Hijri. Perbedaan ini muncul karena penafsiran berita-berita rukyatul hilal sebelumnya yang diklaim sukses saat dicocokkan dengan data hisab. Dari segi metodologis, hal ini terjadi karena data rukyatul hilal cenderung mengandalkan klaim kesaksian, tanpa didukung peralatan scientifik seperti alat teleskop dengan fotografi atau perekam citra. Mereka mempertaruhkan semuanya pada asumsi bahwa para perukyat tidak akan berbohong. Asumsi ini tentu saja bisa dikritisi, karena orang yang tidak berbohong dapat saja tersalah atau keliru.
Akibatnya mazhab hisab belum pernah sepakat: Muhammadiyah memegang 0 derajat (wujudul hilal) sedang Persis 2 derajat. Di dunia ada beberapa pendapat lain sepeti Ijtima’ qabla ghurub (moon-conjunction before sunset) atau Ijtima qabla fajr (moon-conjunction before dawn). Jadi semisal di hari Jum’at malam baru ijtima’ maka Sabtunya sudah tanggal baru, karena terjadi sebelum Sabtu fajar.
Ada juga pendapat yang semata-mata menggunakan umur bulan. Jadi kalau bulan sudah empat jam setelah ijtima’, dianggap pastilah kelihatan. Padahal belum tentu juga, karena hal itu sangat tergantung posisi lintang bujur tempat itu, azimut matahari dan azimut bulan. Pada kondisi yang paling ideal, penelitian yang serius mendapatkan umur termuda bulan bisa dirukyat adalah 8 jam. Pada kondisi yang tidak ideal bisa lebih dari 20 jam belum terrukyat.
Jadi rumit juga ketika orang sudah memiliki opini “pasti kelihatan”, kemudian dia merukyat, dan menyangka apa yang dilihat matanya pastilah hilal.
Para astronom tidak akan segegabah itu. Untuk memastikan faktor A memang mudah – tinggal lihat kriterianya. Namun bagaimana dengan faktor B? Apakah kita wajib menerima laporan hilal dari orang yang diketahui rabun jauh? Atau tinggal di tengah kota? Atau kita tahu pasti sedang diguyur hujan?
Karena itu dalam mazhab rukyatpun ada sejumlah ikhtilaf. Pandangan terklasik adalah wajib menerima setiap laporan hilal selama si pelapor adalah seorang muslim mukallaf. Pandangan lain memberi peluang menolak laporan itu kalau faktor A, B atau C tidak masuk akal. Meski begitu, ini bukan berarti pindah menjadi mazhab hisab, karena hisab hanya untuk menegasikan laporan yang berada di area mustahil. Hisab tidak untuk menyatakan “ya sekarang masuk tanggal”. Untuk itu tetap hasil rukyat yang dipakai. Selain itu juga ada masalah rukyat lokal dan global.
Contoh untuk 2006: ijtima’ awal Ramadhan terjadi Jum’at 22 September pukul 11:45 UT (=18.45 WIB). Pada saat itu ada gerhana matahari sebagian. Gerhana matahari memang pertanda bulan baru, namun bukan hilal. Di seluruh Indonesia, Jum’at sore itu hilal masih di bawah ufuk (belum wujud). Walhasil NU dan Muhamadiyah akan sepakat, Sabtu belum 1 Ramadhan, walau Jum’at sore itu NU tetap merukyat. Namun di Afrika Selatan, Jum’at sore hilal sudah wujud. Bagi yang bermazhab hisab wujudul hilal, di Afrika Selatan Sabtu sudah 1 Ramadhan.
Faktanya di Saudi, Jum’at sore lalu sudah ada yang mengklaim melihat hilal dan disahkan oleh negara. Sejumlah negara Timur Tengah mengikuti Saudi. Secara teoretis astronomis, rukyat di Saudi mustahil karena umur bulan baru 4 jam dan bulan terbenam sebelum matahari. Yang lebih mungkin terjadi, para pengamat optimis dengan yang mereka lihat karena terbawa kriteria hisab yang dipakai Libya, yaitu ijtima’ qobla ghurub atau qobla fajr.
Di beberapa negeri seperti Iran, India dan Pakistan, sistem kalender mereka sudah beda, sehingga mereka baru merukyat hari Sabtu – dan belum berhasil, dan karena yang dipakai hanya rukyat lokal maka diistikmal dan puasa dimulai pada hari Senin. Kalau mereka menggunakan rukyat global, maka akan mendapatkan info keberhasilan rukyat pada Sabtu sore di negara lain (Eropa misalnya) seperti yang dilaporkan di www.icoproject.org, sehingga juga akan memulai puasa pada hari Ahad.
Hal serupa akan terulang untuk Syawal. Karena ada tiga awal puasa, maka dengan memperhitungkan yang istikmal karena rukyat lokal, bakal ada 4 hari raya. Ahad 22 Oktober, di beberapa negara Timur Tengah sudah puasa 30 hari, jadi mau tak mau 23 Oktober harus Ied. Sementara itu di Indonesia baru 29 hari. NU baru akan merukyat Ahad sore itu. Sedang Muhammadiyah sudah bisa mematok Senin 23 Oktober Ied, karena hisab menunjukkan bulan sudah di atas ufuk untuk sebagian wilayah Indonesia (bagian barat), atau juga memutuskan istikmal untuk Indonesia timur (jadi Selasa 24 Oktober). Meskipun ada pandangan untuk memandang Indonesia sebagai satu wilayah hukum, disadari tidak mudah untuk memilih satu pendapat tadi. Dalil-dalil global yang ada adalah untuk rukyat, bukan untuk hisab.
Bagi yang mulai berpuasa pada Sabtu 23 September, Sabtu 21 Oktober mereka sudah puasa 29 hari, jadi sorenya akan merukyat. Bisa saja ada klaim hilal telah terlihat sehingga Ied pada Ahad 22 Oktober. Padahal ijtima’ sendiri baru terjadi Ahad 22 Oktober 2006 pkl 05:13 UT (12:13 WIB), sehingga klaim ru’yat tersebut akan aneh sekali. Tapi yang seperti ini sudah pernah berkali-kali terjadi.
Bagi yang mulai berpuasa pada Senin 25 September, maka pada 23 Oktober mereka baru puasa 29 hari, sehingga baru Senin sore itu mereka merukyat untuk syawal. Bila di tempat mereka berawan, sementara mereka bermazhab rukyat lokal, maka mereka akan istikmal, dan baru Ied pada Rabu 25 Oktober. Andaikata mereka mau beralih ke rukyat global, maka peluang hilal terlihat Senin sore itu di negara lain cukup besar, karena mayoritas sudah di atas 5 derajat, sehingga Ied dapat Selasa 24 Oktober.
Dalam menghadapi keragaman ini, di mana otoritas resmi kurang dipercaya, mau tak mau ummat akan berpegang pada siapa yang mereka percaya, entah ustadz, pimpinan organisasi ataupun kabar dari luar negeri, misalnya Saudi.
Untuk ibadah mahdhoh, sebenarnya tidak diperlukan kepastian yang tinggi, melainkan cukup dugaan kuat (ghulabatud dhon). Seperti halnya saat orang tidak tahu arah kiblat, maka dia boleh sholat ke arah mana saja yang diperkirakan benar. Andaipun ternyata keliru, dia tidak harus mengulang sholatnya. Yang penting satu sama lain tidak saling memvonis salah atau sesat. Sentimen politis tak perlu dibawa-bawa. Para astronom juga jangan dilibatkan bila sekedar ingin mencari pembenaran.
Dalam jangka panjang, karena ibadah puasa atau haji memiliki unsur sosial, peran penguasa yang kredibel, yang “keputusannya mampu menghentikan perbedaan” sangat dinantikan. Dialah yang nanti bertanggungjawab mengadopsi landasan fiqih yang kuat, metode hisab yang akurat, syarat-syarat rukyat yang tepat, hingga penyebaran informasi secara global yang cepat. Dan untuk mencapai kredibilitas itu, tak ada cara lain selain bahwa para penguasa ini harus mengurus ummat dengan syariat, dan menyatukan dunia di bawah sistem khilafat, agar selamat dunia akherat.
Abstrak
Pengalaman mencari-cari waktu sholat yang tepat selama perjalanan udara yang panjang atau bertanya-tanya mengapa kalau terbang dari Indonesia ke Eropa malamnya terasa lebih lama, sedang dari Eropa ke Indonesia siangnya terasa lebih lama, akan dicoba dijawab dalam tulisan singkat ini.
Permasalahan
Dalam perjalanan udara jarak jauh, seorang muslim sering bertanya-tanya kapan dia harus menunaikan sholat atau berbuka puasa. Waktu-waktu sholat ditentukan oleh saat astronomis, misalnya terbit dan terbenamnya matahari. Dalam kondisi diam di sebuah tempat, saat-saat astronomis ini cukup mudah dikenal. Katakanlah, di sebuah tempat adalah matahari terbit pukul 6 pagi, dan terbenam pukul 18 sore. Namun dalam perjalanan udara, sering terjadi berangkat pukul 24 malam, namun setelah 12 jam perjalanan ke arah Barat, sampai di tujuan pukul 6 pagi. Akibatnya terjadi kebingungan, kapan waktu Shubuh di perjalanan tersebut tiba – menurut jam yang bisa dibaca oleh sang penumpang. Selain masalah saat momen astronomisnya sendiri (seperti untuk jadwal sholat), hitungan saat astronomis juga dibutuhkan untuk menentukan kurun astronomis, misanya mengetahuai berapa lama malam atau siang yang akan dialami selama perjalanan.
Di beberapa pesawat, di monitor televisi kadang-kadang ditampilkan tiga jenis waktu, yaitu waktu di tempat berangkat (destination time), waktu di tempat tujuan, dan waktu lokal di bawah tempat pesawat aktual sedang berada. Hanya saja, waktu lokal ini agak sulit dihitung dari awal, dan pula terpengaruh oleh zonasi waktu.
Karena itu diperlukan rumus-rumus yang lebih mudah dipaai.
Metodologi
Untuk mencari rumus-rumus yang diperlukan, kita berangkat dari beberapa penyederhanaan terlebih dulu, sebelum nanti ditarik ke bentuk yang lebih universal.
Pertama-tama kita gunakan bumi yang berputar sempurna, dan kita perhatikan suatu gerakan hanya seakan-akan di sepanjang katulistiwa. Gerakan yang berbeda akan dicari proyeksinya di katulistiwa dan di lintang paralel terdekatnya.
Bumi berputar pada porosnya 24 jam sehari. Karena keliling bumi adalah 40000 km, maka laju sebuah titik di permukaan bumi di katulistiwa adalah 40000/24 = 1666 kph. Angka ini selanjutkan akan disebut dengan ve.
Sebuah pesawat dalam posisi diam di bandara, juga akan memiliki kecepatan sama dengan bumi di bawahnya, yaitu ve.
Namun ketika pesawat terbang, dia memiliki suatu kecepatan relatif terhadap bumi, yaitu vr.
Walhasil pesawat itu memiliki kecepatan absolut terhadap suatu titik astronomis yaitu va. di mana berlaku: va.= ve + vr
Karena dalam penyederhanaan ini ve konstan, maka cukup dianggap 1, sedang vr maupun va ditulis dalam perbandingannya dengan ve. Dan faktor untuk menghitung lama suatu kurun waktu f adalah = 1 / va.
Maka kemudian bisa kita buat tabel berikut ini:
vr | va | f | Tafsir | |
1. | -2 | -1 | -1 | Saat astronomis pesawat mundur 1 jam tiap jamnya; pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah 2 jam terbang, sampai tujuan pukul 4 pagi. |
2. | -1 | 0 | ~ | Saat astronomis pesawat tetap; kalau berangkat pukul 6 pagi, sampai di tujuan masih pukul 6 pagi, berapapun lama terbang. |
3. | -0.5 | 0.5 | 2 | Saat astronomis pesawat setengah dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan baru pukul 7 (bukan 8). |
4. | 0 | 1 | 1 | Pesawat diam di tempat, saat astronomis pesawat sama dengan semula. |
5. | 0.5 | 1.5 | 0.67 | Saat astronomis pesawat 1.5 kali dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan sudah pkl 6+1.5*2 = 9. |
6. | 1 | 2 | 0.5 | mirip dengan atas. |
7. | 2 | 3 | 0.33 | mirip dengan atas. |
v vr negatif adalah saat pesawat ke arah Barat
v |vr | > 1 berarti pesawat bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan rotasi bumi.
Jam yang ditunjukkan adalah jam yang dipakai oleh penumpang pesawat, artinya jam yang belum diubah sejak dari tempat keberangkatan.
Aplikasi (untuk pesawat yang terbang nonstop)
(1) Menentukan saat sholat di pesawat
Bila seseorang berangkat ke Barat (misalnya dari Jakarta ke London) naik pesawat berkecepatan
vr = 833 kph atau -0.5 ve maka akan didapatkan va = 0.5 (atau f = 2).
Bila ia berangkat pukul 00:00, sedang di tempat keberangkatan Shubuh adalah pukul 04:30, maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:
pkl = 00:00 + (04:30 – 00:00) * 2 = 09:00.
Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan yang sama, berangkat pukul 00:00 dari London, maka akan didapatkan va = 1.5 (atau f = 0.667) maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:
pkl = 00.00 + (04:30 – 00:00) * 0.667 = 03.00.
(2) Menghitung lama malam/siang
Bila seseorang ada di katulistiwa, rata-rata lama siang atau malam sekitar 12 jam. Dalam perjalanan ke Barat (Jakarta – London) yang akan ditempuh dalam 15 jam dengan pesawat berkecepatan vr = 833 kph atau -0.5 ve maka didapatkan va = 0.5 (f = 2) atau siang/malam di pesawat menjadi 12 * 2 = 24 jam.
Artinya, bila seseorang berangkat pukul 20, yang berarti malam baru berlalu 2 jam, maka minimal dia masih akan mengalami malam selama 20 jam. Bila perjalanannya cuma 15 jam, maka yang akan dilihatnya adalah malam terus!
Dan memang, dia akan tiba di London pukul 11 WIB (waktu Jakarta) tapi masih pukul 04 GMT (waktu London). Namun kalau dia berangkat pukul 8 pagi, yang dilihatnya juga akan siang terus, dan sampai di London masih pukul 16 sore waktu London.
Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan sama, va = 1.5 (f = 0.667) maka siang/malam di pesawat menjadi 8 jam saja. Bila berangkat pukul 20, maka meski malam baru berlalu 2 jam, sisanya tinggal 6 jam. Sisa perjalananannya yang masih 9 jam akan dirasakannya siang hari. Inilah yang sering dirasakan penumpang Indonesia yang terbang dari Eropa. Namun tentunya akan berbeda bila berangkat dari Londonnya adalah siang hari.
(3) Contoh-contoh Extrem
Bila ada pesawat yang dapat ditumpangi terus berhari-hari tanpa harus mendarat, dan pesawat itu memiliki kecepatan sama dengan ve, maka bila diarahkan ke Barat, pesawat itu praktis tidak akan pernah melihat peristiwa astronomis berubah. Kalau matahari terbit ya terbit terus. Karena itu, bila mengelilingi dunia, setiap melewati garis tanggal internasional, dia harus lompat kalender, meskipun tidak pernah menyaksikan selain matahari terbit.
Contoh lainnya adalah pesawat supersonik yang terbang ke Barat dengan kecepatan melebihi ve. Maka bisa saja nanti dia berangkat dari Paris pukul 7 pagi, namun sampai NewYork pukul 6.
Pengembangan Lanjut
Pada realitasnya, lintasan pesawat selalu memilih jalur terpendek atau yang disebut geodesic. Untuk itu semua hitungan sederhana di muka bisa dikembangkan lagi.
Yang tidak sederhana adalah hitungan momen peristiwa astronomisnya sendiri, yang berbeda untuk lintang yang berbeda.
Untuk itu muncul sebuah ide untuk memadukan antara chip GPS untuk mendapatkan posisi koordinat dan waktu universal (UT) aktual serta memasukkannya ke program perhitungan jadwal sholat semacam Mawaaqit, Jadwal dsb. Idealnya alat ini bisa ditanam di dalam alat GPS handheld (asal masuk softwarenya), atau laptop (dengan GPS-card), ponsel, PDA atau mungkin lebih baik dalam sebuah jam tangan agar tetap boleh dipakai di pesawat. Kendalanya mungkin soal penerimaan sinyal GPS dalam ruang tertutup di dalam pesawat, namun hal ini mungkin relatif mudah diatasi para ahli elektronik.
Referensi:
Bretterbauer (1991): Grundzuege der Geodaetischen Astronomie. Vorlesungmanuskript an der TU Wien.
Khafid, et al (1999): Pemetaan Garis Tanggal Kalender Islam. Prosiding FIT ISI 1999: 31-42.
Amhar (2000): Mengenal Kontribusi Astronomi dalam Survei dan Pemetaan Kontemporer, Presented paper Kolloqium di Observatorium Bosscha, 9 Sep 2000, Prosiding Seminar Geomatika 23-24 Nov 2000: 62-65
dipublikasikan di majalah ESQ “Nebula” edisi 03 (Februari 2005)
Tahun lalu, ketika hangat-hangatnya planet Mars pada posisi terdekat dengan bumi, ada “wacana” bahwa itu adalah tanda-tanda kiamat. Hal ini karena planet Mars setelah itu tampak berjalan “mundur” – apa yang dalam astronomi kuno disebut “retrograde motion”. Beberapa kalangan awam (non astronom) menyangka, bahwa hal serupa bisa terjadi dengan matahari, sehingga suatu ketika matahari tampak terbit dari Barat – hal mana dalam suatu hadits Nabi dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat.
Koreksi atas “Retrograde Motion”
Retrograde Motion bukanlah gerakan mundur suatu benda langit yang sesungguhnya. Namun hanya penampakannya dari permukaan bumi, yang disebabkan oleh model geosentris.
Ceritanya begini: manusia mengamati semua objek langit dari permukaan bumi (toposentris). Karena mereka tahu bumi itu mirip bola yang sangat besar, maka data koordinat toposentris itu lalu ditransformasi ke pusat bumi (geosentris). Model ini juga dipakai karena keyakinan saat itu bahwa bumi ini diam sedng menurut agama-agama yang ada saat itu (pra-Islam), manusia itu fokus ciptaan Tuhan, sehingga bumi harus jadi titik sentral alam semesta. Model geosentris ini disebut juga model Ptolomeus.
Dari model ini, dicobalah untuk melakukan prediksi ke depan. Misalnya, kalau suatu bintang hari ini tampak di posisi anu, maka setengah tahun lagi di posisi mana. Prediksi dengan model ini relatif akurat untuk alat-alat yang dipakai hingga saat itu – kecuali untuk planet.
Planet-planet luar (Mars, Jupiter dan Saturnus yang dikenal saat itu), pada saat-saat tertentu tampak bergerak mundur (disebut “retrograde motion”). Awalnya gerak mundur ini dicoba dijelaskan dengan suatu epicycle, yakni lingkaran bantu pada orbit tiap planet. Maksudnya, ada suatu titik yang mengorbit mengelilingi bumi (masih geosentris!), lalu planet-planet itu bergerak mengelilingi titik tersebut. Tapi makin lama, epicycle ini makin rumit, makin membingungkan dan makin tidak bisa diprediksi.
Sampai Copernicus muncul menyederhanakan model tadi dengan ide bahwa semua planet, termasuk bumi, harusnya mengelilingi matahari. Maka tiba-tiba seluruh fenomena retrograde motion tadi jadi bisa dijelaskan. Retrograde motion terjadi karena periode planet dalam mengelilingi matahari (atau disebut “revolusi”) tidak sama. Misalnya revolusi bumi 365.25 hari, sedang Mars 687 hari. Maka ada saat-saat di mana Mars tampai “di depan” bumi, kemudian tiba-tiba “di belakang” bumi. Ini mirip dengan arena balap sepeda, di mana yang di lingkaran dalam kecepatannya lebih tinggi dari di lingkaran luar. Itulah retrograde motion.
Rotasi Bumi dan Matahari Terbit
Yang membuat matahari terbit di timur adalah perputaran bumi pada porosnya (“rotasi”). Bumi berrotasi dari barat ke timur, sehingga Indonesia selalu melihat matahari lebih dulu daripada India. Arah barat-timur sebenarnya hanya arah relatif terhadap arah poros bumi. Ini dikenal dengan “hukum tangan kanan”: kalau ibu jari tangan kanan menghadap utara, maka arah keempat jari yang lain adalah arah rotasi. Arah poros bumi diorientasikan ke sejumlah bintang kutub utara. Bisa saja orbit bumi terganggu dan arah poros ini bergeser, seperti dibuktikan dari sejumlah penelitian bahwa di masa lalu poros bumi itu tidak seperti saat ini. Fenomena ini disebut perkelanaan kutub (polar wandering). Bahkan kita bisa berkhayal bahwa yang sekarang Utara itu bisa saja suatu saat Selatan. Namun selama arah rotasi bumi masih mengikuti hukum tangan kanan, maka daerah sebelah timur masih lebih dulu melihat matahari. Artinya, kemanapun poros bumi menghadap, selama rotasinya tetap, maka matahari tetap tampak terbit dari “timur”.
Perlambatan Rotasi Bumi
Dulu orang mendefinisikan satu hari sebagai satu kali bumi berputar pada porosnya. Sebagai acuan perputaran adalah objek astronomis yang dianggap tetap (bintang yang jauh). Inilah yang disebut jam astronomis. Sekali putaran perlu waktu 23 jam 56 menit 4 detik. Hanya karena bumi juga mengitari matahari, maka satu hari jadi 24 jam.
Sejak ditemukannya jam atom yang sangat stabil dan teliti, maka orang lalu bisa mengukur periode astronomi itu lebih akurat. Dan hasilnya orang menemukan bahwa jam astronomis itu tidak stabil. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat. Orang lalu memisahkan antara gangguan sesaat (temporer) dari gangguan tetap yang berjangka panjang. Sebuah badan ilmiah dibentuk khusus untuk itu, yaitu International Earth Rotation Service yang berpusat di Observatorium Paris.
Efek temporer disebabkan objek-objek langit lain yang kebetulan sedang berdekatan. Ini dikenal dengan “multi-body-problems”. Sedang efek jangka panjang dipastikan akibat pasang surut, baik oleh bulan maupun matahari. Beberapa ilmuwan telah mengukur efek ini. Mereka menggunakan ribuan data astronomi. Yang paling mutakhir adalah dengan 15 tahun lunar-laser ranging, yakni pengukuran laser ke beberapa cermin reflektor yang dipasang di bulan oleh missi-missi ruang angkasa Amerika atau Russia. Dickey, Williams dan Newhall (1984) memberi angka 1,9 ms/cy. Artinya rotasi bumi melambat 1,9 per seribu detik dalam seabad! Angka yang amat kecil, namun efek kumulatifnya ke depan menarik untuk diselidiki lebih lanjut (Bretterbauer, 1989, p 98).
Para ahli menduga beberapa skenario.
Pertama, rotasi bumi akan melambat sedemikian rupa, sampai suatu ketika akan sama dengan revolusi bulan mengitari bumi. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi sebulan qomariah. Sisi bumi yang menghadap bulan akan konstan, sedang sisi lainnya tidak akan pernah lagi melihat bulan. Pada saat seperti itu tentu perintah sholat dan puasa akan menjadi absurd. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 261 abad lagi. Angka ini belum bisa dipastikan karena masih menunggu data yang lebih banyak lagi dari beberapa satelit pengamat dinamika matahari untuk mengetahui pengaruh pasang surut matahari. Ada beberapa ilmuwan yang memprediksi sampai beberapa milyar tahun.
Kedua, rotasi bumi akan terus melambat sampai akhirnya rotasi bumi sama dengan revolusi bumi mengitari matahari. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi setahun syamsiah. Sisi bumi yang menghadap matahari akan konstan, selalu siang, dan akan panas sampai ratusan derajat Celcius, sedang sisi lainnya akan selalu malam dan membeku melebihi dinginnya kutub saat ini. Pada wilayah perbatasan akan selalu berhembus topan dengan kecepatan ribuan kilometer/jam. Bumi sudah tidak akan bisa lagi dihuni mahluk hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 954 abad lagi – walaupun banyak juga ilmuwan yang menduga setelah beberapa milyar tahun.
Namun jelas, kedua efek ini tidak akan membuat arah rotasi bumi menjadi berbalik, sehingga matahari tampak terbit dari barat. Rotasi bumi tidak pernah benar-benar akan berhenti lalu berbalik arah. Dia hanya akan setimbang, dan titik setimbangnya pada asumsi pertama adalah saat rotasi bumi sama dengan revolusi bulan; sedang pada asumsi kedua saat rotasi bumi sama dengan revolusinya mengitari matahari.
Namun sekali lagi, masih banyak yang kita belum tahu. Bisa jadi, jika didapatkan bahwa rotasi matahari berlawanan arah dengan revolusi bumi mengitarinya, efek rotasi bumi terbalik itu masih bisa terjadi. Namun yang jelas, ketika kondisi itu ada, bumi sudah tidak layak lagi dihuni manusia.
Jadi bila dikatakan ketika kiamat terjadi matahari terbit dari barat, ya bisa saja, namun saat itu mungkin sudah tidak ada manusia menyaksikannya, kecuali bila mereka sudah menciptakan teknologi canggih yang mengantisipasi ekologi bumi yang sudah tidak ramah pada kehidupan.
Bencana Kosmik
Yang lebih mungkin dalam mengganggu rotasi bumi sehingga berbalik dan matahari tampak terbit dari barat adalah bila hadir suatu objek langit yang bermassa sangat besar (lebih besar dari bulan!) dengan lintasan sangat dekat dengan bumi. Saat ini objek “liar” yang ada seperti komet atau asteroid tidak ada yang sebesar itu. Kalaupun ada komet sebesar Schomaker-Levy yang menghantam Jupiter tahun 1996 lalu, atau seperti dalam film Armagedon ada asteroid khayal sebesar negara bagian Texas menghantam bumi, maka yang timbul hanya bencana ekologis yang dahsyat, namun belum akan merubah arah rotasi bumi.
Namun lain persoalannya bila hadir suatu objek yang disebut “black-hole”. Objek ini bermassa paling kecil seperseribu matahari atau 333 kali bumi, namun besarnya hanya beberapa kilometer saja. Karena sangat padat, maka medan gravitasinya sangat tinggi, semua materi di dekatnya akan terhisap, sampai-sampai cahayapun tidak bisa lepas darinya. Akibatnya, blackhole tidak akan kelihatan! Dia hanya akan terdeteksi bila cahaya bintang di belakangnya tiba-tiba seperti hilang “tertelan” sesuatu yang gelap.
Kalau blackhole mendekati bumi, maka akan terjadi bencana kosmik maha dahsyat. Bulan yang massanya 1/81 bumi akan keluar dari orbitnya – mungkin termakan oleh blackhole. Bumipun akan berguncang sangat dahsyat, gunung-gunung akan berhamburan. Mungkin saja rotasi bumi jadi berbalik dan matahari tampak muncul dari barat. Tapi semua sudah telat. Itulah kiamat. Tidak ada lagi saat untuk bertobat.
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu.
Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Qs. 101:3-5)