Prof. Dr. Fahmi Amhar
Praktisi Astronomi Islam, Bakosurtanal
Dr. Fahmi Amhar
Musim liburan sekolah segera tiba. Apakah anda suka jalan-jalan dan akan memanfaatkaan waktu liburan untuk pergi melancong? Ke luar negeri? Umrah? Orang yang sedang jalan-jalan disebut pelancong atau turis. Profesinya boleh macam-macam. Tidak hanya pedagang ekspor-impor, diplomat atau pramugari saja yang bisa ke luar negeri. Di negara maju, berprofesi sebagai penjual es krim saja bisa nabung untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tetapi ada orang yang profesinya melancong, bahkan sebagian besar usianya dihabiskan di perjalanan, itulah para penjelajah.
Dahulu, alat transportasi belum canggih. Perjalanan masih harus dilakukan dengan naik kuda, unta atau kapal laut. Sehari kuda atau sehari kapal layar paling hanya menempuh jarak 80-100 kilometer. Selain itu satelit pemantau bumi maupun satelit navigasi juga belum ada. Alat telekomunikasi untuk bertukar kabar dengan orang di kampung halaman juga belum ada. Sehingga orang yang nekad berprofesi menjadi penjelajah amat sangat langka. Merekalah yang kemudian mengabarkan tentang dunia negeri antah berantah. Setelah itu terserah kepada para penguasa ataupun pedagang, untuk apa pengetahuan itu akan dimanfaatkan.
Ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Barat, penjelajahan membuahkan penjajahan. Dengan kaki tangan yang biasanya orang-orang lokal yang bisa dibeli, negeri-negeri baru itu dikuasai, rakyatnya diperbudak, kebudayaannya dimanipulasi dan sumber daya alamnya dikuras. Tetapi lain halnya ketika para penjelajah ini didominasi orang-orang Islam. Salah satu contoh yang paling besar adalah Ibnu Battutah.
Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdullah al-Lawati al Tanji ibn Battutah lahir di Tanger Maroko, 24 Februari 1305 M (tahun 703 H) adalah ulama dari madzhab Maliki dan pernah menjabat sebagai qadhi (hakim).
Hingga wafatnya pada tahun 1368 (sumber lain menulis 1377 M) dia telah melawat sejauh 117.000 Km, meliputi seluruh dunia Islam yang telah dikenal dan selebihnya, sejak dari Afrika Barat, Afrika Utara, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia Tengah, hingga China. Total 44 negara modern telah dia jelajahi. Dia jauh melampaui penjelajah paling top hingga saat itu yaitu Marco Polo.
Atas undangan Sultan Maroko Abu Inan Faris, beberapa tahun setelah kepulangannya, Ibnu Battutah mendiktekan sejumlah perjalanannya kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayi. Kitab yang kemudian secara singkat dijuluki “Ar-Rihlah” inilah sumber utama info petualangannya. Hampir seluruh isi kitab ini – juga tentang kehidupannya – berasal dari satu sumber, yaitu Ibnu Battutah sendiri. Mungkin apa yang dia klaim dilihat atau dilakukannya agak sedikit diwarnai fantasi, tetapi untuk sebagian besar memang tidak ada cara lain untuk memverifikasinya. Namun dengan kompleksitas masalah yang diceritakan, serta dengan posisi dia sebelumnya sebagai seorang qadhi yang faqih, kita dapat mengasumsikan bahwa dia jujur, dan apa yang diceritakannya itu fakta.
Awal dari penjelajahan Ibnu Battutah adalah perjalanan haji yang ia lakukan pada usia 20 tahun. Perjalanan ini melalui Kairo, Damaskus, Palestina dan Madinah. Setelah haji dia tidak langsung pulang, melainkan melanjutkannya ke negeri yang dikuasai pemerintah Mongol Il-Khanate yang kini dikenal sebagai Iraq dan Iran.
Setelah itu dia ke ujung semenanjung Arabia, terus ke Afrika. Dia telah mengunjungi Mogadishu, Mombassa, Zanzibar dan Kilwa. Kemudian dia balik ke Mekkah lagi.
Ibnu Battutah mengalami banyak gegar budaya (culture schock) di daerah yang dia kunjungi, yang memiliki budaya sangat berbeda dengan latar belakangnya. Dia menyaksikan orang-orang Turki dan Mongol yang masuk Islam. Dia melihat pakaian wanita yang lebih bebas di Maladewa dan sub-Sahara. Dia banyak menerima bernaeka souvenir dari penduduk lokal, yang tentu saja akan membebaninya sepanjang sisa perjalanannya, karena saat itu belum ada jasa paket internasional.
Dalam setiap routenya, Ibnu Battutah sering bergabung dengan suatu kafilah dagang. Bahkan dia sendiri sering mencoba peruntungannya sebagai pedagang. Di tahun yang lain, karena menguasai beberapa bahasa internasional (Arab, Persia, Romawi) dia mencari pekerjaan sebagai guide dan penerjemah.
Ibnu Battutah melampaui batas negara Islam ketika dia sampai ke Konstantinopel dan China. Pada akhir 1332 M, dia bertemu Kaisar Andronicus III Palaeologus dan melihat katedral Hagia Sophia dari luar. Kemudian dia melanjutkan ke laut Caspia, laut Aral, Bukhara dan Samarkhand. Kemudian dia melanjutkan ke Afghanistan, dan melintasi pegunungan ke India.
Sultanat Delhi, salah satu ex negara Mongol yang masuk Islam dan sedang banyak mengimpor sebanyak mungkin ulama Islam untuk mengajar, menggajinya untuk menjadi qadhi. Namun kehidupan istana tidak menurunkan jiwa petualangan Ibnu Battutah. Ketika dia berniat naik haji lagi, Sultan Tughlaq dari Sultanat Delhi malah menawarinya jadi duta besar ke Cina. Karena ini kesempatan untuk menjelajahi dunia baru, Ibnu Battutah menerima tawaran ini. Pada perjalanan ke Cina via laut inilah dia sempat singgah di Samudera Pasai atau Aceh sekarang ini, yang penduduknya sudah masuk Islam.
Tetapi penugasannya ke Cina ini dinilai kurang sukses. Dia sempat kembali ke India di bawah perlindungan Sultan Jamaluddin. Namun ketika pemerintahan ini digulingkan, Ibnu Battutah pindah ke Maladewa. Di pulau yang semula mayoritas Budha ini, Ibnu Battutah terpaksa tinggal lebih lama. Semula dia memang setengah disandera untuk tinggal di situ. Namun keahliannya sebagai qadhi kemudian dibutuhkan, bahkan dia dinikahkan dengan puteri keluarga istana. Namun dia schock mendapati wanita non muslim di pulau itu terbiasa telanjang dada di area publik. Kritiknya atas kebiasaan ini membuatnya dilecehkan oleh penduduk lokal. Maka kemudian dia meninggalkan pulau itu menuju Srilangka. Namun di tengah lautan kapalnya tenggelam oleh badai, dan kapal yang menolongnya dibajak oleh bajak laut. Dia akhirnya terdampar di India kembali.
Ketika dia hampir memutuskan balik ke Maladewa, dia bertemu dengan pelaut Cina, yang mengajaknya kembali ke Cina (dinasti Yuan). Kali ini dia sukses. Selain mengunjungi banyak kota di Cina, juga mengunjungi Vietnam, Filipina dan Sumatra.
Setelah merasa cukup di Cina, Ibnu Battutah memutuskan pulang ke kampung halaman, walaupun agak sulit dia mendefinisikan mana kampung halamannya (India, Maladewa, Iraq, Damaskus ?).
Ketika sampai di Damaskus, dia mendengar berita bahwa ayahnya telah wafat oleh wabah yang sedang menjadi tema dunia saat itu, yaitu penyakit pes (black death). Akhirnya setelah naik haji kembali ke Mekkah, Ibnu Battutah kembali ke Maroko, nyaris seperempat abad setelah dia tinggalkan!
Namun sesampai di kampung halamannya, tak lama kemudian dia berangkat lagi ke Andalusia. Kali ini sekaligus untuk mempertahankan beberapa wilayah Islam dari ancaman serangan Kristen Spanyol. Namun kemudian dia kembali ke Maroko dan menjelajahi Afrika Barat ke daerah-daerah yang tidak banyak dikenal orang. Dia mencapai beberapa negeri di Gurun Sahara. Tahun 1351 (pada usia 46 tahun) dia sampai ke Timbuktu, sebuah negeri yang hingga abad-21 pun masih terdengar amat eksotis.
Di perjalanan ke negeri yang amat asing ini, tiba-tiba pemandu dan kafilahnya hilang tanpa jejak. Ini merupakan tragedi bagi Ibnu Battutah, dan dia menulis kesulitan yang teramat besar untuk bernavigasi tanpa tanda-tanda jalan (landmark).
Setelah publikasi ar-Rihlah, dia dipilih sebagai qadhi di Maroko. Sampai tahun 1800-an, bukunya tetap dianggap aneh sekalipun di dunia Islam. Sama seperti buku Marcopolo di Eropa. Baru tahun 1800-an, bukunya mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa, dan bukunya menunjukkan relevansi dengan hasil penjelajahan bangsa Barat terbaru. Sejak itu, Ibnu Battutah makin terkenal, tidak hanya sebagai penjelajah dan penulis, tetapi juga membantu dalam proses perubahan banyak sekali bangsa sepanjang rute perdagangan yang dia lakukan.
Untuk menghormatinya, para astronom telah menamai sebuah kawah di bulan dengan namanya. Demikian juga sebuah mall di Dubai (yang kini telah menempatkan diri sebagai kota di dunia yang paling banyak dikunjungi turis) telah dinamai Ibnu Battutah Mall, dengan display dari penemuannya yang disebar di sepanjang koridornya.
Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Aktivis pro syariah & pecinta astronomi
Iedul Adha tahun 2007 (1428H) saya hadapi dengan setengah hati. Setengah karena taat kepada sebuah hukum syara’, dan setengah lagi karena tahu bahwa hukum itu telah diterapkan tanpa mengindahan sebuah keniscayaan ilmiah.
Mahkamah Agung Saudi telah menerima dan menetapkan keabsahan sebuah klaim rukyatul hilal (melihat bulan sabit baru) pada hari Minggu sore 9 Desember 2007. Artinya Senin 10 Desember 2007 menjadi 1 Zulhijjah, dan seterusnya Selasa 18 Desember 2007 menjadi 9 Zulhijjah, hari di mana para jama’ah haji akan wukuf di Arafah (dan yang lainnya puasa Arafah), dan akhirnya Rabu 19 Desember 2007 menjadi 10 Zulhijjah, hari Iedul Adha, saat hewan-hewan qurban disembelih.
Syara’ telah menetapkan bahwa masalah penentuan hari wukuf menjadi wewenang penguasa Makkah, yang saat ini adalah penguasa Saudi Arabia. Raja Saudi telah mendelegasikan kewenangan ini kepada Mahkamah Agungnya.
Syara’ juga mengatur bahwa penentuan 1 Zulhijjah cukup didasarkan kesaksian dua muslim yang terpercaya. Riwayat dari Nabi menunjukkan bahwa ketika ada orang Badui mengaku melihat hilal, Nabi hanya memintanya bersyahadat saja. Nabi tidak memeriksa hal yang lain.
Persoalan kesaksian ini yang membuat Iedul Adha ini menjadi setengah hati.
Karena kesaksian hilal ini terjadi pada saat yang mustahil. Hilal hanya mungkin terjadi setelah ijtima’ (moon-conjunction). Dan di Mekkah ijtima’ baru terjadi pada Minggu 9 Desember 2007 pukul 20:40, setelah matahari terbenam (Maghrib) yang terjadi pukul 17:42 waktu setempat
Sebagian orang mempertanyakan keabsahan data astronomis ini: “Dari mana tahu bahwa prediksi ijtima’ ini tepat?” atau membantah kemungkinan si perukyat yang salah: “Bagaimana memastikan bahwa si perukyat itu tidak dapat dipercaya?”.
Prediksi astronomis untuk peristiwa ijtima’ tidak didasarkan hanya dari kesaksian satu atau dua orang. Tetapi adalah hasil riset ribuan orang selama berpuluh tahun yang dilakukan secara sistematis dan terdokumentasikan dengan baik. Selama ini prediksi ijtima’ yang terkadang bertepatan dengan gerhana matahari, selalu akurat sampai ke detik terdekat. Prediksi bulan untuk fase-fase lain saat bulan sudah tinggi, juga sangat akurat. Di bulan terdapat reflektor yang dipasang oleh misi-misi angkasa Amerika Serikat dan Rusia yang dapat memantulkan sinar laser yang dikirim dari berbagai stasiun Lunar-Laser-Ranging (LLR) dari bumi. Dan semuanya OK. Kesalahan fatal data ijtima’ tertutup. Data astronomis bisa saja dikoreksi, namun tentunya hanya oleh pengamatan ilmiah yang juga berakurasi tinggi. Kalau memang hilal itu benar-benar ada pada hari Minggu 9 Desember 2007, dan ada foto atau pengukuran LLR yang memvalidasinya, pasti semua rumus astronomi akan dikoreksi.
Sementara itu bagaimana memastikan bahwa si perukyat tak dapat dipercaya? Tidak ada caranya! Kita tidak ingin membuktikan bahwa si perukyat berbohong. Dia hanya keliru meneruskan fakta. Seorang yang paling shalehpun bisa salah menjawab soal ujian. Dia tidak berbohong, dia hanya keliru. Ada sejumlah test yang bisa dilakukan, misalnya menunjukkan berbagai foto hilal dan foto placebo hilal (yang sebenarnya hilalnya tidak ada). Test mata juga bisa dilakukan untuk melihat kesehatan mata yang bersangkutan. Demikian juga informasi kondisi lingkungan saat pengamatan. Tentu aneh mengaku melihat objek langit bila di tempat yang bersangkutan tertutup awan.
Tentu saja semua ini tidak dilakukan di masa Nabi. Namun tidak semua hal yang tidak dilakukan di masa Nabi itu haram dilakukan di masa sekarang. Ketika itu dapat menjaga agama, menjaga (kesatuan) negara, menjaga hidup, menjaga akal dan sebagainya, apakah lantas tidak boleh dilakukan. Atau seharusnya berlaku kaidah “Maa la yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib” (Apa yang tanpa dengannya suatu kewajiban tak dapat disempurnakan, hukumnyapun menjadi wajib juga).
Di masa Nabi belum ada kompas untuk mengetahui arah kiblat, karena itu pasti Nabi tidak pernah menggunakan kompas untuk mengetahui arah kiblat. Apakah lantas dengan alasan sholat itu ibadah “tauqifi” terus kita harus menentukan arah kiblat persis seperti di zaman Nabi, tidak boleh pakai kompas?
Tentu saja, siapapun yang ada di Mekkah mau tidak mau harus tunduk pada keputusan wukuf Saudi. Mustahillah wukuf sendirian menuruti keyakinannya sendiri.
Menjadi rumit tatkala itu dibawa ke negeri yang jauh seperti Indonesia. Memang, sebelum ditemukan alat telekomunikasi, tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa otoritas Mekkah mengirimkan berita ke seluruh dunia Islam tentang penentuan 1 Zulhijjah. Secara teknis, pengiriman berita ke negeri yang jauh seperti Indonesia saat itu juga mustahil. Karena itu perbedaan hari Iedul Adha saat itu mungkin juga dimaklumi – karena juga mungkin tidak disadari.
Berbeda dengan sekarang. Globalisasi membuat kita menjadi setengah hati. Akhirnya ada juga yang ambil jalan minimal. Rabu dia tidak puasa dan juga tidak sholat Ied. Toh puasa dan sholat Ied hukumnya sunnah. Tapi kalau puasa di hari Iedul Adha kan haram. Dan sholat Ied di hari yang salah, tulalit juga … Kita ingin persatuan. Namun otoritas Saudi yang saat ini menentukan hari wukuf bukanlah penguasa kita.
Andaikata ia adalah khalifah kita, demi persatuan dan demi menghindari kekeliruan, tentu sangat bijaksana jika di masa depan otoritas ini mengadopsi ilmu & teknologi ketika menerima kesaksian hilal. Agar Iedul Adha dan haji kita tidak setengah hati lagi. Allahu Akbar.