Itulah pertanyaan yang menghujani saya selama beberapa hari ini.
Saya jawab singkat ya:
1. Kalau nurut kanjeng Nabi, pakailah rukyatul hilal. Nabi tidak membatasi rukyatnya harus di sekitar kita saja …
2. Di wilayah Indonesia, tinggi hilal pada 29 Agustus 2011 masih di antara 0 – 1 derajat. Karena sudah positif, maka Muhammadiyah memutuskan besoknya (30 Agustus) lebaran. Tetapi karena kurang dari 2 derajat, maka NU akan menolak setiap kesaksian dari orang yang mengaku melihat hilal. Jadi, kemungkinan BHR/Kemenag akan memutuskan untuk istikmal, sehingga Lebaran tgl 31 Agustus.
3. Di Timur Tengah, sebenarnya hilal juga masih di bawah 2 derajat. Tetapi di Saudi ada “tradisi”, bahwa selalu akan ada orang yang mengaku melihat hilal bila besoknya sudah 1 Syawal menurut kalender Ummul Qura. Dalam 20 tahun terakhir ini, kriteria dalam kalender ini sudah diubah 3x, dan selalu ada yang mengkaim melihat hilal. Secara syar’i sih sudah sah, makanya namanya “rukyat syar’i”, tetapi secara astronomis dipertanyakan. Lha gimana, belum ijtima’ saja sudah ada yang mengaku melihat hilal … maklum sebelum 1999, kalender Ummul Qura memakai kriteria bila umur bulan saat matahari terbenam sudah 12 jam, maka hari itu (BUKAN BESOK) sudah masuk tanggal … ini artinya, bila ijtima’ terjadi pukul 6 pagi, maka hari itu juga sudah masuk tanggal (Ref: http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_Calender)
4. Yang hilal sudah di atas 5 derajat pada 29 Agustus 2011 besok adalah di Afrika Selatan atau Amerika Latin, jadi laporan rukyatul hilal dari sana secara astronomis boleh masuk akal.
5. Rukyatul hilal bukan hanya soal Astronomis, tetapi juga soal Baiknya pengamatan (pengamat tidak rabun, tidak ada pengganggu pandangan di arah hilal) dan Cuaca yang mendukung. Namanya “syarat ABC”.
Insya Allah, kita persamakan persepsi teknis ini, dengan persepsi politis, agar ada kesatuan ummat. Hanya ummat yang cerdas yang mau melihat perbedaan sebagai ladang amal, bukan sumber permusuhan.
Menjawab keraguan sebagian kalangan, karena di dunia ini 24 (atau bahkan maximum 26 daerah waktu) sehingga di dunia setiap saat selalu ada 2 hari. oke kita simulasikan begini: ada 6 kota: Samoa (di extrim Barat, GMT-11), New York (GMT-5), London (GMT+0), Makkah (GMT+3), Jakarta (GMT+7), dan Tonga (extrim timur, GMT+13 — bukan GMT+12).
Asumsikan “Ahad sore” (tanggalnya terserah, yang jelas 29 Ramadhan) mereka rukyat. Pasti yang rukyat duluan adalah Tonga. Baru 24 jam kemudian – kalau dibilang “Ahad sore” – adalah Samoa.
Kalau katakan di Tonga Ahad pukul 18 rukyat, dan hilal kelihatan.
Peristiwa ini diikuti secara on-line.
Tonga mengatakan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri.
Maka:
– di Jakarta masih Ahad pukul 12 siang; “besok” adalah Senin.
– di Makkah masih Ahad pukul 8 pagi; “besok” adalah Senin.
– di London masih Ahad pukul 5 pagi; “besok” adalah Senin.
– di NewYork masih Sabtu pukul 24 atau Ahad pukul 0 pagi; meski masih malam, tapi karena ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.
– di Samoa masih Sabtu pukul 18 sore, sama maghribnya dengan Tonga, tetapi ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.
Jadi rukyat global di Tonga akan menjadikan Sholat Ied di seluruh dunia sama-sama Senin.
Sekarang katakanlah di 5 kota dari Tonga hinga New York hilal tertutup awan, sehingga Ahad sore hilal tidak dapat terlihat, meski secara astronomi sudah di atas ufuk, dan itsbat memutuskan Ramadhan istikmal. Tetapi di Samoa hilal terlihat pada Ahad pukul 18 sore (29 Ramadhan), dan diumumkan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri. Maka:
– di Tonga sudah Senin pukul 18 sore; sudah sama-sama Maghrib tapi hari Senin sudah selesai, sehingga “besok” adalah Selasa; bisa saja yang tadi sudah dilalui dan sudah dianggap tgl 30 Ramadhan dicancel dan dianggap 1 Syawal, agar kelanjutan hari kembali konsisten (Selasa 2 Syawal). Tetapi yang jelas, perayaan Iedul Fitri tidak bisa pada hari Senin yang sama.
– di Jakarta sudah Senin pukul 12 siang; bisa saja istikmal dicancel, tetapi sudah tidak mungkin sholat Ied lagi, jadi Senin ini sudah 1 Syawal, tetapi sholat Ied-nya baru besok.
– di Makkah sudah Senin pukul 8 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin pagi ini juga lebaran.
– di London sudah Senin pukul 5 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin ini juga Lebaran.
– di New York masih Ahad pukul 24 atau Senin pukul 0 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel; jadi “besok” Senin Lebaran.
Jadi rukyat global di Samoa ternyata TIDAK BISA membuat hari sholat Ied di seluruh dunia sama; tetapi akan 2 hari yaitu Senin dan Selasa, lepas soal cancelling istikmal 30 Ramadhan.
Bagaimana kalau kita ambil kota di tengah yang rukyat? katakanlah dari Tonga sampai Mekkah gagal merukyat karena cuaca, tetapi London berhasil pada Ahad sore pukul 18 waktu London, maka:
– di Tonga sudah Senin pukul 7 pagi; istikmal dicancel, jadinya Senin ini juga lebaran.
– di Jakarta sudah Senin pukul 1 pagi; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.
– di Makkah masih Ahad pukul 21; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.
– di New York masih Ahad pukul 13; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.
– di Samoa masih Ahad pukul 7 pagi; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.
Jadi rukyat global di London masih bisa menjaga kesamaan hari lebaran.
KESIMPULAN
Yang paling crucial memang bila rukyat yang berhasil adalah yang di “pojok barat” daerah penanggalan kita, yaitu Samoa.
PERSOALAN YANG ADA SELAMA INI BELUM SEJAUH ITU.
YANG SERING TERJADI ADALAH KLAIM RUKYAT YANG SECARA SAINTIFIK TIDAK VALID, MISALNYA TERKADANG ADA KLAIM RUKYAT PADAHAL BELUM IJTIMA’ ATAU TINGGI BULAN MASIH NEGATIF. MESKI TIDAK ADA FOTONYA, DAN ADA BESAR POTENSI KEKELIRUAN, NAMUN SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MASIH KEBERATAN UNTUK MENOLAK RUKYAT SEMACAM INI. SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MENGANGGAP “MENOLAK RUKYAT DENGAN ALASAN ASTRONOMIS” ADALAH TIDAK SYAR’I. ALASANNYA, KARENA ASTRONOMI DIANGGAP BUKAN SESUATU YANG PASTI SEHINGGA BISA MEMBATALKAN KESAKSIAN. MEREKA BERPANDANGAN PENDAPAT PARA AHLI ASTRONOMI SUKA BERBEDA-BEDA, INI -MENURUT MEREKA- MEMBUKTIKAN ASTRONOMI TIDAK PASTI.
PADAHAL, DALAM MASALAH MENGHITUNG KAPAN IJTIMA’ ATAU TINGGI HILAL, PARA PAKAR ASTRONOMI TELAH SEPAKAT. YANG BERBEDA-BEDA ADALAH PERISTIWA ASTRONOMIS YANG MANA YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI PERALIHAN TANGGAL HIJRIYAH, APAKAH IJTIMA’? APAKAH WUJUDUL HILAL? APAKAH IMKAN 2 DERAJAT? APAKAH IMKAN 5 DERAJAT? DSB.
JADI BUKAN PADA MENGHITUNGNYA ITU SENDIRI.
SAYA SENDIRI BERPENDAPAT, UNTUK PEMBUATAN KALENDER, TIDAK USAH PAKAI HISAB ASTRONOMI. PASTI HASILNYA AKAN BEDA-BEDA KARENA TERGANTUNG KOORDINAT LOKASI YANG DIHITUNG. KITA KEMBALI SAJA KE KALENDER URFIAH YANG SUDAH DIPAKAI DI ZAMAN NABI. TERUS RUKYAT HANYA KITA KERJAKAN PADA 29 SYA’BAN. 1 SYA’BANNYA SENDIRI TIDAK USAH DIRUKYAT, KARENA TIDAK ADA PERINTAHNYA.
WALLLAHU A’LAM
Saya menulis di blog ini karena terlalu banyak pertanyaan seputar buku E. Darmawan Abdullah “JAM HIJRIYAH”, yang diluncurkan di Islamic Book Fair 2011 lalu. Kebetulan penulisnya pernah bertemu dan diskusi hangat dengan saya setahun yang lalu, dan setelah bukunya terbit juga menghadiahi buku tersebut. Saya terpanggil menulis komentar ini di forum publik, karena pendapat penulisnya juga telah dilempar ke ruang publik. Tentu saja saya juga mengirimkan langsung tulisan ini ke penulisnya.
Bismillahir Rahmaanir Rahiem
Secara umum saya sangat menghargai usaha Pak Darmawan yang sangat bersemangat dalam memberikan kontibusi demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin, khususnya dengan meluncurkan gagasan Jam Hijriyah dan Makkah Mean Time (MMT).
(1). Yang disebut Mean Time – sekarang di Greenwich – adalah, bahwa pada pukul 12:00 GMT, hari di seluruh dunia akan sama, yakni di pojok timur pukul 24, dan di pojok barat pukul 00. Ini adalah hasil keputusan International Meridian Conference 1884. Pojok barat = Pojok timur = Garis tanggal. Jadi kalau akan menggunakan istilah “Makkah Mean Time”, maka juga harus diputuskan, bahwa misalnya pada Ashr 12 di Mekkah (39,.49E, 21.26N) maka nama hari di seluruh dunia sama (pojok timur Ashr 24 – hampir magrib, pojok barat Ashr 0 – baru saja maghrib). Dalam konstelasi itu, maka pojok timurnya kira-kira akan ada pada bujur 180+39.49E = 140.51 W, masih di Pasifik juga. Sekali lagi ini hanya soal display.
(2). Sejarah hari: bahwa pada masa Rasulullah masih hidup, sudah ada sahabat yang diutus ke negeri yang jauh di timur Mekkah, misalnya Muaz bin Jabal ke Yaman. Dan hari yang dipakai di Yaman tetap hari yang sama dengan Mekkah. Tidak ada satupun berita bahwa sholat Jum’at di Mekkah harus lebih awal dari Yaman. Demikian juga ketika kaum muslimin lebih jauh menjelajah ke timur lagi, hingga Cina dan Nusantara, mereka tetap menggunakan hari yang sama, dan tidak ada ide agar harinya belakangan dari Mekkah. Oleh karena itu, ide penulis untuk merubah hari itu adalah BID’AH yang luar biasa.
(3). Tentang garis tanggal, memang kebutuhannya baru disadari manusia ketika ada pelayaran yang mengelilingi dunia. Ketika penjajah Spanyol masuk Filipina dari arah timur (mengelilingi Cape Horn di ujung selatan benua Amerika) dan mengalahkan Raja Sulaiman yang muslim, mereka mengganti hari agar sinkron dengan Spanyol, jadi hari yang semula Jum’at diganti Kamis. Tetapi pasca International Meridian Conference 1884, kondisi di Filipina dipulihkan lagi. Yang tetap bertahan adalah sebagian negeri kepulauan di Pasifik yang sebenarnya terletak lebih timur dari garis meridian 180 derajat, tetapi tetap ikut zona waktu timur, jadi GMT+13 (Tonga) dan GMT+14 (Line Island), karena merasa tidak nyaman untuk merubah 1 hari yang disakralkan, lepas dari soal agama yang dianut penduduknya.
Demikianlah, semoga Pak Darmawan sebagai penulis buku berbesar hati untuk memahami pendapat ilmiah kami atas buku beliau.
Salam
Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional
Konsultan Ilmu Falak / Astronomi Islam untuk PP Muhammadiyah, Hidayatullah & Hizbut Tahrir Indonesia