Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Setiap tahun di negeri ini hampir selalu terjadi kontroversi tentang awal Ramadhan, Iedul Fitri atau Iedul Adha. Di satu sisi ini menjengkelkan, karena kadang-kadang perbedaan ini bahkan dalam satu rumah, karena yang satu pakai hisab, yang lain pakai rukyat versi pemerintah, dan yang lain lagi pakai rukyat versi luar negeri. Tetapi ini sering juga bisa dijadikan alasan untuk mendiskusikan astronomi (ilmu falak) Islam. Astronomi Islam dianggap “Teknologi Ramadhan”.
Namun sebenarnyalah, untuk sekedar mengetahui awal/akhir Ramadhan dengan metode rukyatul hilal sama sekali belum diperlukan ilmu astronomi! Di masa Nabi, umat Islam nyaris belum ada yang belajar astronomi. Tentu Nabi tidak akan membebani umatnya dengan sesuatu yang tidak mereka kuasai. Sekedar melihat kapan matahari terbenam atau kapan bulan sabit pertama muncul, hanya diperlukan mata yang sehat, akal yang jernih, hati yang tulus dan sedikit pengetahuan tentang ciri-ciri objek langit yang dimaksud. Itulah makanya, orang Badui padang pasir pun mampu melakukannya, dan kesaksian hilal mereka langsung diterima Nabi.
Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan ratusan teknik pengamatan berikut alat-alatnya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan tabel almanak dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga kini masih dinamai dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan dalam dunia astronomi.
Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad. Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Romawi dengan angkatan laut yang kuat di Laut Tengah. Untuk melawan angkatan laut diperlukan angkatan laut pula. Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi. Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan benda langit, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa membebani kapal.
Dalam astronomi, karya astronom Mesir/Yunani kuno Ptolomeus, terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom India kuno Brahmagupta, telah dikaji dan direvisi secara signifikan oleh astronom muslim.
Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika, prinsip kamera dan membuat lensa teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars yang tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris. Tokoh-tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus yang heliosentris dengan orbit elliptis, yang belakangan diadopsi oleh Copernicus dan Keppler. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi sama persis dengan Nasir-ud-Din al Tusi dan Ali-al-Qusyji beberapa abad sebelumnya. Karena mereka beraktivitas di Maragha, maka pendapat ini sempat disebut “Revolusi Maragha pra-Rennaisance”.
Yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi. Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan realitas empiris yang lengkap. Astronomi juga dipisahkan dari astrologi berbasis klenik yang diharamkan. Astronom muslim menggunakan metode empiris serta analisis matematis untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat. Suatu prediksi astronomi yang dibangun dari data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari, hampir tidak mungkin meleset. Prediksi ini hanya bisa dikoreksi oleh pengamatan yang lebih akurat lagi.
Di zaman modern, seluruh pengetahuan astronomi yang dikembangkan dunia Islam ini diteruskan oleh dunia Barat. Ketika umat Islam menjadi mundur karena negara Khilafah melemah dan akhirnya hilang, Barat terus membangun berbagai observatorium optis maupun radio, bahkan observatorium satelit (seperti teleskop Hubble). Mereka juga mengeluarkan tabel-tabel astronomis modern seperti Ephemeris, Nautical Almanach, Astronomical Almanach dan sebagainya. Data dan perhitungan yang akurat ini mutlak perluk untuk meluncurkan pesawat ruang angkasa, mengoperasikan satelit – termasuk satelit navigasi GPS, yang telah memandu jutaan pergerakan kendaraan dan manusia dewasa ini. Andaikata rumus-rumus astronomi modern itu keliru secara fatal, tentu jutaan pengguna GPS akan tersesat, dan ini akan menjadi kehebohan besar.
Anehnya, di abad-21, umat Islam seperti terhempas kembali ke zaman pra Islam. Sebagian praktisi rukyat menafikan tabel astronomis modern (seperrti ephemeris) dengan alasan itu dibuat oleh orang kafir.
Sebaliknya, rumus-rumus pendekatan (hisab taqiribi) dari kitab-kitab tua karangan ulama Islam terdahulu yang dibuat untuk menyederhanakan perhitungan karena belum adanya komputer, justru terus dipakai, bahkan seolah-olah sakral, padahal untuk menghitung posisi matahari yang terang benderang saja bisa meleset cukup jauh. Dari berbagai hisab yang kurang akurat inilah timbul kesan bahwa astronomi belumlah menjadi ilmu pasti (qath’i), melainkan baru dzanny, sementara rukyatul hilal dianggap sesuatu yang lebih pasti, jadi lebih kuat.
Sementara itu, tanpa disadari mayoritas muslim yang hidup saat ini sebenarnya sudah kurang “mengenal langit” dalam kehidupan sehari-hari, karena telah tersedia jam, radio atau bahkan GPS. Mereka tidak lagi seperti Badui padang pasir yang datang ke Rasulullah kala itu. Ketika muslim saat ini mencoba melihat hilal, ditambah dengan keyakinan pada prediksi hisab taqribi, atau prediksi dengan kriteria yang memang tidak memiliki dasar sains maupun syar’i, maka muncullah berbagai klaim hilal yang kontroversial dengan data astronomi modern.
Sebenarnya, jika rukyat yang kontroversial itu didukung foto atau rekaman video, mungkin akan mengoreksi rumus-rumus astronomi yang sudah dianggap valid. Koreksi yang bahkan akan sangat besar. Tetapi apa lacur, sebagian praktisi rukyat ini juga menolak menggunakan teleskop atau kamera, dengan alasan Nabi tidak menggunakannya, seolah-olah ini adalah ibadah tauqifi.
Memang rukyatul hilal agar valid secara syar’i tidak memerlukan konfirmasi astronomi. Tetapi bila fenomena ini terus berlanjut, maka seolah-olah umat Islam mengingkari sendiri prestasi-prestasi astronomi yang pernah diraih dalam peradaban keemasannya.
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Mohon maaf, tidak usah repot-repot telepon, ym, sms, inbox, email atau sejenis ke saya untuk menanyakan kapan Ramadhan dimulai. Insya Allah saat-saat seperti ini mailbox saya overload, jadi mohon maklum tidak sempat balas !!! 😀
Kalau Anda mengikuti metode rukyat, maka tunggu saja tanggal mainnya, yang kebetulan jatuh Kamis sore 19 Juli 2012 ini. Anda boleh mencoba rukyat sendiri. Kalau tidak ada kesempatan, silakan buka website ini http://bosscha.itb.ac.id/hilal/ dan ikuti rukyat secara online dari 5 kota Indonesia.
Kalau Anda mengikuti metode rukyat global, maka ikuti website ini http://www.icoproject.org/default.aspx?&l=en atau moonsighting.com dan ikuti laporan dari seluruh dunia, sampai ke Amerika, yang barangkali di Indonesia sudah keburu pagi, dan Anda tidak keburu untuk niat puasa. Bagaimana mau niat puasa kalau belum ada informasi hilal?
Tapi perlu Anda tahu, kalau Anda nanya ke saya sebelumnya, ya berarti Anda tidak sepenuhnya mengerti rukyat murni, karena rukyatul hilal murni berarti inpredictable, tidak bisa dihitung sebelumnya, karena ada faktor yang tidak bisa dihitung, yaitu cuaca! Astronomi bisa dihitung. Baiknya pengamatan bisa dipersiapkan. Tetapi Cuaca tergantung Iradah Allah. ABC harus klop. Karena itu, kalender Islam selama memakai rukyatul hilal murni, akan sangat sulit digunakan untuk urusan sipil, seperti jadwal penerbangan. Bagaimana kalau Anda sudah beli tiket pergi hari Jum’at atau 1 Ramadhan, bila tiba-tiba 1 Ramadhannya tiba-tiba digeser menjadi Sabtu, karena Sya’ban istikmal?
Kalau syarat A, maka dapat dipastikan bahwa Kamis sore ini, hilal mestinya tidak kelihatan kecuali di Amerika Latin. Jadi di Timur Tengahpun tidak. Lihat gambar di http://www.icoproject.org/icop/ram33.html.
Bahwa bisa saja ada orang di wilayah yang mustahil melihat hilal, tetapi mengaku dan bersumpah telah melihat hilal, ya bisa saja. Namanya juga klaim. Kalau dia membawa bukti seperti foto dan sejenisnya, maka ini akan mengoreksi teori visibilitas hilal. Tapi biasanya tidak ada bukti seperti itu. Bahkan sebagian dari mereka malah menolak menggunakan alat, baik teleskop atau kamera, karena dinilai bid’ah, sedangkan rukyatul hilal adalah ibadah yang “tauqifi” (harus persis tatacaranya seperti di zaman nabi). Secara syar’i, fiqih yang selama ini diadopsi oleh beberapa negeri Islam juga tidak mensyaratkan yang neko-neko, cukup seorang muslim aqil baligh, baca syahadat, lalu bersaksi, khalas, selesai. Mahkamah Tinggi Saudi biasanya langsung meloloskan berita rukyat itu. Andaikata Imam Bukhari menerapkan hal sejenis pada kesaksian hadits, maka akan banyak hadits dhaif yang lolos. Oleh karena itu Imam Bukhari “menambah” beberapa syarat periwayatan. Mungkin boleh juga, atau bahkan semestinya, penerima berita rukyat juga menambah beberapa syarat, misalnya test mata, test bentuk hilal dsb. Selama ini sangat banyak pelaku rukyatul hilal, yang ternyata melihat ke arah yang keliru, atau menganggap hilal itu bentuk yang sama sekali lain. Jadi, kalau mereka melaporkan sesuatu yang bukan hilal sebagai hilal, mereka tidak bohong, cuma keliru saja, saking rindunya pada bulan Ramadhan … 🙂
Apakah rukyatul hilal mestinya dikerjakan tiap bulan? Rasulullah tidak memerintahkan seperti itu. Fakta bahwa Rasul mensyariatkan rukyat untuk awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, berarti bahwa bulan yang lain tidak perlu dirukyat. Justru karena rukyat itu, maka dalam 9 kali Rasul shaum Ramadhan, bulan Sya’bannya terpaksa diistikmalkan. Sya’ban yang sebelumnya biasa 29 hari, jadi lebih sering 30 hari. Akibatnya Syawalnya yang 29 hari. 7 dari 9 kali shaum Rasul itu cuma 29 hari.
Bagaimana kalau Anda menjadi penganut hisab?
Hisab semestinya dihasilkan juga dari rukyat jangka panjang. Akan tetapi, karena rukyat sebelumnya mungkin kurang akurat, makin hari makin tipis syarat minimum “hilal mestinya bisa dirukyat”. Jaman Al-Biruni 1000 tahun yang lalu, syarat hilal bisa dirukyat adalah 9 derajat! Tetapi makin ke sini makin kecil, karena ada kesaksian hilal, saat menurut hisab masih 2 derajat. Depag, NU dan beberapa ormas Islam memakai 2 derajat. Mereka menggunakan 2 derajat untuk hisab kalender. Dengan kalender hasil hisab itu, tanggal 29 sya’ban ditentukan. Kalau kriterianya beda, kadang-kadang bisa beda 1 hari, meski di satu tempat. Tetapi kalender hisab juga tergantung parameter tempat yang dihitung. Jadi bisa saja, kalender di dua lokasi yang berjauhan, tgl 29 sya’bannya beda, meski kriterianya sama. Ada yang jatuh hari Kamis, ada yang hari Jum’at.
Di Indonesia, yang pakai hisab mutlak tidak cuma Muhammadiyah. Persis, Hidayatullah dan Al-Washliyah pakai hisab juga, tetapi hisab imkanur rukyat 2 derajat. Sebenarnya secara astronomis, belum ada bukti ilmiah yang mendukung 2 derajat ini. Tapi ya itulah faktanya.
Tapi itu masih mending daripada Muhammadiyah, yang pakai Wujudul Hilal (0 derajat), atau kalender Ummul Qura Mekkah tempo dulu, yang pakai ijtima’. Supaya kelihatan legitimate secara syar’i, di Mekkah dan sekitarnya sering ada klaim rukyatul hilal — yang ini sering dibantah oleh astronom Saudi sendiri. Tapi ya secara syar’i, sah diikuti, walaupun tidak wajib. Di dunia ini saat ini kaum muslimin tidak punya Ulil Amri yang wajib diikuti, cuma boleh diikuti. Soalnya, para Ulil Amri itu tidak ada yang punya komitmen untuk menegakkan syariat Islam secara total, semua baru parsial, bahkan sebagian malah memusuhi syariat Islam.
Jadinya ya kembali ke masing-masing. Tiap diri bertanggungjawab kepada Allah atas keputusannya, mau ikut yang mana. Yang penting kita berjuang bersama, agar khilafah yang menerapkan kembali syariat Islam segera tegak kembali, dan ada khalifah yang memutus perbedaan pendapat dalam persoalan publik di antara kaum muslimin ini. Agar hanya ada 1 kriteria hisab, ada 1 kriteria laporan rukyat yang boleh diterima, 1 jalur informasi dan bahasa komunikasi yang akurat, dan ada 1 makna “rukyat global” yang operasional untuk seluruh dunia, yang faktanya setiap saat selalu ada 2 hari yang berbeda.
Mohon Maaf atas Semuanya, dan Selamat meningkatkan ibadah & amal sholeh di bulan Ramadhan!Salam!
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial
Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30 dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu keesokan harinya. Dan kalau transfer itu dilakukan pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu Senin pagi. Hal ini karena perbedaan daerah waktu. Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah pukul 16:30, dan Bank sudah tutup. Sekalipun sekarang orang bisa menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.
Inilah, dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang mendasari gagasan penyatuan daerah waktu. Ketika WIB, WITA dan WIT disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke. Eloknya lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8. Saat ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam. Jadi, bila kita menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari “ketertinggalan kita dari Singapura”. Selama ini, “di Singapura orang sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih tidur…”
Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah, sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita Trilyunan Rupiah.
Tetapi benarkah demikian?
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu matahari sebesar rata-rata 184 menit. Setiap perbedaan 1 derajat bujur setara dengan waktu 4 menit. Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding Merauke.
Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat Indonesia. Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak. Apa ini artinya?
Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA, maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu awal.
Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal. Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB. Di wilayah Jabotabek, pukul 5.30 itu matahari belum terbit! Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum masuk!
Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT. Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9 WIT, sudah sangat siang. Kebalikannya, jam pulang yang semula – misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT. Sudah cukup gelap, dan mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.
Dan kalau saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan masuk pukul 13 WI. Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka akan terlambat bekerja lagi. Pemborosan. Sementara bila waktu istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan. Jelas ini masalah.
Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul 13-14, dan pulang kantor pukul 17. Praktis tak ada bedanya dengan WIB. Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita baru berangkat ke kantor”.
Dilihat dari manfaatnya, yang akan menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa. Sedang lebih dari 100 juta orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah akan mengalami kesulitan. Kalangan penerbangan konon sudah keberatan dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian banyak persoalan.
Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.
Zona waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19. Tanpa zona waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota yang berjauhan jadi sangat sulit. Dalam prakteknya, pengaturan zona waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.