KR 15 November 2007
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Hampir dua bulan Gunung Kelud dalam status awas. Masyarakat di sekitarnya, yakni di wilayah Blitar dan Kediri sudah dievakuasi. Karena Gunung Kelud tidak juga meletus, mereka sampai bosan. Karena evakuasi tidak mencakup hewan piaraan, beberapa pengungsi akhirnya nekad tiap siang pulang ke rumahnya untuk memberi makan ternaknya. Namun ada juga yang terpaksa menjual ternaknya dengan harga yang sangat murah … mungkin dari pada repot.
Pemantauan Gunung Kelud
Pemantauan Kelud lebih banyak menggunakan metode visual, kimia, termik dan seismik. Menurut Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sistem pemantauan sehari-hari Gunung Kelud dipusatkan di Pos Pengamatan Margomulyo, meliputi pemantauan visual dari warna, ketebalan dan tinggi asap solfatara dan cuaca di sekitar puncak. Ada kamera CCTV yang dipasang khusus untuk itu. Di samping itu dilakukan pengamatan langsung ke kawah meliputi pengukuran suhu air dan pengamatan perubahan warna air danau kawah serta pengamatan pergeseran gelembung-gelembung gas yang muncul yang dapat diamati pada permukaan air kawah. Selain itu juga dilakukan dengan metoda seismisitas atau kegempaan.
Sebenarnya teknis pengamatan gunung api dapat juga menggunakan metode geometris, akustis dan biologis.
Metode geometris biasa dilakukan di Gunung Merapi, yang kubah lavanya selalu membengkak. Di atas kubah lava itu dipasang beberapa target signal atau reflektor yang diukur dengan pengukur jarak elektronik (electronic-disto-meter). Dengan cara ini bisa dihitung perkembangan volume kubah lava dari waktu ke waktu. Kelemahan cara ini adalah jika signal atau reflektor itu terkena material vulkanik. Namun cara geometrik dapat pula menggunakan metode fotogrametrik dengan menggunakan kamera fotogrametri dari banyak pos pengamat di seputar gunung tersebut atau bahkan dari pesawat udara atau satelit. Cara ini tidak seakurat cara dengan pengukur jarak elektronik, namun dapat berfungsi kapan saja.
Metode akustis menggunakan semacam microphone yang dipasang di tanah (disebut geophon) untuk mendeteksi suara gemuruh yang terjadi akibat aktivitas magma atau runtuhnya kubah lava.
Sedang metode biologis memanfaatkan pengetahuan atas sifat-sifat binatang yang pada umumnya menjadi sangat gelisah (tidak seperti biasanya) sesaat sebelum gunung meletus. Hewan piaraan – misalnya burung dalam sangkar pun akan terbang gelisah dan nabrak-nabrak sarang. Ini diduga terjadi karena sifat material yang akan pecah mengeluarkan gelombang ultrasonik atau elektromagnetik dalam gelombang yang bisa dirasakan binatang. Pada sebagian orang, efek biologis ini juga dirasakan dalam bentuk rasa ”merinding” secara tiba-tiba sebelum gunung meletus.
Gunung Kelud memang memiliki karakter yang berbeda dengan Gunung Merapi. Setidaknya ada dua hal yang khas gunung Kelud yakni:
(1) Kelud memiliki kawah yang terisi air menjadi danau kawah. Volume air dalam danau kawah saat ini ditaksir mencapai 2,5 juta meter kubik. Air inilah yang menekan magma sehingga sampai bisa keluar magma harus ”menabung” energi yang cukup besar dulu. Namun beberapa hari terakhir ini, terjadi fenomena menarik di danau kawah, yakni lahirnya ”Anak Kelud”. Ini terjadi karena kubah magma yang muncul dari tengah danau kawah menonjol cukup cepat, dan ditaksir suatu saat dapat menghilangkan danah kawah tersebut.
(2) Karena faktor di atas, maka energi letusan Kelud jauh lebih besar, sehingga biasanya sekaligus berupa sebuah letusan vertikal. Material vulkanik akan terhempas ke atas dan menyebar ke segala arah. Ini berbeda dengan Merapi yang materail vulkanik keluar berupa awan panas melalui jalur-jalur tertentu dan tidak sekaligus dalam suatu letusan besar.
Dalam ilmu vulkanologi, dapat dikatakan tidak ada gunung api yang persis sama. Setiap gunung punya karakternya masing-masing, walaupun ada yang mirip-mirip. Adalah tugas besar bagi PVMBG bersama Bakosurtanal untuk menyiapkan peta gunung api di setiap gunung api yang ada.
Menangkal Bahaya
Hingga kini belum ada teknologi yang dapat menghentikan letusan gunung berapi. Yang dapat dilakukan hanyalah membuat prediksi untuk peringatan dini serta mitigasi sehingga bila terjadi letusan, korban dan kerugian dapat ditekan serendah-rendahnya.
Dengan pengamatan yang baik, letusan gunung berapi termasuk dapat diprediksi dan peringatan dini dapat diberikan untuk waktu yang cukup. Hanya saja, fenomena Kelud menunjukkan bahwa status awas berjalan terlalu lama. Pada tahun 1990, letusan terjadi setelah suhu kawah mencapai 40° C. Namun kini meski suhu kawah sudah di atas 70° C Kelud belum juga meletus. Rupanya energi magma itu ”dipakai” dulu untuk melahirkan Anak Kelud.
Prediksi mencakup juga pola sebaran material vulkanik pasca letusan. Pola sebaran ini akan menentukan tempat dan route evakuasi. Tempat dan route evakuasi ini dapat digambarkan di atas peta yang disebarkan ke masyarakat, dan di lapangan diberi tanda-tanda petunjuk yang memberi informasi ke mana orang harus menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Untuk membuat prediksi yang baik dapat dilakukan berbagai simulasi.
Namun penangkalan tidak berhenti hanya pada informasi untuk menyelamatkan diri. Penangkalan juga dapat berupa mekanisme fisik. Yang paling lazim adalah pembangunan tanggul dan cekdam (Sabo) yang akan memaksa lava atau lahar mengalir ke tempat yang tidak membahayakan siapapun. Khusus untuk Kelud dengan danau kawahnya, mekanisme fisik yang perlu dan sebagian telah dilakukan adalah dengan terowongan yang dapat mengurangi volume air danau kawah secara signifikan setiap mencapai level tertentu.
Yang harus optimal juga adalah bagaimana bentuk tempat evakuasi dan mekanisme evakuasi berjalan. Tempat evakuasi haruslah sedemikian rupa sehingga selain benar-benar aman juga manusiawi. Ada tempat untuk mengganti popok bayi, untuk menampung ternak, untuk bermain anak, untuk terapi mental-spiritual, bahkan perlu ada kamar khusus bagi suami istri untuk melakukan hubungan biologis.
Tentu saja pemerintah sebagai yang berkewajiban melayani masyarakat sudah saatnya segera mengadopsi teknologi terbaik yang dapat menangkal letusan gunung berapi, baik teknologi pengamatannya maupun menangkal letusannya.
Lampiran: Gambar: peta gunung api di Indonesia.
Gambar Peta vulkanik dengan erupsi sejak tahun 1900
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Setiap tahun, ribuan – bahkan mungkin ratusan ribu kambing, domba dan sapi yang diserahkan umat Islam sebagai hewan qurban. Namun kita perlu introspeksi, jangan-jangan selama ini kita terjebak dalam rutinitas ritual – atau rutinitas bisnis – sehingga dari ibadah qurban itu yang tersisa hanya ”baunya dan kolesterolnya saja” …
Bagi Allah, yang penting memang bukan darah dan daging hewan ternak itu. Dalam surat al-Hajj, Allah berfirman:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs. 22:37)
Memang akan tampak terlalu ”murah” bila qurban cukup sekali setahun. Itupun sebenarnya hukumnya bukan wajib, namun sunnah, serta tidak ada nishobnya sebagaimana zakat, lalu si pequrban masih boleh ikut menikmati sebagian dagingnya lagi.
Makanya kita harus lebih menghayati makna di balik qurban, agar qurban kita tidak sia-sia.
Qurban berakar dari kata qa-ra-ba, artinya mendekat dan yang dimaksud ialah taqarrub ilallah, mendekat kepada Allah. Di surat Al-Kautsar, Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu dialah yang terputus. (Qs. 108:3).
Setiap manusia wajib merenungkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan Allah. Nikmat berupa organ tubuh seperti mata, telinga, lidah, tangan, kaki, ginjal, jantung, atau otak, yang entah berapa harganya dan di mana belinya kalau organ ini rusak; nikmat oksigen yang kita hirup setiap saat tanpa sadar apalagi membayar; nikmat orang-orang terdekat yang sebenarnya menyayangi kita, hanya kita mungkin baru akan sadar kalau mereka sudah tiada; nikmat ditutupnya aib kita oleh Allah swt sehingga banyak orang hormat kepada kita; dan segunung nikmat yang lain.
Karena kita selama ini hanya menghitung nikmat yang berupa materi, dan jarang memasukkan hal-hal yang non materi seperti ilmu atau pengalaman, teman, tetangga dan saudara, kesehatan serta ketenangan batin, maka kita jadi jarang bersyukur.
Namun bersyukurpun harus dibuktikan dengan shalat dan berkorban. Shalat yang dimaksud tidak cuma shalat dalam arti ritual, namun juga shalat dalam arti menegakkan syari’at, tunduk kepada hukum-hukum Allah, menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana sabda Nabi:
Shalat itu tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama, dan barangsiapa merobohkannya dia merobohkan agama.
Namun menegakkan syari’at tidak cukup itu saja. Harus ditambah dengan banyak berkorban. Puncak dari pengamalan syari’at adalah amar ma’ruf nahi munkar, dakwah, dan mahkotanya adalah jihad. Sedang tentang jihad, nabi bersabda:
Sebaik-baik jihad adalah kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim.
Kata-kata benar artinya nasehat, atau bisa juga kritik atau kesaksian yang benar dari seseorang yang memang mengetahui duduk persoalan suatu hal.
Untuk berani bersaksi seperti ini diperlukan pengorbanan yang besar. Pengorbanan yang tidak semudah membeli seekor domba lalu menyembelih dan membagikannya ke fakir miskin. Namun pengorbanan yang lebih tinggi lagi, pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, kehormatan, harta, dan jiwa.
Sejarah mencatat betapa banyak orang-orang yang karena keteguhannya membela membela prinsip-prinsip kebenaran di depan penjajah atau penguasa tirani, kemudian difitnah, diteror keluarganya, dikucilkan di tempat kerja, dipekerjakan secara tidak manusiawi, dibekukan rekeningnya, digusur rumahnya, dirampas hak-hak sipilnya, dipenjara, bahkan dibunuh dengan cara-cara mengerikan.
Namun sejarah juga mencatat, bahwa tanpa pengorbanan orang-orang seperti itu, mustahil ada kemerdekaan, ada kebangkitan, ada revolusi. Tanpa darah dan airmata mereka, mustahil ada Indonesia. Tanpa Nelson Mandela yang rela dipenjara 27 tahun mustahil ada Afrika Selatan yang bebas rasisme. Tanpa Lech Walensa yang dikejar-kejar karena memimpin Serikat Buruh Solidarnosc yang terlarang, mustahil komunis bisa hilang dari Polandia.
Hanya dengan pengorbanan kita, maka makar orang-orang yang membenci kita, kaum Kuffar yang ingin menjajah dan menjarah negeri kita, akan gagal (terputus). Tanpa kita siap berkorban, kita akan menjadi korban. Maka berkorbanlah, sebelum anda dikorbankan!
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Tanggal 3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah pemanasan global. Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad.
Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change. Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.
Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.
Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, salah iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi. Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.
Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah disengaja.
Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C. Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:
(1) Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair. Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter! Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).
(2) Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang. Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang. Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta. Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.
(3) Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
(4) Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut. Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.
(5) Perubahan vegetasi. Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis. Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!
(6) Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang. Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.
Sumber Gas Rumah Kaca
Hingga saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang AS memang kurang berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di bidang transportasi. Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB).
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara. Secara teknologi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working, dsb).
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi pemanasan global.
Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit! Di level bawah, para aktivis dakwah perlu mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”.