Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Mencari Bentuk Manajemen Riset

Monday, March 17th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

Beberapa bulan terakhir ini Menteri Kesehatan dan departemennya masuk berita.  Pertama terkait ungkapan Menkes dalam bukunya bahwa telah terjadi konspirasi antara WHO dan beberapa perusahaan farmasi yang melanggar hak-hak bangsa Indonesia.  Sebabnya, virus avian flu (flu burung) yang diserahkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO), ternyata dipakai oleh sejumlah perusahaan farmasi di negara maju untuk riset dan pengembangan vaksin flu burung tanpa seijin pemerintah Indonesia, dan kemudian justru akses bangsa Indonesia atas vaksin tersebut begitu sulit atau mahal.  Padahal korban tewas flu burung sudah puluhan orang.

Yang kedua adalah adalah kasus publikasi sebuah penelitian di IPB tentang terkontaminasinya sejumlah susu bayi kemasan dengan suatu jenis bakteri yang bisa berbahaya.  Menkes merah telinganya atas penelitian yang menurutnya dibuat tanpa kejelasan apa masalahnya, karena menurutnya selama ini tidak ada kasus keracunan susu bayi.  Menurut beberapa sumber di IPB, sebenarnya penelitian tersebut sudah dilakukan tahun 2006 lalu, dan hasilnya juga sudah ditindaklanjuti Depkes.  Entah apa motivasi di balik publikasi baru-baru ini.

Kita tidak ingin mengupas tuntas persoalan yang dihadapi Menteri Kesehatan.  Namun kita ingin menyoroti bahwa semua persoalan di atas berpangkal dari jeleknya manajemen riset kita.  Negeri ini sudah memiliki Undang-undang no 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian & Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sipteknas).  Namun faktanya di lapangan masih banyak persoalan manajemen dan teknis yang harus dipecahkan.

Pertama, tentang riset apa yang mau dilakukan, antar para pelaku riset seperti tak ada koordinasi.  Sebenarnya tidak masalah ada overlap antar peneliti, karena hal itu dapat menjadi ajang validasi hasil riset antar mereka.  Namun validasi ini jarang dilakukan, karena justru overlap ini terjadi lebih karena mereka tidak saling tahu.  Dalam hal ini perhimpunan-perhimpunan ilmiah juga belum mampu menjadi katalisator.  Perhimpunan-perhimpunan ilmiah di negeri ini kebanyakan hanya ajang silaturahmi dan “konkow-konkow” elit pengurusnya.  Pengurusnya ini juga kebanyakan justru birokrat atau pengusaha, bukan peneliti tulen, dan perhimpunan ilmiah itu sekedar dipakai alibi untuk jalan-jalan atau tidur di hotel atas biaya kantor.  Maka dari awal sudah dapat ditebak bahwa riset kita banyak yang tidak nyambung, baik dengan lembaga sejenis maupun dengan calon penggunanya.  Dampaknya, banyak hibah-hibah riset yang ditawarkan lembaga-lembaga multinasional (misalnya Asia Pacific Network atau Uni Eropa) yang sulit dimanfaakan oleh peneliti Indonesia, sebab mensyaratkan bahwa topiknya harus regional (minimal melibatkan 3 negara) dan dikerjakan oleh beberapa lembaga dari setiap negara yang saling mengisi.  Ini sekaligus indikator bahwa lembaga-lembaga riset kita miskin jejaring.

Kedua, riset-riset yang telah dikerjakan, sangat sulit diketahui orang lain akan keberadaannya.  Bahkan riset-riset di perguruan tinggi, yang sudah mencetak doktor atau magister, sulit kita dapatkan secara bebas sekalipun hanya daftar judulnya saja.  Sejumlah orang beralasan itu agar ide dalam karya tersebut tidak dijiplak.  Namun alasan itu tentu tidak masuk akal.  Di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, tesis-tesis master atau PhD banyak yang ditaruh di web sehingga dapat diunduh oleh siapa saja melalui internet, sebagian bahkan tidak sekedar judul dan abstraknya, namun bahkan full text.  Mereka tidak khawatir riset mereka dijiplak orang, karena sadar, bahwa penjiplak itu sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri.  Penjiplak tak akan pernah lebih maju daripada yang dijiplak.  Tatkala para penjiplak berbangga diri dengan karya yang sebenarnya bukan hasil pikirannya, “korbannya” justru telah melesat jauh meninggalkannya.

Ketiga, masuknya sejumlah peneliti asing atau penelitian di Indonesia yang didanai asing tentu saja harus dicermati.  Banyak peneliti di Indonesia tidak lebih dari buruh-buruh intelektual yang mau dibayar murah.  Rendahnya apresiasi terhadap penelitian yang tercermin pada rendahnya APBN riset (kurang dari 0,2%) menyebabkan para peneliti terpaksa sering “mengasong”.  Datangnya peneliti asing atau penelitian pesanan asing bagi mereka adalah berkah.  Yang dicari sering hanya uang.  Sering bahkan mereka tak tertarik menulis paper ilmiah berdasarkan data yang mereka kumpulkan sendiri.  Akibatnya ribuan paper ilmiah tentang fenomena di Indonesia justru ditulis oleh orang asing.

Keempat, dunia bisnis di Indonesia masih jarang tertarik untuk terjun ke bidang baru yang sarat riset.  Kalau ada insinyur Indonesia menemukan alat untuk meningkatkan efisiensi mesin mobil, mustahil dia dapat menjual alat itu agar dipakai oleh Honda di Indonesia.  Agen Honda di Indonesia hanya tertarik dengan penjualan produk Jepang.  Mungkin lain bila insinyur tadi ketemu chief scientist Honda di Jepang sana.  Dari sini tampak, bahwa semestinya yang proaktif memasarkan hasil riset tadi adalah pemerintah.

Di beberapa negara maju, pemerintah mensponsori hasil riset untuk dikomersialisasikan dalam bentuk proyek yang berjudul Public-Private-Partnership (PPP).  Contohnya, Badan Ruang Angkasa Jerman (DLR) mengembangkan satelit pemetaan berteknologi radar yang resolusinya 1 meter.  Satelit bernama TerraSAR-X in dikembangkan dengan APBN Jerman (sektor publik) dan modal swasta.  Operasionalisasi satelit ini, termasuk downlink data dan distribusi, juga dilakukan oleh suatu perusahaan swasta.  Inilah partisipasi sektor privat.  Selama masa PPP ini, data TerraSAR-X dipakai baik secara komersial (berbayar) maupun saintifik (gratis) untuk komunitas para peneliti, bahkan ke peneliti di luar negeri.  Padahal 1 scene citra TerraSAR-X itu berharga 4500 Euro (sekitar Rp. 60 juta).  Setelah lima tahun (yakni tahun 2012) akan dievaluasi apakah negara Jerman masih perlu membiayai proyek ini, atau keseluruhan sistem TerraSAR-X harus dibiayai swasta.  Saat ini ada beberapa satelit pemantau bumi yang sepenuhnya dibiayai secara komersial, antara lain Ikonos atau Quickbird.

Model PPP sangat menarik bagi banyak investor.  Tetapi tentu saja tidak segala jenis pelayanan publik (jika setuju bahwa riset seharusnya merupakan layanan publik pemerintah kepada rakyatnya) dapat dijalankan model PPP.  Salah satu model PPP yang sekarang sedang dimatangkan oleh Kantor Menristek adalah membangun sistem informasi bencana.  Inisiatif ini adalah untuk memberi informasi secepatnya ke semua pengguna telepon seluler di suatu lokasi bila ada bencana (misal tsunami) secara gratis.  Karena pemerintah (Bakornas Penanggulangan Bencana) tidak punya cukup dana untuk menyebarkan informasi ini, maka swasta masuk.  Kompensasi untuk swasta adalah mereka diberi kesempatan menyelipkan iklan.  Namun secara teknis, model ini barangkali baru dapat optimal bila pengguna ponsel berteknologi 3G sudah cukup banyak.  Namun bila diasumsikan yang akan memakai layanan ini adalah para turis asing yang sebagian besar sudah membawa ponsel 3G dan ingin merasa aman berwisata di pantai Kuta (Bali), mungkin kita dapat memahami.

Namun banyak pertanyaan yang muncul di sini.  Bila proyek itu rugi, sejauh mana swasta ikut menanggung?  Bila untung, apakah negara sebagai wakil publik ikut mendapatkan bagi hasilnya? Bila sistem gagal, sejauh mana tanggungjawab pemerintah?  Lalu swasta siapa yang akan dipilih?  Boleh ada berapa swasta agar tidak ada monopoli?  Apakah sistemnya transparan dan bagaimana menguji akuntabilitasnya?  Banyak hal-hal ini yang harus diklarifikasi dari awal.  Agar PPP, terutama yang terkait dengan penelitian, tidak justru menjadi seperti sengketa operator busway dengan Badan Layanan Umum Transjakarta.

Mencari Peta Bencana

Wednesday, January 2nd, 2008

dimuat di harian KR 8 Januari 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Tahun Baru diwarnai dengan bencana baru.  Dan kita sekali lagi terbangun dari tidur panjang: bencana yang acap kali terjadi belum membuat kita lebih cerdas.

Baru saja, ada orang yang bertanya: adakah Bakosurtanal siap dengan peta banjir kawasan Solo-Ngawi-Bojonegoro?  Paling tidak untuk emergency, evakuasi, dan rehabilitasi.  Banyak LSM dan ormas yang siap terjun tapi belum punya peta.

Ketika ditanyakan pada pejabat yang pernah punya proyek pemetaan bencana, dijawab sudah diupload di web Bakosurtanal.  Ketika dilihat di web, ternyata file di situ hanya file jpeg (yang kalau diprint pasti gambarnya pecah) setara skala 1:1000.000. Jadi 1 cm di peta itu sama dengan 10 km di lapangan!  Untuk overview satu propinsi, peta itu masih bisa dipakai, tetapi untuk bergerak di lapangan tentu jauh dari memadai!

Celakanya lagi, di peta itu: Solo, Ngawi dan Bojonegoro sempat digambar tidak rawan banjir!  Tidak ada penjelasan metode pembuatan peta tersebut.  Tetapi dapat diduga, hal itu karena (1) sumber data yang dipakai hanya peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 yang toleransi kesalahan vertikalnya sekitar 3 meter; (2) pembuatannya, meski sudah melibatkan BMG dan Departemen PU, namun hanya berdasarkan data historis jangka pendek, belum dari spatial-system-dynamic-modelling; (3) generalisasinya terlalu excessive, sehingga untuk daerah rawan banjir praktis hamir seluruh Kabupaten dianggap rawan.  Ya kalau seluruh Kabupaten rawan banjir, lantas di mana bisa ditampung pengungsi dan menurunkan logistik? Semoga peta ini belum sempat disosialisasikan…

Ketika hal ini disampaikan ke para pejabat yang berwenang, ada oknum pejabat yang menanggapi begini: “Coba anda bikin metode yang lebih baik …”.  Weleh-weleh … padahal dulu waktu pembuatan peta itu kita tidak pernah diajak rembugan, boro-boro kecipratan …  Tapi ini masih mending, ada juga oknum pejabat lain yang justru meradang, karena kita dianggap menyampaikan informasi tidak melalui jalur birokrasi yang sah.  Perlu diketahui, banjir ini terjadi saat cuti bersama.  Jadi kita mengontak para pejabat eselon satu itu dengan sms dan telepon.  Kalau ini dianggap lancang, dan harus menunggu surat-menyurat konvensional, ya kapan korban di lapangan bisa ditolong?

Kita introspeksi, ini memang karena Bakosurtanal hingga saat ini belum punya PUSAT PEMETAAN KEBENCANAAN yang memadukan berbagai data di Bakosurtanal, BMG, Lapan, ESDM, PU, dll.  Di Bakornas-Penanggulangan Bencana juga tidak ada.  Dan di UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, urusan peta bencana diserahkan ke daerah, padahal daerah belum tentu ada orangnya yang peduli dan mampu.  Walhasil, urusan pemetaan bencana adalah urusan voluntary.  Hanya, sekali-sekali ada inisiatif yang kemudian mendapatkan kucuran anggaran dari DIPA.  Itu juga sebenarnya tidak besar.

Tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta, dan banyak orang menawarkan pemetaan banjir, Dewan Geomatika Indonesia pernah mencoba membuat kajian pemetaan banjir.  Hasilnya: saat ini masih cukup sulit menghasilkan peta banjir yang akurat.  Penyebabnya tiga macam:

(1) Kita tidak punya peta 3-Dimensi yang cukup rinci dengan toleransi kesalahan vertikal maksimum 25 centimeter, dan resolusi spasial 1 meter; ini artinya mencakup selokan, gorong-gorong, tanggul pembatas jalan dan sebagainya. Peta dari Dinas Pengukuran dan Pemetaan Tanah (DPPT) DKI, yang konon berskala 1:1000 – 1:5000, pernah ditawarkan, tapi ternyata cuma ada 1 titik tinggi tiap 1 hektar, sedang jalan, selokan dan lainnya belum 3-Dimensi.  Jadi ya susah, padahal banjir sudah terjadi ketika genangan air di jalan sudah mencapai 30 cm lantaran terhalang tanggul pembatas jalan, atau gorong-gorong mampet.

(2) Data seperti di atas, yaitu mencakup sepanjang daerah aliran sungai, akan sangat besar, sehingga modelling secara spatial-system-dynamic memerlukan processor paralel – ditaksir minimal sekitar 100 Pentium-IV @ 1 GHz.  Dengan prosesor seperti ini diharapkan model yang dihasilkan dapat berpacu dengan peristiwa di alam, sehingga bisa untuk early warning.  Pada umumnya sih orang mengambil jalan moderat dengan membuat “pre-run-model”.  Jadi model-model disimulasi lebih dahulu, yang kemudian tinggal dipanggil saat di lapangan menunjukkan indikator tertentu.

(3) Untuk bisa melakukan modelling parallel itu, diperlukan beberapa SDM pakar, antara lain: ahli informasi spasial (pemetaan), ahli pemodelan system-dynamic & programmer yang menguasai pemrograman dalam lingkungan paralel, dan yang terakhir ini cukup sulit didapatkan di Indonesia.

Jadi untuk saat ini terus terang kita belum berani mengerjakan pemodelan banjir yang sesungguhnya, kecuali kalau baru sekedar “main-main”, misalnya:

(1) Ambil citra satelit Quickbird atau Radar (ALOS-Palsar) sebelum banjir dan setelah banjir, lalu tinggal digambar/delineasi kawasan yang terendam.  Tapi gambar ini tidak memperlihatkan dinamika air, padahal genangan itu kan bergerak.  Apa yang saat citra diambil tidak tergenang, boleh jadi beberapa jam kemudian tergenang, sedang yang semula tergenang cuma 20 centimeter, bisa jadi berubah menjadi 2 meter.

(2) Tentukan beberapa ratus titik di lapangan (paling gampang pilih tiang listrik), lalu ukur tingginya dengan GPS, pasang sticker berskala di tiang listrik itu yang menunjukkan angka elevasi absolut di atas permukaan laut, kemudian saat banjir bikin survei kecil-kecilan (boleh melibatkan masyarakat setempat) untuk memantau skala tertinggi yang disentuh air banjir.  Mereka tinggal kirim sms dalam format tertentu, sehingga peta dapat diupdate dari menit ke menit.  Ini mudah dan murah.  Namun tentu hanya bisa menggambarkan banjir yang telah terjadi, belum yang masih mungkin terjadi di masa depan.

Memang kuncinya di spatial-system-dynamic, di mana komponen seperti curah hujan maksimum, landcover, pendangkalan sungai, kondisi selokan, gorong-gorong, pintu air, pompa serta situasi pasang surut dapat dimodelkan semua.

Berani?  Maksudnya berani membiayainya, dan juga mencarikan personilnya?  Kalau berani, sistem ini nanti dapat dipakai juga untuk AMDAL.  Jika ada orang bikin real-estate baru, atau membuka kebun baru, maka sebelum terjadi apa-apa, dapat disimulasi, apakah proyek itu kelak dapat mengakibatkan banjir atau tidak.  Kalau berpotensi banjir (sekalipun banjirnya tidak di situ), ijin tidak usah diberikan.

Gitu aja koq repot.  Tidak repot, tapi sekali lagi siapa berani?  Kita memang perlu pemimpin yang pemberani, yang takutnya hanya kepada Allah saja.

Mencari Teknologi Ramah Lingkungan

Wednesday, January 2nd, 2008

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global.  Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten.  Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.

Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?

Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah.  Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi.  Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal.  Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar.  Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang?  Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah.  Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.

Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:

 

Pangan

Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian.  Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.

Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan.  Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC.  CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir. 

Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah.  Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing.  Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.

Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan.  Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar.  Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang.  Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.

Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat.  Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan. 

 

Energi

Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan.  Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh.  Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air.  Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya.  Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.

Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara.  Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan.  Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di sana.  Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!

Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal.  Dinding luar berselimut tanaman rambat.  Atap berlapis solar panel.  Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.

 

Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.

 

Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2

 

 

Solar panel terbesar di dunia, proyek GAIA di Jepang

Dulu, energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi.  Namun pendapat ini kini telah berubah.  PLTN mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.

Yang kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit). Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.

 

Transportasi

Alat transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda!  Sudah banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari.  Sepeda semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer. 

Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan.  Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan.  Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya.  Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi.  Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik.  Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.

Untuk transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan dibanding mobil biasa.  Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar (fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan (elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen.  Reaksi hidrogen-oksigen akan menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air.  Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak pasar).

Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit.  Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin.  Saat macet, mesin listrik yang bekerja.  Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.

Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa.  Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” – mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km. 

Di laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis!  Layar ini dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan.  Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.

Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.

kapal modern dengan layar mekanis

 

Informasi dan Komunikasi

Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat.  Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi.  Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.

Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi.  Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit.  Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang.  Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang.  Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%.  Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju, yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang bernuansa penjajahan.

Teknologi yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh siapapun.  Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri dari negara-negara maju.

Jadi tak benar bila semuanya urusan bisnis.  Masalah transfer teknologi adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta niat baik negara maju untuk berbagi.