Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Rukyat

Saturday, January 17th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Tahun baru hijriyah sering menjadi alasan untuk mengadakan seminar tentang kalender Islam, yang ujung-ujung terkait dengan astronomi Islam.  Hal ini karena dalam kalender Islam, ada hari-hari penting yakni awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Zulhijjah yang dikaitkan dengan suatu peristiwa astronomis, yakni tampaknya bulan sabit baru di langit, atau disebut hilal.  Pengamatan atas hilal aktual disebut rukyatul hilal.  Sedang perhitungan kapan hilal kemungkinan terlihat disebut hisab.  Dan keduanya adalah aktivitas astronomi yang mau tak mau harus dilakukan sendiri oleh kaum muslim.  Karena itu astronomi Islam sering direduksi menjadi persoalan hisab dan rukyat.  Kalau pun ada tambahannya, maka itu adalah tentang penentuan arah kiblat dan jadwal sholat sehari-hari.

Apakah benar itulah seluruh astronomi Islam?  Ternyata tidak.  Andaikata astronomi Islam hanyalah yang terkait persoalan ibadah mahdhoh (sholat, puasa, haji), maka semua aktivitas tersebut sudah dapat terpenuhi pada zaman Nabi, ketika umat Islam belum memiliki seorangpun yang pantas disebut sebagai astronom.  Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan ratusan teknik pengamatan berikut alat-alat pengamatannya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan jenis tabel almanak astronomi dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga kini masih diberi nama dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan di dalam dunia astronomi.

Pada awalnya, umat Islam mewarisi astronomi dari bangsa-bangsa yang telah ditaklukannya, yaitu bangsa Mesir kuno, Yunani, Persia dan India.  Namun umat Islam telah memurnikan astronomi dari “saudara tirinya” yaitu astrologi (ilmu meramal nasib dengan perbintangan).  Dalam literatur Arab awal, ilm-al-Nujum  (ilmu bintang) digunakan baik untuk astronomi maupun astrologi.  Pemisahan yang tegas baru dilakukan oleh Abu al-Rayhan al-Biruni pada abad-11.  Kajian astrologi ditolak oleh para ilmuwan muslim, termasuk al-Farabi, ibn al-Haytham, ibnu Sina dan ibnu Ruysd.  Alasannya, astrologi adalah sesuatu terpengaruh pandangan hidup, bukan sesuatu yang empiris (diamati secara sistematis dari fakta alam).

Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad fi sabilillah.  Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Kekaisaran Romawi yang memiliki angkatan laut yang kuat di Laut Tengah.  Untuk melawan angkatan laut diperlukan pula angkatan laut.  Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi.  Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan matahari, bulan atau bintang, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa memberati kapal.

Dalam astronomi, karya astronom Mesir/Yunani kuno Ptolomeus, terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom India kuno Brahmagupta, telah dikaji dan direvisi secara signifikan oleh astronom muslim.  Tabel astronomi dari Al-Khwarizmi dan Maslamah bin Ahmad al-Majriti merupakan sumber informasi penting bagi para pemikir Eropa, ketika astrologi telah dicemooh.

Pada abad-11 para astronom muslim telah mempertanyakan sistem Ptolomeus yang menjadikan bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris) dalam model astronominya.  Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika dan membuat teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars yang tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris.  Tokoh-tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus yang heliosentris dengan orbit elliptis, yang belakangan diadopsi menjadi model heliosentris oleh Nicholas Copernicus dan Johannes Keppler.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi sama persis dengan yang diajukan oleh Nasir-ud-Dian al Tusi dan Ali-al-Qusyji beberapa abad sebelumnya.  Karena mereka beraktivitas di Maragha, maka pendapat ini sempat disebut “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha sebelum Rennaisance”.

Kontribusi lain dari astronom muslim seperti al-Biruni adalah teori bahwa galaksi Bimasakti adalah kumpulan dari gugusan bintang yang berdiri sendiri, yang pergerakannya lepas dari bumi ataupun matahari.

Astronom muslim juga mengembangkan berbagai alat pengamatan, baik yang besar untuk dipasang di observatorium bintang, maupun yang kecil untuk dibawa dalam perjalanan, misalnya yang disebut “astrolabium”.

Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir menemukan fakta bahwa benda-benda langit terkena hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.  Ibn al-Haytsam mendapatkan bahwa “lapisan langit” tidaklah padat seperti kepercayaan orang hingga saat itu, dan bahkan langit lebih tipis dari udara.  Penemuan-penemuan inilah yang beberapa abad kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Isaac Newton.

Namun yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi.  Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan pada realitas empiris yang lengkap.  Astronom muslim menggunakan metode pengamatan empiris serta analisis matematika untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat.  Suatu prediksi astronomi yang telah dibangun dari analisis data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari, hampir tidak mungkin meleset.  Prediksi ini hanya perlu dikoreksi oleh pengamatan yang lebih akurat lagi.

Pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu.  Mereka melakukan wakaf dalam bentuk mensponsori pembangunan suatu observatorium, lengkap dengan para astronomnya untuk melakukan riset.  Hasilnya adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya.  Tabel itulah yang akan dibawa-bawa oleh para pelaut dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat-tempat baru yang perlu disampaikan risalah Islam atas mereka, juga untuk selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu mengintai kelemahan dan kelengahan kaum muslim.

Belajar Menegaskan Batas

Thursday, June 12th, 2008

Dr Ing Fahmi Amhar

KASUS perbatasan mencuat lagi. Oleh Malaysia hak-hak
perbatasan kita dilanggar. Sedang oleh Australia
nelayan-nelayan kita ditangkapi dan dituduh melanggar
batas laut teritorial Australia.

Setelah kisruh Sipadan-Ligitan dan perairan blok
Ambalat, kini muncul helipad (tempat pendaratan
helikopter) milik militer Malaysia hanya 7 meter dari
perbatasan di wilayah pehuluan Tanjung Lokang Kec
Kedamin Kab Kapuas Hulu. Keberadaan helipad ini
melanggar perjanjian Sosek Malindo 1967 yang tidak
memperbolehkan ada kegiatan kedua negara di sepanjang
2 kilometer dari patok batas kedua wilayah.

Sementara, Australia, telah memulangkan 50 nelayan
Indonesia ke Kupang NTT.  Para nelayan itu merupakan
sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang
ditangkap kapal-kapal patroli Australia.
Berdasarkan MoU 1974, nelayan tradisional Indonesia
memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana
tertera dalam peta yang disepakati kedua negara.
Kawasan itu antara lain adalah Kepulauan Karang Scott,
Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Bagaimana seharusnya menentukan batas?

Yang termudah, antar-wilayah dibatasi (delimitasi)
oleh objek alam yang tajam – semisal jurang atau
palung.  Kenyataannya, banyak batas yang didefinisikan
secara kabur. Jangankan batas wilayah, batas persil
tanah kita pun banyak yang kabur – dalam sertifikat
misalnya sering hanya tertulis: Batas Timur: tanah Bp
Todung; Batas Selatan: tanah Bp. Slamet; Batas Barat:
tanah Haji Bajuri dan Batas Utara: tanah Ibu Utari.
Kalau dikejar, persisnya batas tanah kita dengan tanah
sebelah itu apa?  Selokan? Pohon pisang? Kalau tanah
seluas 100-200 meter persegi saja rumit, bayangkan
yang ribuan hektar!

Semua persoalan batas manapun harus dikembalikan pada
itikad baik kedua pihak yang berbatasan.
Mereka harus sepakat pada empat hal: (1) yang
dijadikan batas; (2) cara mengukurnya; (3) cara
mendokumentasikannya; (4) bagaimana mengenali kembali
batas itu di alam agar kesepakatan itu dapat
dihormati.

Pertama banyak hal bisa dijadikan batas. Yang termudah
adalah batas alam, umumnya garis pemisah air di
punggung pegunungan atau alur sungai terdalam.  Di
laut, batas laut teritorial ditentukan 12 mil laut
dari garis pantai, kecuali bila lebar selat antar
negara tidak mencapai 24 mil, maka ditentukan garis
tengahnya. Selain itu, batas juga bisa dibuat hanya
dengan kesepakatan, misalnya berupa as jalan negara
sebagai batas dua kabupaten.  Ada juga batas
disepakati dengan garis lurus pada lintang sekian atau
bujur sekian.  Yang terakhir ini ada di Pulau Sebatik
Kabupaten Nunukan (Indonesia – Malaysia) dan di Papua
(Indonesia – Papua Nugini).

Kedua, setelah kedua belah pihak sepakat pada poin 1,
masalah berikutnya adalah tentang cara mengukurnya.
Batas alam jelas membutuhkan survei dan pemetaan yang
teliti. Untuk mendapatkan garis pemisah air yang
akurat, perlu peta-peta kontur (3-dimensi) minimal
skala 1:25.000.  Pernah terjadi di suatu negara Arab,
titik-titik yang disepakati menjadi garis batas
digambar (delineasi) di atas peta yang lebih kecil
(skala 1:250.000).  Akibatnya saat dibawa ke lapangan,
apa yang semula diduga pas di garis pemisah air,
ternyata di lereng. Tentu keenakan wilayah yang dapat
puncak bukitnya dan tidak enak bagi yang cuma dapat
lerengnya.

Hal yang sama terjadi bila batas itu adalah sungai.
Bila secara gegabah ditarik garis tengah sungai, bisa
jadi pada saat air surut, air itu berada hanya di satu
sisi saja, sehingga penduduk sisi yang lain yang mau
ke air harus ke ‘luar negeri’.  Karena itulah maka
harus dilakukan survei hidrografi untuk mendapat
‘Talweg’ – yakni alur terendah di dasar sungai itu.

Menentukan batas pada jalan sekilas tampak lebih
mudah, tentu selama jalan itu tidak diperlebar ke satu
sisi saja.  Sedang menentukan batas secara eksak
dengan lintang dan bujur semata, bisa-bisa menzalimi
penduduk lokal jika memisahkan komunitas mereka secara
sewenang-wenang.

Di luar ini semua, pengukuran batas sangat tergantung
instrumentasi yang digunakan. Bisa jadi, batas yang
dianggap sudah pasti, jika diukur lagi dengan alat
yang lebih canggih, didapatkan koordinat yang berbeda.
Ini terjadi di Pulau Sebatik pada pilar batas yang
sebenarnya tak pernah bergeser sejak zaman Belanda,
namun hasil ukur modern dengan GPS berbeda beberapa
puluh meter dengan data pengamatan astronomi jaman
dulu yang ada dalam lampiran perjanjian
Inggris-Belanda.  Garis pantaipun tergantung bagaimana
definisinya. Di laut ada pasang-surut.

Ketiga, taruhlah sekarang kedua belah pihak telah
sepakat menggunakan objek batas dan alat ukur yang
sama. Bagaimana mereka akan mendokumentasikan batas
itu sebagai dokumen antar-negara yang didepo di PBB?
Mereka harus membuat dokumen yang berisi peta
topografi yang mencakup wilayah di kedua negara
sepanjang garis batas, daftar koordinat titik-titik
batas dan tanda tangan pengesahan kedua belah pihak.
Peta topografi tersebut harus seragam dalam tiga hal,
yaitu: (a) sistem koordinat, datum dan bidang
proyeksi; (b) klasifikasi objek yang sama; dan (c)
simbolisasi yang sama.  Tiga hal ini perlu banyak
kompromi untuk mewujudkannya. Sebagai contoh:
peta-peta rupabumi Indonesia yang dibuat Bakosurtanal
pada umumnya menggunakan koordinat geografis, datum
WGS-1984 dan proyeksi Universal Transverse Mercator,
sedang Malaysia menggunakan datum dan proyeksi yang
berbeda. Klasifikasi sawah di Malaysia juga berbeda
dengan Indonesia yang mengenal sawah irigasi dan tadah
hujan.  Sedang pola arsiran maupun warna jelas semua
beda. Walhasil, menggabungkan kedua peta topografi
agar menjadi satu peta perbatasan jelas butuh
perjuangan tersendiri. Ini ditambah dengan persyaratan
bahwa semua legenda peta harus bi-lingual dari
masing-masing negara ditambah bahasa Inggris sebagai
bahasa PBB.

Keempat, kalau masalah peta sudah beres, kini masalah
implementasi di lapangan. Peta dan dokumen perbatasan
hanya akan disimpan di tempat-tempat terhormat. Yang
harus ada di lapangan adalah tanda-tanda, yaitu pilar
atau pagar (baik dari kawat berduri ataupun dari
beton) seperti di Israel atau di zaman perang dingin
dulu. Pilar-pilar ini biasanya dibuat dalam jumlah
yang cukup, yang jaraknya satu dengan yang lain
memungkinkan saling melihat.  Sedang di laut, karena
tidak mungkin membuat pilar, yang bisa dilakukan
adalah mengandalkan alat navigasi GPS. Untuk kapal
dengan peta elektronik, alat bahkan dapat diset untuk
langsung memberi alarm bila sudah mendekati
perbatasan.

Kalau semua berjalan baik, tentu kasus helipad
Malaysia atau nelayan Indonesia yang ditangkap di
Australia tak akan terjadi. Masalahnya, belum semua
segmen perbatasan dengan kedua negara itu telah
ditegaskan dan diratifikasi. Sebagian patok batas kita
dengan Malaysia ada yang baru klaim sepihak – artinya
belum diakui oleh Malaysia. Di antara patok-patok
batas itu ada yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh
para pelaku illegal logging untuk memudahkan mereka
melarikan diri bila aksi-aksinya terdeteksi aparat.
Demikian juga dengan peta-peta laut Australia – yang
boleh jadi masih berbeda dengan peta-peta laut
Indonesia – terutama dalam hal garis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Yang jelas, pemerintah memang harus
lebih serius dalam menegaskan batas – terlebih yang
antar-negara.

(Penulis adalah Peneliti Utama, Bakosurtanal)-n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166973&actmenu=45

Tipu-tipu Blue Energy

Tuesday, June 3rd, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Tanggal 24 Mei 2008 dini hari harga BBM jadi dinaikkan.  Pemerintah berargumentasi ini untuk menyelamatkan APBN (karena asumsi harga minyak mentah sudah bergeser dari 95 menjadi 110 US$/barrel), mengurangi kemiskinan (karena subsidi dialihkan dari subsidi barang ke subsidi orang), dan ini alternatif terakhir setelah harga minyak di tingkat global makin menggila.  Banyak pakar mengkritik argumentasi ini.  Dalam asumsi APBN-P kedua 2008 disebutkan bahwa meski harga BBM telah dinaikkan, subsidi BBM masih naik dari 125,8 menjadi 132,1 Trilyun Rupiah, defisit APBN hanya turun dari 94,5 menjadi 82,3 Trilyun rupiah, dan inflasi naik dari 6,5% menjadi 11,2%.  Inflasi inilah yang akan melibas seluruh rakyat.  APBN selamat namun rakyat sekarat, karena APBN sebenarnya hanya memainkan kurang dari 20% ekonomi Indonesia.

Dan tentang alternatif: sebenarnya banyak alternatif yang telah dimunculkan, mulai dari Indonesia membeli minyak dengan harga khusus ke Iran (yang sama-sama anggota OKI) atau Venezuela (yang sama-sama anggota OPEC), pajak progresif untuk sumberdaya alam, negosiasi ulang komitmen ekspor batubara dan LNG untuk diprioritaskan memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, pengembangan energi terbarui pada skala besar, hingga penghapusan dan penjadwalan kembali pembayaran bunga dan cicilan utang yang mencapai Rp. 151 Trilyun per tahun.  Namun semua opsi ini seperti tidak ditanggapi serius pemerintah.  Pemerintah sepertinya hanya fokus pada konversi minyak tanah ke elpiji (dibuktikan dengan membagi-bagi kompor elpiji ukuran 3 kg) dan – ini yang mengherankan – pada bahan bakar ajaib: “blue energy”.

Adalah Joko Suprapto, orang Nganjuk yang konon menemukan bahan bakar dari bahan baku hidrogen dan karbon, yang sama sekali tidak bersumber dari fossil tetapi dari air (www.presidensby.info diakses 3 Dec 2007).  Tanpa diminta presentasi ilmiah dulu di depan panel pakar kimia dan mesin, bahan bakar buatan Joko ini langsung diuji. Pada 25 Nov 2007, rombongan kendaraan berbahan bakar – oleh SBY dinamai “Minyak Indonesia Bersatu” atau “Blue Energy” – langsung diberangkatkan dari kediaman SBY di Cikeas menuju Bali untuk ikut pameran dalam rangka konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC).  Rombongan itu sampai di Bali.  Ketua Tim Blue Energy yang juga staf ahli presiden Heru Lelono, menunjukkan bahwa bahan bakar itu sama dengan premium, bahkan emisinya lebih bersih?  Waktu itu dijanjikan bahwa blue energy akan siap dipasarkan pada bulan April dengan harga hanya Rp. 3000 per liter.

Banyak ilmuwan skeptis.  Bahkan skeptisme itu termasuk sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan.  Penulis sendiri termasuk yang dari awal yakin bahwa itu hanya sejenis “hoax” (tipu-tipu).  Namun baiklah, kita beri kesempatan sampai April. Konon di Cikeas juga sudah ada aktivitas untuk membuat pabriknya, walaupun murni swasta.  Pemodalnya Heru Lelono cs.  Namun ini juga janggal, karena konon bahan bakunya mau ambil dari air laut saja.  Padahal Cikeas jauh dari laut.  Yang jelas, sejak dipamerkan di Bali, meski ada sampelnya yang diberi kode K-99 sebagai pengganti premium, dan ada juga yang sejenis untuk pengganti avtur, solar, atau minyak tanah, tetap saja misterius.  Pasalnya, tidak ada penjelasan ilmiah bagaimana semua itu dibuat, kecuali bahwa itu dengan “teknologi matahati” yang konon bersumber dari ayat al-Qur’an.

Orang Islam banyak yang langsung antusias kalau disebutkan teknologi bersumber dari al-Qur’an.  Padahal suatu hukum fisika tidak memerlukan dalil apapun dari suatu kitab suci.  Hukum fisika bersifat empiris.  Kalau suatu proses itu memang bisa dilakukan secara teknis, maka tak ada dalil yang dapat memustahilkannya.  Dan kalau suatu proses itu mustahil secara teknis, maka juga tak ada dalil yang dapat mengesahkannya.  Dalil syariah hanya diperlukan untuk soal apakah suatu penelitian itu halal atau haram dilakukan, dan kalau halal diteliti, lalu hasilnya apakah halal atau haram untuk dimanfaatkan.

Bagaimana jika K-99 itu sebenarnya memang hanya pertamax atau sejenisnya, lalu diklaim dibuat dari non fossil tetapi berhasil dibuat sangat mirip? Tidak ada cara membuktikannya kecuali menunjukkan prosesnya!

Lagi pula, kalau memang ini benar, sudah diam-diam saja, langsung produksi massal, pasarkan.  Pasti untung besar.  Tetapi mungkin mereka mencari pemodal besar dulu untuk bikin pabrik (yang dapat ditipu dulu) …

Kini kita semua menyaksikan, sudah bulan Juni, blue Energy tidak pernah muncul.  Yang ada adalah Joko Suprapto sempat diberitakan raib (diculik?), meskipun lalu muncul lagi.  Memang pernah ada film Hollywood yang menceritakan seorang professor penemu bahan bakar pengganti minyak, yang diculik komplotan yang tidak ingin dominasi perusahaan minyak dunia goyah.  Tapi itu kan fiksi.  Rupanya penemuan Joko ini fiksi juga.  Kini lebih banyak lagi yang terungkap.  Rupanya Joko Suprapto ini pernah datang ke UGM untuk minta pengakuan atas “penemuannya” berupa lemari misterius penghasil listrik.  Namun karena tidak mau membuka bagaimana proses listrik itu terjadi, oleh rektor UGM kala itu disindir sebagai “Pembangkit Listrik Tenaga Jin” (www.detik.com).

Banyak orang mulai khawatir: di lingkar pertama SBY ada orang-orang yang gampang ditipu!  Bagaimana kalau kebijakan penaikan harga BBM sendiri penuh dengan tipu-tipu?  Apalagi analisis ekonomi energi dan APBN jauh lebih rumit daripada soal kimia-fisika blue energy.

Hukum Termodinamika-2

Di fisika dikenal hukum kekekalan massa-energi.  Sifat kekal ini bukan seperti kekekalan Allah swt.  Ini hanya sifat kekal yang diamati dalam reaksi di suatu sistem (lab).  Sebenarnya ada lagi hukum yang sangat penting yang disebut hukum termodinamika 2.  Isinya adalah bahwa energi yang dapat dimanfaatkan itu selalu berkurang karena terserap oleh apa yang disebut “entropi” alam.  Entropi adalah tingkat ketidakteraturan alam.

Hukum termodinamika-2 sudah teruji.  Sebenarnya cukup satu experimen saja – bila valid – untuk menggugurkan hukum ini.  Yaitu menghasilkan mesin dengan efisiensi lebih dari 100%!  Semua mesin adalah mengkonversi energi.  Mesin mobil mengkonversi energi kimia dalam BBM ke energi mekanis.  Generator PLN mengkonversi energi kimia (pada PLTU) atau mekanis (pada PLTA) ke energi listrik.  Efisiensi mesin-mesin ini hanya berkisar dari 30% – 70%.  Banyak energi terbuang oleh gesekan menjadi energi panas yang tidak bisa dimanfaatkan.  Energi buangan ini menambah entropi mesin, yakni mesin akan aus dan lambat laun rusak.

Jika ada mesin dengan efisiensi lebih dari 100%, artinya kita mendapatkan energi yang lebih banyak daripada yang dimasukkan.  Jika ada mesin dengan efisiensi 200% saja, maka seluruh persoalan energi di dunia selesai.  Mesin itu akan berfungsi tanpa henti (perpetuum mobile).  Tapi yang seperti ini tidak pernah ada.

Semua riset yang ada saat ini hanyalah meningkatkan efisiensi konversi energi.  Popularitas mobil terjadi karena ada bahan bakar minyak yang praktis, mudah dibawa dan kandungan energinya cukup tinggi (pada minyak mentah: 42100 KJoule/kg).  Sebagai perbandingan, pada accu mobil canggih yang hanya seberat 10 kg, daya simpan energi (12V/60Ah), hanya setara dengan 260 KJoule/kg.

Andaikata sumber energi primer sudah terselesaikan dengan energi nuklir atau energi terbarukan (panas bumi, surya, angin, atau ombak), maka masalah utama sistem transportasi jalan raya adalah menyimpan energi itu agar dapat mudah dibawa, syukur-syukur tanpa memodifikasi apapun pada mesin.

Substansi air tak akan pernah menjadi sumber energi.  Tetapi dari air mungkin dibuat penyimpan energi sangat padat (minimal 120067 KJoule/kg = 3 x minyak).  Air dapat dipisahkan kembali (elektrolisis) ke unsur-unsur asalnya yaitu hidrogen dan oksigen.  Proses pemisahan ini tentu memasukkan energi (endoterm).  Hidrogen dan oksigen ini kemudian dipisahkan dalam suatu tabung tekanan tinggi yang aman.  Ketika hidrogen dipertemukan kembali dengan oksigen, tentu akan muncul reaksi yang mengeluarkan energi (eksoterm) dan hasil reaksi itu kembali air.  Proses ini biasa dipakai dalam peluncuran roket ke luar angkasa. Namun dalam proses ini, energi endotermis pasti lebih besar dari eksotermisnya.  Dengan kata lain tidak mungkin membuat bahan bakar dari air!