Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Ketika Sehat bukan Misteri

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Pelantikan Menteri Kesehatan yang baru pada KIB jilid-2 sempat menimbulkan kontroversi.  Pasalnya, yang terpilih justru orang yang luput dari media.  Apalagi ada cerita bahwa dia sempat dimutasikan oleh Menteri sebelumnya gara-gara membawa virus ke luar negeri tanpa ijin serta kedekatannya dengan NAMRU-2, lab angkatan laut AS yang bermasalah.

Namun ada pula pihak yang melihat dari sisi lain.  Selama ini Menteri Kesehatan selalu seorang “klinisi”, yakni dokter yang profesi sehari-harinya merawat orang sakit.  Sedang Menkes baru ini bukan klinisi, tetapi dokter yang sehari-harinya meneliti penyakit menular.  Seorang klinisi berdiri di hilir (kuratif).  Sedang peneliti penyakit menular berdiri di hulu (preventif) – mencegah orang sakit.

Kita tidak akan memperbicangkan sosok Menkes yang baru lebih jauh.  Tetapi kita akan melihat bahwa dalam sejarah peradaban Islam yang panjang, baik kegiatan preventif maupun kuratif sama-sama mendapat perhatian yang proporsional.

Rasulullah banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit.  Misalnya: menekankan kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Namun Rasulullah juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam.  Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik.  Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.  Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik penyerbukan di dunia pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan.  Itulah latar belakang sehingga dalam beberapa abad kaum muslim benar-benar memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara preventif maupun kuratif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al Hayan atau Geber (721-815 M).  Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad.  Banu Musa (800-873 M) menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki.  Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi.  Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.

Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata!  Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim al-Zahrawi menemukan plaster adhesive untuk mengobati luka dengan cepat.  Penemuan ini sangat membantu pasukan Islam di medan jihad.  Al-Zahrawi juga mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janin dalam kandungannya mati.

Pada 1037 Ibnu Sina menemukan thermometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian.  Ibnu Sina juga sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.

Semua penemuan teknologi ini tentunya sia-sia bila tidak diaplikasikan.  Aplikasi ini hanya akan berhasil bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit.  Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Adalah menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh.  Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.  Bahkan, pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia.  Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini.  Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.  Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan.  Namun urusan sehat juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengkonsumsi madu atau habatus saudah.  Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran, jauh di atas bekam, madu atau habatus saudah (yang di abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun Nabawi).

Hak Konsumen dan Hak Diperlakukan Adil

Thursday, June 4th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh.  Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemarannama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah.  Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.

Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis.  Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien.  Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya.  Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta.  Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.

Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu?  Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya.  Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya.  Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya.  BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.

Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik.  Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu.  Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.

Solusi Islam

Islam memberikan solusi preventif yang luar biasa, tidak cuma sekedar secara individual dengan ketaqwaan dan ahlaq, namun juga secara kultural dan struktural, karena mustahil mengharapkan semua orang bertaqwa dan berahlaq mulia, sebagaimana di zaman Nabi pun tetap ada orang-orang fasik dan munafik.

Solusi pertama adalah Mahkamah Hisbah (Muhtasib), yang berfungsi menjaga kepentingan umum.  Mahkamah ini dalam menegakkan hukum bertindak proaktif, tidak menunggu adanya pengaduan, karena realitasnya orang yang terganggu sering malas mengadu karena tidak cuma dia yang terganggu.  Dalam sistem sekuler, pengaduan orang banyak harus melalui class action.  Namun Rasulullah pernah memberi contoh yang lebih simpatik: mensidak pasar dan mengecek apakah kualitas gandum yang di bawah sama dengan yang dipajang di atas.  Di zaman modern ini, sebagian fungsi mahkamah muhtasib ada yang dijalankan oleh polisi (misalnya merazia SIM di jalanan, agar umum tidak dirugikan pengemudi yang tidak berhak), oleh metrologi (yang menera takaran di SPBU), oleh Badan POM (merazia makanan illegal, berracun atau kedaluarsa) atau oleh pemda yang merazia bangunan tidak ber-IMB yang bisa membahayakan atau merugikan kepentingan umum.  Namun masih banyak yang dapat dijadikan kewenangan Mahkamah Hisbah.  Mahkamah ini bisa merazia sekolah-sekolah palsu yang hanya menjual ijazah, layanan medis yang tidak menghargai hak pasien maupun pengobatan alternatif yang tidak syar’i, bisnis investasi atau MLM yang hanya bersifat money-game dan masih banyak lagi.  Rasulullah telah memberi teladan tentang sikap proaktif dalam melindungi rakyat.  Kita memerlukan birokrat-birokrat proaktif, inilah birokrat syariah yang sesungguhnya, bukan syariah yang hanya mempersoalkan pakaian atau ibadah semata.

Solusi kedua adalah Mahkamah Madzalim yang berfungsi menghilangkan kedzaliman dari alat negara, termasuk kedzaliman polisi, jaksa, hakim dan bahkan kedzaliman dari Undang-undang yang telah disahkan pemerintah.  Mahkamah ini berwenang memecat semua pejabat negara, bahkan memakzulkan Khalifah (Kepala Negara) bila mereka terbukti melakukan kedzaliman.  Bentuk-bentuk kedzaliman ini seperti mengambil harta rakyat tanpa landasan hukum, tidak tabayyun mendengarkan kedua pihak yang berperkara, tidak menerapkan hukum yang sesuai (semisal hukuman zina diterapkan pada orang yang nikah siri) hingga menerapkan hukum kufur seperti menghalalkan riba atau judi atau peredaran minuman keras pada masyarakat muslim.

Tentu saja, berjalannya struktur atau sistem ini sangat tergantung kepada kualitas budaya kritik sosial di masyarakat.  Imam Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumudin” mengatakan, “Rusaknya rakyat adalah akibat rusaknya para pemimpin; Rusaknya para pemimpin adalah akibat rusaknya para ulama; dan Rusaknya para ulama adalah karena mereka cinta dunia (haus harta dan tahta)”.

Para ulama dan para ilmuwan harus menjadi mudzakkir (pemberi peringatan) baik pada para pemimpin, pebisnis maupun masyarakat umum.  Rasulullah menyatakan bahwa “Jihad terbaik itu adalah memberi peringatan di depan orang kuat / penguasa yang ja’ir (dzalim)”.

Jebakan-Jebakan Demokrasi Bagi Partai-Partai Islam

Wednesday, April 1st, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.

Di dunia, ada beberapa tipe diktator.  Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan.  Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta.  Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan.  Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum).  Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”.  Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?

Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya.  Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur.  Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika).  Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.

Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis.  Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.

Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka.  Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila.  Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu.  Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.

Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral.  TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini.  Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).

Simplifikasi

Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi.  Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu.  Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial.  Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam.  Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II.  Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis.  Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak.  Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya).  Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus.  Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:

Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas?  Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa?  Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental!  Mengapa?  Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.

Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya.  Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi.  Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki.  Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair.  Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS.  Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri.  Namun pada 1997  terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi.  Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang.  Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!

Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer).  Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing.  Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi.  Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta.  Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka.  People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.

Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah.  Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat.  Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara.  Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.

Keempat adalah hambatan konstitusi.  Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi.  Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.  Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.

Jebakan Demokrasi

Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki.  Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan.  Benarkah kata Qur’an:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.  (QS Al-Balad [90]: 10-11)

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah.  Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.  Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa.  Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya.  Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai.  Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka.  Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.

Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih.  Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun.  Setelah itu kartu akan dikocok ulang.  Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja.  Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi.  Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat.  Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami.  Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya.  Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek.  Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi.  Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri.  Semuanya tentu ada kompensasinya.  Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.

Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya.  Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja.  Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya.  Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.

Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI).  Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang.  Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan.  Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya.  Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut.  Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional.  Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!

Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar.  Tidak banyak yang berani menanggung resikonya.  Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram.  Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur.  Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat.  Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.

Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak.  Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya.  Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.

Jalur Alternatif

Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar.  Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.

Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit.  Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang.  Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus.  Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan.  Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi.  Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.