Ketika Muadzin seorang Astronom
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid? Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid. Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam. Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.
Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal. Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan. Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.
Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah. Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi. Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya. Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat. Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi. Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.
Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini. Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad. Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah. Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad. Subhanallah.
Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya. Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha. Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.
Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu. Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs. Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus. Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion). Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars. Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus. Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.
Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari. Mereka membuat model planet non Ptolomeus. Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis. Ini pendapat yang luar biasa maju. Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian. Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi. Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi. Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain. Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.
Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi. Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun. Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam. Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim. Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi. Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai. Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi. Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara. Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia. Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.
Leave a Reply