Jadi APU (PU IV/e)
Sekali ini bukan tulisan yang dipublikasikan di media massa (cetak) …
Senin (1 Okt 2007) lalu saya menerima surat PAK (Penetapan Angka Kredit) dari Kepala LIPI no. 1580/D/2007 tertanggal 26 Juni 2007. Intinya saya telah meraih AK 1173.8, dan dapat diangkat dalam jabatan Peneliti Utama Gol IV/e (dulu “Ahli Peneliti Utama” alias APU) mulai 01-07-2007, bidang Sistem Informasi Spasial. Ya inilah mungkin maksimal yang dapat diraih seorang pejabat peneliti.
Saya tinggal nunggu waktu orasi ilmiah untuk dilantik sebagai Professor Riset. Tetapi aturan yang ada sekarang mengatakan, untuk itu pangkat PNS-nya harus sudah IV/e juga. Saya sekarang baru IV/b (t.m.t. 1 April 2006). Jika saya tiap 2 tahun naik pangkat, maka baru 1 April 2012 saya IV/e, artinya baru 2012 itu bisa dilantik jadi Professor Riset. Itu juga kalau masih hidup 🙂 dan itu juga kalau LIPI masih ada …
Jadi ingat iklan rokok “Yang Muda Yang Gak Boleh Bicara …”. Usia saya baru 39 tahun, jadi ya masih terhitung muda lah … he he … Adik kelas saya di Wina (www.ipf.tuwien.ac.at) dulu, kelahiran 1969, dan 2001 sudah jadi Professor (usia 32 tahun). Kalau dia hidup di Indonesia … capek dech … 🙂
Tapi itulah realita. Sebenarnya saya hanya ingin menunjukkan bahwa jadi APU itu tidak hebat-hebat amat. Tidak perlu dibandingkan dengan kolega di Luar Negeri. Di Indonesia juga banyak yang bisa jadi APU – meski kemudian “gak bunyi”. Jangan-jangan saya termasuk itu juga ya … Obsesi saya bikin buku-buku yang menjadi trendsetter di bidang keahlian saya, atau mempatenkan suatu teknologi yang laris manis, atau menginisiasi suatu lembaga (perusahaan, LSM) yang berpengaruh, juga belum tercapai. Tapi gini-gini saja koq sudah APU ya ???
Tapi di sisi lain saya lihat ada juga orang-orang cerdas nan tekun yang menghasilkan karya-karya hebat yang sesungguhnya, tetapi tidak sempat ngurus jabatan fungsional penelitinya. Yang kasihan, secara administratif orang-orang ini nantinya akan dinilai oleh rekan-rekannya yang hanya sibuk ngumpulin AK tanpa menghasilkan karya yang sesungguhnya.
Dan saya pengalaman: sekedar ngumpulin AK itu tidak susah-susah amat. Yang susah itu mempertanggungjawabkan terutama kepada Tuhan, dan kepada rakyat yang telah membayar tunjangan peneliti dan dana penelitian melalui pajak.
Yang susah juga adalah sistem birokrasi di Indonesia. Karena sekarang saya gol IV/b, saya diserahi tugas jadi Kepala Balai Penelitian Geomatika (eselon III/A). Saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan di posisi ini. Secara finansial gak ada untungnya … tunjangan fungsional saya sudah lebih tinggi dari tunjangan struktural. Tahun depan saya IV/c, dan itu berarti – menurut pemahaman Kepala Biro Kepegawaian di Lembaga saya – tidak boleh menjabat eselon III.
Jadi ada dua kemungkinan: saya tidak boleh naik pangkat pilihan (sekalipun sudah ada Kepres yang mengangkat saya menjadi Peneliti Utama IV/e), atau saya harus mengundurkan diri dari Kepala Balai. Kalau disuruh milih, sepertinya milih mundur saja.
Jadi Peneliti bagaimanapun lebih bebas, tidak harus rapat hampir tiap hari, tidak harus tanda tangan soal keuangan atau personil, yang kadang dirasa belum sreg benar, tetapi someone must do that job!
Sejak jadi Ka Balai, saya juga hampir tidak sempat menulis paper ilmiah lagi. Untungnya tidak lagi harus ngumpulin AK lagi (kecuali cuma Maintanance, 20 AK per tahun). Tapi rasanya sayang ya … Yang sempat tinggal jadi “selebriti”. Nulis populer di media massa alhamdulillah masih bisa. Tapi mudah-mudahan dengan amanah yang ada ini, saya bisa memberi manfaat lebih besar ke lebih banyak orang.
Saya sering gundah kalau belum bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Padahal di hadapan Tuhan nanti yang penting bukan apa gelar, jabatan atau penghasilan yang kita raih tetapi sejauh apa itu bermanfaat bagi kemanusiaan?
Kata Rasul: sebaik-baik mu’min adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lain.
Leave a Reply