Mengentaskan Kemiskinan dengan Syariat
oleh: Fahmi Amhar
Sejak krisis moneter terjadi, angka kemiskinan melonjak tajam. Meningkatnya angka kriminalitas, baik dari pidana langsung (pencurian, penodongan) maupun tak langsung (bisnis VCD porno, narkoba, pelacuran, minuman keras) adalah efek dari kemiskinan tersebut. Jika tidak segera diatasi, kemiskinan akan menyebabkan satu generasi ‘hilang’, akibat malnutrisi, derajat kesehatan yang rendah, pendidikan yang kacau, termasuk kurangnya sentuhan agama.
Berbicara sentuhan agama, apakah kontribusi Islam dalam mengatasi kemiskinan? Apakah Islam juga sama dengan agama-agama lain, yang dituduh Karl Marx hanya sebagai candu kehidupan, karena hanya menyuruh orang untuk berangan-angan akan surga, tanpa mampu menjawab secara kongkrit problem kemiskinan di depan matanya?
Islam dalam teori dan realita empiris di masa khilafah, bukanlah agama candu seperti dituduhkan Karl Marx. Justru Islam pernah menjadi ajaran pembebasan. Islam berisi konsep (fikrah) dan metode implementasi (thariqah). Islam memandang kemiskinan sebagai masalah manusia, bukan hanya masalah ekonomi, apalagi masalah ekonomi mikro si miskin itu. Artinya, seluruh aturan syariat Islam memiliki kaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan secara sistematis.
Hal ini karena kemiskinan bisa disebabkan oleh tiga faktor non teknis. Pertama, faktor individu. Orang bisa miskin karena lemah, baik secara fisik (misalnya cacat fisik), mental (misalnya kurang akal), ilmu (kurang berpendidikan), kepribadian (pemalas) ataupun kapital (tidak punya modal).
Pendekatan terhadap masing-masing fakator jelas berbeda. Yang jelas Islam mewajibkan setiap muslim lelaki yang sehat dan akil baligh untuk bekerja mencari nafkah yang halal. Kewajiban ini sama kerasnya dengan wajibnya sholat atau puasa. Dan, bila untuk memenuhi kewajibkan ini dibutuhkan ilmu yang spesifik, maka belajar ilmu tersebut hukumnya wajib pula.
Namun memang tidak semua orang wajib atau mampu mencari nafkah. Kaum wanita dalam konsep Islam tidak wajib mencari nafkah, meskipun boleh (hukumnya mubah). Ayah, suami, saudara laki-laki atau anak laki-laki mereka yang telah dewasa yang wajib menafkahinya, sekalipun kaum wanita itu mampu mencari nafkah sendiri. Mereka yang cacat fisik maupun mental juga barangkali memang harus dinafkahi oleh kerabat/ahli warisnya.
Konsep ahli waris yang benar adalah juga penanggung jawab nafkah manakala orang yang bakal diwarisi itu membutuhkan nafkah. Tentunya ahli nafkah adalah juga pihak yang bertanggung jawab manakala kelemahan individu adalah pada segi ilmu atau kapital. Ahli nafkah berkewajiban mencarikan guru atau membiaya sekolahnya, di samping mencarikan modal kerja.
Kedua, faktor kontrol sosial. Orang bisa miskin, bahkan suatu kaum bisa miskin karena adat istiadat, budaya atau kepercayaannya. Pada suatu masyarakat yang percaya bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan dan ikhtiar itu tidak perlu (paham Jabariyah), akan sangat sulit untuk mengubah kondisi miskin mereka menjadi lebih baik. Pada masyarakat lain, pengutamaan keharmonisan dan menolak kreativitas baru dalam teknologi juga menjadi hambatan.
Namun, kontrol sosial bisa juga berarti sebaliknya. Pada masyarakat yang sangat menghargai waktu atau kreativitas, maka orang-orang pemalas atau pencontek akan tidak punya tempat, sehingga mereka akan terpacu untuk juga produktif dan kreatif. Kontrol sosial ini adalah akibat dari suatu pemikiran dan perasaan yang berkembang di masyarakat.
Artinya, kontrol sosial yang negatif seperti pada contoh pertama bisa diubah menjadi positif dengan suatu usaha-usaha dakwah. Jadi dakwah haruslah mampu mengubah opini publik menjadi positif. Karena itu, benarlah firman Allah, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu masyarakat kecuali mereka mengubah apa (opini publik) yang ada pada mereka.”
Ketiga, faktor sistem pada negara. Meski terdapat individu-individu cerdas yang bekerja keras, dan juga terdapat kontrol sosial yang baik sehingga terdapat iklim produktivitas yang tinggi, namun manakala sistem pada suatu negara tidak mendukung, hasilnya juga akan negatif.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika beberapa tahun silam, ribuan petani cengkeh tiba-tiba miskin mendadak, lantaran peraturan tata niaga cengkeh dari pemerintah. Juga setelah krisis moneter, sekian ribu perusahaan, termasuk bank-bank besar, bangkrut sebab penghasilannya tetap rupiah sementara cicilan hutang mereka dalam dolar AS, yang melambung nilainya.
Itu semua adalah tugas sistem, tugas negara. Negaralah yang pada level individu harus intervensi manakala perintah mencari nafkah atau kewajiban memberi nafkah tidak dijalankan. Khalifah Umar pernah mengusir sejumlah pemuda yang hanya bermalas-malasan di masjid (tidak bekerja), meski alasan mereka adalah orang-orang yang tawakal. Khalifah pula yang akan memaksa orang-orang yang enggan membayar zakat, karena ini berarti merampas hak-hak fakir miskin.
Otoritas negara
Pada level masyarakat, negara memiliki otoritas untuk mengarahkan agar kontrol sosial tumbuh sehat, misalnya melalui media massa. Seharusnya media massa tidak memamerkan budaya hedonis yang konsumtif, namun justru budaya kerja keras, produktivitas dan kreativitas.
Dan, pada saat level individu dan level kontrol sosial memang macet, maka mau tak mau negara harus terjun langsung. Mereka yang miskin harus mendapatkan santunan langsung dari pemerintah. Namun, ini sifatnya lebih pada aspek non ekonomis. Lebih dari itu, pemerintah menjalankan politik ekonomi yang menyeluruh.
Agar setiap individu mampu mencari nafkah dan terhindar dari kemiskinan, maka negara menyiapkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang murah lagi gratis bagi semua warganya, baik muslim maupun non muslim. Fasilitas ini dibiayai dengan sumber-sumber alam yang besar seperti tambang, hutan, serta laut yang menjadi milik publik, yang keuntungan penjualan hasilnya antara lain digunakan untuk membiayai fasilitas publik juga.
Agar sistem tersebut tidak terdistorsi, maka negara juga perlu menerapkan sejumlah syariat Islam lain. Sebab, pengentasan kemiskinan akan terdistorsi oleh sistem riba dan pasar spekulatif (seperti pasar modal). Maka, sistem ini perlu digantikan seluruhnya dengan sistem perbankan dan syirkah syariah. Negara juga perlu menerapkan sistem moneter berbasis emas dan perak, sehingga stabilitas moneter bisa dijaga. Setidaknya, kemiskinan akibat gejolak moneter bisa dicegah dari awal.
Kemudian, negara juga perlu memerangi semua hal yang berpotensi merusak kemampuan orang untuk menjalankan roda ekonomi dengan benar. Termasuk yang harus diperangi ini misalnya perjudian, bisnis minuman keras dan narkoba, pencurian, serta penipuan. Menurut syariat Islam, pencuri yang telah terpenuhi syarat-syaratnya akan dijatuhi hukuman potong tangan sebagai langkah terakhir untuk mencegah pencurian.
Karena untuk itu semua juga dibutuhkan aparat yang bersih, maka syariat Islam yang mengatur rekruitmen, penggajian dan evaluasi kinerja aparat birokrasipun harus diterapkan. Di samping tetap menjaga agar masyarakat, terutama partai-partei Islam, ikut mengontrol agar para penguasanya tetap menjalankan syariat Islam secara lurus.
Itu semua harus dijalankan untuk kemaslahatan semua orang, baik anggota partai ataupun tidak, baik muslim maupun tidak, bahkan baik warga negara maupun orang asing. Bahkan, binatangpun akan ikut merasakan nikmatnya syariat Islam.
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Sumber: Republika Online, 07 Maret 2003
Tags: kemiskinan, masalah kemiskinan, menanggulangi kemiskinan, mengentaskan kemiskinan
Leave a Reply