Belajar Memilih Sekolah & Mengoptimalkan Yang Ada
Apakah Anda puas dengan sekolah Anda atau sekolah anak-anak Anda?
Apakah sekolah-sekolah itu lebih baik atau tidak sebaik RSBI/SBI yang baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?
Saya “beruntung” lahir di tahun 1968 dan besar ketika di Indonesia RSBI/SBI belum dikenal. Rumah masa kecil saya ada di samping sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta. Karenanya, ketika mau masuk SD saya sempat minta ke ibu saya agar masuk MI itu saja, biar dekat … Tetapi ibu saya akhirnya memasukkan saya ke sebuah SD Negeri yang lebih jauh, padahal beliau sendiri dulu sekolah di MI yang dinaungi oleh yayasan yang sama dengan MI samping rumah itu. Kakak-kakak saya juga semuanya sekolah di SD Negeri. Katanya MI sebelah rumah itu kurang bagus, muridnya nakal-nakal dan yayasannya mengalami kesulitan keuangan untuk membayar guru maupun merawat fisik sekolahnya.
SDN saya itu terletak di kampung. Kalau hujan, jalannya sangat becek dan berlumpur. Biasanya kalau hujan, kami memilih ke sekolah tidak pakai sepatu, daripada sepatunya cepat rusak. Waktu itu SD saya itu tidak punya toilet, tidak punya sambungan listrik, dan areanya tidak berpagar. Kalau anak-anak mau kencing, ya kencing saja di kebun, sedang anak perempuan suka minta ijin kencing di rumah terdekat yang memiliki sumur. Kalau hari mendung, maka di dalam kelas gelap sekali, karena tidak ada lampu. Kalau hujan maka bocor di sana sini, dan suara guru jadi tidak kedengaran, kalah sama suara hujan. Dan kalau sekolah sudah selesai, maka anak-anak kampung banyak yang menjadikan area sekolah jadi arena petak umpet atau perang-perangan. Ayam juga kadang-kadang ikut belajar di kelas, dan tak lupa berak di sana 🙂
Di sekolah ada lapangan upacara yang disemen, tetapi sudah berlubang di sana-sini. Lapangan ini nyaris hanya buat upacara tiap Senin, yang amanat dari Inspektur Upacara selalu saja soal kebersihan. Kalau buat olahraga, kaki jadi sakit. Akhirnya, kami lebih suka olahraga di lapangan rumput yang agak jauh. Untuk ke lapangan rumput itu, kami bisa memilih dua jalan: pertama lewat samping kandang sapi, kedua lewat kuburan. Kalau lewat kandang sapi, kami harus melewati jembatan dari sebatang pohon kelapa yang licin. Beberapa anak kadang terpeleset, lalu tubuhnya jatuh ke selokan yang penuh kotoran sapi. Sedang kalau lewat kuburan, kami kadang bertemu dengan kalajengking atau bahkan ular.
Tetapi sebagian teman-teman saya malah lebih suka ke lapangan rumput itu. Apalagi anak-anak yang relatif bandel dan “hobby tidak naik kelas”. Dikit-dikit, mereka meminta pelajaran olahraga saja. Padahal kadang jadwalnya pelajaran matematika atau IPA. Dan olahraga ini praktis tanpa guru. Kami tidak punya guru olahraga. Kadang ada sih guru yang menemani, tetapi dia sebenarnya guru agama lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama). Dan di lapangan, ya anak-anak paling sering main sendiri sepak bola atau bola kasti. Lapangan rumput ini cukup luas, di sekitarnya masih banyak pohon-pohon bambu yang rimbun. Kalau sudah olahraga, kami sering tidak kenal jam. Berangkat jam 7 habis bel, pulang jam 10.30 !!! Seingat saya, waktu SD dulu koq jam pelajaran itu sepertinya ngasal. Jam istirahat juga lama sekali, cukup untuk saya pulang ke rumah, makan, baru balik lagi. Mungkin guru-guru kami memang kewalahan mengurus kami.
Di kelas, anak-anak bandel ini tukang bikin keributan. Baik dengan main dangdut dengan memukul-mukul meja, atau menakut-nakuti anak perempuan dengan kalajengking yang ditangkapnya. Ada juga anak yang hobby bullying. Memeras anak yang agak kaya agar membelikan jajanan, atau mengancam anak yang sedikit pandai agar memberikan contekan. Lalu kalau ada anak baru, salam perkenalannya adalah dengan menantang berkelahi !!! Repotnya, kalau dalam perkelahian itu mereka kalah, mereka akan melapor ke kakaknya yang sudah SMP, dan nanti kakaknya itu akan datang memukuli kawan barunya itu. Waktu kelas 3 SD, ada anak yang paling nakal ini yang sakit telinga, sampai akhirnya meninggal dunia. Wah, sekelas bersorak gembira mendengar beritanya. Tetapi begitu trouble-maker nomor 1 ini tiada, ternyata “runner-up”-nya menggantikan posisinya. Jadilah, hingga lulus, saya tidak pernah benar-benar merasa nyaman di SD itu. Melihat lingkungan SD yang di bawah standar, teman-teman yang suka bullying dan guru-guru yang kewalahan.
Kalau ada Penilik Sekolah datang, dapat dipastikan separo murid (yaitu yang bandel-bandel) akan diliburkan. Maka tiba-tiba sekolah jadi kelihatan rapi dan sunyi. Sehari sebelumnya, anak-anak yang tidak bandel diajak kerjabakti membersihkan dan mempercantik kelas. Lalu di hari H, mereka diminta membawa alat-alat eksperimen IPA sederhana, seperti gelas, piring dan lilin. Itu eksperimen untuk membuktikan bahwa untuk menyala, lilin membutuhkan oksigen, sehingga kalau ditutup dengan gelas, api lilin akan mati. Sederhana sekali. Pada kesempatan lain, disimulasikan pelajaran agama. Beberapa murid diminta membawa perangkat sholat lalu mendemokan sholat berjama’ah di depan Penilik Sekolah.
Saya suka minder kalau disuruh ikut lomba antar SD se Kota Magelang. Saya melihat murid SD lain rapi-rapi, pakai seragam batik, lalu diantar oleh guru dan membawa supporter. Saya beberapa kali dikirim untuk lomba menggambar, lomba baca puisi, lomba MTQ, tetapi sesampai di tempat, Pak Guru balik lagi ke sekolah, karena harus mengajar! Saya sering ditinggal sendirian, dan juga tidak dikasih bekal maupun ongkos untuk pulang naik becak. Sekolah kami sepertinya juga relatif miskin. Mungkin karena waktu itu belum ada BOS 🙂 Tapi kami membayar SPP dan iuran BP3 (mirip Komite Sekolah jaman sekarang). Tetapi besaran iuran BP3 ini tiba-tiba saja diumumkan, kapan rapatnya juga kami tidak tahu. Yang anggota BP3 adalah beberapa orangtua siswa yang tergolong kaya atau pejabat.
Di sekolah, digiatkan menabung. Karena saya jarang diberi uang saku, ya saya hampir tidak pernah menabung. Waktu itu, tahun 1975, uang sepuluh rupiah sudah lumayan, bisa buat beli mie kocok. Paling saya sebulan sekali nabung sepuluh rupiah. Tetapi pas akhir tahun, mau mengambil uang tabungan, Ibu gurunya bilang, uang tabungannya biar banyak dulu, nanti setelah lulus baru akan dikembalikan, biar bisa buat tambahan melanjutkan ke SMP. Tetapi ketika kami telah lulus, beliau berdalih, “Wah harus membongkar lemari dulu, uangnya di mana?”. Saya “bersyukur” tabungan saya tidak banyak. Ada teman saya yang hampir setiap hari menabung seratus rupiah ! Tetapi, saya pernah main ke rumahnya, rumahnya tidak jauh dari lapangan rumput tempat kami biasa olahraga. Pas pertama kali ke rumahnya, kami heran. Rumahnya memiliki pagar bambu yang tinggi, tidak kelihatan dari jalan. Ada pintu geser yang juga tinggi. Di dalamnya ada halaman luas. Terus di dalam rumahnya itu ada warung minum. Heran tidak? Kenapa bikin warung koq tersembunyi seperti itu? Baru setelah remaja saya tahu, ooo itu yang namanya warung remang-remang 🙂
Tapi meski kondisinya memprihatinkan, ada juga satu-dua guru yang berdedikasi tinggi. Kecintaan saya pada sastra – terutama puisi – mungkin bermula dari kelas 4 SD, ketika saya diminta ikut lomba baca puisi, dan salah seorang guru mau melatih di rumahnya. Saya meraih juara 3 se Kota Magelang. Pernah juga, sekolah mempersiapkan kami muncul di radio menampilkan qiroah, baca puisi, menyanyi sampai lawak. Karnaval dalam rangka 17-an, Lomba Pramuka dan pagelaran senam irama saat pembukaan Porseni juga pernah diikuti, walaupun latihannya yang intensif banyak menyita jam pelajaran. Sepertinya SD kami juga berusaha mengikuti semua lomba yang diadakan Dinas Pendidikan, walaupun dalam kondisi kepayahan. SD kami bahkan pernah meraih juara 2 Lomba Pelajar Teladan dan Juara harapan 3 Lomba Cerdas Tangkas se kota. Kami menyadari bahwa SD kami sangat sederhana, tidak punya toilet, tidak punya listrik, tidak berpagar, dan kalau hujan bocor dan berisik, tetapi SD kami tetap ingin meninggalkan sesuatu bagi kami, yang tidak sekedar angka-angka di Ujian Akhir.
Dengan kondisi SD seperti itu, saya merasa sangat lega, ketika akhirnya tiba saatnya meninggalkan bangku SD. Untuk masuk SMP, saat itu ada test. Saya nekad test di SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2. Dua SMP paling favorit di Magelang, yang sejak tahun 2000-an semuanya jadi RSBI atau bahkan SBI (?). Sebenarnya agak pesimis juga, karena mutu SD saya seperti itu. Tetapi alhamdulillah, saya lolos seleksi di kedua sekolah itu. Saya akhirnya memilih SMPN 2, selain karena biaya daftarnya lebih murah, juga karena posisinya cukup mudah untuk orang naik angkot, baik berangkat maupun pulangnya. Kalau SMP 1, enaknya pas berangkatnya saja, pulangnya mesti jalan kaki agak jauh. Dari SD saya, hanya ada 2 orang yang diterima di SMP 2 itu, padahal mereka menerima 160 siswa baru. Karena SMP ini lumayan bagus, maka berikutnya saya tidak mengalami kesulitan melanjutkan ke SMA, yang juga paling favorit di Magelang, SMA Negeri 1. Dulu di Magelang belum ada SMA Taruna Nusantara.
Karena masuk SMP favorit, di mana yang masuk telah terseleksi dari kemampuan akademis (bukan dari kemampuan finansial), beberapa siswa yang di SD juara kelas pun (termasuk saya), kelihatan jadi “pupuk bawang”. Beberapa dari mereka bahkan ada yang lalu tinggal kelas, padahal juara umum di SD-nya. Pelajaran Matematika dan IPA terasa yang paling sulit, karena bukan mengandalkan hafalan. Matematika ada 3 guru, khusus aljabar, khusus geometri dan khusus aritmetika. Yang relatif mirip SD cuma aritmetika. Untuk mengatasi kesulitan belajar matematika itu, saya mencoba meringkas buku paket. Jadinya sebuah “buku mini matematika” — mirip buku betulan lho, tapi cuma tulisan tangan.
Berbeda dengan SD saya yang tidak kenal kegiatan ekstra kurikuler, di SMP favorit ini kegiatan ekstranya banyak, tinggal dipilih. Ada kelompok kesenian seperti gamelan, kulintang, ensemble musik, drama dan paduan suara. Lalu kelompok olahraga seperti tennis, badminton, atletik, senam, dan renang. Lalu ada Pramuka, Palang Merah Remaja, dll. Lomba-lomba rajin diikuti dan disiapkan serius. Dan karena ini sekolah favorit, banyak tersedia siswa potensial untuk mengikuti hampir setiap jenis lomba. Kalau dulu di SD saya nyaris diikutikan pada semua cabang lomba (kecuali lomba olahraga), di SMP ini saya hanya kebagian lomba Paduan Suara dan lomba Cerdas Tangkas P4 🙂
Hal yang serupa terjadi di SMA. Jadi, nama atau reputasi sebuah sekolah favorit itu memang dibangun oleh rekam jejak di masa lalu, tetapi kemudian dipertahankan oleh calon siswa yang terseleksi. Karena anak-anak terbaik ingin masuk sekolah favorit, maka tugas sekolah itu selanjutnya menjadi jauh lebih ringan. Bahkan bila satu-dua orang guru mengajar asal-asalanpun, muridnya nanti tetap akan berprestasi, setidaknya bila dibandingkan sekolah lain yang kurang favorit. Coba bayangkan, salah satu guru fisika di SMA itu kalau mengajar seenaknya. Muridnya jarang yang mudheng. Kalau mengasih ulangan, muridnya silakan openbook, bahkan yang saling membantu tidak dipermasalahkan. Kadang-kadang sedang ulangan begitu, kelas bahkan ditinggal pergi! Dijamin nanti yang dapat nilai 6 ke atas tidak lebih dari 5 orang !!! Anehnya, pas Ebtanas, sebagian besar siswa bisa menjawab, tanpa rekayasa apapun! Apa karena pada dasarnya siswa memang cerdas tapi gurunya yang nyeleneh, atau justru sifat unik guru itu yang membuat kami telah belajar lebih keras ??? Kemudian meski ini sekolah favorit, ada guru bahasa Inggris yang mengajar hanya demi Ebtanas. Dia tidak pernah mengajar kami berbicara (conversation) atau mengarang (writing), alasannya karena di Ebtanas atau Sipenmaru, itu tidak diujikan … Untunglah, ada guru lain yang tidak seperti itu, dan setiap tahun gurunya dirotasi, jadi siswa tidak hanya belajar dengan satu guru saja.
Kalau dari segi bullying, sepertinya baik di SMP maupun SMA saya tidak ada. Mungkin karena anak-anaknya sudah pilihan itu, otomatis yang suka bullying – dan umumnya yang secara akademis kurang baik – akan terlempar ke sekolah yang kw-2 atau kw-3 :-). Tapi kalau kenakalan remaja sekedar melanggar peraturan sekolah – walaupun sebenarnya tidak jahat – jelas ada. Misalnya, pas telat datang lalu masuk lewat jendela. Tentu saja ini hanya bisa untuk kelas yang di lantai dasar. Maklum, gedung SMA saya itu 3 lantai ! Kemudian, pas guru menerangkan lalu ada yang kremas-kremus makan gorengan. Atau minta ijin ke toilet tapi bablas ke taman bunga yang tidak jauh dari sekolah – yang sekarang menjadi salah satu tujuan rekreasi Jawa Tengah “Taman Kyai Langgeng”.
Sama seperti di SMP, karena ini SMA favorit, banyak siswa yang berpotensi, maka saya nyaris tidak pernah diikutkan lomba apapun. Karena itu saya akhirnya memilih mengikuti lomba yang tidak secara khusus dipersiapkan sekolah, yaitu lomba mengarang atau lomba karya tulis yang diumumkan di media massa !!! Sayapun akhirnya ikut muncul sebagai “salah satu murid berprestasi” karena menang lomba-lomba itu. Tetapi ternyata ada efek sampingnya. Karena lomba yang saya ikuti itu tidak secara khusus dipersiapkan sekolah, dan juga tidak ada guru yang terlibat dari awal, setelah menang justru ada guru yang merasa ditinggalkan. Misalnya lomba mengarang. Ketika diumumkan menang di media massa, Kepala Sekolah bertanya ke guru bahasa Indonesia – yang mungkin dianggap tahu hal itu. Tentu saja guru tersebut malah kaget, karena saya tidak pernah konsultasi dulu ke beliau … Mungkin kalau lewat guru tersebut, saya malah tidak akan perrnah dapat kesempatan ikut lomba, karena nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya waktu itu hanya 6 !!!
Karena SMA saya relatif favorit, maka untuk lulus Ebtanas dan persiapan mengikuti Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) juga relatif tidak sulit. Guru-guru kami seperti percaya diri saja, jadi tidak perlu ada bimbingan test tambahan. Pasca Ebta, hanya sebagian teman yang punya duit yang ikut bimbingan test ke Primagama atau sejenisnya. Mayoritas sih belajar sendiri, mengerjakan soal-soal dari Sipenmaru tahun-tahun sebelumnya. Alhamdulillah, meski hanya demikian, sebagian besar lolos juga.
Reputasi SMA ini membuat banyak calon siswa dari daerah sekitar Magelang yang mengadu untung ikut test ke SMAN 1. Ketika saya kelas 2, ada kerabat yang baru lulus SMP, dititipkan orang tuanya di rumah saya, agar dia terpacu belajar seperti saya. Motivasinya adalah agar lolos seleksi masuk SMAN 1, sehingga nanti masa depan pendidikan tingginya lebih baik. Tetapi nasib menggariskan dia gagal, sehingga terpaksa masuk suatu SMA swasta, dan ujung-ujungnya tidak jadi kuliah. Tetapi lima belas tahun kemudian saya bertemu lagi dia sudah menjadi pengusaha mapan, punya rumah besar, mobil mewah dan sudah memberangkatkan orang tua dan mertuanya naik haji.
Hidup memang tidak linier. Sekolah yang favorit juga tidak selamanya akan favorit. Di kota Bogor, tahun 1980-an dulu SMA Regina Pacis termasuk yang sangat favorit. Sebabnya adalah, sekolah itu langganan juara LKIR (Lomba Karya Ilmiah Remaja) LIPI. Tetapi, sejak tahun 2001, sejak saya sendiri jadi juri LKIR LIPI, jangankan jadi juara, ikut saja sudah tidak pernah lagi. Rupanya, di balik kehebatan SMA Regina Pacis tahun 1980-an dulu, ada seorang guru yang “gila” … Kita sebut saja “gila” karena mau mendorong siswanya menekuni KIR meski mungkin tanpa insentif material, atau bahkan kurang terakomodir dalam sistem penghargaan guru saat itu.
Saya jadi ingat pakar marketing Hermawan Kartajaya (HK) yang sudah mendunia (beliau Presiden Intenational Marketing Association). Ternyata, kepiawaian HK dalam membawakan konsep marketing itu bermula karena dia DO dari ITS, dan lalu mengajar Kimia di suatu SMA selama 18 tahun. HK adalah guru favorit, karena mampu menyampaikan konsep-konsep kimia dengan bahasa yang sederhana. Tetapi dia akhirnya harus hengkang dari profesi itu ketika ada aturan yang mewajibkan guru harus punya ijazah keguruan atau Akta-IV. Akhirnya dia banting setir kerja di industri. Pengalamannya mengajar membuatnya pandai mengungkapkan gagasan, dan jadilah dia Direktur Marketing, sampai kemudian dia mendirikan lembaga konsultan marketing yang terkenal.
RSBI/SBI ataupun sekolah unggulan sejenisnya, memang suatu cara untuk mengoptimalkan potensi anak didik. Mereka diberi fasilitas yang terbaik (seperti kelas dengan pendingin udara, LCD dan komputer, perpustakaan dengan internet, lab yang lengkap, dll), guru-guru yang terbaik (minimal dari standar sertifikasi guru), juga diberikan stimulus baik dalam pelajaran maupun ekstra kurikuler yang terbaik – termasuk penggunaan bahasa Inggris, school-culture, dsb – dengan harapan outputnya akan menjadi yang terbaik. Tetapi “taraf internasional” tentu saja tidak cukup hanya diukur dengan kemampuan berbahasa Inggris ataupun mengenal tatacara pergaulan internasional, apalagi direduksi menjadi “tarif internasional”. Mungkin jauh lebih penting menjadikan anak didik terus bersemangat belajar sepanjang hayat, mengatasi berbagai persoalan baru yang tiada habisnya, dalam lingkungan yang sangat tidak ideal sekalipun, dan dapat mencarikan solusi yang cerdas tetapi juga bijak, mempertimbangkan tak hanya dimensi material, tetapi juga dimensi sosial dan spiritual. Dan kemampuan semacam ini harusnya merata di semua sekolah, sekalipun belum punya toilet, belum mendapat aliran listrik, belum memiliki pagar dan kalau hujan bocor dan berisik sekali. 🙂
Tags: pendidikan, RSBI, sekolah di indonesia, sekolah langka, sekolah mahal
November 11th, 2015 at 4:16 pm
jadi baik atau buruknya kondisi sekolah, selama motivasi belajarnya tinggi juga bisa sukses dan berhasil ya 😀