Teknologi Militer Tak Hanya Senjata
Di dunia militer, dikenal istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Misalnya ketika tentara digerakkan untuk membangun desa – seperti dulu di zaman Orba “ABRI Masuk Desa” (AMD). Atau ketika tentara yang memiliki peralatan memadai dan personel terlatih digerakkan untuk menolong korban bencana.
Maka di dunia militer pun dikenal istilah Teknologi Militer Selain Senjata (alutsista). Karena itulah, di dunia akademisi pertahanan, tidak hanya ada pakar-pakar ilmu strategi dan ilmu senjata, tetapi juga ilmu-ilmu sipil.
Demikian juga dalam sejarah militer Islam. Rahasia kekuatan militer umat Islam generasi awal ada pada kemampuannya menyinergikan berbagai infrastruktur, yaitu
(1) Infrastruktur ruhiyah (akidah, ibadah) sehingga setiap Muslim baik yang menjadi anggota militer atau tidak, akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah dan hidup untuk mencari ridha Allah semata. Mereka memiliki kejelasan tujuan hidup dan pegangan hidup, yang lebih kuat dari segala ideologi. Islam adalah “beyond ideology”.
(2) Infrastruktur syakhsiyah, sehingga setiap Muslim akan menempa dirinya menjadi pribadi yang taqwa, kuat, berahlaq mulia dan sekaligus memiliki profesionalisme terbaik, karena dengan itu dia dapat memberikan manfaat yang terbesar di tengah umat manusia. Untuk itu mereka selalu siap belajar dari manapun, baik yang sifatnya kauni yang dapat diperoleh dari pengalaman / percobaan, juga inspirasi dari ayat-ayat suci. Dalam hal jasadiyah, mereka mempelajari berbagai jenis beladiri yang dikenal saat itu. Rasulullah juga sangat menganjurkan setiap Muslim untuk belajar berkuda, berenang, memanah. Ini adalah tamsil untuk keterampilan hidup yang selayaknya dimiliki seorang Muslim.
(3) infrastruktur jama’ah, sehingga setiap Muslim akan merasa menjadi bagian dari masyarakat Islam yang saling menjaga. Untuk itulah mereka terus melakukan tarbiyah, mu’amalah syar’iyyah, dakwah, amar ma’ruf nahyi munkar dan jihad. Di sinilah sistem pendidikan, ekonomi, politik, peradilan dan hubungan luar negeri terbangun. Di sini pula peran kelompok-kelompok masyarakat sangat penting. Selain mereka saling meningkatkan kepedulian rakyat dan para pejabat, mereka juga gemar melakukan wakaf untuk mendukung infrastruktur jama’ah yang terkait jihad, apakah itu sekolah, perpustakaan, laboratorium, hingga observatorium bintang. Biasanya semua wakaf jariyah ini diserahkan beserta suatu asset produktif (seperti kebun atau industri) untuk membiayai biaya operasionalnya. Dan agar mereka mendapatkan apa yang akan diinfaqkan itu, maka sistem ekonomi syari’ah dengan berbagai jenis syirkah telah berkembang luas.
Sementara itu teknologi adalah merupakan pendukung dalam membuat seluruh infrastruktur semakin efektif. Kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum Muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer. Pada perang Ahzab, Rasulullah saw menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang berasal dari Persia. Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.
Teknologi militer di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling “sederhana” seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.
Di berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus meningkat. Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi (metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.
Selain teknologi militer berupa persenjataan, terdapat juga berbagai teknologi non senjata. Teknologi itu meliputi ilmu geografi untuk menyiapkan informasi geospasial militer, logistik militer, kedokteran, hingga peran olahraga dan musik militer.
Geografi dianggap ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi). Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik). Yang hiduppun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya. Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk merubahnya sesuai kebutuhan kita. Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang. Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.
Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.
Posisi logistik dalam setiap expedisi jihad adalah vital. Kemenangan perang di manapun sering ditentukan bukan oleh senjata atau kehebatan tempur pasukan, tetapi oleh logistik yang sudah direncanakan ditaruh di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Dalam perang modern, sebuah pesawat tempur yang canggih tidak ada artinya tanpa bahan bakar. Demikian juga, sebuah kapal induk bertenaga nuklir, tak ada artinya bila awaknya kelaparan.
Pada masa Thariq bin Ziyad, logistik yang menentukan adalah makanan prajurit dan pakan kuda! Jadi pada setiap pergerakan pasukan, harus ada rumput bergizi tinggi yang bisa ditanam atau disediakan dengan cepat.
Karena jihad menjangkau daerah yang luas dengan waktu yang lama maka logistik berupa rumput ini juga harus bisa dihasilkan di daerah-daerah yang strategis yang sudah dikuasai oleh pasukan Islam. Rumput yang ditanam-pun juga bukan sembarang rumput, bila yang ditanam rumput yang biasa-biasa – maka akan dibutuhkan areal yang sangat luas atau waktu yang sangat lama untuk menanamnya dan kuda perang-pun tidak bisa tumbuh perkasa.
Maka bagian logistik dari pasukan Islam saat itu sudah mengenal rerumputan bergizi tinggi yang sangat efektif untuk menumbuhkan kuda, tanaman bergizi tinggi inilah yang disebut alfalfa. Karena penguasaan Islam yang lama khususnya di Spanyol, teknologi menanam alfalfa ini juga lalu menular ke bangsa Spanyol. Ketika 800 tahun kemudian panglima perang Spanyol Hernando Cortez menaklukkan bangsa Aztecs di Mexico, bukan hanya strategi membakar kapalnya yang ia jiplak dari Thariq bin Ziyad – tetapi juga membangun logistik pasukan berkudanya dengan tanaman yang sama dengan yang diperkenalkan peradaban Islam di Spanyol selama 781 tahun !.
Selain produksi, logistik juga sangat terkait dengan kecepatan distribusi, dan itu berarti transportasi. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Tags: militer, Militer Islam, Negara Khilafah, Penemuan, Penemuan Islam, Perang, teknologi
Leave a Reply