Acara Miss World yang kontroversial itu telah berlalu. Dampak negatifnya telah jelas. Masyarakat Muslim di Indonesia dicekoki nilai-nilai asing melalui ruang frekuensi – yang sebenarnya milik publik. Masyarakat diarahkan untuk berpikir bahwa kehebatan seorang wanita itu terutama oleh penampilannya, baik itu kecantikannya, tutur kata yang menunjukkan kecerdasannya, dan kelakuannya yang diatur oleh pengarah gaya. Motto mereka adalah “Beauty, Brain & Behaviour”. Tapi semua orang tahu, bahwa beauty atau kecantikan adalah syarat penentu. Kalau ada seorang gadis yang sangat cerdas, bahkan mungkin memiliki dua gelar doktor (syariah dan fisika), juga telah memiliki kiprah yang dirasakan luas di masyarakat, misalnya menemukan kompor murah hemat energi yang dibagi luas ke sejuta petani, juga mendirikan klub-klub cinta fisika yang menginspirasi jutaan pelajar SD, tetapi bibirnya sumbing dan tubuhnya tidak proporsional, sepertinya mustahil dia akan terpilih menjadi Miss World.
Adapun dampak positifnya (seperti naiknya kunjungan wisata manca negara ke Indonesia) tidak terjadi. Kunjungan wisata hanya bisa ditingkatkan kalau infrastruktur di negeri ini (terutama transportasi publik) diperbaiki, dan orang merasa aman dari kejahatan atau perlakuan tidak profesional aparat kita. (more…)
Bulan September 2013 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah acara olahraga negeri-negeri Islam sedunia (Islamic Solidarity Games). Hanya di forum ini, dan bukan di Asian Games atau Olympiade, Indonesia meraih juara umum. Jadi negeri-negeri Islam memang secara umum parah dalam segala hal, termasuk olahraga. Padahal, sejatinya, acara ini hanya meniru (meng-copy) gebyar acara serupa. Sebuah acara yang sudah ada sejak zaman Romawi Purba, yang digunakan oleh para kaisar untuk mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan negeri yang sesungguhnya. “Berikan rakyat roti dan permainan, maka mereka akan sibuk dan tidak lagi memperhatikan, apa yang kita perbuat”, kata Kaisar saat itu. Rakyat tak lagi peduli apakah pemimpinnya korupsi, atau menggadaikan aset publik ke asing untuk utangnya yang segunung, atau tidak mampu membela umat yang tertindas baik secara fisik maupun diplomasi.
Jadi itu bukan kontes olahraga yang sesungguhnya. Padahal Islam mensyariatkan olahraga untuk sebuah tujuan yang serius. Rasulullah pernah memerintahkan agar anak-anak Muslim diajari olahraga berenang, berkuda dan memanah, suatu tamsil olahraga-olahraga yang dapat digunakan untuk survival, membela diri, dan tentunya berjihad.
Kalau kita menengok pada sejarah dan kebudayaan di Nusantara, akan ditemukan berbagai jenis beladiri tradisional yaitu “silat”. Menurut Sheikh Shamsuddin (2005) dalam “The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong” silat adalah ilmu beladiri yang terbuka sejak awal, sehingga membawa unsur-unsur yang diserap dari para pedagang maupun prajurit dari India, Cina, Arab, Turki dan sebagainya. Legenda di Semenanjung Melayu meyakini bahwa Hang Tuah dari abad-14 adalah pendekar silat yang terhebat. Hal yang sama terjadi di Pulau Jawa, yang membanggakan Mas Karebet, alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kesultanan Pajang. (more…)
Hari pahlawan tentu saja bukan hari yang biasa,
Itu hari tempat kita mengenang mereka yang berjasa,
Menjadikan negeri ini bebas dari penjajah durjana,
Sehingga kita cukup menghamba kepada Allah saja!
Tetapi pahlawan kita tak hanya mereka,
yang saat ini namanya menghias jalan-jalan kota,
yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia,
atau harum namanya dalam sejarah bangsa.
Bagi muslim, pahlawan itu dari seluruh dunia,
bahkan dari kurun lebih empat belas abad lamanya,
ada Saad bin Abi Waqash yang menamatkan kekaisaran Persia,
ada Thariq bin Ziyad yang menaklukkan Andalusia di Eropa,
ada Salahuddin al Ayubi yang mengusir tentara Salib di Palestina,
ada Saifuddin Qutuz yang memukul Tartar dari Siria,
ada Muhammad al Fatih yang membuka Konstantinia,
juga ada al Mu’tashim yang mengirim pasukan amat perkasa,
ke negeri Amuria demi menjaga kehormatan seorang wanita biasa.
Mereka adalah pahlawan-pahlawan sejati yang amat mulia,
karena amal jariyah mereka bertahan sepanjang masa.
Di antara mereka ada yang Allah wafatkan di medan laga,
Hamzah bin Abdul Mutholib yang jadi penghulu para syuhada,
atau Mush’ab bin Umair yang gugur dalam kondisi amat papa,
padahal siapnya Madinah untuk hijrah nabi terjadi karena jasanya.
Namun di sisi Allah mereka sebenarnya amat kaya,
mereka dirindukan seluruh penduduk langit dan penduduk surga,
Bahkan mereka ingin dihidupkan lagi untuk syahid kesekian kalinya,
Iman membuat mereka tampak sangat bercahaya,
mereka berjuang tanpa pamrih apapun dari isi dunia,
serta perjuangannya tidak dibatasi sekat-sekat maya.
Sungguh kita amat rindu dapat bersua dengan mereka,
dan itu hanya bisa terpenuhi kalau kita melakukan amal usaha,
yang sesuai dengan amal shaleh yang amat mereka cinta,
karena iman perlu bukti-bukti yang nyata !