BULAN PERUBAHAN – Ramadhan Hari-4: UBAH REFERENSI
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu seperti apa referensinya.
Ada objek yang sama, dilihat oleh pancaindera yang sama, bahkan oleh orang yang sama – di waktu yang berbeda. Tetapi kesimpulan yang dihasilkannya bisa sangat berbeda. Kenapa? Karena begitu informasi itu sampai ke otaknya, informasi itu akan dinilai oleh suatu referensi. Maka begitu referensi itu sudah berbeda, sikap terhadap informasi itu menjadi sangat berbeda.
Di dunia bisnis ada acuan standar kesehatan bank, misalnya angka-angka CAR (Capital Asset Ratio) atau LDR (Loan Deposit Ratio). Ini adalah referensi. Kalau CAR dan LDR meleset dari batas toleransi, maka Bank itu dapat dipastikan tidak sehat, atau bahkan perlu masuk “ICU”. Yang repot adalah kalau referensi itu diubah untuk kepentingan tertentu. Jadilah kasus seperti Bank Century.
Dalam dunia teknik juga ada banyak standar. Misalnya standar kualitas udara, standar keamanan pesawat, dsb. Semuanya membutuhkan sebuah referensi. Kalau ingin kualitas udara lebih baik, atau dunia penerbangan lebih aman, tak jarang dunia melakukan konferensi untuk mengubah standar tersebut. Dan sejak itu, konsensus dari konferensi itu dijadikan referensi baru. Mengubah referensi berarti mengubah keadaan.
Itu terjadi dahulu maupun sekarang. Setelah masuk Islam, Umar bin Khattab yang tadinya seorang yang bengis dan ingin membunuh Nabi, tiba-tiba menjadi orang yang mudah meneteskan air mata dan siap mati membela Nabi. Sekarang ini, ada bintang rock yang semula begitu bangga dikagumi di arena konser, tiba-tiba menolak untuk menyanyi lagi di konser yang sama, dengan bayaran berapapun. Ini karena mereka telah menilai hidupnya dengan referensi yang berbeda. Kita berbicara tentang sosok seperti Cat Steven (Yusuf Islam) dan Harry Moekti.
Tanpa sebuah referensi, orang selalu akan diombang-ambingkan pendapat orang.
Dan ini bisa sangat berbahaya ketika itu menyangkut masalah yang amat penting, yakni tentang: Dari mana, mau kemana dan untuk apa manusia hidup di dunia ini? Dengan pedoman apa? Apa standar keberhasilannya?
Ada kisah Lukman dan anaknya, yang pergi ke kota bersama dengan membawa seekor keledai.
Ketika anaknya dinaikkan keledai dan Lukman jalan kaki, ada yang berkomentar, “Anak tak tahu diri, enak-enakan duduk di keledai padahal ayahnya yang sudah tua disuruh jalan kaki”.
Ketika Lukman yang naik keledai dan anaknya jalan kaki, ada yang berkomentar, “Ayah tak tahu diri, enak-enakan duduk di keledai, anaknya masih kecil disuruh jalan kaki”.
Ketika Lukman dan anaknya duduk berdua di atas keledai , ada yang berkomentar, “Ini ayah dan anak tak tahu diri, keledai sekecil ini dinaiki berdua, dasar penyiksa binatang”.
Ketika Lukman dan anaknya akhirnya jalan kaki, ada yang berkomentar, “Dasar orang-orang dungu, punya keledai koq dibiarkan nganggur, tidak dinaiki”.
Akhirnya Lukman mengambil kayu, lalu keledai itu dipikulnya bersama anaknya. Tentu saja ada lagi yang berkomentar, “Dasar orang-orang gila, masak keledai sehat bisa jalan sendiri koq malah dipikul”.
Maka Lukman berkata kepada anaknya, “Lihatlah anakku, kalau kita mengikuti kemauan orang, maka pendapat mereka itu bermacam-macam dan saling bertentangan. Karena itu, ikutilah pendapat Yang Menciptakan kita, karena Dia hanya ada satu”.
Itulah, dengan suatu referensi, kita akan menjadi orang yang kokoh dan jelas sikapnya, tidak terombang-ambing.
Persoalannya adalah, dalam masalah hakekat hidup manusia di dunia ini, banyak kitab yang dianggap suci, banyak sosok yang dianggap Nabi, dan banyak Zat yang dianggap Tuhan. Lantas yang mana yang pantas dijadikan referensi ?
Tentu, sebelum memutuskan menggunakan referensi yang mana, kita hanya memiliki satu alat, yaitu akal yang sehat.
Kalau dengan akal sehat kita melihat alam semesta ini, kita dapat merasakan bahwa pastilah ada Sang Pencipta di balik semuanya ini, yang berbeda dengan alam semesta itu. Semua manusia bisa merasakan hal ini. Hanya saja, kalau berhenti di sini, kita masih belum tahu, apa sifat-sifat Tuhan dan apa maunya Tuhan tersebut. Kita masih memerlukan informasi dari Tuhan. Sama seperti tadi kita meyakini punya nenek canggah (nenek dari nenek), tapi seperti apa dia, dan apa pesan-pesannya sewaktu masih hidup, kita tidak bisa tahu langsung. Kita memerlukan pembawa pesan yang pernah berkomunikasi langsung. Untuk nenek canggah, pesan itu harus dibawa orang secara turun temurun. Untuk Tuhan, pesan itu harus dibawa oleh orang yang disebut nabi/rasul. Jadi kuncinya, adalah, bagaimana kita memastikan bahwa sang pembawa pesan itu benar-benar nabi, atau dia dapat otoritas dari Tuhan. Untungnya itu hal yang bisa dipikirkan secara rasional, bukan dogmatis.
Untuk memastikan seseorang itu nabi utusan Tuhan, maka dia harus membawa mukjizat yang superior terhadap kemampuan tercanggih manusia. Mukjizat itu harus melemahkan semuanya (kata mukjizat sendiri artinya “melemahkan”). Nabi Musa diberi mukjizat dengan kemampuan mengalahkan semua sihir, padahal dia tidak pernah belajar sihir. Nabi Isa diberi mukjizat dengan kemampuan mengobati segala hal, bahkan membangkitkan orang mati, mengalahkan semua tabib, padahal dia tukang kayu yang tidak pernah belajar pengobatan. Nah Nabi Muhammad, diberi mukjizat berupa bacaan (Qur’an = bacaan), yang mengalahkan semua penyair Arab. Eloknya, mukjizat Nabi ini bisa kita saksikan sampai hari ini !!! Qur’an itu bacaan yang kompleks dan sangat rapi, ada aspek bahasa, ada kesesuaian numerik, ada sejarah, dan ada pernyataan futuristik yang tidak satupun menyalahi sains modern yang baru ditemukan kemudian, dsb.
Dan kemungkinannya cuma tiga:
1. Qur’an itu karya jenius Muhammad sendiri — tapi aneh, karena beliau juga mengucapkan hadits, dan gaya bahasanya beda, lagipula beliau ini ummi, orang yang tidak bisa membaca & menulis, apalagi menyair.
2. Qur’an itu plagiat atau dibuatkan orang lain — tapi siapa? Zaman nabi tidak terbukti seorangpun. Para penyair yang paling terkenal saat itupun tidak berhasil mengimitasi, sekalipun hanya surat pendek seperti al-asr.
3. Qur’an itu memang wahyu seperti yang dinyatakan Muhammad, dan itu berarti dia utusan Tuhan.
Dari semua kemungkinan itu, hanya opsi ketiga yang rasional.
Karena itulah syahadat itu serangkai: membenarkan keberadaan Allah yang esa (tidak ada tuhan selain Allah), dan membenarkan kerasulan Muhammad, dengan bukti mukjizat kitab al-Qur’an.
Semua rasional, tidak dogmatis.
Setelah mengimani Allah, Muhammad dan al-Qur’an, maka selanjutnya kita menjadikan Qur’an dan ucapan/tindakan Nabi sebagai referensi. Di sini, peran akal tidak lagi untuk menimbang tetapi hanya untuk memahami. Kalau Qur’an mengatakan bahwa Allah memiliki banyak malaikat, ya itu kita imani. Allah akan membalas setiap amal dengan surga, itu kita imani juga. Meskipun malaikat dan surga mustahil kita deteksi dengan indera kita.
Kita analogikan dengan alat radar pesawat yang sedang terbang. Bila sebelum terbang, alat itu telah dikalibrasi, maka selanjutnya kalau radar mengatakan runway tinggal 10 mil, maka pesawat yang telah “mengimani” radar itu, langsung menurunkan ketinggian dan kecepatan, meski pilot tidak melihat runway karena awan tebal.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah referensi kita. Tak salah bulan Ramadhan disebut juga bulan al-Qur’an. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-4 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah REFERENSI kita, agar Allah merubah nasib kita.
Tags: ramadhan, ramadhan 2013, sukses ramadhan
July 20th, 2013 at 2:21 am
maha suci allooh….
komponen dalam berfikir : otak,panca indra, fakta dan INFORMASI TERKAIT FAKTA.
3 komponen (panca indra, otak dan fakta) tidak bisa berubah,
Hanya Informasi yang didapat dari referensi yang bisa di kuasai manusia. pilih referensi yang terbukti BENAR yaitu al quran dengan pembawanya rosulullooh muhammad