Meramal yang paling sulit adalah meramal masa depan. Karena itu, berbeda dengan paranormal, seorang ilmuwan tidak menyebut perkiraan kejadian mendatang yang dihitung secara ilmiah (cuaca atau posisi benda langit) sebagai “meramal”, tetapi “prediksi” atau “extrapolasi”. Mereka berangkat dari banyak data empiris di masa lampau, mempelajari keteraturan yang diletakkan Allah di atasnya, yang dengan itu mereka bisa memperkirakan apa yang pasti akan terjadi. Kepastian prediksi ini tergantung akurasi data pengamatan yang dimasukkan, cakupan data, serta posisi dan dimensi objeknya. Hujan yang turun secara lokal mungkin sulit diprediksi. Tetapi datangnya badai hurricane skala besar bisa dipastikan beberapa hari sebelum tiba, sehingga cukup waktu untuk melakukan evakuasi. Sedang gerhana matahari / bulan bahkan sudah bisa dipastikan terjadi berpuluh tahun sebelumnya. Dalam margin-errornya, semua prediksi ini dapat dikatakan mencapai derajat pasti (qath’i).
Suatu pengetahuan disebut ilmiah, ketika memenuhi tiga syarat: (1) pengetahuan itu berasal dari pengamatan atas kejadian empiris yang bisa diulangi siapapun; (2) kejadian itu bisa dijelaskan semua berdasarkan teori ilmiah yang telah ada sebelumnya; (3) teori itu bisa untuk melakukan prediksi atas kejadan serupa di masa depan. Sesuatu yang tidak memenuhi tiga syarat itu, tidak termasuk domain dunia ilmiah, walaupun bisa tetap bermanfaat. (more…)
Bagaimana suasana Ujian Nasional (UN) tahun ini di daerah Anda? Semoga baik-baik saja. Tetapi diketahui luas bahwa tahun ini, pelaksanaan UN secara nasional sangat buruk. Soal ujian datang terlambat, tertukar, lembar jawaban terlalu tipis dan sobek bila dihapus, dan di atas itu semua kecurangan masih terjadi, sebagian bahkan sistemik, yakni justru didalangi oleh pejabat setempat. Oleh panitia pusat sudah diatur bahwa setiap ruang mendapat 20 soal yang berbeda, sehingga semakin sulit untuk mencontek, dan semakin lama bila guru pengawas ikut membuatkan jawaban buat peserta. Namun realita, kunci jawaban untuk ke-20 soal itu tertayang di internet. Entah apa motivasi yang mengunggahnya, mungkin dia kesal dengan UN secara keseluruhan.
Ketika tahun 1984 dulu EBTANAS SMA dimulai, idenya memang sekadar untuk pemetaan standar pendidikan. Nilai EBTANAS Murni (NEM) tidak untuk standar kelulusan, tetapi hanya berpengaruh 33 persen hingga maksimum 60 persen. Saat itu sangat jarang siswa yang mendapat NEM rata-rata di atas 7. Ketika EBTANAS berganti nama menjadi UN, dan hasilnya dijadikan standar kelulusan, maka dimulailah kecurangan sistemik itu. Para kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan takut kehilangan jabatannya bila nilai UN siswa di bawah tanggung jawabnya jelek. Mereka lalu melakukan segala cara.
Sekarang ini, kalau anak kita mendapat angka 8 sebagai nilai rata-rata UN, boleh jadi dia akan sulit mendapatkan sekolah lanjutan, karena yang angkanya 9 banyak sekali. Tetapi tetaplah bersyukur bila itu didapat dengan jujur. Prof Dr Indra Djati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) mengatakan, hasil UN yang jujur hanya 20 persen.
Tak heran bahwa banyak dugaan UN ini bukanlah usaha serius memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, tetapi lebih pada proyek bernilai trilyunan rupiah yang sayang jika dihapuskan. Salah satu buktinya, sekolah dengan hasil UN bagus justru dikembangkan menjadi RSBI dan mendapat dukungan finansial lebih besar. Sementara sekolah di daerah terpencil dengan guru terbatas dan murid yang setiap hari harus berjibaku mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolah, hanya mendapat perhatian ala kadarnya. (more…)