Fahmi Amhar, Peneliti Utama Geospatial Information Agency
Banyak orang berpikir bahwa banjir yang melanda Jakarta dan daerah lainnya hanya persoalan teknis semata. Namun ternyata bila ditelusur lebih dalam, ada faktor ideologis di dalamnya. Mengapa bisa seperti itu dan bagaimana masalah banjir ini bisa diatasi, berikut wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Peneliti Utama Geospatial Information Agency Prof Dr Ing Fahmi Amhar.
Dalam sebuah tulisan, Anda menyebut banjir ini terkait persoalan sistem sehingga tidak cukup ganti rezim tapi sistem harus ganti. Bagaimana sebenarnya?
Benar. Namun kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan. Karena memang sistem itu berlevel-level.
Jadi penanganan banjir atau permasalahan lainnya, terkadang cukup mengubah salah satu levelnya saja tetapi ada juga yang harus diubah sampai ke level ideologis.
Bisa Anda rinci level-level tersebut?
Pertama, level praktis. Sistem level praktis itu di tataran pelaksana (the person behind the gun). Misalnya, akan ada perubahan yang “sistemik” begitu diangkat gubernur baru yang gemar “blusukan” alias inspeksi mendadak ke tempat-tempat bermasalah, atau wakil gubernur yang telaten memelototi RAPBD untuk menghemat pos-pos anggaran yang tidak perlu. Dampaknya sistemis, karena terus semua aparat ke bawah bekerja dengan benar, takut gubernurnya duluan sampai ke kantor atau ke TKP daripada dia, juga takut anggaran tahun mendatang dikurangi lagi atau bahkan dihapus, kalau target kinerjanya diragukan.
Kedua, level mekanis. Banyak hal yang mendukung penanggulangan banjir itu dapat dibuat mekanis (otomatis), sehingga memaksa orang mengikutinya. (more…)
Dr. Fahmi Amhar, Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Tulisan ini di publikasikan di isnet.org (http://media.isnet.org/islam/Etc/PKSMenang.html)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah meraup suara yang fenomenal. Meski perhitungan akhir suara belum selesai karena teknologi TI yang ternyata tidak meyakinkan, tapi sudah tampak dari angka absolutnya, peraihan suara PKS pasti berlipat dari perolehan PK pada pemilu 1999.
Namun apakah kemenangan PKS ini berarti kemenangan Islam? Atau keberhasilan dakwah Islam? Dan kira-kira apa yang terjadi setelah ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat struktur pemilih PKS.
Profil pemilih PKS terdiri dari lima kelompok
Yang pertama adalah pemilih klasik, yaitu binaan gerakan (harakah) tarbiyah di Indonesia, yang sejak era 1980-an marak di kampus-kampus. Mereka inilah kader inti PKS, dengan ciri-ciri khasnya yaitu: muda, terdidik dan islamis. Mereka dibina dalam halaqoh-halaqoh dengan pola yang cukup rapi, mengacu pada gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Rujukan mereka adalah buku-buku karya Hasan Al-Bana, Said Hawa, dan terutama Yusuf Al-Qardhawi.
Yang kedua adalah simpatisan harakah-harakah lain dengan karakteristik kader yang mirip, semisal Hizbut Tahrir, yang meski memiliki massa cukup besar, namun tidak secara tegas memerintahkan kader atau simpatisannya agar memilih partai tertentu. Mereka hanya menunjukkan beberapa kriteria, seperti bahwa parpol yang dipilih harus yang berasas Islam dan memperjuangkan syariat Islam. Meski PKS tidak pernah terang-terangan berkampanye untuk syariat Islam, namun di level bawah, kader-kader inti PKS terus bergerak dari masjid ke masjid atau di majelis-majelis taklim, seraya mencoba meyakinkan massa Islam pro syariat bahwa jalan yang ditempuh PKS ini akan sampai ke penerapan syariat oleh negara. Maka tak heran bila simpatisan harakah-harakah ini akhirnya berpikir bahwa PKS adalah salah satu atau bahkan satu-satunya partai yang memenuhi syarat tadi. Apalagi juga tidak pernah ada seruan dari harakah-harakah tadi untuk Golput. (more…)