Belajar Seni Peran, bikin Film dan menulis Script
Saya ada potongan jadi pemain film nggak ya? Kalau bikin film? Kalau menulis skenario? He he …
Tapi sejatinya saya pernah bergabung dalam suatu kelompok teater. Dulu, sewaktu masih SMP. Oleh pelatih, kami diajari berbagai elemen dasar seni peran. Main teater itu jauh lebih sulit daripada main film. Kalau adegan dalam film kan bisa diulang-ulang. Suaranya bisa didubbing. Tetapi kalau teater semuanya life. Jadi harus hafal betul dialognya. Kalau lupa, ya harus improvisasi. Makanya cerita besarnya harus hafal, dan karakter yang diperankan harus menjiwai.
Elemen dasar seni peran itu misalnya, tentang karakter: bagaimana memerankan orang yang lagi sedih, senang, marah, gembira, apatis, buang muka, dsb. Juga tentang bagaimana menjadikan suatu drama mencapai klimax. Juga soal bagaimana mengkombinasikan setting panggung, posisi pemain, rias, kostum, iringan musik, tata lampu, dsb. Ternyata memang tidak mudah. Untuk suatu pertunjukan kecil yang hanya berdurasi 15 menit dalam acara sekolah, persiapannya bisa berbulan-bulan.
Tetapi saya jadi banyak belajar, bahwa manusia bisa disiapkan untuk main sandiwara. Pemain sandiwara kawakan itu bisa menyembunyikan emosi aslinya. Meski dia sebenarnya sedang gundah karena ibunya sakit, demi tuntutan skenario di panggung, dia harus bisa tampil riang gembira. Demikian juga sebaliknya, meski lawan dialognya itu seorang yang sangat ramah dan rupawan, dia harus bisa membuang muka, bahkan kalau perlu sambil meludah, karena skenarionya menyuruhnya begitu.
Kemampuan seperti ini diperlukan ketika kita memiliki aktivitas dengan komunikasi antar manusia yang menonjol. Baik guru, trainer, marketter maupun pengemban dakwah dan politisi, tidak akan rugi belajar seni peran. Bahkan ilmu peran ini ternyata ada perguruan tingginya. Namanya jurusan “dramaturgy”. Mereka yang sangat serius ingin jadi aktor, ya rela kuliah bertahun-tahun di sana. Kadang saya heran. Bukankah ada juga anak yang masih kecil juga sukses main film. Tapi ya beda.
Saya pernah ikut suatu car-sharing (yang lazim di Eropa) untuk perjalanan dari Wina ke Gottingen. Ternyata sopirnya itu seorang aktor Austria. Orangnya ramah. Saya tanya, apa sih peran dia di film-film. Dia bilang, paling sering jadi tokoh antagonis. Misalnya jadi serdadu Nazi … weleh … Terus saya tanya, apa itu ada sekolahnya? Dia bilang, ya, dia sekolah 4 tahun untuk dapat diploma seni peran. Saya makin penasaran, saya tanya, kalau yang tidak sekolah saja bisa jadi aktor terkenal, bagaimana kalau yang sekolah seperti dia. Dia menjawab begini, “Untuk jadi aktor terkenal, Anda harus ketemu produser atau sutradara yang tepat, di tempat yang tepat, di saat yang tepat, agar Anda mendapat peran yang tepat, dalam cerita yang tepat, dan bermain bersama orang-orang yang tepat”. Wow !
Kalau soal bikin film, saya banyak belajar waktu di Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB. Filmografi atau sinematografi itu beda dengan Fotografi. Film harus memiliki visualisasi yang kuat dan dinamis. Kalau sebuah film dibuat mirip rekaman video pengantin, pasti semua penontonnya sudah lari, boring Bro !!! Tahun 1980-an, untuk bikin film masih harus pakai celluloid. Muahal! Tahun 1990-an sudah ada Camcorder dengan Tape 8 mm. Jauh lebih murah. Tahun 2000-an sudah ada Camera Digital dengan fungsi video-motion. Jadi zaman sekarang amat sangat mudah untuk belajar membuat film. Tetapi tetap saja tidak banyak orang bisa bikin film yang enak ditonton. Karena, untuk film sependek apapun, itu kita tetap harus bikin script ! Script itu yang akan memadukan antara visualisasi gambar, narasi berupa text, narasi verbal dan musik pengiring.
Tags: Bro!, Film Indonesia, Script Film, Seni Peran
August 9th, 2013 at 9:21 am
keren mas, numpang lewat mau share ke teman2 kalo mau tau cara menulis skenario film yg benar dan lebih dalam dateng aja ke tintascreenplay.com