Pencarian Antara Dua Extrema
Oleh: Fahmi Amhar
Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.
Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq).
Padahal suatu peradaban baru selalu dibangun di atas landasan cara berpikir baru. Peradaban Barat yang kuat dan tangguh saat ini, dibangun di atas pemikiran sekularisme, yang di abad 16 merupakan pemikiran yang sangat kontroversial. Pada waktu itu Barat berabad-abad diselimuti oleh kebekuan pikiran, jumud dan taqlid buta. Pada waktu itu, Sri Paus dianggap manusia suci, wakil tuhan di dunia, yang selalu dituntun roh kudus, sehingga dianggap semua keputusannya tak bisa salah (infallible).
Karena itu tak heran, bila pada masa itu, di Barat seseorang yang sakit tidak boleh dicarikan dokter, melainkan pendeta, sebab penyakit dianggap gangguan iblis atau dosa, dan karena itu harus diusir dengan iman (lihat Allah Sonne über dem Abendland, Hunke).
Ketika para ilmuwan seperti Galileo bermunculan di Barat, dan mengungkap rahasia-rahasia alam, yang kadang bertentangan dengan ajaran gereja, dengan segera hal itu dianggap sesat dan membahayakan iman ummat. Ketika akhirnya semakin banyak kajian kritis terhadap Bible serta bukti-bukti historis maupun science yang menyanggah isi Bible, maka muncullah sekelompok tokoh gereja dan menulis 10 jilid buku berjudul FUNDAMENTALS OF THE TRUTH. Mereka inilah yang mula-mula disebut kaum “fundamentalis”. Mereka yakin Bible pasti benar. Dan bila ada sesuatu yang bertentangan dengan Bible, itu harus ditolak.
Bentuk keyakinan bulat semacam ini tidak cuma ada di Kristen. Di India, beberapa tahun yang lalu, sekelompok pemeluk Hindu fanatis menghancurkan sebuah masjid berusia 5 abad, karena yakin, masjid itu didirikan di atas tempat kelahiran Dewa Rama. Orang-orang beringas ini siap berbuat apa saja tanpa berpikir panjang, karena keyakinannya. Keyakinan juga yang membuat anggota Irish Repulican Army siap membawa mobil penuh bom ke tengah markas tentara Inggris. Keyakinan juga yang membuat sekte David Koresh siap mati bersama di benteng mereka. Dan keyakinan juga yang membuat ada tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Ibu Teresa, ataupun Nelson Mandela yang rela menderita dan banyak berkorban, demi sebuah keyakinan. Tidak cuma Islam yang punya sejumlah besar syuhada yang rela mati demi sebuah keyakinan. Terus apa bedanya?
Jawaban naif dari seorang muslim adalah, bahwa para syuhada Islam itu berada di surga, sedang yang selain Islam, bagaimanapun besar jasanya di dunia, akan dilempar ke neraka. Ini adalah jawaban karena kita sudah yakin dulu kepada al-Qur’an. Bagaimana dengan orang yang sudah yakin dulu pada Bible atau kitab Veda, yang juga menjanjikan pemeluknya suatu kenikmatan di surga atau nirvana? Pada banyak ajaran (juga ajaran agama), seseorang dianjurkan untuk “yang penting yakin dulu”. Iman dulu baru berpikir. Orang tidak boleh mempertanyakan mengapa dia harus yakin dulu pada ajaran tersebut, dan tidak pada ajaran yang lain? Bagi pemeluk Yahudi, mempertanyakan autentitas Taurat adalah dosa besar.
Kalau seorang muslim yakin kebenaran Islam hanya karena ia dibentuk di tengah masyarakat muslim, maka hal yang sama juga bisa dialami oleh seorang pemeluk Hindu, Kristen, Shinto, Komunis, dan sebagainya.
Kalau seorang muslim yakin pada Islam hanya karena menganggap Islamlah ajaran yang terlengkap bagi manusia, maka seorang Yahudi atau seorang Hindu juga yakin, ajaran mereka mencakup segala hal.
Kalau seorang muslim mengikuti Islam hanya karena ia lihat Islam adalah “jalan termudah” untuk masuk surga, maka banyak ajaran lain yang juga menjanjikan masuk surga lebih mudah lagi, bahkan tanpa kewajiban yang “sulit” seperti sholat, puasa, haji ataupun keharusan meninggalkan banyak hal yang “haram”.
Kalau seseorang beribadah secara Islam hanya karena merasa menemukan kedamaian hati, maka hal yang sama juga ditemui pada para pendeta yang khusuk menjauhi dunia di biara-biara Budha atau Nasrani.
Kalau seseorang masuk Islam hanya karena suatu tokoh terkenal tanpa tahu alasannya (“Kalau dia yang ‘alim dan pandai saja bisa salah, apalagi saya …”), maka hal yang sama juga dialami seorang Katholik pada Sri Pausnya, seorang Hindu pada Baghawannya, dan seorang Budha pada Dalai Lamanya.
Karena itu, menyerahkan soal keyakinan dasar pada “imitation”, “emotional appeal” atau “blind faith” akan membawa ke berbagai ajaran yang diametral.
Qalbu Dan Aqal
Seseorang yang dilahirkan di Korea Utara mungkin suatu saat akan membuka qalbunya untuk mencari kebenaran. Tapi bagaimana kebenaran bisa sampai padanya, sedang di sana cuma komunis yang ada. Demikian pula orang-orang Katholik yang pindah ke Saksi Yehova, mereka juga berniat mencari kebenaran. Bahkan mereka yang tertarik ke Islam, namun justru jadi pengikut “Nabi” Mirza Ghulam Ahmad (Qadiyani) atau Rasyad Khalifah (Submitter) pun semula berniat mencari yang lebih benar dari yang semula dianutnya.
Kita menganggap mereka sesat —padahal bisa jadi, merekapun menganggap kita yang sesat. Sepertinya dengan logika seperti ini, semua ajaran itu relatif. Dan ujung-ujungnya, orang yang bingung pada relativitas ini akan mengucapkan “Semua agama itu baik”. Dan toh kenyataan sering tak ada bedanya perilaku seorang pemeluk agama yang satu dengan agama yang lain. Kalau suatu agama memang paling benar, mengapa ada pemeluknya yang menjadi sampah masyarakat? Kenyataan pula, terkadang doa pemeluk agama lain juga bisa “didengar oleh Tuhannya” (atau terkabul), sementara doa kita tidak.
Kenyataan-kenyataan ini membuat seorang pemeluk agama yang berangkat hanya dari qalbu, ketika mengenal dekat situasi pemeluk agama lain bisa menjadi goyah. Seorang muslim bisa pindah agama (murtad), jadi sekuler, atau paling tidak tak lagi punya ghirah atas agamanya.
Sebenarnyalah, setiap manusia di dunia ini dibekali dua hal: daya pikir (aqal) dan daya rasa (qalbu/hati). Pada uraian di atas, kita sudah melihat, bahwa kecondongan hati seseorang tak bisa mengantarkannya menemukan kebenaran. Sementara itu aqal punya kemampuan melakukan analisa atas segala hal yang bisa diamati secara empiris. Hasil analisa aqal atas suatu hal yang sama dengan bukti pendukung yang sama, biasanya juga sama dan bisa diulangi siapa saja. Inilah yang disebut obyektifitas ilmiah. Karena obyektifitas inilah, berbagai pemeluk ajaran (termasuk ajaran agama) tertarik mengilmiahkan diri. Dengan logika mereka mencoba menafsirkan ajaran agama yang sebelumnya hanya bisa diimani dan dipatuhinya saja. Mereka mencoba mencari penjelasan ilmiah tentang malaikat, surga-neraka, bahkan tentang Tuhan. Orang-orang seperti ini ada di semua agama. Dalam sejarah Islam abad 2 Hijriyah mereka ini yang disebut “kaum mutakallimin” (yang sibuk dengan ilmu kallam).
Dewasa ini, muncul pula kaum “neo mutakallimin”, yang supremasi aqalnya begitu menonjol. Mereka tidak cuma mengajukan teori bahwa Adam bukan manusia pertama (agar sesuai dengan teori evolusi), tapi bahkan mencoba mengilmiahkan ibadah-ibadah ritual. Wudhu konon demi kebersihan. Khamr konon diharamkan karena Arab daerah yang panas. Konon larangan zina itu karena mengacau nasab, dan sebagainya. Mereka inilah yang dewasa ini sering dijuluki oleh media massa sebagai “pembaharu” karena ide-ide kontroversialnya.
Padahal kebenaran hasil analisa aqal adalah relatif, sedang jumlah pengalaman manusia bertambah, dan begitu pula bukti pendukung suatu ilmu pengetahuan. Ditemukannya suatu bukti terbaru bisa meruntuhkan bangunan ilmiah yang sudah tegak sejak lama. Ketika manusia baru tinggal di suatu tempat tertentu, mereka anggap bumi ini datar, dan alam semesta berputar mengelilinginya. Belakangan mereka dapatkan bahwa bumi ini bulat, dan bahkan bukan pusat alam semesta.
Karena itu, bila semua ajaran agama dicoba dicarikan legitimasinya dengan aqal, maka kebenarannya jadi relatif. Suatu penemuan baru bisa meruntuhkannya. Ketika ditemukan alat pencegah kehamilan, maka terus zina bisa jadi dibolehkan, karena kekacauan nasab bisa dihindarkan. Ketika orang pergi ke daerah dingin, terus bisa jadi khamr boleh diminum. Dan ketika orang tidak mendapatkan air, ia tidak berani tayamum, karena tayamum toh justru tidak membuat bersih.
Kedua kutub extrema (qalbu saja atau aqal semata) ini sama-sama memberi hasil yang relatif, agama mana yang harus diikuti? Apakah kita lalu cuma kembali pada lingkungan yang membesarkan kita?
Bagaimanapun juga, dalam hidupnya manusia harus berorientasi pada sesuatu yang dianggapnya terbenar. Dan ketika hati membuka niat mencari kebenaran, dia akan mengaktifkan aqal untuk menguji bukti-bukti yang ada yang bisa diamati dengan panca inderanya.
Hasil pengamatan panca indera memang terbatas dan oleh karena itu hasilnya juga relatif. Kata al-Ghazali “ainul yaqin itu bisa dusta”. Namun sejumlah hal di alam semesta ini merupakan fakta pasti, tidak relatif, dan bukan “dusta” lagi. Adalah fakta, bahwa setiap manusia itu lahir berupa jasad kecil yang lemah, dan kemudian suatu saat akan mati. Adalah fakta bahwa pengaruh semua benda di alam semesta ini terbatas, atau ada sejumlah besar keteraturan seperti pergantian siang-malam, perkisaran angin dan sebagainya. Dan ini semua pasti, dan tak pernah menjadi sesuatu yang relatif.
Hanya fakta-fakta inilah, dan bukan ilmu pengetahuan yang selalu berubah, yang pantas dijadikan seseorang untuk merasakan kehadiran Sang Pencipta (Tuhan). Dan konklusi rasional menyatakan bahwa Tuhan harus Maha Kuasa absolut dan karena itu harus Maha Esa. Selanjutnya konklusi rasional juga menghasilkan bahwa jika ada seseorang yang mengaku utusan Tuhan, maka utusan itupun harus membawa bukti yang absolut. Di sinilah batas-batas aqal, ketika akhirnya seorang muslim berkesimpulan bahwa Muhammad Saw itu benar-benar utusan Tuhan.
Secara singkat bisa diringkas begini:
1. Qalbu: niat mencari kebenaran.
2. Aqal: menyimpulkan adanya sang Pencipta (Tuhan), menyimpulkan kebutuhan adanya utusan Tuhan, dan menguji autentitas bukti utusan tersebut bahwa ia dari Sang Pencipta (ini dalam Islam = al-Qur’an).
3. Qalbu lagi: menerima atau menolak bukti tersebut? Baru kalau menolak kebenaran yang sudah di depan mata, ia adalah kafir.
Konsekuensi dari syahadat adalah, kepatuhan total pada al-Qur’an sebagai sumber nilai, karena ia datang dari Yang ilmunya tak terbatas. Posisi aqal diturunkan hanya sebagai alat memahami al-Qur’an, dan bukan sumber nilainya sendiri. Al-Qur’an mewajibkan untuk mematuhi Rasul, dan berarti melegitimasi as-Sunnah. Dan seterusnya, seperti dijabarkan dalam Ushul Fiqh.
Adapun posisi qalbu juga diturunkan hanya sebagai alat penghayatan dari nilai-nilai yang ada dalam al-Qur’an. Qalbu sendiri bukan sumber nilai apapun.
Dengan demikian secara umum, semua hal dalam Islam memiliki landasan rasional, karena landasan pokoknya (aqidah) dibangun atas dalil-dalil aqliyah, namun seterusnya, posisi aqal ada di bawah dalil-dalil naqliyah.
Inilah yang membedakan Islam dengan semua ajaran lain yang ada. Sekedar menjernihkan pemahaman: terminologi “aqidah” berbeda dengan “iman”. Kata “aqidah” tidak pernah ditemukan dalam al-Qur’an/hadits. Aqidah sebenarnya adalah “ilmu keyakinan”, baik yang mengantar seseorang sehingga yakin (dalam Islam ditunjukkan dengan syahadat) atau yang menyangkut hal-hal apa yang harus diyakini seorang muslim setelah bersyahadat (seperti rukun iman).
Barangkali ini cara menempatkan qalbu dan aqal pada posisi dan proporsi masing-masing, seperti yang tersebut pada Qs. Ali-Imran [3]: 7.
Extremitas
Bila seorang muslim menyadari kapan ia harus memakai aqal atau qalbu, dan kapan ia cukup taat kepada dalil, maka insya Allah dia tidak akan terjebak ke extremitas.
Dia tidak terjebak ke kelompok extrem yang mendewa-dewakan aqalnya, baik yang menghabiskan waktunya untuk memperdebatkan soal-soal mutasyabihat seperti para mutakallimin (yang mempertanyakan: “Apakah Tuhan punya tangan, kalau punya, berapa jarinya”, atau “Di manakah letak aqal, di otak atau di dada?”,…), maupun kaum liberalis yang “ijtihadnya” menghalalkan segala hal, dan ketika dibantah secara ilmiah dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadits yang qath’i (jelas) pun mereka akan berkilah “Sebaiknya kita saling tenggang rasa, karena yang benar itu cuma Allah”. Mereka akan sampai pada tahap tidak lagi mengkafirkan ajaran yang nyata-nyata di luar Islam. Mereka katakan, bahwa semua agama itu “hanif”, jadi ada Kristen yang muslim, Budha yang muslim, … atau sebaliknya: Muslim yang Kapitalis, Muslim yang Komunis, dan sejenisnya. Dan ketika ulama-ulama yang tawadhu’ dan wara’ mencoba memperingatkan ummat bahaya tokoh intelektual seperti ini, serta menunjukkan ciri-ciri yang benar akan mujaddid sejati (di antaranya soal “taqwa”), maka peringatan itu ditepis dengan kata-kata: “Sudahlah, jangan menilai ketaqwaan seseorang. Apakah anda bisa membaca hati saya?”. Padahal betapa jelas di al-Qur’an disebutkan ciri-ciri orang mukmin, muslim ataupun muttaqin.
Namun kita juga tidak terjebak ke kelompok extrem kedua yang mendewa-dewakan hati, yang menolak menggunakan aqal sama sekali, bahkan terkadang menolak fatwa yang jelas dengan dasar dalil-dalil yang tegas, karena “berfatwalah kepada qalbu”. Banyak dari mereka yang tidak mengenal hukum yang qath’i seperti larangan riba atau wajibnya berhijab bagi wanita –tanpa merasa bersalah, karena “qalbunya tenang saja”. Hal ini karena mereka relatif fanatis terhadap person atau taqlid buta pada madzhab tertentu, dan bahkan cukup mudah untuk mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dari kelompoknya. Bila dibawakan hadits, Rasulullah pernah bersabda, bahwa seorang mujtahid itu bila salah dalam ijtihadnya, akan mendapat satu pahala, bila benar dua pahala [HR. Bukhari & Muslim]; sedang imam mereka seperti juga imam-imam yang lain, paling pol hanyalah mujtahid, sehingga bisa jadi tidak selalu benar —walaupun kesalahan ijtihadnya tetap berpahala, mereka dengan serta merta akan berprasangka kita telah melecehkan imam mereka. “Kalau imam saya bisa salah, apalagi anda yang bukan apa-apa …”, kilah mereka. Tak jarang itu berakhir dengan tawur masal. Di sisi lain, banyak dari mereka yang setelah lepas dari lingkungannya, menjadi goyah, akhirnya menanggalkan semua yang diyakininya. Penempatan aqal dan hati yang tidak pada posisinya serta tidak proporsional ini adalah salah satu faktor kejahiliyahan yang membuat ummat Islam dewasa ini menukik ke dasar kemundurannya. Energi mereka tidak tersalur produktif. Sama-sama berniat untuk mengibarkan bendera Islam, namun yang satu terlalu jauh berangan-angan dalam dunia logikanya atau justru secara tak sadar membuat ajaran Islam berantakan, sementara yang lain terlalu melangit dengan keyakinan serta ritual yang diajarkan imamnya, dan lepas dari realitas dunia.
Sementara itu, orang-orang yang memang benar-benar masih di luar Islam, dan sama sekali belum mengenal Islam, dibiarkan tetap benci pada Islam, dibiarkan tetap menerima fitnah-fitnah tentang Islam, melihat fakta pada ummat Islam, atau paling pol kenyataan bahwa “Islam juga sama saja dengan ajaran lain, yang penting iman dulu, baru mikir”. Kita tidak sanggup menjelaskan Islam secara rasional pada mereka, karena kita sendiri pun beragama tidak secara rasional. Kita masuk Islam karena kebetulan lahir di dalam lingkungan Islam. Dan kita tidak pernah berani mencari atau bertanya, apa benar yang sudah dianutnya itu adalah Islam? Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Publikasi 06/10/2004, hayatulislam.net
Leave a Reply